Eddy D. Iskandar
http://www.pikiran-rakyat.com/
KETIKA seorang produser hendak membuat film, apa yang diharapkannya? Keuntungan atau penghargaan? Film yang dibuat semata-mata mengejar keuntungan disebut film karya pedagang. Sebaliknya, film yang semata-mata dibuat hanya untuk kepuasan pribadi sutradaranya dalam berkreasi, sering disebut sebagai film yang sarat dengan idealisme yang tidak hanya menempatkan film sebagai barang dagangan.
Bisa jadi, film-film yang kurang laku tapi mendapatkan penghargaan dalam festival nasional atau internasional akan melambungkan pamor sutradaranya. Akan tetapi, tidak demikian dengan produsernya. Ia telah mengeluarkan uang miliaran, tapi penghargaan terbesar justru dirasakan oleh sutradaranya, pemerannya, atau unsur pendukung lainnya. Sementara para produser yang membuat film hanya untuk tujuan bisnis akan mengedepankan prinsip ekonomi, mengeluarkan biaya serendah mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.
Bayangkan, jika sebuah film dengan biaya relatif rendah hanya Rp 1,5 miliar, lalu ditonton oleh 1,2 juta orang. Di lain pihak film dengan biaya Rp 5 miliar misalnya, menghasilkan pula jumlah penonton yang sama banyaknya. Lebih ironis lagi film yang menghabiskan Rp 7 miliar, jumlah penontonnya hanya lima puluh ribu orang. Mana yang akan dipilih oleh para produser? Film dengan biaya relatif rendah, biasanya film-film yang judul, cerita, berikut publikasinya dibikin sensasional, termasuk menggunakan judul seram atau yang mengundang fantasi seksual. Pukul rata, film seperti ini diprediksi langka rugi.
Sutradara film laris "Ayat-Ayat Cinta", Hanung Bramantyo beranggapan bahwa yang paling ideal adalah membuat film yang menggabungkan idealisme dan bisnis. Yang penting bagi Hanung, tidak menghambat kebebasan berkreasi. Hal yang sama dikemukakan oleh produser Starvision Ir. Chand Parwez Servia, yang pertengahan Januari nanti akan mengedarkan film terbarunya "Perempuan Berkalung Sorban" karya Hanung Bramantyo. Film tersebut, bagi Parwez merupakan film seperti yang diinginkan Hanung, bagus dan memiliki daya tarik (bisnis) yang kuat. Parwez sudah membeli hak cipta untuk film dari pengarangnya Abidah El Khalieqy sejak lama. Ia benar-benar tertarik oleh tema cerita film tersebut. Kalau kemudian memilih Hanung sebagai sutradara film tersebut, karena ia percaya, di tangan Hanung cerita yang kuat itu akan menghasilkan film yang berkualitas.
Menurut Parwez, yang ideal adalah filmnya bagus juga laris. Film seperti "Get Married", "Ada Apa dengan Cinta", "Nagabonar Jadi 2", "Ayat-Ayat Cinta", dan "Laskar Pelangi", merupakan paduan film berkualitas yang menunjukkan kebebasan berkreasi sutradaranya, tapi juga tetap merancang kekuatan komersialnya tanpa harus terjebak pada cara-cara murahan.
Yang menarik, kebanyakan sutradara muda yang kini terus bermunculan lebih mengedepankan wujud sebuah film yang lebih besar porsi idealismenya, tapi kurang berhasil dalam pemasaran. Misalnya film terbaik FFI 2008, "Fiksi" karya sutradara wanita Mouly Surya, juga film yang masuk nomine Film Terbaik FFI 2008 "May" karya Viva Westi.
Sutradara-sutradara muda itu muncul melalui perusahaan film yang tadinya tak begitu dikenal, misalnya "May" (Flix Pictures), "Radit dan Jani" (Investasi Film Indonesia), "Lost in Love" (Samua Rumah Produksi), "Fiksi" (Surya Indrantara). Selama ini, perusahaan film yang dikenal produktif di antaranya Starvision Plus, Multivision Plus, Indika Entertainment, Miles Productions, Sinemart, Rapi Film, MD Entertainment, dan Soraya Intercine.
Munculnya sutradara muda yang berkreasi melalui perusahaan film baru, bahkan ada yang merangkap jadi produsernya, membuat atmosfer kebangkitan film Indonesia lebih signifikan. Judul film seperti "Fiksi" atau "May" akan menjadi semacam perlawanan terhadap judul-judul (film) berselera rendah.
Ke depan, kebebasan berkreasi melalui film itu akan benar-benar hidup, kalau kehadiran sutradara muda memang konsisten. Jangan sampai sekali berarti, lalu mati. Semboyan FFI 2008 "Bangkit Menuju Citra Baru" dengan bukti kemenangan yang diraih sutradara muda (sebagian besar wanita), akan menjadi sia-sia kalau sutradara muda itu lantas tenggelam, tidak lagi membuat film.
Ujian terbesar bagi seorang sineas adalah konsistensinya dalam membuat film, apakah ia akan menjadi seorang idealis atau seorang yang mampu membuat film yang bagus dan komersial. Dalam hal ini, saya harus memuji konsistensi seorang Garin Nugroho, yang tetap memiliki "tempat khusus" sebagai seorang sutradara yang mempertahankan idealismenya, termasuk kebebasan berkreasi dalam pengertian ia terus membuat film yang berkualitas tanpa terpengaruh takaran ditonton oleh jutaan orang atau tidak. Dengan sikapnya yang tegas itu, Garin adalah satu-satunya sutradara yang kenyang mendapatkan penghargaan internasional. Ketika film "Opera Jawa" hanya mendapatkan Penghargaan Khusus dalam FFI 2006, di mancanegara justru mendapat perhatian serius, termasuk terpilihnya Artika Sari Devi (pemeran utama wanita) sebagai pemain terbaik. Simak pula judul-judul film Garin, seperti "Cinta Dalam Sepotong Roti", "Surat untuk Bidadari", "Bulan Tertusuk Ilalang", "Izinkan Aku Menciummu Sekali Saja", "Daun di Atas Bantal", dan yang terakhir "Under the Tree/Di Bawah Pohon", menegaskan sosok Garin yang sangat menguasai teknik sinematografi dan selalu ingin berkreasi seperti apa yang dikehendakinya tanpa harus mengikuti kemauan produser.
Sineas terdahulu kita seperti Usmar Ismail, Syuman Djaya, Nyak Abbas Acup, Teguh Karya, Wim Umboh, dan Chaerul Umam mendapatkan penghargaan karena teruji dedikasi, kreativitas, dan sikapnya melalui rintisan karier yang sangat panjang.
Sekarang kita melihat sikap konsisten itu ada pada sutradara muda seperti Riri Riza, Hanung Bramantyo, Rudy Sudjarwo, Nia Dinata, Hanny R. Saputra, termasuk munculnya Deddy Mizwar sebagai sutradara. Setidaknya hingga saat ini mereka terus berkarya, dengan karya-karya film yang tidak semata-mata sebagai barang dagangan.
Munculnya sutradara muda yang langsung mendapatkan penghargaan terbaik, mudah-mudahan akan menggugah mereka untuk konsisten dalam berkarya, juga merangsang munculnya sutradara baru. Satu hal yang pasti, industri film tidak akan berkembang jika hanya melahirkan film-film pemenang (festival) yang kurang peminat, tanpa kehadiran film-film komersial. Untungnya, sekarang ini festival film bukan hanya FFI sehingga keragaman predikat film terbaik itu bisa terjadi. Kebijakan Festival Film Bandung (FFB) untuk memilih Regu Pengamat dari berbagai kalangan profesi, dengan ketentuan mereka yang terpilih adalah yang aktif menonton film/sinetron (bukan yang baru menonton film Indonesia karena jadi Regu Pengamat), memberi dampak positif bagi film yang terpilih jadi film terpuji. Umumnya Film Terpuji FFB itu sinergi dengan paduan kualitas dan bisnis, seperti film "Cintaku di Rumah Susun", "Arisan", "Ada Apa dengan Cinta", "Berbagi Suami", "Nagabonar Jadi 2", dan "Ayat-Ayat Cinta". Bahkan, ketika yang terpilih itu filmnya sedang beredar, berdampak pada meningkatnya jumlah penonton film tersebut.
Ketika ada kesulitan untuk menilai film-film yang berbeda dengan film cerita pada umumnya, yakni film-film yang tidak lazim, film yang lebih mencerminkan sikap individu sutradaranya, ada kesepakatan untuk tidak dikompetisikan, melainkan diberikan penghargaan khusus.
Pada hakikatnya, perkembangan film akan lebih menarik jika ke depan film-film yang bagus dan berkualitas itu merajai pemasaran, sementara film-film "alternatif" terus bermunculan dan meluas peminatnya. Karena melalui film-film seperti itu, sutradara baru akan terus bermunculan. Ciri-cirinya, muda usia, memilih tema yang langka, kalau perlu dengan biaya dan melalui perusahaan film sendiri. Masa depan karya film Indonesia ada di tangan sineas muda. Setidaknya, kesan itu tergambar dari kenyataan yang ada saat ini. ***
*) Ketua Umum Forum Film Bandung (FFB), Penulis Skenario, Novelis, Pemred SKM "Galura".
http://www.pikiran-rakyat.com/
KETIKA seorang produser hendak membuat film, apa yang diharapkannya? Keuntungan atau penghargaan? Film yang dibuat semata-mata mengejar keuntungan disebut film karya pedagang. Sebaliknya, film yang semata-mata dibuat hanya untuk kepuasan pribadi sutradaranya dalam berkreasi, sering disebut sebagai film yang sarat dengan idealisme yang tidak hanya menempatkan film sebagai barang dagangan.
Bisa jadi, film-film yang kurang laku tapi mendapatkan penghargaan dalam festival nasional atau internasional akan melambungkan pamor sutradaranya. Akan tetapi, tidak demikian dengan produsernya. Ia telah mengeluarkan uang miliaran, tapi penghargaan terbesar justru dirasakan oleh sutradaranya, pemerannya, atau unsur pendukung lainnya. Sementara para produser yang membuat film hanya untuk tujuan bisnis akan mengedepankan prinsip ekonomi, mengeluarkan biaya serendah mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.
Bayangkan, jika sebuah film dengan biaya relatif rendah hanya Rp 1,5 miliar, lalu ditonton oleh 1,2 juta orang. Di lain pihak film dengan biaya Rp 5 miliar misalnya, menghasilkan pula jumlah penonton yang sama banyaknya. Lebih ironis lagi film yang menghabiskan Rp 7 miliar, jumlah penontonnya hanya lima puluh ribu orang. Mana yang akan dipilih oleh para produser? Film dengan biaya relatif rendah, biasanya film-film yang judul, cerita, berikut publikasinya dibikin sensasional, termasuk menggunakan judul seram atau yang mengundang fantasi seksual. Pukul rata, film seperti ini diprediksi langka rugi.
Sutradara film laris "Ayat-Ayat Cinta", Hanung Bramantyo beranggapan bahwa yang paling ideal adalah membuat film yang menggabungkan idealisme dan bisnis. Yang penting bagi Hanung, tidak menghambat kebebasan berkreasi. Hal yang sama dikemukakan oleh produser Starvision Ir. Chand Parwez Servia, yang pertengahan Januari nanti akan mengedarkan film terbarunya "Perempuan Berkalung Sorban" karya Hanung Bramantyo. Film tersebut, bagi Parwez merupakan film seperti yang diinginkan Hanung, bagus dan memiliki daya tarik (bisnis) yang kuat. Parwez sudah membeli hak cipta untuk film dari pengarangnya Abidah El Khalieqy sejak lama. Ia benar-benar tertarik oleh tema cerita film tersebut. Kalau kemudian memilih Hanung sebagai sutradara film tersebut, karena ia percaya, di tangan Hanung cerita yang kuat itu akan menghasilkan film yang berkualitas.
Menurut Parwez, yang ideal adalah filmnya bagus juga laris. Film seperti "Get Married", "Ada Apa dengan Cinta", "Nagabonar Jadi 2", "Ayat-Ayat Cinta", dan "Laskar Pelangi", merupakan paduan film berkualitas yang menunjukkan kebebasan berkreasi sutradaranya, tapi juga tetap merancang kekuatan komersialnya tanpa harus terjebak pada cara-cara murahan.
Yang menarik, kebanyakan sutradara muda yang kini terus bermunculan lebih mengedepankan wujud sebuah film yang lebih besar porsi idealismenya, tapi kurang berhasil dalam pemasaran. Misalnya film terbaik FFI 2008, "Fiksi" karya sutradara wanita Mouly Surya, juga film yang masuk nomine Film Terbaik FFI 2008 "May" karya Viva Westi.
Sutradara-sutradara muda itu muncul melalui perusahaan film yang tadinya tak begitu dikenal, misalnya "May" (Flix Pictures), "Radit dan Jani" (Investasi Film Indonesia), "Lost in Love" (Samua Rumah Produksi), "Fiksi" (Surya Indrantara). Selama ini, perusahaan film yang dikenal produktif di antaranya Starvision Plus, Multivision Plus, Indika Entertainment, Miles Productions, Sinemart, Rapi Film, MD Entertainment, dan Soraya Intercine.
Munculnya sutradara muda yang berkreasi melalui perusahaan film baru, bahkan ada yang merangkap jadi produsernya, membuat atmosfer kebangkitan film Indonesia lebih signifikan. Judul film seperti "Fiksi" atau "May" akan menjadi semacam perlawanan terhadap judul-judul (film) berselera rendah.
Ke depan, kebebasan berkreasi melalui film itu akan benar-benar hidup, kalau kehadiran sutradara muda memang konsisten. Jangan sampai sekali berarti, lalu mati. Semboyan FFI 2008 "Bangkit Menuju Citra Baru" dengan bukti kemenangan yang diraih sutradara muda (sebagian besar wanita), akan menjadi sia-sia kalau sutradara muda itu lantas tenggelam, tidak lagi membuat film.
Ujian terbesar bagi seorang sineas adalah konsistensinya dalam membuat film, apakah ia akan menjadi seorang idealis atau seorang yang mampu membuat film yang bagus dan komersial. Dalam hal ini, saya harus memuji konsistensi seorang Garin Nugroho, yang tetap memiliki "tempat khusus" sebagai seorang sutradara yang mempertahankan idealismenya, termasuk kebebasan berkreasi dalam pengertian ia terus membuat film yang berkualitas tanpa terpengaruh takaran ditonton oleh jutaan orang atau tidak. Dengan sikapnya yang tegas itu, Garin adalah satu-satunya sutradara yang kenyang mendapatkan penghargaan internasional. Ketika film "Opera Jawa" hanya mendapatkan Penghargaan Khusus dalam FFI 2006, di mancanegara justru mendapat perhatian serius, termasuk terpilihnya Artika Sari Devi (pemeran utama wanita) sebagai pemain terbaik. Simak pula judul-judul film Garin, seperti "Cinta Dalam Sepotong Roti", "Surat untuk Bidadari", "Bulan Tertusuk Ilalang", "Izinkan Aku Menciummu Sekali Saja", "Daun di Atas Bantal", dan yang terakhir "Under the Tree/Di Bawah Pohon", menegaskan sosok Garin yang sangat menguasai teknik sinematografi dan selalu ingin berkreasi seperti apa yang dikehendakinya tanpa harus mengikuti kemauan produser.
Sineas terdahulu kita seperti Usmar Ismail, Syuman Djaya, Nyak Abbas Acup, Teguh Karya, Wim Umboh, dan Chaerul Umam mendapatkan penghargaan karena teruji dedikasi, kreativitas, dan sikapnya melalui rintisan karier yang sangat panjang.
Sekarang kita melihat sikap konsisten itu ada pada sutradara muda seperti Riri Riza, Hanung Bramantyo, Rudy Sudjarwo, Nia Dinata, Hanny R. Saputra, termasuk munculnya Deddy Mizwar sebagai sutradara. Setidaknya hingga saat ini mereka terus berkarya, dengan karya-karya film yang tidak semata-mata sebagai barang dagangan.
Munculnya sutradara muda yang langsung mendapatkan penghargaan terbaik, mudah-mudahan akan menggugah mereka untuk konsisten dalam berkarya, juga merangsang munculnya sutradara baru. Satu hal yang pasti, industri film tidak akan berkembang jika hanya melahirkan film-film pemenang (festival) yang kurang peminat, tanpa kehadiran film-film komersial. Untungnya, sekarang ini festival film bukan hanya FFI sehingga keragaman predikat film terbaik itu bisa terjadi. Kebijakan Festival Film Bandung (FFB) untuk memilih Regu Pengamat dari berbagai kalangan profesi, dengan ketentuan mereka yang terpilih adalah yang aktif menonton film/sinetron (bukan yang baru menonton film Indonesia karena jadi Regu Pengamat), memberi dampak positif bagi film yang terpilih jadi film terpuji. Umumnya Film Terpuji FFB itu sinergi dengan paduan kualitas dan bisnis, seperti film "Cintaku di Rumah Susun", "Arisan", "Ada Apa dengan Cinta", "Berbagi Suami", "Nagabonar Jadi 2", dan "Ayat-Ayat Cinta". Bahkan, ketika yang terpilih itu filmnya sedang beredar, berdampak pada meningkatnya jumlah penonton film tersebut.
Ketika ada kesulitan untuk menilai film-film yang berbeda dengan film cerita pada umumnya, yakni film-film yang tidak lazim, film yang lebih mencerminkan sikap individu sutradaranya, ada kesepakatan untuk tidak dikompetisikan, melainkan diberikan penghargaan khusus.
Pada hakikatnya, perkembangan film akan lebih menarik jika ke depan film-film yang bagus dan berkualitas itu merajai pemasaran, sementara film-film "alternatif" terus bermunculan dan meluas peminatnya. Karena melalui film-film seperti itu, sutradara baru akan terus bermunculan. Ciri-cirinya, muda usia, memilih tema yang langka, kalau perlu dengan biaya dan melalui perusahaan film sendiri. Masa depan karya film Indonesia ada di tangan sineas muda. Setidaknya, kesan itu tergambar dari kenyataan yang ada saat ini. ***
*) Ketua Umum Forum Film Bandung (FFB), Penulis Skenario, Novelis, Pemred SKM "Galura".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar