Yogyo Susaptoyono
http://jurnalnasional.com/
Wujud mimpi untuk membuat ruang berkesenian bagi masyarakat. Seni apa saja.
ADA Kampung Seni di lereng Gunung Ungaran di ketinggian sekitar 400 meter di atas permukaan laut (dpl). Kampung Seni Lerep namanya. Terletak di desa berhawa sejuk, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, kira-kira 20 kilometer sebelah selatan Kota Semarang, Jawa Tengah.
“Ini wujud mimpi saya untuk membuat ruang berkesenian bagi masyarakat. Seni apa saja,” kata Handoko, sang pemilik sekaligus penggagas.
Memasuki Kampung Seni Lerep, kita akan langsung disuguhi suasana asri nan eksotik. Udara segar. Mata bebas menjelajah panorama lereng Gunung Ungaran. Lanskap tampak indah alami. Bangunan-bangunan tertata rapi. Juga jalan-jalan, jembatan. Kampung ini benar-benar punya nilai artistik yang tinggi.
Handoko, sang pemilik, dikenal sebagai pencinta seni. Ia ahli tentang artefak-artefak arkaik seperti: kayu, keramik, furnitur Jawa dan China, batik pesisiran Jawa, serta seni rupa modern/kontemporer Indonesia. “Saya membuat ini sejak tahun 2006. Tidak pakai arsitek. Cukup pakai rasa,” katanya.
Gerbang Kampung Seni Lerep dibuat berbentuk gapura, seakan ruang pembuka bagi para tamu sebelum memasuki atmosfer seni. Jalan setapak menuju bangunan-bangunan dalam kawasan itu disusun dengan bahan bebatuan kecil, disambung tanpa semen, sebagai jalan kampung yang alami.
Turun dari tangga, para tamu bisa langsung menyusuri jalan bebatuan ke tempat dan bangunan bernilai seni juga berupa gazebo-gazebo yang indah. “Gazebo ini sengaja saya tempatkan di posisi-posisi saat orang masuk dalam keadaan lelah dan ingin beristirahat,” kata Handoko pula.
Bangunan utama di Kampung Seni Lerep berbentuk rumah limasan. Terdiri dari dua lantai, bangunan ini dapat difungsikan sebagai ruang pamer utama. Bahkan, sebagai ruang pameran karya seni lukis, foto, dan karya seni lainnya.
Jembatan kayu yang membelah dua lereng yang terbuat dari kayu-kayu tua menambah eksotisme Kampung Seni ini. Berdiri di atas jembatan, para tamu bisa langsung memandang ke arah ke panggung kesenian yang biasa digunakan untuk pentas, mulai dari dari acara baca puisi sampai peragaan busana.
Panggung itu juga tampak luar biasa. Selain bisa dilihat dari berbagai arah, di bagian belakang terdapat batu alam besar—posisi yang tepat untuk berekspresi.
Selain jembatan panjang itu, ada juga beberapa jembatan lain, baik yang membelah alur sungai kecil maupun jembatan yang menghubungkan jalan dengan beberapa bangunan, antara lain studio keramik—ruang apresiasi sekaligus berekspresi: bagaimana membuat keramik.
Handoko mengatakan, Kampung Seni ini diniatkan bukan saja sebagai wahana pengelanaan budaya (Jawa: nguri-nguri). Bukan pula sebagai warisan budaya (cultural heritage), melainkan untuk mamaknai seni. Atau, sebagai lahan persemaian buah pikiran, serta proses pengejawantahan gagasan atau pemikiran kreatif.
Handoko memang punya kerja besar. Ia ingin membuat kantong budaya di Semarang yang memberi ruang pada seniman dari mana saja untuk berekspresi. Dan, ia tidak sendiri, melainkan dibantu oleh Mulyo Hadi Purnono, dosen sastra sekaligus penggiat seni di Semarang; juga oleh Pudjiachirusanto, pekerja media; Johan Susilo, aktivis lingkungan; Mbah Prapto, sang empu keramik, serta banyak relawan yang punya gagasan sama tentang kesenian. n
Kutipan:
Bukan saja sebagai wahana pengelanaan budaya, melainkan untuk mamaknai seni.
http://jurnalnasional.com/
Wujud mimpi untuk membuat ruang berkesenian bagi masyarakat. Seni apa saja.
ADA Kampung Seni di lereng Gunung Ungaran di ketinggian sekitar 400 meter di atas permukaan laut (dpl). Kampung Seni Lerep namanya. Terletak di desa berhawa sejuk, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, kira-kira 20 kilometer sebelah selatan Kota Semarang, Jawa Tengah.
“Ini wujud mimpi saya untuk membuat ruang berkesenian bagi masyarakat. Seni apa saja,” kata Handoko, sang pemilik sekaligus penggagas.
Memasuki Kampung Seni Lerep, kita akan langsung disuguhi suasana asri nan eksotik. Udara segar. Mata bebas menjelajah panorama lereng Gunung Ungaran. Lanskap tampak indah alami. Bangunan-bangunan tertata rapi. Juga jalan-jalan, jembatan. Kampung ini benar-benar punya nilai artistik yang tinggi.
Handoko, sang pemilik, dikenal sebagai pencinta seni. Ia ahli tentang artefak-artefak arkaik seperti: kayu, keramik, furnitur Jawa dan China, batik pesisiran Jawa, serta seni rupa modern/kontemporer Indonesia. “Saya membuat ini sejak tahun 2006. Tidak pakai arsitek. Cukup pakai rasa,” katanya.
Gerbang Kampung Seni Lerep dibuat berbentuk gapura, seakan ruang pembuka bagi para tamu sebelum memasuki atmosfer seni. Jalan setapak menuju bangunan-bangunan dalam kawasan itu disusun dengan bahan bebatuan kecil, disambung tanpa semen, sebagai jalan kampung yang alami.
Turun dari tangga, para tamu bisa langsung menyusuri jalan bebatuan ke tempat dan bangunan bernilai seni juga berupa gazebo-gazebo yang indah. “Gazebo ini sengaja saya tempatkan di posisi-posisi saat orang masuk dalam keadaan lelah dan ingin beristirahat,” kata Handoko pula.
Bangunan utama di Kampung Seni Lerep berbentuk rumah limasan. Terdiri dari dua lantai, bangunan ini dapat difungsikan sebagai ruang pamer utama. Bahkan, sebagai ruang pameran karya seni lukis, foto, dan karya seni lainnya.
Jembatan kayu yang membelah dua lereng yang terbuat dari kayu-kayu tua menambah eksotisme Kampung Seni ini. Berdiri di atas jembatan, para tamu bisa langsung memandang ke arah ke panggung kesenian yang biasa digunakan untuk pentas, mulai dari dari acara baca puisi sampai peragaan busana.
Panggung itu juga tampak luar biasa. Selain bisa dilihat dari berbagai arah, di bagian belakang terdapat batu alam besar—posisi yang tepat untuk berekspresi.
Selain jembatan panjang itu, ada juga beberapa jembatan lain, baik yang membelah alur sungai kecil maupun jembatan yang menghubungkan jalan dengan beberapa bangunan, antara lain studio keramik—ruang apresiasi sekaligus berekspresi: bagaimana membuat keramik.
Handoko mengatakan, Kampung Seni ini diniatkan bukan saja sebagai wahana pengelanaan budaya (Jawa: nguri-nguri). Bukan pula sebagai warisan budaya (cultural heritage), melainkan untuk mamaknai seni. Atau, sebagai lahan persemaian buah pikiran, serta proses pengejawantahan gagasan atau pemikiran kreatif.
Handoko memang punya kerja besar. Ia ingin membuat kantong budaya di Semarang yang memberi ruang pada seniman dari mana saja untuk berekspresi. Dan, ia tidak sendiri, melainkan dibantu oleh Mulyo Hadi Purnono, dosen sastra sekaligus penggiat seni di Semarang; juga oleh Pudjiachirusanto, pekerja media; Johan Susilo, aktivis lingkungan; Mbah Prapto, sang empu keramik, serta banyak relawan yang punya gagasan sama tentang kesenian. n
Kutipan:
Bukan saja sebagai wahana pengelanaan budaya, melainkan untuk mamaknai seni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar