Sabtu, April 17, 2010

SANG FREE TIKUS

Sabrank Suparno

*
Sepanjang lorong –lorong gelap. Lajur ruang sempit, berhias sisi dinding tekstur artefak alami. Selalu dan selalu tak terbatas waktu. Kapan saja selalu dapat berubah corak dan warna. Tiap kali hanyutan air menderas. Lekuk guratan lumpur dan helaian sampah tampilkan artistik tersendiri. Ribuan langkah kaki kecil berderap lalu-lalang. Bertapak-tapak dirampungkannya silih berganti berseliweran. Sesekali melintas di temaram cahaya. Cahya yang terbias menerpa dari cela dan lubang jendela dan genteng kaca. Seolah lampu berderet tertata. Tubuh mungil bertelantingan pulang pergi. Sembari terobos aroma khas suatu tempat.
Bau multikompleks sebagai menu hidangan utama setiap dengusan. Bau dari remukan lumpur kompos berdaur bakteri pengurai setiap sel menanaknya. Gugusan hangat karbohidrat menjadi mesin hairdryer pengapian bulu di saat usai berguyur atau sekalian berjebur. Di sinilah alam ketersendirian. Sebuah tempat yang luput dari siklus rambahan peradaban. Luangan sisi lain dimana pentas mainstream berlangsung. Sisi lain…yahh sisi lain. Bilik dimana acting tak pernah dihitung. Sepasang mata kecil berkelebatan. Tajam menatap meski ribuan lainnya tak kuasa. Mulut saling sapa.Meski perkelahian kadang juga syarat utama.

“Apakah kita ada dalam kamus mereka? Gumam antar penghuni lorong. Tentu bukan kamus sekedar nama. Tapi pengenalan jauh ke wilayah. Bibir moncong, gigi lancip sebagai sarana predator pengancur, sebelum dieksport dari perut dan limbah anus keluar kota. Yang kemudian juga dihisap sebagai putaw melayang-layang penyegar badan.

Gazebo balai persegi empat hall balai room. Di bilik ini mereka melepas rindu. Sesekali saja. Larut hingga usia. Tak pernah berkesudahan saat cinta kering menyeruak. Mereka ngerumpi egaliter sampai kerontang dahaga menyeruak. Dunia yang lekat sinar matahari dan bias sinar rembulan menyebutnya “bak control”. Sebuah petak kecil yang didesain perancangnya sebagai bagian hidup mereka. Meski tak pernah menyertakan rumus para tikus sebagai angka. Gazebo bak kotrol adalah tampat pertemuan para tikus dari berbagai wilayah.
***

Nampak terlentang sedang menyelaisaikan lelah seekor tikus sawah. Mata kecil merah tebarkan pandangan keberbagai arah. Fikirannya jauuuh mengembara melebihi hayalannya. ”Kok saudara saudari, rekan, rekanita, tak kunjung gemuk juga?”. Lempar tanya si tikus Sawah ke kawanan sekitarnya. Pertanyaan tipis begitu saja. Sejenak setelah ia menarik pandangan hidup berdasarkan dirinya. Yang kesehariannya hanya keluar masuk, nyungsep, dan ngumpet di kisaran sawah, yang notabenenya miskin kendala.

“Bukankah negeri ini penggalan surga”! Tambah tikus Kanak-kanak yang mentransfer cerita gurunya kala sekolah. ”Benar..! lahan curian kita memang kian luas. Sebab semua area marak dengan saham monopoli dan obligasi, Dan tidak satu celah titik ruangpun yang tak menjadi pasar. Semua tempat sudah menjadi pasar. ”Tapi bukan bangsa tikus sajakan, yang mengais makanan dan menjarah? Para kucing juga berpesta dan menjarah. Nah! bagaimana bisa leluasa! Wong dalam agenda kucing berpesta, tikus selalu jadi hidangan utama” Jelentreh beberapa tikus Kota dengan cirikhas gaya bahasa yang lebih banyak mengenyam wawasan. Sesekali kerutkan dahi manakala ingat raungan kucing coklat mengejar-kejar mereka. ”Mas Kota..! tidak juga harus begitu!, meskipun yang kerap terjadi memang seperti itu. Anda sebut kita mencuri, tapi kita tidak dibekali ilmu tentang mencuri. Bukankah kita hanya mencari sesuap nasi. Masalahnya, jika semua tempat dijadikan pasar! lha, mereka pasti menghitung transaksi. Di penyelenggaraan pasar inilah kita dihitung untung dan rugi”. Sela tikus Pantai yang mulai mengenalkan sistematik prediksi. Berarti kita harus siap di kebas, dilibas, dan diculas”. Lontar kesimpulan tikus Pantai, sosok tikus yang piawai mengantongi kata-kata. Susah ditebak memang, arah argumentai tegas tikus pantai ini. Apakah saran sekedar antisipasi, ataukah memang seperti itu jalan liku yang harus ditempuh. Justru bersilat dengan tendang, buang, tebas, libas, inilah yang menjadikan tikus pantai semakin lihai berlekuk tekuk napaki jakan. Jalan yang selalu dihadang komplotan kucing bertampang geram berdiri ngangkang. Main serobot, main garang. Di pojok dinding, di atas gabus, tampak santai si tikus Gunung. Mulutnya komat-kamit menghabiskan makanan yang menyumpal. Setelah menyimak berbagai persoalan, ia mulai urun rembuk. Tikus Gunung merasakan ada beberapa hal yang di alami bangsanya. Yakni kegelisahan yang bertumpu pada seputar jatah makanan. Jatah tikus yang melimpah ruah berangsur mengurang gara-gara diembat ulah si kucing. ”Bukankah kita perlu suatu sistem untuk mengimbangi pergeseran suatu masa?”. Ide rembuk tikus gunung. ”Maksud Gunung..?”. .”Arar kita tetap eksis dan omzet terus bertambah”, timpal debat tikus sawah. Tikus Lembah menyela perdebatan kecil itu. ”Masalahnya bukan lawan atau musuh, tapi diri kita ini sudah tampil sebagai lawan atau musuh”. Sebelum yang lain minta penjelasan, tikus Lembah segera jelaskan opini. ”Keserakahan membuat kita kekurangan. Bukankah kecukupan berbading sederajat dengan kaya dalam kekurangan”, tutur tikus lembah berlaga sufi. Semua terdiam sejenak. Seolah menyematkan teori hidup ala tikus Lembah.
***

Beberapa detik kemudian suasana ruangan gaduh. Beberapa tikus jantan jahili pantat tikus betina yang sedang lewat. Seolah semua sedang berfikir ulang. Ada ganjalan gejala baru. Dimana semua sedang berdialog berbagai analisa di satu sisi, tapi di sisi lain tikus betina tetap saja bunting. Bagi tikus betina tidak pernah ada zaman yang berubah. Kini dan dulu serupa jua. Musim bunga tubuhnya tak henti diziarahi pejantan berdalih luapan cinta.Musim genting, betina dilampiasi pejantan pusing.
***

Ada gejolak yang sejak awal terpendam. Gejolak yang dikuakkan serentetan tikus Muda. Jiwanya menyala-nyala. Merahnya memerah. Manakala bangsanya disentil dari ada menjadi tiada. Apalagi jika dirancang penyelenggaraan besar-besaran suatu setting pemusnahan. ”Aku makan phospit saja.!” Seru tikus Muda. Takpelak seketika semua mata mbelalak padanya. ”Dilemas tubuhku, aku akan mengeliat di depan kucing. Dengan tarian gemasnya, tentu tubuhku dipamah-pamah. Daan..! matiku adalah mampusnya”, lantang suara tikus muda.Tak heran lagi jika yang berkobar pengorbanannya adalah kawanan tikus Muda. Semangatnya terpanggil sebagai tulang punggung sejarah.

Sosok tikus Desa berkumis panjang menghampiri si Muda. Dielus rambutnya. Diusap kepalanya. Dan ditebas-tebas pundaknya. Kemudian si Kumis gelar telapaknya. Jari-jarinya digerakkan. ”Coba kita hitung..! Keberanianmu bernilai sembilan“, kucing desa memilah jari kelingkingnya dengan tarikan telunjuk tangan kanan. ”Kedua..demi kematian kucing kau sendiri tewas. Disatu sisi kau seolah diutus menyelamatkan bangsamu, di sisi lain Tuhan seolah menakdirkanmu untuk menjadi penyeimbang ekosistim yang berputar. Artinya; wujud hidupmu ini juga bertugas menyelamatkan kehidupan luas. Jadi kalau kau bunuh diri demi kematian si kucing, sama artinya kau melakukan kewajiban sekaligus meninggalkannya. Pelik lagi jika kemudian si kucing marah. Dia tuding setiap tikus adalah pembunuh berdarah dingin. Sikucing yang tidak akur dengan anjing saja, tiba-tiba jalin konspirasi besar-besaran untuk tumpas tuntas setiap tikus. Bila perlu sang Harimau juga dilibatkan. Runyamkan..!,nyawa kucing satu berbanding tikus seribu. Coba hitung.!”, taktis tikus Desa ajari pemahaman pada tikus Muda. Tak berselang lama bak pucuk dicincang ulampun tiba. Angin segar terngiang hingar bingar semilir di telinga tikus Muda. Koarnya yang hampir pupus, tersulut lagi oleh tikus umuran sebaya. Yakni si tikus Kampus. ”Kita demo saja..! kerahkan berbanjar-banjar demonstan. Bentangkan spanduk. Kita protes sikap si kucing, biar mereka mengerti, kita juga punya harga diri. Apakah setiap nyawa kalian dahulu pesan sebagai tikus? Lantas apa kepentingan kucing menista-nista. Kenapa kucing ditakdir sebagai kucing, dan bukannya cacing”. Berontak tikus kampus sembari lontarkan joke-joke radikal. ”Lho.! bukannya kalian sudah berkali-kali demo! tapi apa hasilnya? Kampus mengerti ilmu demo..gak? Siapa yang kalian demo? Kucing siap didemo..atau malah demam alergi demo! Beribu-ribu kalian mampuspun tidak akan berpengaruh. Kepala dan dada kucing kelambu kok..! Saya kawatir di antara kalian ada yang cuma diberi kepala ikan. Sedangkan sekali damo kalian diberi enam puluh gogol ikan tongkol”. ”Sssst..! dibelantara sana, si Anjing siapkan keranjang truk. Tuk angkut siapa saja yang siap perang”, bisik tikus rimba syarat dengan muatan politisnya.Bentuk tidaklah semudah terka. Sedang wajah selalau tampak dalam sketsa. Mencermati hari kemaren membuat kepala Rimba membubung asap jingga. Asap yang mengepul dari serakan garis lajur.
***

“Heemm...dunia ini mengecil seukuran kalkulator. Pagi yang belum tiba, sudah diterka dalam angka”, tambah sinis si Rimba tersungging di bibir. Irama siluet gemercik air, terus saja iringi percakapan mereka. Lintasi guritan kecil yang membelah ruang rapat menjadi dua sisi .Aliran air khas dengan keruhnya. Aliran yang diusung dari pintu tikungan got kota. Tiba-tiba suara mereka senyap, dan pandangan mereka terlempar ke kejauhan. Samar-samar tampak si tkus Tua beranjak singgah. Dengan nyaman tikus Tua menopang sebuah sampan putih kecil seukuran badannya. Terhanyut lembut bersama sehelai daun. Kecemasan mereka memuncak. Jantung terpacu berdetak setelah mereka menyaksikan dada si Tua bersimbah darah. Bercak darah segar menggenangi sampan. Kesenyapan itu menyisahkan tanya. Dugaan dan terka muncul dari tiap kepala. Bekas tikaman kucing ataukah sebetan tajam gigi si anjing. Tak biasanya memang. Sungguh tak biasa. Tak pelak apa yang terjadi…? Tiga tikus betina yang sejak tadi asyik ngerumpi di pojok ruang terkencing-kencing. ”Ahh.. dasar tikus betina”. Gumam satu di antara mereka. Lumayan juga. Adegan kecil si betina ini mampu menyedot separuh kategangan para muda. Sambil cekikian mata tikus muda melirik. ”Whaaa..”serentak takjub terbuka dari tiap mulut seisi ruangan. Suara pelampiasan lega. Ternyata yang mereka bayangkan tak separah keadaan. Tapi malah tak berjurusan. Sampan yang dilabuhi si Tua itu hanyalah sebatang lunak softek manusia wanita yang terapung. Softek yang baru saja dibuang wanita penghuni WC kost padat pemukiman kota. Sampan softek terus melaju ke ujung got. Sampai ahirnya tertambat di muara. Tinggal tikus tua berenang ketepian menyibak arus sambil terapung. Sampailah si Tua di antara kerumunan kawannya yang sudah basah keringat debat. Guratan wajahnya tampak lelah. Tidak ada yang tau persis dari mana asalnya. Separoh purnama memang si Tua tak tampak menyapa kawannya. Perbincangan terhenti sejenak, manakala tikus Tua bagikan oleh-oleh kisah. Pendaran file otak seluruh isi ruangan pudar. Buih amarah yang tadinya meletup berangsur redup. ”Kemana saja pak tua selama ini engkau singgahi kembara?”, sapa tikus pantai udarkan kerinduan berlaga puitif.

Dengan kalem khas suara tua yang serak basah berkisah.”Saya hanya bergerak berdasarkan perintah apa yang sudah didata. Apa yang Gusti ratu suruh, berjalanlah aku kesitu”. Mimk-mimik kisah selanjutnya menggeleter bersama tarian bibir, lumatan lidah dan desah. Beberapa hari ini pak Tua mendapat jobe untuk menjarah makanan di wilayah negeri barat daya. Perintah sang Ratu bukanlah sikap ‘gebyah uyah’. Tapi sudah diriset berdasarkan rumus theologi. Tikus tua ini kerap kali mendatangi wilayah tertentu. Punpula kadang ke negeri seberang nan jauh. Daerah yang dirambah si Tua ini berkaitan erat dangan pemilik suatu benda atau sawah yang sombong, congkak, dan tidak mau bersedekah. Bahkan yang menjadi incaran si tikus Tua ini adalah para manusia yang lupa pada tuhannya. Lupa dan tenggelam terlibat cinta serius dengan kemilikannya, daripada tuhannya yang telah memberi. Manusia yang kepincut godaan bayangan. Seolah-olah hartanyalah yang menyukseskan perjalanan hidupnya. Tikus Tua ini sosok pemimpin. Sementara pasukannya berjumlah limabelas ribuan untuk satu kali operasi meludeskan harta benda.

Pernah suatu malam tikus Tua ini berubah menjadi manusia. Ia menstransfer dirinya, dari sel sel atom padatan tikus, menjelma persis jadi padatan atom dan prilaku manusia. Dengan laga pejalan jauuh dan bertampang pengemis Pak Tua berdiri di pinggir jalan suatu kampung. Kampung yang beberapa minggu ini penghuninya siang malam sibuk bertempur. Bukan melawan penjajah atau musuh, melainkan berjuang membasmi hama tikus yang melanda sawah, ladang, dan gudang mereka. Tanaman warga seluruh kampung pada periode yang hampir gagal panen. Sebab hanya sepertiga saja yang tersisa. Lainnya ludes sudah. Warga benar-benar kelabakan dan kehabisan cara menghadapi serbuan tikus. Dari pembubuhan racun pada makanan, pelacakan pasukan anjing, sampai penyengatan srum aliran listrik. Tapi aneh, jumlahnya jutru makin bertambah dan membabi buta. Kejanggalan pun terjadi. Keherananpun tak urung lagi. Ada beberapa pamilik tanaman yang baik hati, tidak sombong, suka bersedekah, tanamannya justru masih utuh. Memang..! Tikus seolah bergerak berdasarkan data dan perintah.

Tak seperti hari-hari biasanya. Gerimis sore itu bekukan debu. Jalanan terasa lengang. Tampak dari jauh sepasang mata kucing raksasa sedang melintas. Lambat laun semakin dekat. Yang tadinya seperti kucing raksasa ternyata truk bermuatan kosong. Pak tua lambaikan tangan sebagai tanda isarat nunut menumpang. Supirpun berhenti. Mereka tawar menawar kesepakatan, pas dan tancap gas. Pak tua minta berhenti dipertengahan sawah. Dengan ramah bungkukkan badan pak Tua ucapkan terimakasih. Mereka bercakap akrab beberapa menit. Tanpa disadari pak supir, di bak belakang turun dan berhamburan keluar ribuan tikus anak buah pak Tua.
***

Tiga hari berlalu sudah. Di kedai kopi warung nyentrik bu Darmani yang berlokasi di pojok kampung dekat rel kereta. Pak supir larutkan pagi bersama secangkir kopi. Berita tersiar kondang di halaman surat kabar. Kolom-kolomnya mengulas papar tentang serangan hama tikus. Ada sebaris kata bertitik koma dan berahir dengan tanda petik. ”Serbuan hama tikus redah di kampung A, dan kini merajalela di kampung B, dan entah kapan lagi berganti kekampung C. Bulukudu pak supir berdiri. Hanya dia yang tau. Sungguh hanya dia yang tau melebihi koran harian pagi.
***

Secara umum pola kehidupan tikus Tua memang tak berhubungan dengan penyerobotan jatah makanan. Kalau tikus yang lain risih dengan ulah para kucing, tikus Tua ini malah sebaliknya. Dia pemegang maskot pembalakan liar jatah kucing.

Mencermati perihal lakon yang dijalani tikus Tua ini, tikus lembah kembali pertegas kata-katanya. ”Kita perlu bangga dijadikan makhluk seunik tikus. Tidak ada lho, mahkluk yang sanggup ditakdir menjadi tikus. Kita ini tidak merusak dunia atau merugikan siapa-siapa. Malahan kita penyelamatnya. Sebab kita yang menyerap harta mereka jatah untuk sakit dan kecelakaan. ”ooo..maksut lembah ..seharusnya siapapun menanyai dulu harta yang hendak menghampirinya. Wahai harta..! kau datang mau apa? Selamatkan atau porak-porandakan. Kalau selamatkan silahkan masuk, kalau hancurkan silahkan pergi meskipun banyak.”, tandas tikus Sawah sambil berekspresi irama tulunjuk tuding.

Melihat alur pembicaraan kian melebar ke berbagai wilayah pegetahuan, tikus rimbapun segera rekabisme semua pendapat. Dipilahlah satu persatu. Ada topik yang diangkat, ada pula yang diendapkan. Ada yang dipakai, ada pula yang di buang. Kesimpulan ditarik kembali ke garis awal, dimana semua thethek mbengek yang berkaitan dengan tikus, pasti dikendalai kucing. Dari lajur kesimpulan inilah minimal para tikus menemukan rumusan. Kendati rumus itu tidaklah mampu bagi para tikus untuk ngangkangi kucing, setidaknya ditemukan cara agar para tikus biar bergerak dengan selamat dan aman.

Dibukalah pendapat dari tikusin yang hadir. Ide bermunculan dari moncong para tikus. Ditengah gaduh celometan, muncullah tikus kebun. Sejak tadi dia ada, tapi tak tampak. Kebun menyimak setiap peristiwa dari rongga lubang. Setelah de`h`em, “emg..emg.”, barulah ia bicara. “saudaraku para tikus yang moncong-moncong. Bagaimana kalau kita ikat saja kalung kelintingan di leher kucing! Agar kucing ketakutan dengan suara gemerincing yang terus mengikutinya. Dan ahirnya lari tunggang langgang jauh sejauh jauhnya, dan tidak kembali lagi ke negeri ini” ujar siasat tikus kebun. Semua terdiam sejenak..! Dua menit kemudian barulah serempak, ”setujuuu..setujuu..setujuu..”.Diulanglah kalimat itu berkali-kali. Itulah kejeniusan tikus kebun. Selalu tampil sebuah anding sebuah cerita. Pernah suatu hari ia mengutarakan perihal alasannya kenapa ia tinggal di kebun. Dia ingin selalu menempati pekarangan belakang rumah. Dia berharap jika suatu saat nanti halaman depan rumah sudah digulung sejarah, ia masih mempunyai tempat singgah. “Tapi siapa yang mengalungkannya di leher kucing?” Tindih tanya tikus Kebun. Merekapun diam dan hanya ada bahasa saling memandang. Pandang punya pandang ahirnya semua matapun tertuju pada si tikus Muda. Berat memang tugas ini. Bisa saja sekali beraksi, sudah itu mati di tikam. Terlihat tikus Muda berkali-kali menelan ludah. Meski tidak gemetar tetapi keberaniannya seperti ditatar. Keringat dingin mulai mengucur. Nyalinya tak gegap lagi seperti semula. Setelah beberapa detik lalu wajah kekasihnya datang melintas. ”Begini saja..!”, tikus gunung saut suasana. ”Kita adakan sayembara. Bagi tikus yang berkalung kelintingan, akan mendapat jatah free ham tikus sepuas puasnya. ”Tepuk tangan riuh gemuruh bergema penuhi ruangan, applous kegembiraan hargai ide jenius tikus kebun.

Pada lorong yang sama beberapa ratus meter dari tempat mereka rapat ada bebrapa manusia yang sedang bekerja. Mereka bekerja menggali lumpur got. Pekerja itu dibawah naungan pamkot seksi pematusan kota. Untuk mempermudah pekerjaannya, para penggali lumpur ini membikin beberapa tampungan dari karung yang diisi tanah. Mengingat pekerjaannya selesai, dibukalah tampungan air yang sudah membanjir. ”Bruoooll” Airpun meluncur deras. Badai lorong terjadi. Air yang kencang segera saput genangi bak control. Tempat para tikus rapatpun terlibas. Para tikus kocar-kacir berlarian semburat selamatkan diri. Ada juga yang terseret arus sampai kemuara, dan tak pernah kembali. Anding rapat yang porak poranda tersebut” kelanjutannya via sms saja!”, teriak antara mereka.” .

*) Petani. Cerpenis yang berkreasi di Lincak sastera dowong. Beralamat di Dowong, Ds.Plosokerep, Kec. Sumobito, Kab.Jombang Jawa timur. Hp:081-359-913-62

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt