http://www.suaramerdeka.com/
"Lewat penerbitan indie, komunitas sastra ’’Hujan Tak Kunjung Padam’’ berani memerdekakan karya-karya dengan segala alternatif "
PADA 3 April 2005, lima anak muda yang tinggal di Purwokerto mendirikan komunitas sastra bernama Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP). Asal usul penamaan komunitas ini dilatarbelakangi oleh situasi hujan deras yang mereka alami bersama ketika selama tiga hari tiga malam terlibat pada proses pementasan drama di salah satu sekretariat kelompok teater di Purwokerto. Situasi itu lalu diartikan sebagai pemantik semangat untuk deras menghasilkan karya dalam situasi apapun.
Bukan sekadar hangat-hangat tahi ayam memang, meski jumlah keanggotaan komunitas HTKP tak bertambah —karena mungkin mereka tak berniat untuk merekrut anggota baru atau menerima anggota baru— tahun demi tahun mereka rutin menyusun kegiatan-kegiatan sastra. dari mementaskan drama seperti ’’Prita Istri Kita’’ (2005), ’’Waiting for Godot’’ (2007), dan ’’Faust’’ (2008), lalu mendramatisasi puisi sampai menfragmentasikan novel-novel Indonesia semacam Layar Terkembang, Olenka, Keberangkatan, dan Ziarah pada tahun 2008. Selain itu, mereka menerbitkan beberapa himpunan antologi bersama berupa kumpulan monolog, puisi ataupun cerpen.
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan yang direncanakan oleh HTKP seringkali dirangkum dalam selebaran bertajuk ’’Berita Cuaca’’ yang dibagikan pada para peserta keika mereka menggelar acara. Misalnya, dalam tiga selebaran, semuanya volume II, issue 9,10 ,dan 13, menginformasikan bahwa pada November 2008 masing-masing pendiri HTKP serentak melakukan aktivitas peluncuran antologi puisi tunggal yang terdiri atas ’’Seperti Matamalam’’ karya Agustav Triono, ’’Panggung’’ karya Aliv Esesi, ’’Penyair Bengal’’ karya Ayatullah Muhammad, ’’Kata Asap Kata-kata’’ karya Ari Purnomo, dan ’’Memoritual’’ karya Yudistira Jati.
Melepas Bayang-bayang
Buku-buku antologi sastra yang HTKP produksi sering disebut oleh pegiat-pegiat sastra di kota mendoan sebagai sastra indie. Jika istilah indie diartikan sebagai lawan dari buku standar produksi penerbitan mapan, sebutan itu memang tak salah, sebab buku-buku HTKP dicetak amat sederhana dalam bentuk fotokopi dan diproduksi dengan biaya mandiri dalam jumlah eksemplar terbatas.
Melihat kuantitas buku semisal Jejak Tapak Langkah Calon Sastrawan Purwokerto (cerpen dan puisi, 2005), Calon Penyair Negeri Sastra (puisi, 2006), Kumpulan Naskah Monolog Orang-orang Tak Terkenal (2008) kita setidaknya mendapati tiga hal. Pertama; cara HTKP menyiasati penyampaian karyanya dengan mengoptimalkan penerbitan buku indie secara khusus mendeskripsikan sikap bahwa mereka berbeda dari kebanyakan penulis di Purwokerto yang lebih mengoptimalkan publikasi karyanya di media massa
Kedua; lewat penerbitan mandiri, HTKP lebih bebas untuk menuliskan idealisasinya tanpa harus dibayang-bayangi standardisasi industri penerbitan mapan yang umumnya bersifat market oriented. Ketiga; semangat berkesenian dari segolongan anak muda yang mengekspresikan diri dengan memanfaatkan berbagai genre sastra.
Terlepas sejauh mana pencapaian estetik dalam karya-karya yang diproduksi oleh HTKP, sebagai suatu komunitas sastra, saya kira kerja kolektif mereka boleh dibilang sebagai pembeda atas komunitas sastra di Purwokerto. Lewat penerbitan indie, mereka berani menghadirkan sekaligus memerdekakan karya-karya dengan segala alternatif yang bisa diperjuangkan bersama.
Mereka tidak terbebani bayang-bayang standardisasi ìindustri kataî dalam kapitalisme media atau industri penerbitan mapan. Sayang, bertambah tahun geliat berkesenian HTKP makin redup, padahal hujan yang mengingatkan optimisme untuk deras berkarya sudah berkali-kali turun membasahi Purwokerto.
*) Abdul Aziz Rasjid, bergiat di komunitas sastra Beranda Budaya Banyumas. /27 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar