Mang Ayat! Itulah panggilan akrab Prof. Dr. Ayatrohaedi, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Salah seorang penggagas perubahan nama Fakultas Sastra UI (FSUI) menjadi FIB-UI ini, boleh dikatakan tergolong ilmuwan yang agak aneh. Di Universitas Indonesia, misalnya, dapat dipastikan, hanya Mang Ayat satu-satunya guru besar yang disapa dengan panggilan Mang. Meski ada pula yang memanggilnya Pak atau Prof., kebanyakan koleganya, karyawan, atau bahkan mahasiswa-mahasiswa pascasarjana (S-2 atau S-3) yang dibimbingnya, sudah terbiasa memanggilnya, Mang Ayat. Barangkali itulah bentuk penghormatan dan sekaligus kedekatan orang-orang yang mengenalnya. Mang Ayat sendiri, dengan gaya egaliternya, menanggapi semua itu wajar dan biasa saja. Boleh jadi karena kesederhanaanya itu pula, banyak mahasiswa baru yang sering terkecoh, bahkan di antaranya ada yang seenaknya memperlakukannya sebagai karyawan biasa. Dan Mang Ayat, juga menanggapinya biasa saja, meski belakangan mahasiswa itu takut setengah mati ketika tahu bahwa Mang Ayat adalah guru besar di jurusannya.
Keanehannya yang lain menyangkut penampilannya yang khas. Selain hampir tak pernah kelihatan pakai dasi, ia juga terkesan cuek. Cara berpakaiannya sederhana dan tak pernah lepas dengan sepatu-sandalnya. Penampilannya yang demikian, sama sekali tidak mengurangi rasa hormat dan kekaguman mereka yang mengenal sosok Mang Ayat. Dalam kegiatannya membimbing penulisan tesis atau disertasi (S-2 dan S-3), misalnya, tak sedikit mahasiswa pascasarjana itu kerap dibuat kelimpungan. Ia dikenal sebagai pembimbing yang membaca dengan “mata elang”; sangat cermat dan tahu saja di mana kelemahan dan kesalahan itu bersembunyi, baik yang menyangkut salah ketik, kesalahan penulisan ejaan dan istilah, kekacauan kalimat, atau salah nalar dalam mengemukakan argumentasi.
Kegiatannya di kampus, jika tidak mengajar atau menguji atau usai membimbing mahasiswa yang akan menyelesaikan tesis atau disertasinya, ia bisa seenaknya keluar-masuk jurusan-jurusan, ikut mengobrol dengan dosen-dosen atau karyawan, sambil tidak lupa mengeluarkan joke-joke dan cerita-cerita lucunya. Jika tidak kelihatan keluyuran seperti itu, dapat dipastikan, ia sedang duduk menghadap komputer, menulis apa saja. Dan seminggu kemudian, tulisannya nongol di suratkabar atau majalah ibukota.
Satu hal lagi yang unik yang melekat pada diri adik kandung sastrawan Ajip Rosidi ini menyangkut kepakarannya. Sebagai lulusan sarjana sastra Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia (sekarang Jurusan Arkeologi) tahun 1964 dengan predikat Ahli Purbakala, di kalangan arkeolog, ia dikenal sebagai salah seorang empu. Hampir semua prasasti yang tersebar di seluruh Nusantara ini, pernah menjadi bahan kajiannya, atau setidak-tidaknya pernah dibacanya. Khusus mengenai prasasti-prasasti berbahasa Sunda Kuno, terutama naskah Pangeran Wangsakerta, Mang Ayat sejak awal tahun 1970-an secara gencar telah memperkenalkannya ke khalayak ramai melalui berbagai tulisan. Kemudian muncul berbagai reaksi, bahkan juga tuduhan, bahwa yang menulis naskah itu adalah Mang Ayat sendiri. Mengingat naskah itu berbahasa Sunda kuno, masyarakat tetap saja kesulitan untuk bisa mengapresiasi naskah itu.
Ketika ditanya, mengapa masyarakat belum bisa mengapresiasi prasasti berbahasa atau beraksara Sunda kuno atau Sunda buhun. Mang Ayat enteng saja berujar: “Itulah masalahnya. Sebab, dari puluhan juta orang Sunda, sekarang ini hanya tinggal lima orang yang bisa membaca aksara Sunda kuno atau Sunda buhun itu. Mereka itu adalah: (1) Edi S. Ekadjati, (2) Tien Wartini, (3) Undang Ahmad Darsa (dosen Unpad), dan (4) Hasan Djafar (dosen UI).”
“Lho, katanya lima orang?”
“Iya. Satunya yang lagi ngomong ini,” jawabnya sambil tertawa ringan.
Beberapa karya Mang Ayat di bidang arkeologi, selain artikel-artikel lepas yang dimuat di banyak suratkabar dan majalah, juga makalah-makalah dan hasil penelitiannya yang kemudian dibawakan di berbagai pertemuan ilmiah di dalam dan luar negeri. Berbagai tulisan itu kemudian dihimpun dalam buku, antara lain, Lokal Genius: Kepribadian Budaya Bangsa (1986) dan Sundakala (2005). Pemberian gelar guru besar (Profesor) merupakan bukti dedikasi dan prestasinya. Bahkan, rekan-rekan sejawatnya sesama arkeolog, secara berseloroh kerap memanggilnya “Ayatullah Rohaedi”. Lalu apanya yang “aneh” lagi dari sosok arkeolog ini?
Betul, di bidang arkeologi, tidak diragukan lagi kepakaran Ayatrohaedi ini. Tetapi, disertasi yang berjudul “Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa” (1978) tidak termasuk bidang arkeologi. Disertasinya itulah yang mengantarkannya sebagai doktor linguistik dan perintis dialektologi –salah satu bidang kajian dalam linguistik— di Indonesia. Maka dalam bidang dialektologi itu pula, Mang Ayat kini termasuk salah satu dari sebanyaknya sepuluh orang di Indonesia yang ahli di bidang itu. Menurut Prof. Dr. Amran Halim, promotornya, disertasi Ayatrohaedi merupakan disertasi pertama tentang dialektologi di Asia Tenggara. Di bidang bahasa, ia telah menghasilkan beberapa buku, antara lain, Bahasa Sunda di Daerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa (berasal dari disertasi, 1985), Dialektologi: Sebuah Pengantar (1979, 1981), Tatabahasa Sunda (terjemahan karya D.K. Ardiwinata, 1985), Tatabahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda (terjemahan karya J. Kats dan R. Suriadiraja, 1986), Cerdas Tangkas Berbahasa (dua jilid, 1996). Sebagai pakar bahasa, ia telah menulis sekitar 300 artikel tentang kebahasaan yang dimuat di berbagai suratkabar dan majalah ibukota dan majalah terbitan daerah.
Sebagai ilmuwan, kiprah Mang Ayat, selain di bidang arkeologi dan linguistik, juga di bidang sastra (Sunda dan Indonesia) dan kebudayaan secara umum. Ia juga telah menghasilkan sekitar 100-an tulisan mengenai sastra Sunda, sastra Indonesia, sejarah, dan kebudayaan. Tulisan-tulisannya sangat informatif, tetapi di balik itu, ia rajin mengritik siapa atau lembaga apa saja yang dipandangnya tidak tepat dan menyalahi logika ilmiah. Maka, jika tidak hati-hati benar, kita bisa terjerat oleh provokasinya yang memang sangat argumentatif dan logis. Selain itu, dalam banyak tulisannya, ia juga gemar menyodorkan berbagai istilah yang dikeluarkannya dari kosakata bahasa Sansekerta atau bahasa Sunda.
***
Ayatrohaedi lahir di Jatiwangi, Majalengka, 5 Desember 1939. Setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat di Jatiwangi (1952), Sekolah Menengah Pertama di Majalengka (1955), ia hijrah ke Jakarta melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas yang diselesaikannya tahun 1959. Setelah itu, ia masuk Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia Fakultas Sastra UI dan lulus akhir tahun 1964.
Selesai kuliah, Ayatrohaedi bekerja di Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di Jakarta. Belum setahun bekerja di sana, ia dipindahkan ke Mojokerto (1965—1966). Karena situasi politik yang kacau ketika itu, ia memutuskan untuk mengundurkan dari pekerjaannya itu. Tetapi, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung menariknya menjadi pengajar di sana (1966—1972).
Ketika ada kesempatan mengikuti Pelatihan Lanjutan Linguistik dan Filologi di Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte di Universitas Leiden, Ayatrohaedi ikut program itu selama hampir tiga tahun (1971—1973). Minatnya untuk mendalami dialektologi membawanya ke Prancis. Mula-mula bermukim di Bordeaux untuk meningkatkan kemahiran bahasa Prancis. Kemudian pindah ke Grenoble untuk mendalami teori dan metode penelitian dialektologi. Pulang dari Prancis, Ayatrohaedi mengajar di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan terus bertahan hingga pensiun tahun 2004.
Beberapa jabatan yang pernah dipegangnya, antara lain, Ketua Jurusan Arkeologi (1983—1987), Pembantu Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) (1989—1994), dan Pembantu Dekan Bidang Akademik FSUI (1999—2000).
***
Kiprahnya sebagai sastrawan dimulai samasa masih SMP (dalam bahasa Sunda) dan kelas satu SMA (dalam bahasa Indonesia). Cerpen pertamanya, berjudul “Sejak Itu” yang dimuat majalah Tjerita, No. 2, Januari 1957 merupakan awal kepengarangannya dalam sastra Indonesia. Sejak itu beberapa cerpennya dimuat juga di majalah Tjerita, Siasat, dan Mimbar Indonesia, tiga majalah sastra yang waktu itu sangat berpengaruh. Selain di majalah Mimbar Indonesia dan Siasat, masih ada sekitar 90-an puisinya yang dipublikasikan melalui majalah Basis, Djaja, Pustaka dan Budaya, Budaya Jaya, Trio, Berita Indonesia, dan Seloka. Semua dihasilkan antara tahun 1957 sampai 1978.
Pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, Ayatrohaedi –seperti kebanyakan sastrawan pada masa itu—aktif pula dalam berbagai kegiatan dan hiruk-pikuk sastra waktu itu. Ketika terjadi polemik antara kubu pendukung humanisme universal dan kubu realisme sosialis, ia memang belum terlalu jauh masuk dalam konflik itu. Tetapi, posisinya yang demikian, Ayatrohaedi, bersama sastrawan lainnya, seperti Ajip Rosidi, Ramadhan KH, dan Toto Sudarto Bachtiar, seperti terjepit di tengah dua arus besar pertentangan kubu humanisme universal –para pendukung Manifes Kebudayaan—dan realisme sosialis –para pendukung Lekra/PKI. Itulah sebabnya, keikutsertaannya sebagai peserta dalam Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI), 1—7 Maret 1964 yang –sebelum dan sesudah penyelenggaraan konferensi itu—begitu gencar ditentang kubu Lekra/PKI, mengatasnamakan kelompok sastrawan Bandung, tetapi sekaligus juga menunjukkan sikap tegas dan pemihakan Ayatrohaedi dalam konflik kedua kubu itu.
Sebagai reaksi atas penyelenggaraan KKPI, Lekra/PKI kemudian menyelenggarakan Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner, 28 Agustus—2 September 1964. Golongan Lekra/PKI kemudian memelesetkan singkatan KKPI menjadi KK-PSI yang mengesankan sebagai Konferensi Karyawan Partai Sosialis Indonesia. Secara tegas golongan Lekra/PKI menyatakan bahwa sastrawan yang mengikuti KKPI adalah golongan kontrarevolusi, reaksioner, penjilat, dan munafik. Belakangan, mereka yang terlibat dalam konferensi itu, banyak yang mengalami teror dan tekanan dari pihak Lekra/PKI.
Dalam situasi yang demikian, Ayatrohaedi tidak kehilangan kreativitasnya. Ia terus menulis esai, cerpen, dan puisi. Dua kumpulan cerpennya yang terbit pada masa itu adalah Yang Tersisih (1965) dan Warisan (1965). Sejumlah puisinya yang dimuat di berbagai majalah sejak tahun 1957 kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Pabila dan di Mana (1977). Di samping itu, Ayatrohaedi juga menulis cerita anak, yaitu Panji Segala Raja (1974), Ogin si Anak Sakti (1992), dan Panggung Keraton (1993). Adapun karya terjemahannya, antara lain, Puisi Negro (1976), Senandung Ombak (terjemahan novel Yukio Mishima, 1976), Kacamata Sang Singa (cerita anak, terjemahan karya G. Vildrac, 1980).
Ayatrohaedi, seperti juga beberapa sastrawan Indonesia yang begitu peduli pada kebudayaan dan bahasa daerahnya, seperti Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Arswendo Atmowiloto, Suripan Sadi Hutomo, Jus Rusyana, dan beberapa sastrawan lainnya, bisa seenaknya bolak-balik menulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa daerah (Sunda) dan bahasa Indonesia. Maka, selain menulis dalam bahasa Indonesia, Ayatrohaedi juga menulis dalam bahasa Sunda. Karya kreatifnya dalam bahasa Sunda, di antaranya, Hujan Munggaran (kumpulan cerpen, 1960), Kabogoh Tere (Roman, 1967), Pamapag (antologi puisi, 1972), dan Di Kebon Binatang (1990).
Beberapa bukunya yang sedang dalam proses penerbitan, antara lain, Bahasa Indonesia: Api dalam Sekam (kumpulan makalah tentang bahasa Indonesia), Kepala Kerbau (kumpulan esai bahasa, sastra, sejarah, budaya), (Ge)litik Bahasa (kumpulan esai bahasa Indonesia dalam kolom harian Kompas), Gerombolan (kumpulan cerpen), Kata, Mata, Mata, Kata (kumpulan puisi), dan (Ke)kasih Abadi (novel).
Demikianlah, sosok Ayatrohaedi, Sang Guru Besar yang “aneh” itu, dengan kesederhanaan dan keunikannya, tetap memancarkan kekaguman bagi mereka yang mengenal kiprah kepakarannya di bidang arkeologi, linguistik, sejarah, sastra (Sunda dan Indonesia), dan kebudayaan. Ternyata, penampilan yang sederhana itu tak mengurangi kekaguman dan rasa hormat orang kepadanya. Itulah sosok sastrawan Prof. Dr. Ayatrohaedi!
***
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2009/03/profesor-aneh-yang-sastrawan-ayatrohaedi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar