Seorang pengarang senior mengungkapkan kedongkolannya terhadap karya-karya sastra yang sering nongol melalui media sosial facebook. Ia menyebut karya-karya sastra yang di facebook saat ini tak lebih hanya bernilai sampah. Tak ada kualitas sama sekali. Cerpen-cerpennya hanyalah kalimat-kalimat kosong yang ditulis semodel cerpen. Sama sekali tak ada pendalaman, tak ada hakikat kehidupan yang diungkapkan; esai/kritiknya asal bunyi, asal nyemprot tak ada rujukan yang dapat ditelusuri; jangan lagi puisi-puisinya yang asal ditulis dalam bait-bait. Apa yang mereka buat sesungguhnya hanyalah klaim-kalim yang menyebut bahwa inilah cerpen, inilah esai/kritik, dan inilah puisi. Parahnya lagi mereka punya kelompok yang saling memuji, memberi jempol yang disertai dengan komentar sampah pula: wah hebat luh, keren masbro, mantaff, ini baru sastrawan namanya, dan sejenisnya. Pokoknya pujian yang efeknya lebih dahsyat dari miras.
Membandingkan dengan generasinya –generasi media cetak-- yang malang-melintang di berbagai surat kabar dan majalah sebelum terkenal sebagai pengarang, ia menyebut “generasi facebook” sebagai generasi yang dimanjakan oleh teknologi digital. Generasi facebook lahir bersama keajaiban, katanya. Hari ini karya-karyanya tersiar melalui facebook besok bukunya sudah terbit melalui penerbit indie yang terbit dengan kualitas cetak dan cover yang wah, meski hanya dalam jumlah 10 eksamplar.
Kritikan tajam pengarang kita ini tentu tidak semua benar. Ada sisi lain yang harus dilihat dengan kacamata lain dan tidak boleh dibandingkan dengan generasi media cetak. Media sosial facebook adalah wahana digital yang memberikan keluasan dan kebebasan kepada siapapun untuk berekspresi tentang apapun. Tak ada “redaksi” yang menanganinya sebagai penjaga gawang sebagaimana pada media cetak. Redaksinya adalah diri sendiri. Karena itu pembacalah yang perlu menyaring informasi yang diterima dari facebook dan tidak menelan mentah-mentah apa yang dibacanya. Jika dibandingkan dengan media cetak, media sosial facebook memang sebuah media ajaib yang memiliki banyak segmen dan sekaligus dapat mencampur-baurkan antara satu segmen dengan segmen lainnya. Pada media sosial facebook penulis memiliki kebebasan dan pembaca pun memiliki kebebasan yang sama untuk berekspresi. Pembaca dan penulis dapat saling berdialog secara langsung melalui pasilitas “comment” yang tidak dapat dilakukan di media cetak. Dunia facebook juga memiliki banyak kemungkinan dan alternatif yang sekaligus bisa saling memangut.
Banyaknya jenis tulisan yang berbaur secara “subjektif” dan “manasuka”, menyebabkan orang yang dalam posisi pembaca harus memiliki banyak koleksi kacamata jika ingin menikmati semua hidangan facebook. Masing-masing tulisan memiliki apresian (penikmat/pembaca) yang biasanya terdiri dari kelompok-kelompok pertemanan, grup-grup atau komunitas. Ini sangat beda dengan apa yang disebut “rubrik sastra” atau “rubrik budaya” di media cetak yang biasanya terbit teratur dan diawasi oleh seorang penjaga gawang andal (redaksi sastra-budaya). Apa yang dimuat pada rubrik sastra adalah sebuah tulisan yang nilai sastranya tak disangsikan (paling tidak menurut ukuran redaksinya), karena redaksi telah menyiangi tulisan yang berkategori sampah. Pada media sosial facebook tak ada rubrik, tak ada aturan dan kewenangan redaksi seperti itu. Pokoknya semua ditawarkan untuk semua pembaca. Karena itu seseorang yang hanya memiliki satu kacamata (kacamata sastra saja) yang melihat semua karya yang dipublikasikan di facebook sebagai karya sastra serius adalah sebuah kekeliruan. Demikian pula sebaliknya, adalah sebuah kekeliruan yang sama jika melihat semua karya yang dipublikasi di facebook sebagai tumpukan “sampah” belaka.
Istilah “sampah” sesungguhnya adalah sebuah sarkasme pada dunia media cetak. Tulisan jelek tak berkualitas yang merugikan konsumen media cetak karena “turut terbeli” bersama tulisan-tulisan yang bagus. Sangat beda dengan tulisan di media facebook, yang orang boleh membaca yang bagus dan meninggalkan yang jelek tanpa ada konsumen yang dirugikan. Di sisi lain apa yang disebut “sampah” di media sosial facebook mungkin akan menjadi “kompos” untuk menumbuhkah bakat. Banyak pemula justru menemukan lahan subur untuk melatih diri menulis di facebook berawal dari tulisan yang disebut “sampah” ini. Di lahan facebook yang subur ini tentu saja mereka berbahagia karena tak ada redaksi yang ceririwis dan kadang sadis menghalanginya untuk berekspresi.
Lain dengan pendapat Maman S. Mahayana, kritikus ini mengakui bahwa media facebook sangat longgar lantaran di sana orang-orang bisa mengeluarkan pendapat secara bebas, orang bisa mempublikasikan karyanya berupa apapun yang berkaitan dengan sastra dan kawan-kawannya boleh menanggapi sesuka hati. Meski demikian pergerakan facebook memang terkadang licin karena di sana orang bisa menikmati ketidakjujuran lewat perbuatan “lempar batu sembunyi tangan” (mungkin maksudnya para pengguna akun samaran-BA). Namun dalam memandang eksistensi facebook Maman S Mahayana menyebut bahwa media sosial facebook memang sebuah keniscayaan. Karena itu kita perlu memperlakukannya secara bijaksana. Sebagai ajang berlatih menulis, sharing gagasan, atau berdiskusi, facebook bisa menjadi medan yang baik dan bermanfaat. Hanya saja perlu diingat bahwa “generasi facebook” jangan bertindak sebagai pendekar mabuk, yang mengacung-acungkan golok untuk membabat rumpun, dan membusungkan dada lalu mengajari ikan berenang, karena hakikat dari semua itu seperti orang meludah ke langit. Satu hal yang perlu dipahami bahwa, “Fenomena baru dalam sastra-terutama puisi- Indonesia kini sedang terjadi: lahirnya sastra(wan) generasi facebook. Keberadaan dan peranan media sosial macam facebook –juga whatsapp- membuka jalan lempang bagi kelahiran mereka. Sebagai ‘aliran’ FB, kita dapat mencermati adanya kecenderungan karakteristik” kata Maman S. Mahayana.
Pendapat Maman S. Mahayana di atas tampaknya benar. Facebook dan sejenisnya atau secara umum sastra cyber yang tersebar di berbagai blog pada era digital ini telah memberi banyak peluang kepada generasi muda untuk lebih mengenal sastra, serta menjadi pelaku sastra (penulis). Memang benar bahwa di sana ada “tarik tambang” antara “pensyair” dan “bukan pensyair” dalam perebutan klaim “siapakah pembuat puisi sekarang?” Dahulu puisi hanya dicipta oleh seorang pensyair atau pujangga, sekarang semua orang dapat membuat dan menerbitkan puisi meski ia tidak berprofesi sebagai pensyair atau ia bukan pensyair. Demikianlah puisi sekarang dimungkinkan dapat ditulis oleh siapa saja: guru, dosen, wartawan, pejabat, politisi, buruh pabrik, TKW, ibu-ibu darmawanita, siswa SMP dan SMA, dokter, ibu rumah tangga, para tunanetra, dan (jangan-jangan juga) para koruptor. Para pelaksana kegiatan penerbitan antologi puisi –seperti kegiatan festival sastra yang biasanya disertai dengan penerbitan antologi dengan tema-tema tertentu -juga tidak membatasi ruang untuk hanya pensyair saja. Tapi siapa pun boleh mengikutinya sepanjang bisa lolos kurasi. Lepas dari persoalan kualitas karya sastra, kondisi ini di satu sisi tentu boleh disebut menguntungkan: puisi semakin banyak dikenal dan ditulis, artinya semakin banyak diapresiasi.
Motivasi menulis puisi pada facebook atau media online memang bermacam-macam. Ada yang sekadar iseng, ikut-ikutan, mau terkenal dengan cepat, mau tampil beda, ingin mengaktualisasikan kenangan, ingin membagi kebahagiaan dan ingin membela prinsip melalui puisi. Puisi jadinya tidak lagi sekadar ekspresi dari perasaan yang paling dalam (estetika), tetapi juga sudah menjadi sebuah alat: alat untuk mencapai tujuan. Sebagai alat puisi tentulah sangat lentur digunakan karena ia terbuat dari kata-kata, boleh jadi juga sebagai alat untuk belajar berkata-kata. Karena itu kita harus memandang bahwa sastra Facebook, sastra WhatsAppp, sastra Cyber, yang di era digital ini bagai tanaman menemu lahan subur, harus disambut dengan apresiasi dan kritik yang membangun. Sastra Facebook dan sejenisnya harus diakui sebagai bagian dari khasanah sastra Indonesia sebagaimana sastra-sastra cetak lainnya. Para kritikus sastra hendaknya tidak melihat sastra digital ini dengan sebelah mata karena Facebook, WhatsAppp, Blog dan sebangsanya hanyalah wahana untuk mencapai tujuan: sastra!
Dulu adagiun yang terkenal dan sering dikutipi sebagai “apologi” pada wacana puisi adalah kata-kata Chairil Anwar : “yang bukan penyair, tidak ambil bagian !” Tetapi pada perkembangan selanjutnya, para sastrawan mulai concern dengan keadaan itu. Mereka menganggap keadaan itu telah membunuh kreativitas sastra, khususnya puisi. Maka lahirlah “pemberontakan estetika” yang mencoba memahami bahwa puisi dapat saja dibuat tidak dengan tujuan serius. Puisi tidak hanya boleh ditulis dengan tema-tema besar seperti perjuangan, kehidupan sosial, religiositas, prophert atau hal-hal yang bersifat nubuat, tapi juga hal-hal yang bersifat ringan, main-main atau bahkan hal-hal yang bersifat iseng belaka. Puisi “Mbeling” yang komandani oleh pelukis Jeihan dan Remy Silado boleh disebut bentuk “pemberontakan” dari adagiun ini. Pemberontakan ini menggambarkan pada kita bagaimana seni, khususnya puisi diterima dan dimaknai di tanah air, sekaligus membuat kita memahami keberagaman makna puisi. Puncak dari keberagaman makna ditunjukkan oleh sastra digital setelah kehadiran media sosial seperti facebook dan sebangsanya sebagai wahana untuk menuangkan ekspresi puitik. Tiap orang baik penyair maupun yang bukan penyair boleh menulis puisi pada media sosial tanpa halangan. Adagiun yang pernah dilontarkan Chairil Anwar pun benjadi terbalik : yang bukan penyair boleh ambil bagian!
Fenomena ini bisa dilihat pada terbitnya ratusan atau mungkin ribuah antologi puisi yang digagas oleh berbagai kalangan, yang melibatkan penyair maupun yang bukan penyair sebagai penulis puisi. Tarik tambang pun terjadi antara karya pensyair dan bukan pensyair. Tapi yang tarik tambang itu bukan pensyair, melainkan kualitas karyanya untuk disebut puisi!
Barru, 2019
*) BADARUDDIN AMIR lahir di Barru, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1962. Pendidikan S1 diselesaikannya di FPBS IKIP Ujung Pandang tahun 1999, sedang Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dirampungkannya di Unimuh Makassar tahun 2010. Sejak 1981 mengabdi sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di beberapa SMP Kabupaten Barru, dan sejak 2013 dipercaya sebagai Kepala SMP Negeri di salah satu SMP di Kabupaten Barru. Tahun 2017 diangkat sebagai Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Barru. Di samping itu sebagai wartawan dan Kepala Biro Majalah Dunia Pendidikan Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi Selatan, dan pernah menjadi wartawan di beberapa mingguan yang terbit di Makassar dan tabloid yang terbit di Kalimantan. Blognya https://badaruddinamir.wordpress.com/
http://sastra-indonesia.com/2021/04/karya-sastrawan-generasi-facebook-di-era-digital/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar