Rabu, Juli 11, 2012

Pendidikan; Prospek Pembentuk Karakter Budaya *

Nurel Javissyarqi **
http://sastra-indonesia.com/

Bismillahirrohmanirrohim, saya awali makalah ini. Sebelumnya maaf pengantarnya panjang, lantaran saya perlu sesuaikan tema yang sudah tertandai. Anggaplah sebab musababnya materi kan tersampaikan atau asbabul wurud, demi dapati pijakan realitas kata-kata nan terwedar. Kebetulan saya tengah hijrah di bumi Reog, memang tak jauh dari tanah kelahiran Lamongan yang kini terpijak, ibu pertiwi jiwa-raga ini. Tetapi bagaimana pun suasana hijrah taklah menyenangkan, ada rindu mungkin sedalam kerinduan para muhajir ke tanah suci, seperti mendamba surga di bawah telapak kaki ibu.

Hal mengharukan, peroleh angin dari dataran dulunya tempat bermain; adakah ini berkah hukum jarak waktu berselisih? Setidaknya, sebelum hijrah hanya peroleh undangan seminar di luar kota, bagi saya ini luar biasa atau diluar kebiasaan, apalagi bertema "Guru Profesional Pembentuk Karakter Generasi Anak Bangsa." Yang jelas jauh dari pengalaman sejak belia, dimana baru mengerti abjad kelas V Ibtidaiyah, serta membenci orang-orang yang tekun belajar. Hanya saja, saya diselamatkan wejangan sang guru masa itu, "jika ingin peroleh ilmu manfaat, hormati guru dan buku," tersebut baru sadar pentingnya baca di bangku kelas II Aliyah, pun masih saya pelajari dengan pola tak lepas dari gejolak pencarian jati diri.

Yang tersanjung sekaligus grogi disematkan di belakang nama saya, ‘penyair dan budayawan Lamongan,’ di sebelah narasumber lain yang titel kesarjanaannya rangkap-rangkap, lalu ada bisikan, 'gitu saja kok repot.' Saya diingatkan petuah santri Gebang Tinatar, Tegalsari, Jetis, Ponorogo, santrinya Kyai Ageng Hasan Besari; H.O.S. Cokroaminoto; "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat." Lalu teringat keilmuan para santri Mbah Hasan Besari lainnya, Pakubuwono II, pujangga R. Ng. Ronggowarsito. Ini menegur saya sebelas tahun lewat sempat berkelana di Tegalsari, kini pun bernafas di bekas daerah kerajaan Lodaya, dengan raja Prabu Singobarong bersama Iderkala tempo dulunya.

Dan terngiang makolah Ki Hajar Dewantara, "Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani," kurang-lebih tafsirannya: "Jadi seorang pemimpin kudu sanggup memberi suri tauladan orang-orang sekitarnya. Seorang ditengah kesibukannya, patut membangkitkan kemauan lingkungan. Yang mengikuti, harus memberi dorongan moral semangat bekerja." Lantas, apa masih ada nafasan ruh bebulir mutiaranya? Kita sengaja, setengahnya, abai terhadap pencetus gugusan bintang di bencah sendiri, terpukau wacana kekinian, entah dari bebangsa Barat atau para tokoh yang belum teruji dalam kehidupannya?

Para imam serta iman melekat di dada kita, tidak tersekat datangnya ilmu dari mana, asal ruhaniahnya bersambung kesadaran beribadah. Sepaham al Kindi dan para ulama' tempo dulu, tidak segan belajar pada pengetahuan bangsa Yunani, tentu patut mengoreksi atas kemerosotannya kini, seakan diambil alih bebangsa berwatak militan terhadap nilai kebudayaannya sendiri, misalkan Jepang. Nusantara kini sekakek-nenek berpakaian necis kemrompyang perhiasannya, tidak sadar datangnya senja, kekayaan negara dirampok habis-habisan dibawa keluar, kaum pribumi tak kalah menggasak apa saja yang tak mendatangkan manfaat di pekuburannya. Ini dapat dibuktikan di lembaga-lembaga pertaniah, pendidikan, pemerintahan dst, yang tidak pantas disandingkan Dasar Negara, "Kemanusiaan yang adil dan beradab?" Namun saya yakin, ada sekuntum kembang teratai di rawa-rawa!

Pemandangan di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah, Siman, Sekaran, Lamongan, tak asing bagi saya. Setidaknya tujuh tahun silam menyebarkan buku-buku stensilan karya sendiri di sini, peristiwa itu mendatangkan kepengen berbicara seperti sekarang. Perasaan kesemsem ini hampir persis kala mendapati buku musik di toko loakan Jalan Semarang, kota Surabaya, yang terstempel perpustakaan pribadi Setya Yuwana Sudikan (mungkin ada pencuri dari rak-nya, buku itu sering saya ambil referensi beberapa bulan ini untuk menganalisa esainya Ignas Kleden), yang menjadi ingin berjumpa, dan rasanya keberuntungan bertemu di STKIP PGRI Ponorogo sedang memberi kuliah tamu. Membuat berhasrat mengikuti kuliahnya, tapi dia bilang sungkan, mungkin karena melihat saya mengisi waktu menantinya di depan mahasiswa. Lalu saya keluar ruangan untuk menghormatinya.
***

Kebetulan saya bawa Kitab Minhajul 'Abidin, karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, saya petik saja pendapatnya bagi pijakan pemikiran: "Ibadah merupakan buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat, bekal berharga dari para aulia, jalan nan ditempuh kaum bertaqwa, bagian bagi mereka yang mulia, tujuan bagi orang bercita-cita menggelora, syiar golongan terhormat, pencariannya orang-orang mukmin, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga."

‎’Ibadah merupakan buah dari ilmu.’ Pendidikan kita kerap menekankan hafalan, definisi atau kulit luar sampai kemandekan tertentu membuat malas mengetahui makna luas, memahami maksud tujuannya, jadilah senandung merdu tapi terlepas ruhaniah kerjanya. Istilah Jawa-nya hanya tahu Qur'an garing, dan kurang mengetahui Qur'an teles, lincah mengurai kata-kata, tapi tak meresap ke jantung kesadaran hayati, itu tantangan berat sekaligus payah. Mungkin maksud sang guru, lewat hafalan kan merembes jika didzikirkan di tengah kembara, tapi kala pencarian ilmu hanya ditujukan materi kedudukan semata, fatallah di hari kemudiannya.

Kala mendengar khotbah, khatib selalu mewanti-wanti meningkatkan iman dan taqwa, tapi bagaimana jika tiada tantangan pendewasaan, tanjakan memeras keringat-otak. Olehnya hidup merupakan ujian, setiap goda rayuan tipu daya kebodohan diri pun perangai luar, pantas ditelisik berulang, yang luput kembali ke rel keselamatan. Di sini mutu terwujud tempaan berkali-kali; kesabaran, ketekunan, keinsyafan, ketundukan dan selalu perbaharui syahadat, dari rupa-rupa syikir terhadap benda, patung-patung para tokoh, paham berseberangan, demi iktikat luhur bermuwajjahah kepada-Nya.

Saat ilmu sepohon kehidupan, akar-akarnya kehendak pencarian sumber mata air hayati, mencecapi saripati di dasar bumi, merawat ruh di antara bencah tanah-udara sekeliling keberadaannya, batang menegak ke atas, dahan cecabang menjulur digoyang angin merindangkan pengembara, daun-daun kering terjatuh menjelmah humus. Siklus ini menerus kekuncup kembang bermekaran, terjadilah bebuahan manis pula pahit, yang kurang berwibawa digariskan tak menghasilkan buah, sebagian diberi ketahanan batang melewati pergantian musim perubahan jaman, tapi parahnya berbuah busuk dimakan ulat kebinasaan. Olehnya langkah keliru patut diluruskan, lalu lebih mewaspadai jalan-jalan nafasan ruh demi rahmat sekalian alam.

Para ulama' tempo dulu dalam irama sama berpendapat, 'ilmu hanya bisa diperoleh dengan keterbatasan, dan berpayah-payah,' seakar pepohon berketekunannya menyibak pori-pori bebatu pegunungan paling keras, laksana tetesan air melubagi batu besar bercekungan, selain senandungkan suara merdu di atas watak keistiqomahan tetes demi tetes, membaca sampai terkantuk-kantuk pahami keilmuan. Bahasa saya, menghajar diri sendiri sebelum memberi pelajaran, memaksa kedirian mencintai kitab-kitab kandungan ilmu pengetahuan, menyerap limpahan isi, mengamalkan sekiranya kuat melaksanakan. Ini berulang sebolak-baliknya hati naik-turunya iman oleh perihal melingkupi dalam mematangkan mental, agar kelak hanya tertunduk terhadap kebenaran.

Kedua, ‘ilmu berfaedah dari umur’ yang terus memakan usia kian terkikis bak lintasan angin mengajak kembarai mega-mega takdir, tak tahu kapan terjadinya hujan, tersumbatnya uap tiada gemawan, meranggasnya kemarau, ini berputar bersama gesekan musim perubahan. Antara itu, ingatan, teguran, hardikan serta elusan tipis, memberi siratan bagi terjaga, mawas umur bertambah. Dan manfaat bacaan itu mengekang, menimbang, mengolah, pencegahan, jika terlepas kembali meski tertatih menuju jalur kebahagiaan.

Kita bersilaturahmi kepada orang-orang berilmu untuk meminta saran, wajah para beliau sumringah mengucurkan berkah manfaat, suguhkan faedah pada diri sendiri pula sesamanya. Setiap yang datang pelajaran, dan melintasi wewarna pemikiran peroleh manfaat kesejahteraan merambahi penghayatan, menyebarkan benih pepadian, tidak rela mati sebelum mengenyangkan lambung pengertian, sebatang pohon pisang tidak rela ditebang membusuk sedurung menumbuhkan tandanan pisang. Pohon faedah menyerupai ondak-ondakan tangga menjulang menerobos sab-sab langit, menujah lapisan bumi menemui inti; hati yang menjangkau kepada-Nya.

Ilmu berfaedah bagi umur, yang merupakan rentangan waktu, jatah tempo, lencung adanya titik klimak, perjanjian di alam ruh atas lamanya kembarai bumi. Atau kesepakatan tak terlihat tapi kudu ditepati, ini hadirkan waswas, kesiapan, menanti jemputan maut. Putaran waktu terkadang lamban, di sisi terasa cepat, bergelayut lena, di pinggiran kecurigaan; menempati penelitian bagi menghayati sesalan, haru, cemburu. Pada gilirannya pekerti menjelma percikan pengertian, mengunyah sedalam kesadaran hakiki, sehingga kekecewaan bisa ditanggulangi, tidak parah ke jurang kemurungan.

Tanpa ilmu, umur sekadar permainan, tapi di batas tertentu sandiwara hidup menempati keilmuan bagi memikirkan, pikiran itu pengendali kesadaran. Atau dengan sadar menemukan bentuk kesepakatan, seperti pembuatan tanggul kincir air, arus sungai dialirkan ke ladang, waktu menyusuri malam-siang. Kata ‘faedah’ itu sesuatu yang menempel pun bisa berpindah secahaya menerangi ruangan pula menerobos lubang kunci. Faedah, dapat diresapi dengan penerimaan tulus, sebentar paksaan, hardikan di atas ketentuan. Serupa ketetapan, setiap hubungan tak lebih timbangan yang naik-turun dipengaruhi pembawanya.

Ketiga ‘hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat.’ Tanpa kesungguhan membaja, para ulama’ tak mungkin menulis puluhan buku, ratusan kitab, ribuan bulir pemikiran yang tiap babnya tak hanya menawan juga menyanggupi nalar-nalar bersuntuk menyimak. Berapa waktu beliau pergunakan mencipta lelembar penghayatan? Padahal masanya di batas peperangan, minimnya lampu penerang, tapi berpenuh seluruh teresapi diri kepada rentangan kembara. Pertemuan sesama pencari, ketawadhu'an tanpa pamrih, melampaui terangnya lampu sorot alun-alun. Para beliau pembawa lentera abadi bagi generasi selanjutnya yang tak padam lantaran keikhlasan.

Para beliau menerangi malam menyalakan siang, menahan haus lapar, tapi betapa segar jiwanya oleh keyakinan hari balasan. Di jaman keemasan Islam, tak sekadar memegahkan bangunan masjid, juga perpustakaan bersegala kegiatan penerjemahan, menelitian sedari lelintasan temuan di belahan berbeda di muka bumi. Berkumpul membahas capaian-capaian agung serta pergeseran terjadi dimasanya, tidak disibukan kebutuhan pribadi, tapi kemaslahatan umat oleh panji-panji keimanan. Ini bertolak belakang dari sekarang, tiap informasi tak disaring kritis, alat-alat komunikasi membuat terlena menghilangkan waktu permenungan. Kemalasan membaca, sering bertanya tanpa tindakan lanjut, karakter keadaban luhung seakan berangsur-angsur lenyap dalam tiap pribadi mukmin.

Saya sering bayangkan kala melihat tiang-tiang masjid besar, dinding gedung pesantren bertingkat tapi sunyi penghuningan itu sebagiannya dibelanjakan untuk menerbitkan kitab-kitab klasik, menafsirkan pemikiran para ulama' dan merutinkan kajian keilmuan. Seyogyanya belajar pada burung-burung pandai berkicau lihai terbang, selain terampil mencipta sarang. Menggratiskan biaya pendidikan kepada murid dari kelurga miskin, memfasilitasi lebih yang berprestasi, memberi jam pelajaran tambahan. Di mana perangkat pendidikan tak memanjakan, namun memacu kreatifitas, tentunya keindahan itu dapat diciduk dari sumur pengetahuan, lelembar peradaban dari jaman keemasan.

Kelenjar itu bekerja baik jika merawat silaturahmi, saling menopang dari pemerintahan, perdagangan, pendidikan &st. Sesekali diperlukan kritikan pedas bagi bidang yang lalai tanggung jawab, sehingga melangkah cepat mengumandangkan syiar, gaungan ini sekadar mimpi jika pohon-pohon pendidikan tak disirami tirta nurani fitri. Dari para beliau mengaji bebulir pemikirannya, tak hanya jadi warisan berharga juga dinikmati sanubari umat. Di pundak pendidiklah teremban, pahlawan tanpa tanda saja, bukan menyogok untuk perolehan lebih tanpa memikirkan kemajuan anak didik.

Selanjutnya, ‘ilmu bekal berharga dari para aulia,’ sebab kedekatan para beliau kepada Allah Swt, dipercayai merintis jalan lurus di bumi, jalur menuju kebahagiaan. Karena hati para beliau disucikan, senantiasa mensuci dengan amalam mendekatkan diri, sampai gerak, pandangan, apapun atas ridho-Nya. Ketika mengungkap sesuatu, selaksa air mengalir berkebeningan, seluruh indera bersaksi bersegenap informasi masuk bak nyanyian, umpama penari mengikuti tabuhan gending Ilahi. Para sahabat mencatat lekuk kearifannya, dan pena mengalir betapa menderas melalui jalur kebenaran sudah tertandai dalam kitab suci, pikiran dituntun hatinya dibimbing cahaya Sang Maha Cahaya.

Selalu terjaga, dijaga kekasih-Nya dari merintangi dalam berkasih mesra, batinnya i'tikaf, jiwanya mengembarai alam-alam ciptaan-Nya, sukmanya keluar-masuk lelapisan langit-bumi, raganya ada menyendiri pula ada berbaur tapi tak tercederi kemurnian kasihnya dalam menyeluruh, sayangnya betapa menyentuh. Jalan aulia sepantasnya bagi landasan pendidikan demi mendewasakan iman, mengisi ruh berkeyakinan, tapak menuju kesenangan abadi membawa wajah-wajah berseri, kaki-kaki ringan bagai bocah girang mendamba ibundanya. Setiap yang datang-pergi menggesek perasaannya bergetar, memecah menaburi persendian jiwa sebintang ambyar mengisi ruang semesta raya.

Sebagai manusia pernah ditantang bebentuk keraguan, namun cepat-cepat mendekatkan diri memohon petunjuk kepada Sang Pemilik Jalan, beliau-beliau mendapati teguran kala lampaui kodrati, dipertemukan para kekasih di mimbar dzikir sekumpulan lebah mengambil madu kembang mengeluarkan zat penyembuhan. Untaian sholawat membumbung terbang laksana laron memanjat cahaya, sayap-sayap badaniahnya terlepas, tapi ruh menjumpai Pemilik Ruh. Tanpa para beliau, bumi gelap-gulita semuka malam tiada bebintang, maka tak layak jika tak mensyukuri kehadirannya. Mungkin tanpa para beliau, kita tak dilahirkan di atas bumi atau tidak dicipta sama sekali. Munajat harum dari bibirnya menuntun umat pada pengertian, memudahkan menyibak deduri rerumputan tajam, sampai mendapati taman kemenangan.

Kelima, ‘jalan nan ditempuh kaum bertaqwa.’ Rasanya saya tak pantas menuangkan kata-kata di lembar makalah ini dengan merujuk pemikiran Imam al Ghazali. Di depan mata seakan tampak api menyala-nyala siap melumat dosa-dosa saya, semoga dengan bersujud kepada-Nya, nyala membara segera sirna, atau dingin perangainya sesejuk keridhoan-Nya. Ini berliku jika hendak menuju jalan lurus kebenaran, ada memutari badan gunung ke ketinggiannya, sebelum mencapai taman bunga. Laluan licin mendaki, menanjaki tebing curam, berjumpa makhluk-makhluk buas, bekalnya ketaqwaan tulus. Betapa hawa ketinggian sanggup menulikan telinga, mengaburkan pandangan oleh kabut padat uap belerang. Dan tak sampai kecuali atas izin-Nya, berkat kasih sayang-Nya melampaui murka-Nya.

Keenam, ‘ilmu, bagian bagi mereka yang mulia;’ kemuliaanya turun-temurun, keutamaannya mencahayai, kecuali menolak kedatangannya. Para mendidik dihiasi ketampanan ilmu, parasnya dicantikkan ilmu, para pencari dinaungi sayap-sayap malaikat membentang dari ufuk timur hingga barat. Dedaun bertasbih menyaksikan lelangkahnya, atas ilmu kebahagiaan dapat diraih di dunia pula akhirat. Ilmu perhiasan berharga, perbendaharaan tak habis ditimba, dengan kepasrahan menderas menentramkan pemiliknya. Harta tak dapat dicuri itu ilmu, dengan sembunyi selaksa diperkenan mendengar syairnya; barangsiapa kikir ilmu, disempitkan dadanya sedari kegembiraan berlimpah. Ilmu mendatangkan rizki juga menyalurkannya, mengurangi marabahaya, menanggulangi langkah celaka. Dalam keilmuan terkandung kelezatan yang menghendaki jalan suci menuju kehadirat Ilahi.

Ialah bagian hidup kaum mulia, sedang wewarna jasadi tak tentu sembada. Namun sepapan dialog, cara bercanda, menghiasi diri memudahkan laluan rumit, sebagai jamu sehat, kecuali yang melampaui kodratnya; tetesan air hikmah itu telah ditakar Sang Maha Kuasa. Ialah pasangan hidup pula syarat mendapati keturunan baik, ilmu itu pokok musabab, tanpanya kesulitan takkan teratasi. Dapat pula berlaku balik, karenanya kebejatan mudah dilaksanakan, penunjuk jalan lurus juga bercabang serta berliku, hanya nasib baik / buruk menentukan langkahnya. Ilmu membuat kagum sesama, dan bisa kendalikan pikiran lingkungannya (mengetahui yang dibutuhkan), lalu menjadi raja meski tak bermahkota, lantaran di dalamnya terkandung kekuatan, kewibawaan, kejayaan yang sanggup mengurung bagai benteng kerajaan.

Ketuju, ‘tujuan bagi orang bercita-cita menggelora;’ awalnya belajar, lalu temukan perihal luar biasa, indahnya membaca, lezatnya paham, nikmatnya menganalisa. Sebab menyenangkan batin gembirakan jiwa, diulang-ulang hingga menemukan sesudut pandang berkilauan, sukmanya gemetar, ruh keluar-masuk bercampur membuai, di sini rasa ketagikan meminta jatah. Bermula penasaran dan pertanyaan; apa, bagaimana, kenapa? Kemudian pemilahan tempat-waktu, kesuntukan, ketundukan, kehusyukan, menyetiai; pemberontakan, perjuangan, gairah tak habis-habisnya melapangkan jalan, mencipta jalur sesuai karakter empunya. Karenanya, jiwa pembawanya senantiasa muda, lantaran tahu hukum masa mengabadikannya. Darinya, sketsa alam dijangkau indera terdekat, pemampu memendek-panjangkan jarak, meringkas-mengurai terbang sesuka pemiliknya, tentu tidak lepas seberapa tetesan air hikmah jatuh dari jari kekuasaan-Nya.

Keanggunannya lebihi candu, sanggup menarik harta paling bernilai; waktu, usia, kesempatan, tak sekadar menggadaikan juga pertukaran meski merugi, hakikatnya tiada kerugian dalam perdagangan dengan ilmu. Telah banyak bangsawan, para pedagang mengurbankan miliknya demi meraih untaian kemewahannya, namun diberkahi kebangsawanan serta kejayaan jiwa. Di antara itu dengan memegang tongkatnya, mampu mengembalikan yang pernah sirna, pun kenyataannya; ia sabda-sabda melampaui masa, bulir mutiaranya membahayai kesewenang-wenangan, tiran. Dan meski dibakar lelembarannya, hakikannya kembali, sejauh penerusnya bertabah telusuri jalanan sunyi, dimana para pendahulu pernah melalui.

Kepribadiannya dikjaya menanamkan kepercayaan dan keyakinan diri pencarinya. Karena inti hidup sudah bersemayam dalam pengejawantahan, para pembawanya tak gentar melintasi batas negara, batasan nalar pun batas-batas keimanan, seakan dituntun meski penuh pergolayakan. Adanya setarik-menarik energi semesta di dirinya, sebentuk peleburan gula dipanasi bersama air dalam panci, diaduk sejenis membikin kembang gula, bertambah mengental manis atas pusaran masalah bergerak cepat. Keadaan itu menyadari sunatullah berlaku, juga hubungan dengan alam raya lebih luas. Kesungguhan mencari menyentuh dinding kodrati, dan betapa mengerahkan seluruh tenaga menyadari kelemahan manusiawi. Dari sana menemukan pandangan, jadi pelajaran berharga pengembaraan menggelora.

Kedelapan, syiar golongan terhormat, ini upah sepadan yang diperjuangkan, diantaranya berontak kepada penjajahan, bergerilya di medan tempur sebelum berjuang terang-terangan, setelah cukup dirasai sanggup kuasai tanah-waktu perjanjian yang telah dijanjikan. Kehormatan ini tak dicarinya, sebagaimana tidak memilih 'nasib buruk' pernah menimpanya; mula kesadaran lalu menimbang, meramu menjadi kukuh bertahan, atau hampir semua dihitung, sehingga tidak berpribadi pangling oleh kejutan perubahan. Tulisan ini ruhaniah judul yang bisa diudar menguraikan nilai pengajaran, membentuk kepribadian umat atas kesadaran inti yang dibetot dari akar niat, untuk ditanam di ladang lain, tentu sudah mempelajari kebutuhan tanaman serta tanahnya, agar tumbuh subur sesuai harapan.

Para beliau dalam perkumpulan masing-masing sesuai bidang ditekuni, ada dipayungi plakat, ada pengembara tak terikat identitas. Tahap tingkatannya begitu dalam sealur kedalaman pencarian, dan Tuhan Swt pertemukan sesuai gelombangnya, meski sebagian terpental keluar atau sedikit bergayuh seirama ombak pencarian luhur. Lebih terang kesungguhan, kekhusyukan bisa dirasai yang sama mengalami. Dari itu menjadi pelajaran naiknya tingkatan menginsyafi seberapa barunya kembara, jelasnya tak terikat kedudukan pandangan indrawi, namun lebih derajat batin temuan yang dilewatinya. Bahasa lain, mereka petarung di hutan belantara misteri alam raya, sudah jauh lelangkahnya sedari gua pertapaan. Hanyalah sekali tempo teringat datang sebentar di tanah permenungan, jika mengalami goyah. Tapi lekas keluar menuju ramainya pasar peradaban, untuk menguji jurus-jurus terbaru mematangkan sesuai hukum nan tengah disibaknya.

Kesembilan, pencariannya orang-orang mukmin. Padanya ilmu tak sekadar jalan pengetahuan, penglihatan hukum disaksikan, pandangan di alam pemikiran, juga laku pencarian dengan kaki realitas, di sinilah nalar turun sebagai hijab, yang sebelumnya terus mengikuti jalur penelusuran. Dengan pelbagai ilmu pengetahuan, hati sudah tercetak, telah disucikan memancarkan permenungan lama, akar-akar kian halus menembus pori-pori bebatu. Langkahnya laksana kilat, semacam pecahan cahaya tertabur di udara, wewarna dan titik-titik terjadi sejarak bintang-gemintang berdaya tarik sesuai ketentuan. Lalu dari pancangannya hati membaca, langkah memahami lewat uraian menandai capaian, sungai mengalir melewati cela-cela batu, mengangkut ranting, dedaun kering, hanyut tak melampaui tradisi alam hukum Tuhan, dimana jikalau berbentuk ujaran-ujaran bagi bekal pencari kebenaran.

Karena ilmu mendatangkan bahagia, mengundang kemenangan, menarik kejayaan dunia-akhirat. Maka para beliau tak gusar menumpas keraguan, memukul kejahiliaan, mengangkat cahaya menyinari sekeliling, dan tidak takabur oleh kebaikan-keburukan datang dari Sang Maha Kuasa, tentu melalui pintu pertaubatan, pensucian diri berulang, istikomah dalam kepasrahan, keikhlasan. Penulis hanya berteguh niat, marilah berdoa agar kita mencapai jalan ke sana. Pada derajat ini ilmu tak sekadar nikmat badani, lezat ruhani, bacaan dijadikannya amalam menerus dalam pembelajaran, olah karena kita tak mungkin sempurna. Maka, bukalah pintu lebar-lebar, bentangkan ruang tamu lapang, suguhkan rasa hormat, dan menerima yang pahit, salah satu jalan ternikmat dirasai.

Sepuluh, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar. Ini hadir oleh mengetahui jalan-jalan, disamping tahu ketentuan-ketetapannya memungkinkan langkah menuju pandangan benar. Iramanya terkadang dipercepat, dipelankan, dipotong melintas memandang sorot lampu ilmu pengetahuan. Ini dialog batin terdalam di antara pandangan mata, terlebih dekat dari urat leher sendiri; detakan nadi, deraian jantung, mata lurus ke letak bersudut, hati punjernya arah. Tetapi begitu, medan yang ditempuh tak mudah meski telah ketahui, tanjakan, menurun, licin, sudut cadas meruncing, mudah rumpil menjatuhan ingatan. Kiranya kehati-hatian, kewaspadaan, mengulang-ulang niat kesucian tertanam dalam agar hujamannya mendalam. Jika digambarkan lalui cela sempit di antara tebing curam dikejar srigala hitam, tapi dengan kemantapan tekat, keyakinan bulat, sebilah keris berlekuk iman, setelunjuk bersyahadat dalam kesaksian.

Sebelum temukan ini, batin digusarkan angin keragu-raguan, waswas tidak tenangkan segala gerak, lambang tak tertangkap, dibingungkan arah, buyar pandangan mata, lubang telinga buntu, tak terasa selain kebingungan memuncak. Namun dengan telaten mengudar benang sengkarut, mengurai jalinan rumit, mengulur menemukan ketentuan menggembirakan, yang tidak tercapai kecuali atas kehendak Allah Swt. Serasa nafas senjakala mematangkan iman pada selimut petang menaburkan ketentraman, desahan pekerti, hembusan angin dari taman kegembiraan. Aliran sungai mengalir jernih, enak diteguk tenggorokan kehausan, kedahagaan merindu manfaat tak hanya bagi diri-sesama, juga sekalian alam nan dirawat setiap kaum beriman.

Akhirnya mencapai urutan sebelas, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga. Maka sepatutnya para pendidik mencecapi ayat-ayat teles, di sisi ayat-ayat garing, ditempuh sungguh dihayati yakin, diimani mendarah daging dan ruh, sehingga bersambung kepada generasi-generasi mendatang. Dan pendidikan dimungkinkan membentuk karakter kebudayaan madani, pribadi umat nan tangguh sedari datangnya persinggungan, benturan kian keras pertempurannya di medan akhir jaman. Semoga ini permenungan tidak sebatas di sini, tetapi terus dipelajari di dalam diri, tiap gerak tak lepas ilmu pengetahuan yang diraih, kaidah-kaidah disinauhi mencapai gaung pujian kehadirat Ilahi Robbi.

Kamis kliwon, senjakala awal dan akhir Nisfu Sya'ban 1433 H,
5 Juli 2012, Indonesia, Ponorogo, Tanah Jawa.

*) Makalah Seminar Pendidikan di kampus STITAF, Siman, Sekaran, Lamongan, Jawa Timur. Tertanggal 15 Juli 2012.

**) Nurel Javissyarqi, pengelana asal Lamongan, beberapa bukunya; “Balada-balada Takdir Terlalu Dini, (2001)” Kumpulan Esai-(kebudayaan)-nya “Trilogi Kesadaran, (2006)” dan “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri,(2011)” Antologi Puisinya “Kitab Para Malaikat, (2007)” &ll. Pengelola Website www.sastra-indonesia.com dan www.pustakapujangga.com (Penerbitan buku PUstaka puJAngga). Sementara ini tinggal di lingkungan STKIP PGRI Ponorogo, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt