Satmoko Budi Santoso
http://cetak.kompas.com/
Jeda atau masa transisi bagi polemik wacana soal status keistimewaan DI Yogyakarta sudahlah cukup. Sekian minggu lalu, polemik soal status keistimewaan DIY seakan menghilang sementara, seperti sebuah isyarat bahwa masa perenungannya telah berakhir dan yang menjelang kemudian adalah sebuah keputusan.
Apa yang masih kurang jelas dari polemik soal status keistimewaan DIY? Tentu saja ini adalah wacana yang bisa dikembangkan sekarang ini. Bagi saya, fase bola wacana yang bisa dikembangkan sekarang adalah bagaimana sebenarnya "skenario politik" tingkat elite politik nasional (katakanlah di Jakarta) atas polemik status keistimewaan DIY yang telah berlangsung? Sejauh ini, apakah elite politik di Jakarta benar-benar merespons? Penelusuran tentang hal ini tentu saja akan menarik sebab pada tingkatan lokal segala perspektif tentang polemik keistimewaan sudah terbahas.
Dari mulai kontroversi sebagian elemen masyarakat yang pro penetapan keistimewaan sampai pada sebagian elemen masyarakat yang kontra penetapan keistimewaan sehingga merelakan atau membiarkan begitu saja jika Hamengku Buwono X melenggang menjadi petarung politik pada pemilihan presiden (pilpres) 2009.
Mengusung analisis "skenario politik" tingkat elite politik negara ke ranah lokal ini tentu saja sangat kondusif membuka ruang pencerdasan ruang publik menjadi lebih matang lagi karena terjadi kristalisasi informasi yang kompleks: siapa saja yang sebenarnya bermain dalam peta kepentingan atas majunya HB X dalam laga pilpres 2009? Kenapa harus HB X? Dan sebagainya, dan sebagainya. Ini penting sebab wacana demokrasi yang berkembang kemudian tidak hanya sebatas "katak dalam tempurung": karena yang disoroti hanya wacana pada tingkatan lokal Yogya, maka yang terjadi hanyalah akumulasi aspirasi kaum konservatif-feodalis yang notabene "ber-belangkon" versus kaum modernis intelektualis yang katakanlah didominasi para aktivis, akademisi, dan tokoh publik lainnya.
Menurut pendapat saya, spekulasi yang kemungkinan dimainkan oleh elite politik di tingkatan nasional adalah dibiarkannya wacana status keistimewaan DIY mengambang sampai waktu yang tidak ditentukan sehingga hal itu akan berdampak pada dua hal sekaligus bagi HB X yang "diam-diam tapi malu" sebenarnya tetap mau berlaga di ajang pilpres 2009: pertama, HB X diuntungkan dalam konteks penguasaan isu media karena polemik mengenai diri dan wilayahnya ter- blow up sedemikian rupa sehingga membuat ia tetap akan dilirik oleh sejumlah partai politik atau kandidat presiden lain dalam pilpres 2009. Kedua, ini dalam sisi negatif, sebenarnya secara tidak langsung juga membunuh karakter HB X meskipun secara halus. Sebab, dengan diambangkannya wacana soal status keistimewaan DIY, maka HB X seperti berada di dalam buah simalakama: mau maju pilpres 2009 belum jelas status tanah perdikan yang mau ditinggalkannya, sementara jika tidak maju pilpres 2009 sudah kepalang tanggung "pamit pensiun" kepada rakyat Yogya.
Terlepas dari apa yang sebenarnya dimaui oleh elite politik nasional atas fenomena komodifikasi status keistimewaan DIY sehingga "laku dijual" dalam konteks kepentingan tertentu, imbas demokratisasi yang juga mau tidak mau harus disadari oleh warga Yogya adalah kenyataan perlunya figur kandidat gubernur karena bagaimanapun HB X sudah pamit pensiun. Tanpa menyepelekan menjadi lebih rendah pendapat sejumlah elemen masyarakat yang menghendaki Sri Sultan HB X sebagai "penguasa seumur hidup" melalui jalur penetapan status keistimewaan DIY, menurut saya, Yogya tetap harus membuka ruang pencerdasan ruang publik dengan tersedianya demokratisasi kandidat gubernur pasca-HB X. Momentum sekarang ini adalah juga momentum yang sangat pas jika ingin memunculkan polemik soal wacana kandidat gubernur DIY.
Siapa pun nama kandidat itu, entah mantan bupati entah siapa saja, kiranya sudah saatnya digelembungkan. Pergeseran gerakan isu politik memang harus diembuskan sekencang mungkin sehingga masyarakat Yogya mendapatkan pilihan perspektif yang tidak hanya berada dalam koridor ibarat katak dalam tempurung. Jika target ini tercapai, akumulasi dari kemungkinan positif yang tercapai adalah terbentuknya masyarakat madani sebagaimana yang dicita-citakan sekian tahun silam: cerdas dan tanggap mengantisipasi berbagai kemungkinan pergolakan politik yang melanda wilayahnya.
Bagaimanapun masa jabatan Gubernur DIY memang tinggal dalam hitungan jari, sangat pendek. Sementara, jika kita masih tetap mengambangkan wacana status keistimewaan sebagai komodifikasi yang bisa dijual dalam bentuk apa pun, sebenarnyalah kita sendiri mempecundangi substansi demokratisasi. Oleh karena itulah, pilihan untuk mengembalikan substansi demokratisasi pada upaya mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan yang cenderung tak begitu terkomodifikasi adalah bernilai urgen. Untuk itu, momentum mengembalikan substansi demokratisasi tersebut tak pelak layak segera disambut.
Memang, masyarakat era sekarang akan relatif mudah menjustifikasi bahwa selalu ada kepentingan di balik segala niat bahkan yang paling netral sekalipun. Pasti ada udang di balik batu dari setiap maksud bahkan yang paling mulia, yakni mengembalikan substansi demokratisasi yang relatif tak menjadi obyek komodifikasi. Tetapi, setidaknya, jika memang upaya mengembalikan substansi demokratisasi ini disepakati bersama oleh para analis sosial- politik, elite politik, dan sebagainya, maka meskipun masyarakat tetap dibombardir dengan hujan wacana yang riuh-rendah soal idealisasi atas konsekuensi status keistimewaan DIY, bola wacana yang menggelinding tidaklah serta-merta bertendensi komodifikasi dan tetap proporsional.
Inilah posisi tersulit dalam menghadapi era demokratisasi substansial, ketika perspektif yang digunakan kemudian lebih pada sudut pandang sosiologi politik: bagaimana sebenarnya posisi dan peran masyarakat sebagai obyek demokratisasi didudukkan dan bagaimana sepantasnya arah bola wacana digelindingkan. Bukan berarti tinggi hati, tetapi perspektif semacam ini sungguh jarang digunakan oleh para analis sosial-politik, para politisi, atau siapa pun yang memang mempunyai hak bersuara sama antarsesama warga negara. By the way, proficiat Yogya, yang sungguh akan memasuki episode suksesi gubernur tak lama lagi, lantas, di manakah posisi Sri Sultan HB X akan "ditaruh"?
*) Direktur Lembaga Pemberdayaan dan Kreativitas Amarta, Bantul, DI Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/
Jeda atau masa transisi bagi polemik wacana soal status keistimewaan DI Yogyakarta sudahlah cukup. Sekian minggu lalu, polemik soal status keistimewaan DIY seakan menghilang sementara, seperti sebuah isyarat bahwa masa perenungannya telah berakhir dan yang menjelang kemudian adalah sebuah keputusan.
Apa yang masih kurang jelas dari polemik soal status keistimewaan DIY? Tentu saja ini adalah wacana yang bisa dikembangkan sekarang ini. Bagi saya, fase bola wacana yang bisa dikembangkan sekarang adalah bagaimana sebenarnya "skenario politik" tingkat elite politik nasional (katakanlah di Jakarta) atas polemik status keistimewaan DIY yang telah berlangsung? Sejauh ini, apakah elite politik di Jakarta benar-benar merespons? Penelusuran tentang hal ini tentu saja akan menarik sebab pada tingkatan lokal segala perspektif tentang polemik keistimewaan sudah terbahas.
Dari mulai kontroversi sebagian elemen masyarakat yang pro penetapan keistimewaan sampai pada sebagian elemen masyarakat yang kontra penetapan keistimewaan sehingga merelakan atau membiarkan begitu saja jika Hamengku Buwono X melenggang menjadi petarung politik pada pemilihan presiden (pilpres) 2009.
Mengusung analisis "skenario politik" tingkat elite politik negara ke ranah lokal ini tentu saja sangat kondusif membuka ruang pencerdasan ruang publik menjadi lebih matang lagi karena terjadi kristalisasi informasi yang kompleks: siapa saja yang sebenarnya bermain dalam peta kepentingan atas majunya HB X dalam laga pilpres 2009? Kenapa harus HB X? Dan sebagainya, dan sebagainya. Ini penting sebab wacana demokrasi yang berkembang kemudian tidak hanya sebatas "katak dalam tempurung": karena yang disoroti hanya wacana pada tingkatan lokal Yogya, maka yang terjadi hanyalah akumulasi aspirasi kaum konservatif-feodalis yang notabene "ber-belangkon" versus kaum modernis intelektualis yang katakanlah didominasi para aktivis, akademisi, dan tokoh publik lainnya.
Menurut pendapat saya, spekulasi yang kemungkinan dimainkan oleh elite politik di tingkatan nasional adalah dibiarkannya wacana status keistimewaan DIY mengambang sampai waktu yang tidak ditentukan sehingga hal itu akan berdampak pada dua hal sekaligus bagi HB X yang "diam-diam tapi malu" sebenarnya tetap mau berlaga di ajang pilpres 2009: pertama, HB X diuntungkan dalam konteks penguasaan isu media karena polemik mengenai diri dan wilayahnya ter- blow up sedemikian rupa sehingga membuat ia tetap akan dilirik oleh sejumlah partai politik atau kandidat presiden lain dalam pilpres 2009. Kedua, ini dalam sisi negatif, sebenarnya secara tidak langsung juga membunuh karakter HB X meskipun secara halus. Sebab, dengan diambangkannya wacana soal status keistimewaan DIY, maka HB X seperti berada di dalam buah simalakama: mau maju pilpres 2009 belum jelas status tanah perdikan yang mau ditinggalkannya, sementara jika tidak maju pilpres 2009 sudah kepalang tanggung "pamit pensiun" kepada rakyat Yogya.
Terlepas dari apa yang sebenarnya dimaui oleh elite politik nasional atas fenomena komodifikasi status keistimewaan DIY sehingga "laku dijual" dalam konteks kepentingan tertentu, imbas demokratisasi yang juga mau tidak mau harus disadari oleh warga Yogya adalah kenyataan perlunya figur kandidat gubernur karena bagaimanapun HB X sudah pamit pensiun. Tanpa menyepelekan menjadi lebih rendah pendapat sejumlah elemen masyarakat yang menghendaki Sri Sultan HB X sebagai "penguasa seumur hidup" melalui jalur penetapan status keistimewaan DIY, menurut saya, Yogya tetap harus membuka ruang pencerdasan ruang publik dengan tersedianya demokratisasi kandidat gubernur pasca-HB X. Momentum sekarang ini adalah juga momentum yang sangat pas jika ingin memunculkan polemik soal wacana kandidat gubernur DIY.
Siapa pun nama kandidat itu, entah mantan bupati entah siapa saja, kiranya sudah saatnya digelembungkan. Pergeseran gerakan isu politik memang harus diembuskan sekencang mungkin sehingga masyarakat Yogya mendapatkan pilihan perspektif yang tidak hanya berada dalam koridor ibarat katak dalam tempurung. Jika target ini tercapai, akumulasi dari kemungkinan positif yang tercapai adalah terbentuknya masyarakat madani sebagaimana yang dicita-citakan sekian tahun silam: cerdas dan tanggap mengantisipasi berbagai kemungkinan pergolakan politik yang melanda wilayahnya.
Bagaimanapun masa jabatan Gubernur DIY memang tinggal dalam hitungan jari, sangat pendek. Sementara, jika kita masih tetap mengambangkan wacana status keistimewaan sebagai komodifikasi yang bisa dijual dalam bentuk apa pun, sebenarnyalah kita sendiri mempecundangi substansi demokratisasi. Oleh karena itulah, pilihan untuk mengembalikan substansi demokratisasi pada upaya mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan yang cenderung tak begitu terkomodifikasi adalah bernilai urgen. Untuk itu, momentum mengembalikan substansi demokratisasi tersebut tak pelak layak segera disambut.
Memang, masyarakat era sekarang akan relatif mudah menjustifikasi bahwa selalu ada kepentingan di balik segala niat bahkan yang paling netral sekalipun. Pasti ada udang di balik batu dari setiap maksud bahkan yang paling mulia, yakni mengembalikan substansi demokratisasi yang relatif tak menjadi obyek komodifikasi. Tetapi, setidaknya, jika memang upaya mengembalikan substansi demokratisasi ini disepakati bersama oleh para analis sosial- politik, elite politik, dan sebagainya, maka meskipun masyarakat tetap dibombardir dengan hujan wacana yang riuh-rendah soal idealisasi atas konsekuensi status keistimewaan DIY, bola wacana yang menggelinding tidaklah serta-merta bertendensi komodifikasi dan tetap proporsional.
Inilah posisi tersulit dalam menghadapi era demokratisasi substansial, ketika perspektif yang digunakan kemudian lebih pada sudut pandang sosiologi politik: bagaimana sebenarnya posisi dan peran masyarakat sebagai obyek demokratisasi didudukkan dan bagaimana sepantasnya arah bola wacana digelindingkan. Bukan berarti tinggi hati, tetapi perspektif semacam ini sungguh jarang digunakan oleh para analis sosial-politik, para politisi, atau siapa pun yang memang mempunyai hak bersuara sama antarsesama warga negara. By the way, proficiat Yogya, yang sungguh akan memasuki episode suksesi gubernur tak lama lagi, lantas, di manakah posisi Sri Sultan HB X akan "ditaruh"?
*) Direktur Lembaga Pemberdayaan dan Kreativitas Amarta, Bantul, DI Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar