Mohammad Eri Irawan*
http://www.jawapos.co.id/
TAK akan ada yang mampu membayangkan kita bisa hidup tanpa pajak. Kita bangun dari tidur saat menjelang fajar dan mengambil air wudu atau sekadar cuci muka, ada pajak yang harus dibayarkan ketika air mengucur. Pipa dan keran air kita beli dengan membayar pajak penjualan (PPn). Lalu, kita membuka telepon seluler, berkirim SMS ucapan selamat pagi, juga ada pajak yang harus dibayarkan. Setelah itu, mungkin kita mesti bergegas berangkat ke kantor dengan menggunakan kendaraan yang telah dipajaki, melintasi jalanan yang kian macet yang juga dibangun dengan uang hasil pajak. Lalu, tiba di kantor yang tiap bulan rutin memangkas gaji kita untuk membayar pajak penghasilan (PPh).
http://www.jawapos.co.id/
TAK akan ada yang mampu membayangkan kita bisa hidup tanpa pajak. Kita bangun dari tidur saat menjelang fajar dan mengambil air wudu atau sekadar cuci muka, ada pajak yang harus dibayarkan ketika air mengucur. Pipa dan keran air kita beli dengan membayar pajak penjualan (PPn). Lalu, kita membuka telepon seluler, berkirim SMS ucapan selamat pagi, juga ada pajak yang harus dibayarkan. Setelah itu, mungkin kita mesti bergegas berangkat ke kantor dengan menggunakan kendaraan yang telah dipajaki, melintasi jalanan yang kian macet yang juga dibangun dengan uang hasil pajak. Lalu, tiba di kantor yang tiap bulan rutin memangkas gaji kita untuk membayar pajak penghasilan (PPh).
Sore dalam perjalanan pulang ke rumah, dengan kesumpekan pikiran akibat tumpukan pekerjaan di kantor, barangkali kita ingin sejenak bersantai dengan berkaraoke atau menikmati konser jazz dan lagi-lagi kita mesti membayar sekian rupiah plus pajaknya. Lantas, kita pulang ke rumah, yang lagi-lagi juga secara rutin dikenai pajak bumi dan bangunan (PBB). Mungkin kita mempunyai deposito di bank untuk menjamin masa depan anak-anak. Itu pun rutin dikenai pajak deposito.
Pada masa kolonial, rakyat dipajaki baik lewat setoran hasil bumi maupun dalam bentuk uang. Tanah Hindia Belanda (Indonesia) dianggap sebagai wingewest, tanah upeti, yang bisa diperas untuk persembahan ke negeri leluhur, yaitu Belanda. Warga Hindia Belanda diisap sedemikian rupa untuk membiayai kemewahan Belanda. Hal-hal remeh macam penjualan arak hingga garam juga dipajaki. Data di buku Netherlands India: A Study of Plural Economy yang ditulis J.S. Furnivall menunjukkan, pada 1831-1877 tanah Hindia Belanda telah menyetor 832,40 juta gulden ke Belanda. Dana itu, yang antara lain didapat dari pajak kaum pribumi, digunakan untuk membayar utang Belanda, membangun benteng, dan membiayai ragam kemewahan Negeri Bunga Tulip tersebut.
***
Sejak bangun tidur hingga tidur lagi, hidup kita melulu dikelilingi pajak. Nyaris tak bisa lepas darinya kecuali jika kita sudah berpulang dan meninggalkan dunia yang kian ruwet ini. Pajak memang persoalan keberlanjutan kehidupan. Dengan pajak, kita mengandaikan bisa berkontribusi untuk mewujudkan tata hidup yang tertib; aspal jalanan tak lagi berlubang, obat-obat murah di rumah sakit dengan dokter yang murah senyum, guru-guru berkualitas, birokrasi yang sigap nan cakap, dan urusan-urusan publik yang praktis dan cepat.
Dengan pajak, kita rela disposable income terpangkas karena kita semua tahu ada banyak sektor kehidupan publik yang mesti dijalankan, dirawat, dan karena itu dibutuhkan biaya. Bila pajak digunakan secara benar untuk belanja barang dan jasa, permintaan agregat di masyarakat pun akan terkerek sesuai besaran pajak yang dibayarkan. Pertumbuhan ekonomi tercipta. Di poin itulah, pajak sangat berpengaruh untuk mewujudkan telos negara yang oleh konstitusi kita disebut sebagai ''kesejahteraan umum''.
Filosofi pajak adalah filosofi keadilan. Dia mengandaikan adanya redistribusi kesejahteraan ketika sumber daya ekonomi disebar dan disesap oleh khalayak ramai. Kemiskinan tandas dan mimpi kesejahteraan pun bisa didekap erat.
Itulah mengapa akhirnya filsafat perpajakan hanya bagian dari filsafat politik yang mengandaikan adanya sebuhul misi untuk menggapai telos negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum. Ihwal pajak bukan sekadar soal bagaimana pendapatan dikeruk, tapi lebih menyoal bagaimana pandangan filsafat politik penguasa. Pajak melahirkan kontrak sosial dalam relasi kuasa antara rezim dan rakyatnya yang mengandaikan adanya proses deliberasi. Karena itu, muncul adagium terkenal taxation without representation is robbery yang menunjukkan kontestasi ideologi antara rakyat, termasuk di dalamnya parlemen, dan negara.
Mafia
Tapi, kita kini terkejut, masygul, dan geram melihat mafia pajak bertebaran di Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan. Ada Gayus Tambunan, pria muda yang menjadi makelar kasus pajak dengan rekening Rp 25 miliar. Ada Edi Setiadi yang menerima gratifikasi Rp 2,25 miliar untuk berkompromi dengan wajib pajak agar pajak yang dibayarkan bisa lebih minim daripada nilai sesungguhnya. Ada Bahasyim yang oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) disebut punya rekening tak wajar dan mencurigakan tak kurang dari Rp 70 miliar. Itu yang terungkap, tentu saja. Nilai kerugian akibat kongkalikong tersebut juga tentu berlipat daripada jumlah yang direguk mafia-mafia itu.
Mafia pajak bukan kasus dan berita baru, sebenarnya. Namun, terkuaknya kembali kasus itu menyentakkan kita di tengah gembar-gembor reformasi birokrasi.
Kasus mafia pajak melungkrahkan kita dan menunjukkan wajah kemanusiaan kita yang kian bopeng. Ada luka yang dalam dan menganga ketika para pemangku hal penting macam pajak justru berkhianat. Seolah percuma kita berbusa-busa bicara kaitan antara filsafat politik dan filsafat perpajakan. Tiada artinya juga kita pernah sok mendatangkan tim dari Harvard University yang dipimpin Malcolm Gillis untuk membantu pembenahan perpajakan republik ketika reformasi perpajakan digulirkan pada awal 1980.
Kita kini akhirnya menjadi sadar, ternyata pajak adalah sumber dari rapuhnya kemanusiaan. Kita membayar pajak dan mendapati fakta busuk semacam ini: mafia pajak dan birokrasi yang menjauh dari sigap, aspal jalanan penuh lubang, akses ke pedesaan yang memprihatinkan, obat-obatan lebih mirip barang dagangan di butik kelas atas, sekolah-sekolah roboh dan tak beratap, tunawisma yang meringkuk di bawah jembatan penyeberangan, urusan publik yang berbelit dan sarat upeti, pagar istana miliaran rupiah, dan pendidikan yang kian menjauh dari fungsinya.
Kita membayari anggota parlemen untuk setiap saat membikin dagelan politik atas nama rakyat. Kita membayari penguasa dan jajarannya hanya untuk bermain citra dan menebalkan pupur di wajah mereka. Kita membayar pajak untuk mencicil utang negara yang segudang, yang entah manfaat utang itu dirasakan rakyat atau tidak.
Filsafat perpajakan telah menjadi filsafat keculasan karena kenyataannya, rakyat hanya dijadikan ''sapi perah'' untuk membayari rezim yang tak bisa memundaki amanat. (*)
*) Salah seorang penulis buku ''Dengan Pajak, Kita Wujudkan Kemandirian Bangsa'' (Ditjen Pajak Kemenkeu, 2006).
Pada masa kolonial, rakyat dipajaki baik lewat setoran hasil bumi maupun dalam bentuk uang. Tanah Hindia Belanda (Indonesia) dianggap sebagai wingewest, tanah upeti, yang bisa diperas untuk persembahan ke negeri leluhur, yaitu Belanda. Warga Hindia Belanda diisap sedemikian rupa untuk membiayai kemewahan Belanda. Hal-hal remeh macam penjualan arak hingga garam juga dipajaki. Data di buku Netherlands India: A Study of Plural Economy yang ditulis J.S. Furnivall menunjukkan, pada 1831-1877 tanah Hindia Belanda telah menyetor 832,40 juta gulden ke Belanda. Dana itu, yang antara lain didapat dari pajak kaum pribumi, digunakan untuk membayar utang Belanda, membangun benteng, dan membiayai ragam kemewahan Negeri Bunga Tulip tersebut.
***
Sejak bangun tidur hingga tidur lagi, hidup kita melulu dikelilingi pajak. Nyaris tak bisa lepas darinya kecuali jika kita sudah berpulang dan meninggalkan dunia yang kian ruwet ini. Pajak memang persoalan keberlanjutan kehidupan. Dengan pajak, kita mengandaikan bisa berkontribusi untuk mewujudkan tata hidup yang tertib; aspal jalanan tak lagi berlubang, obat-obat murah di rumah sakit dengan dokter yang murah senyum, guru-guru berkualitas, birokrasi yang sigap nan cakap, dan urusan-urusan publik yang praktis dan cepat.
Dengan pajak, kita rela disposable income terpangkas karena kita semua tahu ada banyak sektor kehidupan publik yang mesti dijalankan, dirawat, dan karena itu dibutuhkan biaya. Bila pajak digunakan secara benar untuk belanja barang dan jasa, permintaan agregat di masyarakat pun akan terkerek sesuai besaran pajak yang dibayarkan. Pertumbuhan ekonomi tercipta. Di poin itulah, pajak sangat berpengaruh untuk mewujudkan telos negara yang oleh konstitusi kita disebut sebagai ''kesejahteraan umum''.
Filosofi pajak adalah filosofi keadilan. Dia mengandaikan adanya redistribusi kesejahteraan ketika sumber daya ekonomi disebar dan disesap oleh khalayak ramai. Kemiskinan tandas dan mimpi kesejahteraan pun bisa didekap erat.
Itulah mengapa akhirnya filsafat perpajakan hanya bagian dari filsafat politik yang mengandaikan adanya sebuhul misi untuk menggapai telos negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum. Ihwal pajak bukan sekadar soal bagaimana pendapatan dikeruk, tapi lebih menyoal bagaimana pandangan filsafat politik penguasa. Pajak melahirkan kontrak sosial dalam relasi kuasa antara rezim dan rakyatnya yang mengandaikan adanya proses deliberasi. Karena itu, muncul adagium terkenal taxation without representation is robbery yang menunjukkan kontestasi ideologi antara rakyat, termasuk di dalamnya parlemen, dan negara.
Mafia
Tapi, kita kini terkejut, masygul, dan geram melihat mafia pajak bertebaran di Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan. Ada Gayus Tambunan, pria muda yang menjadi makelar kasus pajak dengan rekening Rp 25 miliar. Ada Edi Setiadi yang menerima gratifikasi Rp 2,25 miliar untuk berkompromi dengan wajib pajak agar pajak yang dibayarkan bisa lebih minim daripada nilai sesungguhnya. Ada Bahasyim yang oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) disebut punya rekening tak wajar dan mencurigakan tak kurang dari Rp 70 miliar. Itu yang terungkap, tentu saja. Nilai kerugian akibat kongkalikong tersebut juga tentu berlipat daripada jumlah yang direguk mafia-mafia itu.
Mafia pajak bukan kasus dan berita baru, sebenarnya. Namun, terkuaknya kembali kasus itu menyentakkan kita di tengah gembar-gembor reformasi birokrasi.
Kasus mafia pajak melungkrahkan kita dan menunjukkan wajah kemanusiaan kita yang kian bopeng. Ada luka yang dalam dan menganga ketika para pemangku hal penting macam pajak justru berkhianat. Seolah percuma kita berbusa-busa bicara kaitan antara filsafat politik dan filsafat perpajakan. Tiada artinya juga kita pernah sok mendatangkan tim dari Harvard University yang dipimpin Malcolm Gillis untuk membantu pembenahan perpajakan republik ketika reformasi perpajakan digulirkan pada awal 1980.
Kita kini akhirnya menjadi sadar, ternyata pajak adalah sumber dari rapuhnya kemanusiaan. Kita membayar pajak dan mendapati fakta busuk semacam ini: mafia pajak dan birokrasi yang menjauh dari sigap, aspal jalanan penuh lubang, akses ke pedesaan yang memprihatinkan, obat-obatan lebih mirip barang dagangan di butik kelas atas, sekolah-sekolah roboh dan tak beratap, tunawisma yang meringkuk di bawah jembatan penyeberangan, urusan publik yang berbelit dan sarat upeti, pagar istana miliaran rupiah, dan pendidikan yang kian menjauh dari fungsinya.
Kita membayari anggota parlemen untuk setiap saat membikin dagelan politik atas nama rakyat. Kita membayari penguasa dan jajarannya hanya untuk bermain citra dan menebalkan pupur di wajah mereka. Kita membayar pajak untuk mencicil utang negara yang segudang, yang entah manfaat utang itu dirasakan rakyat atau tidak.
Filsafat perpajakan telah menjadi filsafat keculasan karena kenyataannya, rakyat hanya dijadikan ''sapi perah'' untuk membayari rezim yang tak bisa memundaki amanat. (*)
*) Salah seorang penulis buku ''Dengan Pajak, Kita Wujudkan Kemandirian Bangsa'' (Ditjen Pajak Kemenkeu, 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar