balipost.co.id
Menjelang Pemilu 2004, hampir tidak terdengar ada sastrawan yang masuk menjadi calon legislatif (caleg) sebuah partai. Berbeda dengan seniman lain seperti penyanyi, aktor, bintang film dan sinetron. Para selebritis itu ramai-ramai dilamar oleh pengurus partai karena diyakini sebagai mesin pengumpul suara. Bahkan ditempatkan sebagai caleg nomor kecil alias caleg jadi. Apakah sastrawan tidak berminat terjun ke panggung politik?
Sastrawan Indonesia yang juga sebagai seniman mempunyai sejarah pahit dalam kaitannya dengan peta perpolitikan bangsa Indonesia. Selama 10 tahun, periode 1960-1970 dalam sejarah kesusastraan Indonesia, terungkap bahwa kehidupan sastrawan terkotak-kotak ke dalam partai nasionalis, agama dan komunis (Nasakom). Ketika itu, ada semacam kewajiban bagi sastrawan masuk menjadi bagian dari partai. Sastrawan didesak oleh berbagai pihak dan kekuatan dari segala penjuru untuk segera menentukan sikap di antara tiga pilihan tadi. Sebab kalau tidak demikian, akan menjadi sasaran kecurigaan semua pihak. Menentukan sikap itu bukannya tidak mengandung bahaya dalam kehidupan sehari-hari bagi sastrawan.
Tiga partai besar ketika itu yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) berhasil menampung aspirasi politik para sastrawan. Partai PKI membentuk organisasi yang tergabung dalam wadah lembaga kebudayaan rakyat (Lekra), PNI mendirikan organisasi Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dengan semboyan manifes kebudayaan (Manikebu), sedangkan Nahdatul Ulama (NU) membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia yang disingkat Lesbumi. Ketiga organisasi tersebut masing-masing memperjuangkan kepentingan partainya. Para sastrawan pendukung partai itu sangat kritis dan sering berpolemik tentang sastra dan budaya. Bahkan Lekra berhasil menyusup sampai ke desa-desa di tanah air dengan mendirikan kelompok-kelompok teater, sandiwara dan kelompok kesenian tradisional. Di Bali misalnya, ditengarai beberapa sekaa Janger berhasil disusupi Lekra. Sekaa Janger yang didukung oleh kebanyakan muda-mudi ini pentas membawa misi dan visi partai melalui lagu-lagu. Semacam kampanye terselubung.
Lekra saat itu sempat merajai dunia sastra Indonesia dengan semboyan ”politik sebagai panglima kesenian, kebudayaan dan kesusastraan”. Majalah sastra dan budaya yang isi dan penulisnya berseberangan dengan Lekra, satu demi satu berhasil dilumpuhkan. Dengan demikian pengarang-pengarang yang beraliran nasionalis tidak mendapat tempat untuk mengumumkan karya-karyanya. Sajak-sajak Taufik Ismail yang terkenal ”Tirani dan Benteng” merupakan wujud protes politik terhadap semboyan, ”Politik sebagai Panglima”.
Akibat perbedaan pandangan partai antara nasionalis dan komunis, para sastrawan kena getahnya. Tahun 1964, karya sastra para pengarang yang beraliran nasionalis, tiba-tiba diumumkan agar dilarang dibaca seperti karya pengarang Mochtar Lubis, Akhdiat Kartamiharja, Sutan Takdir Alisjahbana dan Hamka. Mereka ini adalah pengarang yang menandatangani Manikebu. Tidak saja bukunya dilarang, tetapi juga dilarang bekerja di instansi pemerintah. Para sastrawan ini dilarang pula mengadakan kegiatan dalam bentuk apapun. Kalau tidak memperhatikan larangan itu, maka akan dituduh melakukan tindakan subversif. Larangan tersebut tentu sangat menyakitkan karena bersifat sepihak, tanpa alasan yang jelas.
Menurut Rosidi, pemerhati sastra Sunda, pelarangan terhadap karya-karya itu tidak ada secara formal sesuai dengan ketentuan hukum. Hanya karena kelihaian orang-orang Lekra dalam memanfaatkan pejabat tinggi di Departemen P dan K waktu itu. Maka dikesankan kepada masyarakat seolah-olah karya pengarang Manikebu dilarang dibaca oleh seluruh bangsa Indonesia. Sastrawan itu secara politis dianggap anti-PKI dan Lekra.
Korban Fitnah
Pelarangan tersebut tidak berlangsung lama. Tepatnya bulan Juni 1966, pelarangan tersebut dicabut oleh Menteri P dan K. Berdasarkan penelitian yang cermat, hasil karya pengarang Manikebu yang sempat diobok-obok itu tidak bertentangan dengan falsafah negara Pancasila. Larangan itu hanya bersifat politis semata, tanpa menilai isi dan pesan buku yang sebenarnya. Para pengarang itu adalah korban fitnah Lekra.
Ibarat meludah ke atas. Fitnah itu kemudian berbalik haluan mengenai dirinya. Seiring berhasilnya rakyat bersama kekuatan lainnya ketika itu menumpas G-30-S PKI, maka sastrawan pendukung setia Lekra akhirnya menjadi korban karena nilai-nilai yang diperjuangkannya jelas-jelas bertentangan dengan falsafah negara Pancasila. Instruksi Menteri P dan K nomor 1381/1965 tertanggal 30 November 1965 memutuskan untuk melarang buku-buku pelajaran, perpustakaan dan kebudayaan oleh oknum-oknum dan anggota-anggota ormas/parpol yang dilakukan untuk sementara waktu. Yang terkena instruksi itu tiada lain adalah pengarang-pengarang Lekra.
Dalam lampiran pertama instruksi itu tercantum nama-nama pengarang seperti Pramudya, Utuy Sontani, Sobron Aidit, S. Rukiah, Agam Wispi dan lainnya. Selain mencantumkan nama, juga ditambahkan mengenai judul buku, tahun terbit dan penerbitnya. Lampiran kedua instruksi tersebut berisi nama-nama anggota lekra yang berjumlah 87 orang, termasuk nama khas Bali. Mereka ini tidak saja tergolong sastrawan, tetapi juga penulis artikel di majalah-majalah dan surat kabar, juga dikenai pelarangan.
Demikian sekilas suasana kehidupan bersastra sekitar tahun 1965. Semua itu tidak terlepas dari kondisi politik bangsa Indonesia. Situasi seperti itu tidak saja melibatkan elite politik, juga kader-kader lapisan kedua yang kebetulan berekspresi di bidang kebudayaan khususnya kesusastraan. Besar kemungkinan, buramnya suhu politik masa lalu itu, membuat sastrawan berpikir seribu kali untuk terjun ke kancah politik praktis. Sebab panggung politik itu penuh dengan teror, fitnah dan intimidasi yang tidak saja menimpa para sastrawan juga istrinya, anak dan keluarganya. Tidak sedikit sastrawan ketika pengambilalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, akhirnya meringkuk di penjara mempertanggungjawabkan kebebasan ekspresinya.
Para sastrawan kini tampaknya masih trauma dengan masa lalu yang kelabu itu, sehingga mereka kurang tertarik untuk terjun ke bursa caleg meramaikan Pemilu 2004. Walaupun sebenarnya, pilihan menyalurkan aspirasi tersedia cukup luas dengan 24 partai dengan prinsip dasar politik dan sastra. Politik identik dengan kekuasaan. Terjun langsung ke politik berarti berjuang merebut kekuasaan. Perjuangan itu sering tidak halal, kotor dan bertentangan dengan hati nurani. Ada orang mengatakan politik itu juga seni, walaupun harus membinasakan kekuatan lain yang dinilai mengancam kekuatan dirinya. Hal ini berbeda dengan sastra yang berjuang untuk mencari dan menegakkan kebenaran berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Dibandingkan seniman lainnya seperti penyanyi, aktor film dan bintang sinetron, sastrawan ternyata lebih cermat mengamati persoalan hidup dan kehidupan, baik kehidupan masyarakat kelas atas, menengah, maupun bawah. Penyanyi dangdut seperti Inul Darastista, Rhoma Irama, dan bintang sinetron Ayu Ashari serta Nurul Arifin mempunyai ribuan bahkan jutaan orang penggemar. Para selebritis ini diharapkan mampu melambungkan perolehan suara dari penggemarnya yang fanatik itu, sehingga dapat mengangkat jumlah suara partai yang mencalonkannya. Dukungan seperti itu sulit diperoleh seorang sastrawan. Dengan alasan itu, pengurus partai baik di pusat maupun di daerah tampaknya kurang sreg menggaet sastrawan sebagai calon legislatif mewakili partainya.
Kemampuan beberapa sastrawan Indonesia dalam memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas tidak perlu diragukan lagi, baik melalui puisi, cerpen, novel maupun drama. Perjuangannya itu memang tidak melalui lembaga resmi seperti badan legislatif atau eksekutif, tetapi melalui media kata-kata dalam wujud karya sastra. Bagi sastrawan, berminat terhadap dunia politik, tidak harus duduk di kursi legislatif. Minatnya itu dapat disalurkan pada karya sastra yang kreatif dan imajinatif. Sayangnya, penentu kebijakan di negeri ini kurang peduli dengan buah pena para sastrawan. Atau mereka sama sekali tidak pernah membaca karya sastra.
***
http://sastra-indonesia.com/2009/03/sastrawan-masih-trauma-terjun-ke-politik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar