Riadi Ngasiran
http://dutamasyarakat.com/
Karya sastra yang baik menawarkan daya kejut, bahkan subversif. Ia berusaha untuk menolak arus umum: bila ada wajah yang bopeng di masyarakat, ia tak segan untuk mempertontonkan, bila ada pembelokan atas fakta dan nilai sastra hadir untuk meluruskan. Karena sifatnya yang mengejutkan itu, kerap menimbulkan kontroversi. Marilah kita tengok dua karya penulis perempuan kita, Zoya Herawati dan Abidah Al-Khalieqy.
Zoya Herawati, di antara sastrawan tinggal di Surabaya, yang cukup produktif mengelaborasi sejarah dan latar belakang sosial masyarakat sakit dalam karyanya. Setelah menghadirkan novelnya, Prosesi, dengan setting kehidupan sebuah komunitas Tionghoa, ia ternyata, dalam mengabdikan dirinya di dunia menulis, membenamkan diri pada persoalan pada pekat dalam perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia. Derak-derak, sebuah novel bertema politik, ideologi, sejarah dan praktek-praktek sosial pada masa pra dan pasca-G30S dikupas dalam acara yang dimaksudkan untuk meningkatkan apresiasi sastra dan kreativitas mahasiswa. Novel ini dapat dijadikan sebagai sumber makna dan pengalaman pembacanya.
Zoya berhasil secara apik memanfaatkan tokoh aku dalam novelnya, untuk bermain-main dengan pembaca. Selain itu novel ini menunjukkan citra dan konsep dalam karya sastra terkait dengan kehidupan masa lalu korban politik, berikut perlakuan diskriminasi. Zoya, sang penulis, mampu memunculkan gejala kultural antara masa lampau dan sekarang, mampu menampilkan berbagai masalah kehidupan sekelompok masyarakat, emosionalitas dan intelektualitas.
Ia berusaha memanifestasikan situasi kontemporer yang terjadi dalam berbagai perubahan kekuasaan. Derak-Derak merupakan novel terbitan Ombak Yogyakarta pada 2005 yang mengisahkan luka-luka lama, bukan untuk memantik luka baru, tetapi untuk memperjelas peristiwa kelam bangsa demi lembaran baru ke depan. Novel ini berpotensi menjadi sebentuk narasi penyembuh ketika yang terluka diberi ruang untuk bersuara, sementara yang melukai diberi kesempatan untuk meminta maaf tanpa keduanya terus-menerus diposisikan secara bermusuhan Zoya Herawati dikenal sebagai penulis yang mampu membuat gebrakan dengan karya-karyanya yang mengundang kontroversi di kalangan seniman.
Zoya meyakini betapa karyanya kali ini berbau pergerakan bawah tanah atau kaum yang dianggap kiri oleh masyarakat. Beberapa kali naskah Derak-derak ditolak oleh penerbit. Zoya juga mengungkapkan bahwa tidak ada tokoh utama dalam novel terbarunya yang dikatakan ingin memberikan gambaran dan metafora kondisi Indonesia yang dimulai dengan kisah perang kemerdekaan Indonesia pada 1946, ketika partai komunis masih berperan.
Di tengah arus penulis perempuan yang mengangkat problematika jender dan seks yang menggejala, Zoya Herawati justru tidaklah demikian. Ia memandang sebuah karya sastra lahir, baik perempuan maupun laki-laki untuk saat ini sama-sama merefleksi ketakutan masing-masing. Keberanian perempuan dalam sastra adalah ketakutan terhadap ideologi patriarki. Demikian juga sebaliknya, laki-laki yang selalu digambarkan perkasa, juga sering menyembunyikan kekurangan dan ketidakmampuan.
Bagaimana dengan Abidah El-Khalieqy. Karya novelnya, yang kini difilmkan, Perempuan Berkalung Sorban mengangkat kisah Annisa, putri Kiai Hanan, seorang pemimpin pondok pesantren di Jawa Timur. Ia melakukan pemberontakan atas realitas di sebuah masyarakat, sub-kultur pesantren. Ada anjuran agar filmnya tidak ditonton lantaran menimbulkan salah persepsi tentang Islam dan pesantren. Benarkah?
Saya hanya terdiam. Tapi, saya menyadari betapa pun sebuah karya sastra, meskipun kenyataannya bisa dibilang telah usang, tapi perlu ditengok penulisnya. Abidah Al-Khalieqy, yang pernah nyantri di Pesantren Persis Bangil, tentu menyisipkan pengalamannya pribadi dalam obsesi naskah karyanya itu.
Tapi, bisa kita cermati sejumlah adegan dalam filmnya, mendapat protes dari tokoh Islam, seperti Prof Ali Mustofa Ya�kub, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Pencitraan Islam sangat buruk. Seolah Islam mengajarkan hal yang tidak sesuai perkembangan zaman. Misalnya seorang perempuan tidak boleh keluar rumah untuk belajar. Tak boleh menunggang kuda. Penggambaran salah tentang pesantren: Kiai Ali (Leroy Oesmani) memaksa anaknya, Annisa, menikah dengan Samsudin anak kiai ponpes besar demi kelangsungan pesantrennya. Tak boleh membaca buku selain kitab kuning. Annisa yang mendapat suara lebih banyak dalam pemilihan ketua kelas akhirnya harus dikalahkan siswa pria karena perempuan tak boleh jadi pemimpin.
Pemerkosaan suami terhadap istri. Suami boleh poligami kendati istri pertama tak setuju. Istri tak boleh minta cerai.
Itulah reaksi, itulah protes, itulah nilai karya sastra. Ia mengusik sekaligus mengganggu ketenangan berpikir masyarakat, khusus mereka yang berpikir establish.
Sastra adalah semesta kreativitas yang bebas diskriminasi jender. Sastra dalam arti yang sebenar-benarnya tak boleh diskriminatif. Memang, untuk Indonesia, sejak dulu perempuan seolah-olah merupakan obyek yang tiada habisnya. Perempuan lebih banyak diposisikan sebagai tokoh sentral.
Bedanya, kalau dulu menggunakan bahasa lelaki karena penulisnya pria, sekarang yang muncul adalah bahasa perempuan.
Benarkah problematika yang dihadapi penulis merupakan pemberontakan, perlawanan atas perlakuan yang tidak adil; sementara sastrawan pada umumnya justru menampilkan perempuan sebagai sesuatu yang indah, bahkan lebih indah dari aslinya. Karena itu, perempuan penulis tampaknya tidak menghendaki kepalsuan tersebut dan lahirlah dalam karya mereka sosok perempuan sebagai manusia biasa yang mendambakan kekuasan, harta, dan seks. Pada galibnya, sastra yang sejati merupakan karya yang adil, seimbang, dan menyeluruh, menyangkut pengalaman rohani penulisnya, sebagai pilihan untuk mengabdikan hidup di bidang sastra, yang semestinya membebaskan diri dari jenis jendernya.
http://dutamasyarakat.com/
Karya sastra yang baik menawarkan daya kejut, bahkan subversif. Ia berusaha untuk menolak arus umum: bila ada wajah yang bopeng di masyarakat, ia tak segan untuk mempertontonkan, bila ada pembelokan atas fakta dan nilai sastra hadir untuk meluruskan. Karena sifatnya yang mengejutkan itu, kerap menimbulkan kontroversi. Marilah kita tengok dua karya penulis perempuan kita, Zoya Herawati dan Abidah Al-Khalieqy.
Zoya Herawati, di antara sastrawan tinggal di Surabaya, yang cukup produktif mengelaborasi sejarah dan latar belakang sosial masyarakat sakit dalam karyanya. Setelah menghadirkan novelnya, Prosesi, dengan setting kehidupan sebuah komunitas Tionghoa, ia ternyata, dalam mengabdikan dirinya di dunia menulis, membenamkan diri pada persoalan pada pekat dalam perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia. Derak-derak, sebuah novel bertema politik, ideologi, sejarah dan praktek-praktek sosial pada masa pra dan pasca-G30S dikupas dalam acara yang dimaksudkan untuk meningkatkan apresiasi sastra dan kreativitas mahasiswa. Novel ini dapat dijadikan sebagai sumber makna dan pengalaman pembacanya.
Zoya berhasil secara apik memanfaatkan tokoh aku dalam novelnya, untuk bermain-main dengan pembaca. Selain itu novel ini menunjukkan citra dan konsep dalam karya sastra terkait dengan kehidupan masa lalu korban politik, berikut perlakuan diskriminasi. Zoya, sang penulis, mampu memunculkan gejala kultural antara masa lampau dan sekarang, mampu menampilkan berbagai masalah kehidupan sekelompok masyarakat, emosionalitas dan intelektualitas.
Ia berusaha memanifestasikan situasi kontemporer yang terjadi dalam berbagai perubahan kekuasaan. Derak-Derak merupakan novel terbitan Ombak Yogyakarta pada 2005 yang mengisahkan luka-luka lama, bukan untuk memantik luka baru, tetapi untuk memperjelas peristiwa kelam bangsa demi lembaran baru ke depan. Novel ini berpotensi menjadi sebentuk narasi penyembuh ketika yang terluka diberi ruang untuk bersuara, sementara yang melukai diberi kesempatan untuk meminta maaf tanpa keduanya terus-menerus diposisikan secara bermusuhan Zoya Herawati dikenal sebagai penulis yang mampu membuat gebrakan dengan karya-karyanya yang mengundang kontroversi di kalangan seniman.
Zoya meyakini betapa karyanya kali ini berbau pergerakan bawah tanah atau kaum yang dianggap kiri oleh masyarakat. Beberapa kali naskah Derak-derak ditolak oleh penerbit. Zoya juga mengungkapkan bahwa tidak ada tokoh utama dalam novel terbarunya yang dikatakan ingin memberikan gambaran dan metafora kondisi Indonesia yang dimulai dengan kisah perang kemerdekaan Indonesia pada 1946, ketika partai komunis masih berperan.
Di tengah arus penulis perempuan yang mengangkat problematika jender dan seks yang menggejala, Zoya Herawati justru tidaklah demikian. Ia memandang sebuah karya sastra lahir, baik perempuan maupun laki-laki untuk saat ini sama-sama merefleksi ketakutan masing-masing. Keberanian perempuan dalam sastra adalah ketakutan terhadap ideologi patriarki. Demikian juga sebaliknya, laki-laki yang selalu digambarkan perkasa, juga sering menyembunyikan kekurangan dan ketidakmampuan.
Bagaimana dengan Abidah El-Khalieqy. Karya novelnya, yang kini difilmkan, Perempuan Berkalung Sorban mengangkat kisah Annisa, putri Kiai Hanan, seorang pemimpin pondok pesantren di Jawa Timur. Ia melakukan pemberontakan atas realitas di sebuah masyarakat, sub-kultur pesantren. Ada anjuran agar filmnya tidak ditonton lantaran menimbulkan salah persepsi tentang Islam dan pesantren. Benarkah?
Saya hanya terdiam. Tapi, saya menyadari betapa pun sebuah karya sastra, meskipun kenyataannya bisa dibilang telah usang, tapi perlu ditengok penulisnya. Abidah Al-Khalieqy, yang pernah nyantri di Pesantren Persis Bangil, tentu menyisipkan pengalamannya pribadi dalam obsesi naskah karyanya itu.
Tapi, bisa kita cermati sejumlah adegan dalam filmnya, mendapat protes dari tokoh Islam, seperti Prof Ali Mustofa Ya�kub, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Pencitraan Islam sangat buruk. Seolah Islam mengajarkan hal yang tidak sesuai perkembangan zaman. Misalnya seorang perempuan tidak boleh keluar rumah untuk belajar. Tak boleh menunggang kuda. Penggambaran salah tentang pesantren: Kiai Ali (Leroy Oesmani) memaksa anaknya, Annisa, menikah dengan Samsudin anak kiai ponpes besar demi kelangsungan pesantrennya. Tak boleh membaca buku selain kitab kuning. Annisa yang mendapat suara lebih banyak dalam pemilihan ketua kelas akhirnya harus dikalahkan siswa pria karena perempuan tak boleh jadi pemimpin.
Pemerkosaan suami terhadap istri. Suami boleh poligami kendati istri pertama tak setuju. Istri tak boleh minta cerai.
Itulah reaksi, itulah protes, itulah nilai karya sastra. Ia mengusik sekaligus mengganggu ketenangan berpikir masyarakat, khusus mereka yang berpikir establish.
Sastra adalah semesta kreativitas yang bebas diskriminasi jender. Sastra dalam arti yang sebenar-benarnya tak boleh diskriminatif. Memang, untuk Indonesia, sejak dulu perempuan seolah-olah merupakan obyek yang tiada habisnya. Perempuan lebih banyak diposisikan sebagai tokoh sentral.
Bedanya, kalau dulu menggunakan bahasa lelaki karena penulisnya pria, sekarang yang muncul adalah bahasa perempuan.
Benarkah problematika yang dihadapi penulis merupakan pemberontakan, perlawanan atas perlakuan yang tidak adil; sementara sastrawan pada umumnya justru menampilkan perempuan sebagai sesuatu yang indah, bahkan lebih indah dari aslinya. Karena itu, perempuan penulis tampaknya tidak menghendaki kepalsuan tersebut dan lahirlah dalam karya mereka sosok perempuan sebagai manusia biasa yang mendambakan kekuasan, harta, dan seks. Pada galibnya, sastra yang sejati merupakan karya yang adil, seimbang, dan menyeluruh, menyangkut pengalaman rohani penulisnya, sebagai pilihan untuk mengabdikan hidup di bidang sastra, yang semestinya membebaskan diri dari jenis jendernya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar