Rabu, Juli 04, 2012

SENYUM PUN BERKEMBANG

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

Baik, baik, lebih baik kita simak lebih lanjut, apakah pikir dan kegelisahan yang mencucuk-cucuk dada itu masih meninggalkan bekas, ataukah sudah sirna sama sekali. Jikalau sulit untuk dihapus, lebih baik kita sendiri yang menyembunyikan ke balik baju kaos, baju-dalam, ataupun sesuatu yang tersembunyi di sini.

Windarto yang kuhormati.
Kunjungan duabulan di desa, belumlah bisa dijadikan ukuran untuk mengenal betapa pepak dan nyamannya kehidupan di kawasan itu. Bersama dengan dua mahasiswa, Cuk dan Ririn, lampah kita memang seperti tertegun-tegun. Karena kita berdua tergolong sarjana ilmu sosial yang baru sebulan diwisuda (lagipula otak masih belum dingin dari penjejalan ilmu-ilmu yang kudu dihafalkan sampai ngelothok, terlebih teori-teori yang berdesing bagai baling-baling) – maka perjalanan ke Bukit Gumolong menjadi sesuatu nan agak sensasional. Cobalah pikirkan, Wien. Penelitian terhadap situs kesejarahan di kawasan itu adalah sebagai pelengap belaka. Karena tugas utama dari Prof. Sukahar adalah mengenai perkembangan pasar dalam masyarakat dusun terpencil itu.

Konon dalam liputan sebelumnya, pasar-pasar desa yang pernah ada di situ adalah milik seorang juragan berpengaruh, atau bahkan lurah yang bercokol turun-temurun. Keberadaan pasar hampir boleh dikatakan sebagai satu proyek klasika-tradisional yang mendukung ‘nilai wibawa utuh’ Sang Petinggi – istilah khas daerah itu untuk menyebut lurah – dan bukan didasarkan atas kepentingan ekonomi wargadesa bersangkutan. Orang berjual-beli seperti semacam basa-basi, karena bukan berpusat pada perputaran uang di lingkar kehidupan melainkan karena tuntutan budaya. Lebih bisa dikatakan, mereka masih saling bertukar barang dagangan dan bila terdapat selisih harga yang agak menyolok, barulah matauang bicara sebagai penambahnya, (seraya menebarkan keyakinan untuk ‘menyerbu’ benteng.)

Windarto yang penyabar.
“Selalu itu-itu saja yang diocehkan,” gerutumu bila aku berkata seperti yang barusan kusebut dalam surat ini. Mengapa kau enggan untuk mendengar tentang unikum suatu daerah, apalagi yang berkaitan dengan desa, obyek-studi yang kita pilih selama beberapa tahun ini? Wien, Bukit Gumolong telah menarik tangan kita, dan menyeret kita ke pelukannya. Katakanlah, aku membanyol. Tapi aku tegaskan, Wien, Ki Petinggi Jaladara sangat simpatik dan kendati usianya telah tujuhpuluhan, namun dia tergolong bersemangat, suka memberi kesempatan kerja kepada kaum muda, apalagi yang punya gagasan-gagasan segar. Tatkala masalah pasar itu kita pelajari, dari texbook milik Prof. Sukahar yang sampulnya birulangit itu, tertulis bahwa dua desa: Rejosari dan Rejowangi yang terletak di puncak bukit karang itu, dibangun oleh Ki Demang Wargatama, buyut dari Petinggi Jaladara. Untuk kedua desa yang dihuni kurang dari limaratus kepala keluarga. Demang mendudukkan kedua putranya, Jayengsari dan Jayengwangi sebagai pimpinan daerah diandalkan. Laku mendekatkan temali lonceng dalam wirama.

Peristiwa itu sudah tiga abad lewat, bahkan lebih. Waktu pelajaran anthropologi, pada kuliah senja-hari itu, mahaguru Sukahar mengatakan: “Suatu ketika, kalian harus melawat ke bekas Kademangan di atas bukit terjal yang berwarna coklat-muda itu. Niscaya kalian akan heran, bahwa sudah sekian puluh tahun, jaman seakan takpernah bergeser dari sirkelnya. Kedua petinggi itu telah lama tiada, wafat dalam sebuah pemberontakan kecil yang diletupkan oleh kawulanya sendiri, tersebab hanya oleh perkara kecil. Jayengsari mempersunting anak seorang petani miskin dari desa kulon sana, tapi dengan cara dilarikan, tanpa sepengetahuan ayahnya. Akibatnya terbit kekisruhan.

Paman dan saudara-saudara Gendhuk Sruni (nama wanita itu) menuntut bela. Mereka mengeroyok Petinggi Jayengsari, sewaktu beliau tengah berpesiar di atas keretanya yang bagus di Karangjati, arah tenggara dari Pasar Desa yang beriwayat. Beliau wafat, dan Petinggi Jayengwangi tak bisa menerima kenyataan ini. Beliau menghukum orang-orang desa yang melakukan aksi sepihak ini. Mereka yang dianggap terlibat dalam peristiwa itu ditangkap dan digiring beramai-ramai ke pasar. lalu hingga menjelang Maghrib, orang-orang kepercayaan lurah mendirikan dinding-dinding anyaman blarak yang disusupi ilalang kering, mengelilingi pasar itu, untuk kemudian dibakar. Hanya dalam tempo sejam, pasar telah rata dengan tanah. Yang aneh bin ajaib, Nak, wargadesa tak seorangpun yang keluar rumah untuk menyaksikan kobaran api. Malahan lebih mengherankan: tiada terdengar teriakan-teriakan kesakitan dari mereka yang di-pidana obong oleh petinggi yang kehilangan saudaranya itu. Tapi, Nak, tangan dendam takkan pernah merampungkan suatu ikhtiar.”

Prof. Sukahar berhenti sebentar, seperti mengumpulkan ingatannya. Keningnya berkerut, lalu dia berkata dengan suara datar: “Kalau Suryanto dan Windarto berniat ke Bukit Gumolong, aku akan gembira sekali. Karena kalian nampaknya sangat berbakat dalam penelitian-penelitian seputar anthropologi pedesaan. Setiap ujian yang kalian tempuh, baik lisan maupun tertulis dalam matakuliah yang bapak berikan, selalu memuaskan. Sungguh, saya berharap, Nak.” Ingatkah kau, Wien, bagaimana kita saling-pandang ketika itu? Ah, rasanya mongkog sekali diri ini. Belum pernah ada gurubesar memuji kita selantang itu. Lalu, pendekar ilmu yang tua itu mengelus sebentar rambut berombaknya yang telah beruban seluruhnya dan berkata lirih: “Kini, pasar itu mirip pekuburan yang sepi. Wargadesa turun-temurun takkan melupakan hal yang mengerikan itu. Petinggi Jaladara, sebagai keturunan Jayengsari, justru selalu berusaha, untuk menghapus dandam dan kebencian, sebudi-akalnya. Cerita-cerita rakyat seputar dusun, yang mengingatkan akan hikayat Gendhuk Sruni dan pembakaran dusun di ujung senjahari, dilarang untuk diceritakan kepada anakcucu. Tapi aku tetap bisa merasakan, bahwa perasaan-perasaan nan terpendam, sungguh pun telah tertutup debu zaman, sulit disirnakan. Dua desa itu, tak pernah bisa berdialog dalam tata-gaul wajar. Ada yang seperti mengganjal dalam batin, jikalau warga Rejosari dan Rejowangi ketemu di jalan.

Windarto, teman sekuliah dan seperjuangan.
Sore, sebulan, sebelum wisuda yang membahagiakan, kita sowan ke rumah Prof. Sukahar yang jauh di utara kota, pada kilometer sepuluh. Nampak sekali, sambutan hangat beliau. Rencana penelitian toh sudah dua minggu kusampaikan di Biro Penelitian, dan membuat sumringah wajah beliau. “Ananda,” ucapnya seraya mengisap pipa yang terbuat dari gading itu. “Jangan lupa, jika ananda ketemu dengan Ki Petinggi Jaladara, sampaikan salamku. Katakan pula padanya, bahwa aku tetap menjadi sebagian dari sejarahnya, Nak.” Dan semoga takkan lantak yang tertunda!

“Profesor, mengapa harus kami katakan demikian?” aku agak terkejut. Mungkin bukan kalimat itu sendiri, melainkan karena lagu kalimatnya yang bagai mendera sesuatu, bagai merobohkan batugunung laiknya. Kau mengerling hati-hati. Beliau membenahi kacamatanya yang melorot dan memperbaiki ucapannya. “Seperti dalam kitab Doctor Andrianus Rookluyv, yang mengadakan penelitian khusus seperempat abad silam, dengan rekomendasi dariku. Ia katakan, pergeseran nilai-nilai niscaya menyerbu dua-desa yang bertolak belakang itu, akhir-nantinya. Tapi memang dibutuhkan ujung-tombak yang lain, selain pimpinan tradisional yang beku dan tanpa inisiatif pembaharuan seperti itu. Paling tidak, seorang intelektual muda dan saguh merengkuh-rumengkuh lingkup dusun, dan berupaya membawanya pada kutub nan bebas, bukan tebing-tebing pertentangan yang membikin pertentangan antar-generasi dalam kurun waktu teramat panjang. Nah, ananda Suryanto dan Windarto! Pesanku, bila sampai di sana, ajaklah dua mahasiswa lain yang telah terbiasa hidup di desa kontraversial. Dengan menggunakan tenaga pemandu demikian, lancarlah tugasmu.”

“Sepatah lagi, Pak,” gumammu cepat. “Nampaknya Bapak memiliki keterkaitan emosional dengan lingkungan masyarakat Bukit Gumolong. Teori-teori yang Bapak sampaikan tentang desa tersebut, yang kami simak, menerbitkan kesimpulan bahwa titiktemu tak bisa dipautkan dalam waktu singkat. Kita musti memotivir desa kulon dan wetan terlebih dahulu, sebelum merukunkannya.”

Asap pipa Profesor melingkar melangit, dan dengan sedikit merenung, diucapkannya: “Ikatan emosional kapanpun, di manapun dan siapapun bisa tercipta, bila kita memiliki tanggapan tertentu tentang obyek nan digarap, Nak. Bukan sesuatu bayangan kabur yang tak menemukan bendungannya.” Maka, di kala kita berpamit malam itu, masih terasa oleh kita, bahwa Bukit Gumolong menyembunyikan misteri, tapi juga lebih tepat bila dikatakan: juga Profesor Sukahar tak menutup kemungkinan bertambahnya misteri di balik ini. Ah, Wien, belum pernah satu penelitian menjadi begini kompleks ramuan-reroncenya. Seolah antara obyek dan subyek hablur dalam adonan nan berbuih kental. (Andai pagi meraba perjalanan: Hidup pun tersapa.)

Sahabatku Windarto.
Aku sedikit heran, kenapa Cuk dan Ririn hanya setengah hati mengikuti proyek penelitian yang begini unik ini. Kalau benar dugaanku, bahwa keduanya memang berasal dari dusun Rejosari dan Rejowangi, yang justru ingin menyembunyikan segi-segi pertentangan abad-silam di kawasan tersebut, kenapa keduanya tak berterus-terang? Padahal, gurubesar kita telah mengikutkan keduanya dalam tugas ini, bahkan dengan uang-saku yang lumayan besarnya. Ririn menghilang, tatkala kita sampai pada susuran hutan bambu dekat Wijiluhur. Alasan yang dia katakan, hendak mencari Pakde-nya yang menjadi perabot desa di sana. Namun hingga Isya, tatkala kita berkumpul di rumah Kebayan Wulung untuk bershalat jamaah, dia belum juga kelihatan batang hidungnya. Cuk bikin alasan, hendak mandi di sungai Lingga! Penunggu warung di timur SD sana mengatakan, anak muda itu mandi-mandi di kali itu, untuk mengusir kegerahan tubuh. Tapi hanya sebentar. Setelah mandi (seperti belum pernah mandi sebebas itu sebelumnya) dia ngacir ke sebuah rumah penduduk, yang baru dikenalnya pagi itu. Entah Wien, apa yang akan kita temui di Bukit Gumolong, hingga begitu ganjil yang kita alami? Biarlah kita mematut-patut rasa kekinian.

“Tapi, aku telah menulis untuk Pak Sukahar, Sur. Hanya beberapa helai coretan tentang laporan perwatakan penduduk, dalam selayang-terbang. Kecurigaan yang tanpa alasan. Sikap mendua-hati. Keberingasan dan kurangnya sikap terbuka pada pendatang. Hmm, buku Dr. Andrianus Rookluyv belum lagi sampai pada senggolan detil. Wawasannya terlalu global.” Betapapun juga, suatu era baru berpanjikan musyawarah!

“Nanti dulu,” kataku seraya membuka tas yang telah menyimpan beberapa catatan selama sepuluh hari di Rejowangi. “Aku telah mewawancarai seorang Kebayan yang memiliki penambangan rakit di timur bengawan. Katanya, percuma untuk menciptakan titiktemu, bila diketahui, abad-abad berlangsung menikamkan belati persaingan, kebencian, gusar, terhadap desa tetangga. Lalu, dalam soal perkawinan. Pemuda desa Rejosari takkan diijinkan menikah dengan gadis Rejowangi, dan begitu pula sebaliknya. Pantangan ini jangan sampai dilanggar, bila tak ingin menerima kutukan dari langit. Ah, ah!” Kukira khasanah peradaban kesukuan adalah etis.

Giliranmu tertawa keras, Wien. Petinggi Jaladara adalah sesepuh kedua desa, dan pemilik pasar desa yang beriwayat itu. Anehnya, desa Rejowangi dan Rejosari punya Lurah-lurah cilik bergelar Kyai Bekel yang masih punya hubungan darah dengan Petinggi sesepuh itu. Tapi, kendati demikian, mereka jarang ber-sapa aruh satu sama lain. Pamali, katanya tegas.”

Kumasukkan kertas-kertas catatan berwarna merahjambu itu ke dalam tas. Malam itu, kita tak cepat tidur, di rumah Kebayan Rejowangi yang penuh nyamuk (karena dekat jendela benar, terdapat kolam-kolam ikan mujair dan ikan tambera, yang airnya tergenang dan penuh lumut. Sarungku terlalu pendek untuk bisa membungkus tubuh yang panjang ini). Untung, radio transistor yang diberi oleh Ita, pacarku, kendati cuma dua ban, ngiangnya cukup seru, siaran dari pemancar di ibukota kabupaten – tigapuluh kilo arah lorwetan perbukitan ini – sayup sampai ditangkapnya. Ngasolah, Wien.

Sahabatku yang periang.
Pak Wakijan, pensiunan penjaga Sekolah Dasar pertama Rejosari, pernah bercerita, sewaktu aku mencuci di sungai, selepas senam pagi. “Den Sur, mungkin anda lebih beruntung daripada peneliti-peneliti lainnya, sebelum ini. Soalnya dahulu, nyawa mereka sering jadi taruhannya. Sungguh, lho Den.” Aku tak begitu menanggapi kata-kata ganjil itu. Sambil terus mengucek celana jeans belel yang pudar warna birunya itu, aku berkata pelan: “Anu, Pak. Apa boleh buat. Kami hanya menjalankan amanat Pak Sukahar. Kami bagi-bagi tugas. Windarto di desa wetan, aku di desa kulon. Pekan berikutnya, bertukar lokasi. Tapi kami tak pernah membikin keributan apapun di desa-desa itu.” (Sungguh deraslah air merayapi setingkap kini.)

“Oya, ngomong-omong, siapa yang Den Dur sebut tadi?”
“Anu, Pak Sukahar. Lengkapnya Profesor Doktor Sukahar Danuwijoyo. Beliau gurubesar Anthropologi di Universitas kami. Pengabdi ilmu!” Ah, alangkah baiknya merangkul nyaman suri kebanggaan.

Pak Wakijan seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu, seperti pada dirisendiri, dia berbicara: “Den Sur. Aku pernah mengenal priyatun itu, berpuluh tahun silam. Ketika itu beliau masih remaja. Raden Mas Sukahar, putra bungsu dari Kanjeng Adipati Danuwijoyo di kabupaten Robayan.”

“Putra seorang bupati? Baru sekarang saya mendengar hal itu.” Tuhan mengurniai seorang pewaris ragam adat Jawa yang pertama, cekatan, dan cerdas. “Den Sur belum tahu agaknya. Waktu jaman revolusi dulu, keluarga Kanjeng itupun mengungsi ke Rejosari. Aneh juga, Den. Beliau, Kanjeng itu, adalah seorang yang berasal dari keturunan Gendhuk Sruni, walaupun dari pihak ibunya – artinya, dari perkawinan antara Jayengsari dengan perawan desa itu. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, ketika masih jaman penjajahan Belanda, soal seperti itu menjadi ‘duri dalam daging’. Mbah Kromorejo, kakekku sendiri dari desa Rejowangi, kurang menyukai keluarga Adipati itu. Kalau anak keturunannya menginjak kembali Bukit Gumolong, berarti tatu-tatu lawas akan kambuh, dan darah mengucur kembali. Aku khawatir, Den, hal itu berulang.” (Hulubalang menggapai selendang mimpi.)

“Bapak saksikan, pertumpahan darah berlangsung ulang?” tanyaku tak sabar. Aku waktu itu sudah biasa menyesuaikan diri dengan irama desa. Kalau mandi, aku telanjang bulat di Kali Pinjung sana. Kubiarkan mata gadis-gadis desa mengintipku dari sela-sela dedaunan pandanwangi di tebing tinggi sana. Kukira mereka tak salah intip, sahabat. Kulitku tergolong kuning langsat, bukan? Wargadesa sana menyukai jejaka-jejaka berkulit langsat. Ah, ini intermezzo, Bung. Seraya mendengarkan cerita Pak Wakijan, aku berenang-renang secara bebas (belum kuceritakan, aku sebenarnya nggak bisa berenang. Tak tahulah, kalau tiba-tiba tenggelam).

Berenang pura-pura, sembari beberapa kali merangkul batu, kusengaja memamerkan dada, punggung dan pantatku. Ah, ah, ah. Siapa tahu, jejaka ideal yang mereka impikan, mungkin aku termasuk di antaranya! Cihuuu! Nah, Pak Wakijan menyambung: “Den Mas Sukahar, tergolong berparas bagus, sering jadi bahan percakapan perawan-perawan sini, masa pengungsian dulu. Malahan, Pak Jagabaya hampir saja mengajukan permohonan ke hadapan Kanjeng Adipati Danuwijoyo, kalau boleh, izinkanlah anaknya, Wara Rukmini yang kebetulan ayu menik-menik itu, boleh “ngawula” sebagai isterinya. Wah, sampai begitu, Den!”

“Apakah Pak Sukahar sampai menikahi Rukmini itu, Pak?” (Sementara jelita makna kaulengkapkan mutakhir.)

“Sependengaran Bapak, nggak kelakon, Den. Lha wong kepriye, ta, sudah kedahuluan orang lain. Kalau tak salah, keluarga Juragan Marto-Glugu, putri sulungnya, Rara Inten, klakon dhaup dengan priyatun bagus dari kota itu. Kepriye maneh. Ia lebih ayu, lebih sugih, lebih luwes, dan rupanya, bisa mengambil hati keluarga Adipati yang sedang mengungsi di wilayah sini.” (Kala gumulun tetes-tetes perlawatan menemu perih.)

“Apa yang Bapak maksudkan dengan ‘pandai mengambil hati’?” (Sedang lakon yang kulakoni hendak menjulang jalang.)

Pak Wakijan melinting rokok kawung dan mengisapnya dalam-dalam. Baunya agak sengak bercampur ampeg. Aku terbatuk-batuk. Eh, baru teringat, aku masih telanjang bulat, persis bocah angon setempat, yang habis memandikan kerbaunya, lantas main wayangan suket teki sembari masih mbligung di sana. “Maaf saja, Den Sur, Bapak tak sanggup mengisahkannya untuk anda.” Dan dengan berkata demikian, dia meneruskan kerjanya, mencari rumput untuk ternak peliharaannya. Aku tertegun. Tak kuduga, Prof. Sukahar begitu dekat lelakon hidupnya dengan kawasan keramat di Bukit Gumolong. Tapi, sejauh manakah…? Karena, jalur-jalur menatap telapak matahari.

Sahabatku Windarto yang masih sabar membaca warkahku. Di pondok bambu, kita telah bisa mempertalikan dua-tiga dasar patron sebagai jejimat. Menginjak hari keduapuluh di Gumolong, kita menghadap Petinggi Jaladara. Dia sendiri menerima dalam busana kebesaran masasilam keluarganya. Baju hitam laken, dengan kancing-kancing emas yang membuat tubuhnya nan tinggi besar itu makin besus dan gagah. Kuyakin, dia masih berdarah ningrat. Matanya agak redup karena kelopaknya yang sering tertutup, di tengah suasana pembicaraan yang serius. Sikap hormatnya membuat kita temungkul hormat! Masa memandang himpit-hincit tandang.

“Cucu-cucuku tersayang dan terhormat. Kugembira dengan kedatangan kalian yang serba mendadak, tetapi telah berhasil menanamkan pengertian maha-dalam di kalangan orang-orang dusun sini. Tepatnya, kawula Rejosari dan Rejowangi, Nak.” Lalu dia menebarkan pandangan ke sekeliling. Setelah itu, melirik Bekel kedua dusun, yang masih muda-muda dan keduanya adalah tamatan STM di kota S., yang sepuluhtahun silam mencalonkan diri sebagai bekel, dan terpilih. Keduanya duduk bersila pada arah berlawanan, dan tak saling memandang. Tapi ketika mata Petinggi itu melihatnya, mereka sujud, hormat lugas, menyembahnya. “Bekel keduanya menceritakan, bahwa cucunda Suryanto telah melakonkan sebuah cerita kethoprak, yang malam Minggu lalu dipentaskan di Balaidesa Rejowangi. Lakonnya adalah “Roncen Adon-Adon”, semirip lakon alap-alap Surtikanthi. Penulisnya adalah ini, yang duduk di dekat kursi goyang di utara situ…” Berpasangpasang mata tertuju padaku. Beberapa gadis yang pernah menggodaku di dekat pasar ketika musim durian dulu, berbisik-bisik dengan temannya. Kukira ada yang menarik tentang diriku. Paling tidak, sewaktu mereka mengintip diriku yang lagi mandi telanjang di kali. Aku temungkul lagi. Malu, mongkog! Kendati sipongang kangen masih juga terpasang rakitan.

“Lakon seperti itu, suatu sindiran, anak-anakku sekalian. Kisah sahibulhikayat alhayat. Roncen masalalu yang bersambung dengan kisah-hidup anak manusia di manapun, di kolong langit. Semuanya bisa kelakon, kok…” Petinggi tua yang masih menyimpan ketampanan dan kegagahan masamudanya itu terdiam sejenak. Seorang abdi mempersembahkan talam pekinangan. Lalu dia mengambil dua lembar daun sirih, racikan kinang, dan segera mengunyahnya. Kami masih terdiam. Kami masih terkesan oleh gaya bicara penguasa abadi ini, yang ibaratnya telah memangku kawasan Bukit Gumolong selama lebih separuh abad, sebagai pengayom.

“Putra-wayah sekalian,” ucapnya kemudian, dengan sareh-kalem. “Kedua dusun kita menjadi ajang penelitian ilmiah, dan kedua sarjana ilmu sosial telah diterjunkan, yang tentangnya sudah cukup kalian kenal, karena telah dua bulan berlangsung. Yang wigati lagi, karena semua ini didasarkan atas perintah Mahaguru Universitasnya, Prof. Dr. Raden Mas Sukahar Danuwijoyo yang telah memiliki nama besar di mancanegara. Beliaupun masih tergolong kadang kerabatku sendiri. Putra Adipati itu, dari pihak ibunya, masih juga berdarah Gendhuk Sruni, yang pernah dikenal sebagai “sumber pertikaian antara kedua dusun” – tetapi yang sebetulnya tak pantas untuk diterus-teruskan.” Masihkah tambah jauh jabat-tangan yang terbuhul antar warga? Lalu, dia mengunyah kinangannya dan mengambil paidon kecil, untuk meludahkan dubang-nya alias ludah merah-tua di situ.

Suasana hening, dan Bekel Rejowangi melirik Bekel Rejosari, seperti hendak mengucapkan sesuatu. “Seratus tahun silam, Gupermen telah membuat peristiwa kuna itu lenyap sekejap, ke balik kabut. Inilah yang mengejutkan, tapi juga membuat dingin rasa. Asisten Residen Van Kauper, pernah mengutus seorang peneliti kulit putih, sepengetahuan Bupati, untuk mengadakan temu-wicara dengan para pembesar dusun jothakan itu. Kala itu, dirintis pertemuan-pertemuan yang menghendaki persatuan dan kesatuan. Sayang, orang-orang masih berkepala batu! Seorang Asisten Residen sudah pernah menunjukkan hatinya yang putih dan mulia, untuk kerukunan daerah Bukit Gumolong. Apalagi sekarang, setelah kita merdeka. Setiap bentuk pendekatan dan penghampiran dari pemimpin-pemimpin bangsa kita sendiri, hendaknya memperoleh sambutan hangat. Segalanya harus dirintis dari awal, menuju keterbukaan. Prof. Sukahar – pertemuan dua jalur yang pernah retak, merupakan contoh gemilang dari kesatu-paduan yang luhur. Mengapa kita kini tak mencoba kembali?” Puji Tuhan! Semoga kaujabat tanganku pagi ini.

Sahabatku seikhwan. Aku menghela nafas. Kalau Prof. Sukahar telah membingkiskan lagu-kasih yang wangi, bertahun lewat, apalagi bagi kita kini. Rejosari dan Rejowangi akan menjadi tonggak keberanian kita untuk berjuang…! Kukira, hanya Tradisi serumpun nan takgugur disapur uzur. Ada dari sekian jenis hati yang mungkin sanggup menjawil lengan kita, ataukah yang hanya melingkar-lingkar tanpa melukiskan siapa dan di mana jiwanya.

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt