Imamuddin
SA
Siapa
yang tidak kenal dengan Kuntowijoyo! Ia seorang sastrawan, budayawan, sekaligus
akademisi yang lahir di Yogyakarta 18 September 1943. Ia salah seorang maestro
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karya-karyanya sungguh luar biasa dan
menjadi karya besar. Melalui karya-karyanya, Kuntowijoyo mengantongi berbagai
macam gelar.
Cerpenya yang berjudul “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri “(1995),
“Resolusi Perdamaian” (1996), “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” (1997), dan
“Jalan Asmara Dana” (2005), meraih penghargaan sebagai cerpen terbaik Kompas.
Cerpenya yang berjudul “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” (1968) memperoleh
hadiah pertama dari majalah Sastra. Naskah dramanya yang berjudul
“Rumput-Rumput Danau Bento” meraih hadiah harapan dari BTNI (1968). Sedangkan
baskah dramanya yang berjudul “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, Cartasm”
dan “Topeng Kayu” memperoleh hadiah kedua dari Dewan Kesenian Jakarta.
Kuntowijoyo
merupakan seorang sastrawan yang produktif dan konsisten. Ini tampak terlihat
dari eksistensi menulisnya hingga akhir hayatnya. Empat hari sebelum meningal
dunia (wafat 22 Februari 2005), ia bahkan berhasil merampungkan sebuah artikel
yang berjudul “Maklumat Sastra Profetik” yang kemudian dikirimkannya pada
majalah sastra Horison. Inilah yang pada gilirannya menjadi karya terakhir yang
digurat oleh Kuntowijoyo.
Dengan
hadirnya karya terakhir tersebut, Kuntowijoyo tampaknya bermaksud membangun
jembatan dalam memahami karya-karyanya dan memberi hujjah dalam menelorkan
sastra kreatif bagi sastrawan-sastrawan tunas mendatang. Ibarat ingin merasakan
asin, seseorang harus mengetahui bentuk dan warna garam. Kesadaran inilah yang
mungkin menuntut Kuntowijoyo untuk membangun jembatan pemahaman dengan
menguliti karya-karyanya sendiri melalui “Maklumat Sastra Profetik”. Pada hal,
ia sadar betul bahwasanya, seorang pengarang yang berani menguraikan esensi
karyanya sendiri sama halnya dengan melakukan tindakan bunuh diri.
Ini
merupakan sebuah pengorbanan besar. Tampaknya, tindakan ini dilakukan oleh
Kuntowijoyo untuk membentengi menjamurnya karya sastra populer di Indonesia. Kuntowijoyo
ingin melahirkan karya-karya yang bermutu melalui tangan-tangan kreatif
sastrawan muda Indonesia.
Melalui
“Maklumat Sastra Profetik”, Kuntowijoyo berusaha berjuang mengembalikan
eksistensi karya sastra Indonesia yang berfungsi untuk “dulce et utile” di
tengah maraknya budaya konsumerisme dan glamorisme. Harapan besar Kuntowijoyo
untuk karya sastra Inonesia yang akan terlahir kelak yaitu dapat
merepresentasikan nilai-nilai kenabian, yang meliputi amar ma’ruf (humanisme),
nahi munkar (liberasi), dan tu’minu billah (transendensi). Ketiga unsur itu
harus menyelimuti karya sastra Indonesia yang keberadaannya saling mengisi satu
sama lain, seperti badan dengan ruh, bukan malah berdiri sendri-sendiri.
Petunjuk
yang diberikan oleh Kuntowijoyo tentang gambaran etika sastra profetik yang
ditawarkan bertumpu pada dua hal. Menurutnya, sastra profetik itu harus ditulis
dari dalam dan dari bawah. Maksudnya menulis dari dalam yaitu sastra profetik
hendaknya peristiwa-perstiwa dipahami sebagaimana tokoh-tokohnya memahami
dunianya sendiri dalam cerita. Pengarang harus bisa membiarkan tokoh-tokoh
imajinernya mereaksi peristiwa-peristiwanya sendiri. Dengan kata lain,
“ke-aku-an” tokoh imajiner yang berfikir, berbicara, dan berbuat. Jika tokoh
imajiner itu orang sederhana maka pikiran, perkataan, dan perbuatannya juga
harus sederhana. Dengan demikian, nilai-nilai yang dimunculkan pengarang tidak
akan mengabdi pada ide atau gagasan subjektifnya, melainkan nilai-nilai yang
muncul benar-benar terkesan murni dan alami melalui gambaran karakter, konflik,
dan beban peristiwa dalam pribadi tokoh imajinernya.
Menulis
sastra dari bawah maksudnya pengarang tidak berangkat dari teori dan konsep
etika profetik, melainkan pengarang hanya dituntut untuk konsisten dalam
pelukisan ceritanya dan koheren dengan tema serta plotnya. Dengan kata lain,
pengarang hanya menuliskan apa yang ada dalam pikiran dan apa yang dibisikan
oleh hati nurani secara runtut yang bersumber dari realitas kehidupan yang ada.
Sebagai
contoh, dalam “Maklumat Sastra Profetik”, Kuntowijoyo membongkar esensi
beberapa karyanya agar dapat diteladani oleh pembaca dan sastrawan muda, baik
sebagai jembatan pemahaman atas karya maupun sebagai usaha mengembalikan
kualitas sastra Indonesia. Paling tidak, ada satu isyarat, membuat cerita itu
hendaknya seperti “saya” (Kuntowijoyo). Ada nilai-nilai yang disisipkan dan
ceritanya mengalir tanpa kesan menggurui atau mengabdi pada ide subjektif
pengarang. Biarkan ide subjektif pengarang itu implisit dan lebur dalam tokoh imajiner.
Beberapa
karya yang telah dikuliti oleh Kuntowijoyo dalam “Maklumat Sastra Profetik”
yaitu “Mantra Penjinak Ular”, Warsipin & Satinah”, “Sepotong Kayu untuk
Tuhan”, “Khotbah di atas Bukit”, “Suluk Awang Uwung”, “Makrifat Daun, Daun
Makrifat”, “Topeng Kayu”, “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”, dan “Gerobak Itu
Berhenti di Muka Rumah”. Tindakan pengulitan ini tidak sampai menggores daging
cerita. Kuntowijoyo hanya menyayat sedikit kulit ari karyanya. Namun hal itu
sudah dapat memberi gambaran umum tentang esensi karyanya.
Dalam
“Mantra Penjinak Ular”, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa penolakan yang dilakukan
oleh seorang buruh rendahan di kecamat untuk menjadi pegawai yang lebih tinggi
karena ia tidak ingin menjadi mesin politik dan objektivitas oleh negara. Ia
ingin menjadi pribadi yang utuh dan menolak dehumanisasi modern. Tokoh lain,
yang membuang ular, memutus mata-rantai mantra penjinak ular, dan tidak memakai
sesaji saat mendalang merupakan wujud penolakan terhadap dehumanisasi
tradisional. Ia juga menjelaskan bahwa semua tokoh imajiner dalam karya ini
tidak pernah tahu-menahu masalah objektivitas modern dan tradisional, padahal
objektivitas itulah yang menjadi tema dalam novel itu. Para tokoh hanya
bereaksi sewajarnya atas peristiwa yang dihadapi.
Dalam
novel “Warsipin & Satinah”, Kuntowijoyo menguraikan bahwa tema utamanya
yaitu marjinalisasi umat Isalam yang dilambangkan melalui penyishan imam surau
(Pak Modin) dari Pilkades karena dituduh sebagai anggota PKI. Pak Modin
akhirnya dipermak daam penjara. Sementara itu, rekayasa politik yang
digambarkan melalui tuduhan atas Warsipin yang macam-macam dan akhirnya
berujung pada tuduhan menyiapkan pemberontakan. Dalam novel ini, tokoh-tokoh
dan para nelayan tidak pernah memahami bahwa mereka sedang menghadapi
penindasan negara yang bernama marjinalisasi umat Islam. Mereka hanya tahu
sedang berhadapan dengan Muspika, polisi, pengadilan, dan penjara, tetapi tidak
pernah tahu bahwa mereka menghadapi negara yang otoriter.
Kuntowijoyo
telah menjelaskan bahwa tema transendensi juga menjadi pondasi utama dalam
cerpen “Sepotong Kayu untuk Tuhan”. Dalam novel ini dikisahkan bahwa seorang
lelaki tua dengan susah payah menebang pohon dan mendorongnya ke sungai untuk
sumbangan pembangunan surau. Kayu itu diletakkan di tepi sungai, akan tetapi
banjir membawa pergi kayunya dan ia gagal menyumbang. Nilai yang terdapat di
dalamnya yaitu nilai sufisme yang berupa keikhlasan dalam beribadah kepada
Tuhan, bukan soal sampai atau tidaknya kayu itu untuk disumbangkan.
Dalam
novel “Khotbah di atas Bukit”, Kuntowijoyo menegaskan bahwa karya tersebut
mengangkat tema transendensi non-teistik yang bersifat a statment of intent,
dan bukannya a statment of position, karena ia cenderung pada transendensi
teistik Islam. Puisi “Suluk Awang Uwung”, menurutnya bersifat transendensi
teistik jawa-Islam. Sedangkan dalam puisi “Makrifat Daun, Daun Makrifat”, karya
ini menurutnya jelas-jelas murni transendensi Islam.
Kuntowijoyo
juga menegaskan bahwa semua karyanya adalah transendensi, karena ia menganggap
hidup ini sebagai misteri yang mengagumkan. Akan tetapi berdasarkan pada uraian
sebelumnya, ketransendensian karya itu tidak terikat atau mengabdi pada ide
subjektif pengarang, karena Kuntowijoyo selalu menjauh dari tokoh-tokoh imajinernya
sehingga ide subjektif pengarang bersifat implisit dan alami. Inilah yang
disebut menulis dari dalam.
Selain
itu, Kuntowijoyo juga menyatakan secara mutlak bahwa hampir semua karyanya
ditulis dari bawah. Karya-karya itu ditulis bukan berpatokan pada konsep
teoretis, melainkan menuliskan segala sesuatu yang muncul dalam hati dan
pikiran yang berangkat dari realitas yang serba sederhana, yaitu kekaguman atas
“misteri kehidupan”. Realitas sederhana itulah pada giliranya akan berposisi
sebagai pengalaman. Seperti novel “Pasar” yang diilhami dengan adanya perubahan
sosial dari pasar tradisional menjadi pasar modern, novel “Warsipin &
Satinah” diilhami dari peristiwa tahun 1978 tentang pencidukan dua orang warga
desa oleh tentara yang dituduh akan mendirikan negara Islam, cerpen
“Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” diilhami dari adanya adat menjaga kuburan baru
selama tujuh hari untuk orang yang meninggal hari Selasa Kliwon di Yogyakarta
pada tahun 1990.
Kuntowijoyo
menjelaskan bahwa karya sastra itu strukturalisasi dari pengalaman, imajinasi,
dan nilai. Akan tetapi, dari ketiga unsur tersebut yang kerap terlupakan oleh
pengarang yaitu nilai. Pengarang terkadang terlalu menggebu dengan ide nilai
yang ingin disisipkan sehingga terkesan tidak alami dan menggurui. Pengarang
kadang pula lupa menyisipkan nilai sehingga timbullah karya ngepop. Minimnya
nilai dalam karya sastra mampu mengurangi kualitas karya. Untuk mengantisipasi
fenomena tersebut, perlu adanya keseimbangan dalam menyisipkan nilai-nilai.
Sekali
lagi, tujuan utama ditulisnya “Maklumat Sastra Profetik” oleh Kuntowijoyo ini
untuk menjembatani pemahaman pembaca atas karya-karya Kuntowijoyo dan untuk
meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia, supaya sastra lebih berperan
dalam masyarakat. Kini artikel itu hadir dalam bentuk buku terbitan Grafindo
Litera Media Yogyakarta yang dilengkap dengan lampiran karya-karya yang dikupas
sendiri oleh Kuntowijoyo dalam maklumat tersebut. Dengan demikian, pembaca
tidak hanya mendapat gambaran kulit ari melainkan dapat mendalami esensi karya
sendir.
**
6
Oktober 2014, Lamongan, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar