Aksi Terusik, Putu Wijaya Sempat Ngambek
http://radarmojokerto.co.id/
Seniman kawakan Putu Wijaya, Rabu (18/11) malam meluapkan ekspresinya melalui monolog peringatan 100 hari meninggalnya W.S. Rendra, si Burung Merak. Penampilan di GOR Mojopahit, Jl Gajah Mada, Kota Mojokerto itu merupakan kali kesekian dari tur kelilingnya di kota-kota se-Indonesia.
Pada penampilannya itu, dia menyitir pelajaran hidup W.S. Rendra. Katanya, tradisi Jawa tak jauh beda dengan kasur tua. Banyak orang yang tersinggung dan marah. Buntutnya, pernyataan W.S. Rendra tersebut mendapat kecaman dari berbagai elemen masyarakat.
http://radarmojokerto.co.id/
Seniman kawakan Putu Wijaya, Rabu (18/11) malam meluapkan ekspresinya melalui monolog peringatan 100 hari meninggalnya W.S. Rendra, si Burung Merak. Penampilan di GOR Mojopahit, Jl Gajah Mada, Kota Mojokerto itu merupakan kali kesekian dari tur kelilingnya di kota-kota se-Indonesia.
Pada penampilannya itu, dia menyitir pelajaran hidup W.S. Rendra. Katanya, tradisi Jawa tak jauh beda dengan kasur tua. Banyak orang yang tersinggung dan marah. Buntutnya, pernyataan W.S. Rendra tersebut mendapat kecaman dari berbagai elemen masyarakat.
Pernyataan pedas Rendra tersebut diikrarkan usai dia lelaku nuntut ilmu di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. ''Apakah karena kau telah memakan harta orang Amerika yang kemudian dengan teganya mengejek negeri ini dengan kata-kata badut mu itu?'' kata Putu Wijaya dalam monolognya.
Munculnya rangkaian kata-kata si Burung Merak itu, bukan hanya sekadar bualan dan sebagai penghinaan tradisi Jawa melainkan sebaliknya. Karena sayangnya ia terhadap tradisi Jawa. ''Akhirnya masyarakat banyak yang sadar. Jika Rendra tak bermaksud menghina,'' imbuhnya.
Selain menyanjung pemikiran Rendra yang terkesan nyeleneh, Putu juga menggambarkan tentang kehidupan sisi lain Rendra sebagai seorang kepala keluarga yang sangat sederhana.
Dengan berpakaian serbahitam dan berkopiah, Putu menyuguhkan berbagai adegan yang menyayat hati. Klimaksnya, saat Rendra mengembuskan nyawa terakhirnya. ''Kamu telah terbang ke mana? Kamu mau pergi ke mana? Nyawamu telah menghilang,'' tukasnya dengan nada serak.
Ratusan penonton yang menikmati jalannya pertunjukan itupun semakin hanyut saat Putu meneteskan air matanya. ''Kenapa? Kenapa? Orang sebaik ini dipanggil Tuhan lebih cepat?'' katanya dengan sesenggukan.
Diakhir cerita, Putu pun menceritakan tentang kehebatan Anjing Liar dari Jogjakarta itu. Dengan bermuka gagah, dia bercerita bahwa almarhum adalah seorang yang gagah perkasa. Seorang pelopor, pendobrak dengan keterampilan dan perhitungan. ''Ia bukan hanya seorang yang pemikir dan penggagas, melainkan juga seorang aktor lapangan dan pengibul yang santun,'' pungkasnya.
Perhelatan monolog andal Putu Wijaya kali ini, diwarnai dengan ngambeknya sang aktor. Putu merasa tidak puas dengan audio visual dan dubbing yang dibawakan oleh Teater Mandiri, yang tak lain adalah anak didiknya sendiri.
Akibatnya, sebanyak empat kali ia men-cut aktingnya. ''Sudah! Sudah! Nggak usah diberi asap di panggung. Penonton nggak bisa melihat akting saya,'' kata Putu dengan nada tinggi.
Mendengar pernyataan Putu yang kali pertama itu, penonton sempat kaget. Kemarahan Putu terulang ketika dubbing musik mengeluarkan suara yang keras. Seakan menggambarkan keseraman.
''Matikan saja musiknya itu! Berisik. Penonton gak bisa dengan suara saya. Pesan saya akan terputus dan terganggu,'' tuturnya.
Dalam akhir aktingnya, Putu menyuguhkan cerita singkat selama 10 menit. Yakni sebuah cerita yang bertajuk Kemerdekaan.
Pagelaran yang bertajuk Burung Merak ini merupakan rangkaian tur keliling Putu Wijaya ke-13 kota di negeri ini. Dan sengaja dibawakan untuk memperingati 100 hari meninggalnya W.S. Rendra. (mg2/yr)
Munculnya rangkaian kata-kata si Burung Merak itu, bukan hanya sekadar bualan dan sebagai penghinaan tradisi Jawa melainkan sebaliknya. Karena sayangnya ia terhadap tradisi Jawa. ''Akhirnya masyarakat banyak yang sadar. Jika Rendra tak bermaksud menghina,'' imbuhnya.
Selain menyanjung pemikiran Rendra yang terkesan nyeleneh, Putu juga menggambarkan tentang kehidupan sisi lain Rendra sebagai seorang kepala keluarga yang sangat sederhana.
Dengan berpakaian serbahitam dan berkopiah, Putu menyuguhkan berbagai adegan yang menyayat hati. Klimaksnya, saat Rendra mengembuskan nyawa terakhirnya. ''Kamu telah terbang ke mana? Kamu mau pergi ke mana? Nyawamu telah menghilang,'' tukasnya dengan nada serak.
Ratusan penonton yang menikmati jalannya pertunjukan itupun semakin hanyut saat Putu meneteskan air matanya. ''Kenapa? Kenapa? Orang sebaik ini dipanggil Tuhan lebih cepat?'' katanya dengan sesenggukan.
Diakhir cerita, Putu pun menceritakan tentang kehebatan Anjing Liar dari Jogjakarta itu. Dengan bermuka gagah, dia bercerita bahwa almarhum adalah seorang yang gagah perkasa. Seorang pelopor, pendobrak dengan keterampilan dan perhitungan. ''Ia bukan hanya seorang yang pemikir dan penggagas, melainkan juga seorang aktor lapangan dan pengibul yang santun,'' pungkasnya.
Perhelatan monolog andal Putu Wijaya kali ini, diwarnai dengan ngambeknya sang aktor. Putu merasa tidak puas dengan audio visual dan dubbing yang dibawakan oleh Teater Mandiri, yang tak lain adalah anak didiknya sendiri.
Akibatnya, sebanyak empat kali ia men-cut aktingnya. ''Sudah! Sudah! Nggak usah diberi asap di panggung. Penonton nggak bisa melihat akting saya,'' kata Putu dengan nada tinggi.
Mendengar pernyataan Putu yang kali pertama itu, penonton sempat kaget. Kemarahan Putu terulang ketika dubbing musik mengeluarkan suara yang keras. Seakan menggambarkan keseraman.
''Matikan saja musiknya itu! Berisik. Penonton gak bisa dengan suara saya. Pesan saya akan terputus dan terganggu,'' tuturnya.
Dalam akhir aktingnya, Putu menyuguhkan cerita singkat selama 10 menit. Yakni sebuah cerita yang bertajuk Kemerdekaan.
Pagelaran yang bertajuk Burung Merak ini merupakan rangkaian tur keliling Putu Wijaya ke-13 kota di negeri ini. Dan sengaja dibawakan untuk memperingati 100 hari meninggalnya W.S. Rendra. (mg2/yr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar