Nurel Javissyarqi
Lagi-lagi perhatian Sofyan masih disibukkan gaya bahasa saya pada tataran judul, sub judul, judul bagian, sub judul bagian MMKI, dan tidak sama sekali pada apa yang sudah dibongkar, digagalkan, dibatalkan, dan dengan model apa pula menghabisi sampai akar-akar kejahiliyaan para senior, yang tidak mereka perhatikan, pelajari, mungkin dikira sekadar angin lalu. Perihal itu mengingatkan masa-masa kedirian ini sebelum tahun 1994, saat jasad bersimpan kanuragan, salah satunya bersebut ‘lembu sekilan,’ sehingga jurus-jurus dimainkan lawan tidak sedikit pun menyentuh badan diri, paling jauh, jika musuh memiliki tenaga hebat, hanya mampu menjawil kain baju saya kenakan, meski begitu terasa juga ke dalam, tapi tidak berangsur lama rasanya lenyap hilang. Tinggal yang menghadapi saya; apa kabar? Yakni tak berani lagi bertarung.
Mungkin salah satu cara belajar menulis kritik, dengan mencari yang fatal-fatal atau yang dapat dimasukkan ke perkara fatal. Dari sana mulailah berjarak dengan referensi, semacam kuda-kuda mundur beberapa langkah sebelum maju penuh keyakinan, tentu perlu direkam, dicatat, dan baca berulang-ulang ‘sedurung’ diluncurkan, untuk mengetahui model lari-mu, gaya, dan kemampuan telah dilakoni, agar ke depannya lebih baik. Kalau belajar menulis kritik sastra mencari bebagian remang, maka bersiap-siaplah terjungkal, karena dipastikan berhadapan dengan yang lebih sakti, entah kesaktian lantaran titel, dsb, dan saya sadar betul siap diri ini, lalu bagaimana sepatutnya bersikap melalui kata-kata. Sekali lagi carilah yang fatal, boleh juga dikata vital, titik-titik yang bisa melumpuhkan, sudut-sudut mematikan, lantas sorong bersegenap daya termiliki, rangsek terus hingga mencapai ujung jurang kegelapan, tersebab takdirnya di sanalah kesalahan fatal.
Barangkali motode belajar menulis kritik di atas agak berperangai licik, licin, cerdik, tapi siapa mau bermain dengan resiko kalah, kecuali dalam keadaan senggang. Dan gegaya itu kebetulan saya dapati tidak sengaja, oleh sebab menemukan kesalahan fatal mereka, yang dapat diungkit, bisa dimainkan sesuka hati. Toh tubuh teks tak lebih seibarat mayat, dan seorang kritikus seperti dokter bedah; teks tergolek pasrah, sesosok peneliti boleh memakai model beberapa gaya dalam mungulik tubuh teks tak bergerak kemana-mana itu, kecuali (ini sedikit, dan bisalah dinamakan tenaga cadangan) teks yang hendak dipahami mempunyai akar-akaran sastrawi kuat bersimpan kedigjayaan ‘ilmu pancasona,’ atau teks tersebut dapat berkembang hidup menerus atas napas-napas sastrawi, sehingga sulit terbantah kecuali dengan jurus dan tenaga yang sama. Gambaran ini menjumput peribahasa, “Takkan lari gunung dikejar” atau “takkan lari teks dikejar.” Disebut pengejaran, tersebab menggali banyak informasi, data, sumber bacaan, dan diusahakan lebih tua sumurnya, semisal dari kitab-kitab babon, pun terpenting jangan tergesa-gesa, atau pastikan teks takkan lari dikejar, bisa dikerjain.
Sepertinya paragraf-paragraf awal sudah cukup mewakili pengantar, di sini diistirahatkan dulu sambil merambai beberapa kemungkinan ditambahkan atau tidak, sekaligus melirik yang hendak ditelusuri. Waktu-waktu pemberhentian itu perlu, guna tidak larut dalam nafsu, agar benar-benar yang dihantam bukanlah pribadi penulisnya, tetapi yang ditumpas betul-betul teks atau karyanya. Dan dimasa-masa berhenti itulah kewajiban paling penting tak lain mencurigai diri sendiri (teks yang sudah ditulis), agar berlaku mawas, serta seyogyanya memuliakan musuh (teks-teks yang dihadapi) dengan menempatkan keluaran orang pintar, agar dapat ambil hikmah kecerdasannya. Perihal lain, ini sedikit rerahasia terungkap, bacalah berkali-kali yang hendak diteliti, mungkin panglihatan pertama kagum, tertimpa heran takjub. Karena jarang sekali, teks yang dibaca lebih sepuluh kali, masih bersimpan kemewahan, kecuali datang dari orang-orang berbobot karyanya sekaligus sepak terjang hidupnya, yang terus membekasi tapak hayat pandangan-pandangannya.
Seperti gambaran semula, Sofyan tak menyentuh sama sekali pepokok soal, perkara, sedang semua penekanan yang saya kritisi, menurut peribahasa lagi, bagaikan “telur di ujung tanduk.” Maka andai, ini masih tahapan pengandaian, apapun lelangkah sudah terlayarkan, salah jurus sekalipun, misal watak paling jelek ada di diri yakni meremehkan, padahal tak, ‘telur di ujung tanduk’ tersebut, sekali tiupan ngguling dan pecah. Lantas cobalah bayangkan beberapa tahun mengerjakan MMKI, dengan kesungguhan siap hadapi siapapun, di meja sidang pengetahuan apapun (karena sumber referensinya tidak hanya dari belahan sastra). Atau Sofyan telah tahu, betapa tebal nan lembut lelipatan sumber sejarah yang tertuang dalam memperkuat tiupan ke telur, sehingga dipilih menyentuh permukaannya saja. Namun sepertinya tak, dan terlupa jika saya pun menulis puisi, artinya terbiasa mengolah kata. Ataukah begitu kepasrahan di ketiak senior, terlampau menganggap tinggi capaian mereka, dan kesalahan fatalnya dilupa, sambil mengira yang lain tidak bisa apa-apa. Tentu itu keuntungan tersendiri bagi yang suka belajar, membaca, iqro’.
***
Sofyan menyebut Napole: “Napoleon pernah berbisik pada Fontanes bahwa hanya ada dua kekuatan di dunia ini, yaitu pedang dan pikiran. Namun dalam sejarahnya, pedang selalu dikalahkan oleh pikiran. Dalam buku ini, Nurel ibarat pendekar yang memiliki pikiran dan pedang bermata dua, sekali serang, bisa mengancam dua sasaran: Ignas dan SCB. Namun serangan Nurel kadang sia-sia, bahkan salah jurus pedang, mungkin karena pikirannya yang sedang tidak fokus. Padahal pendekar sejati adalah mereka yang mampu memainkan pedang sekaligus pikirannya dengan baik.”
Mengenai perkataan sia-sia, salah jurus hingga mengira pikiran saya sedang tak fokus, pahami “telur di ujung tanduk” sebelumnya. Lebih kelam pamornya dibanding ketiga perangai itu, dan ini mengingatkan perkataan almarhum sastrawan Iman Budhi Santosa, yang mengibaratkan diri saya selaksa senjata pusaka keramat bersimpan kutukan: “Kau ibarat keris, keris Gandring, Yang bisa membahayakan orang lain, juga dirimu sendiri.” Selepas bedah buku puisi “Takdir Terlalu Dini” di Purna Budaya Yogyakarta 2001 (Endosemen BbTTD, Cet 2, 2006). Di lain waktu dan kesempatan, almarhum kawan Fahrudin Nasrullah menyebut sebagai ‘ludah beracun’ (bertuah). Kalaulah itu suatu penujuman takdir, maka diri saya telah mengenal sejak lama, menyadari jauh sebelum belajar menulis esai sampai separas aura kritik sastra. Lantas bagaimana jikalau MMKI lebih mirip sebuah benteng dengan pola tidak beraturan semisal Al-Qasbah (Alcazaba, alcassaba, Kasbah). Alcazaba de Malaga, dibangun dari tahun 1057-1063 atas instruksi Badis, Raja Berber Taifa berpusat di Granada.
Sofyan melanjutkan: “Nurel pada masing-masing bagian buku -selain bagian I- misal bagian II menuliskan: Bagian II Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (kupasan pertama dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden). Judul bagian buku ini membingungkan karena menggunakan kalimat yang tidak efektif. ‘Kupasan pertama dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden’ mengesankan adanya dua entitas antara ‘kupasan’ dan ‘esai Ignas’, padahal dua hal itu merupakan satu kesatuan, yakni esai Ignas tentang SCB yang dikupas oleh Nurel. Seharusnya Nurel tidak perlu menggunakan kata ‘lewat’ atau ‘nya’, cukup menulis judul bagian bukunya menjadi: Bagian II Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (kupasan pertama dari paragraf awal esai Dr. Ignas Kleden). Nurel juga bisa membuat alternatif judul bagian misalnya dengan topik yang sedang dikaji pada tiap paragraf untuk mengurangi kepusingan pembaca.”
Tengok halaman 76 MMKI, Bagian XIV Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (kupasan ke nol dari sebelum paragraf ketiga, lewat esainya Dr. Ignas Kleden). Dan kata “lewat” maupun “nya” yang diharapkan Sofyan dihilangkan saja, tidak lain saya gunakan untuk pertegas bahwa esai Ignas Kleden sebagai sketsa dalam merambahi perkara tengah diunggah melalui perbagai persoalan, dari satuan “kata” dalam paragraf, “peribahasa,” dst. Aneh jikalau kemunculan kata “lewat” dan “nya” dianggap suatu perkara yang dapat membingungkan pembaca, kalau sekadar kenes bolehlah. Pun tampak terang usulannya semacam hardikan, lantaran sering memakai kata “seharusnya” yang jauh dari bijak, seolah memaksakan seseorang yang sehat untuk mengenakan tabung oksigen dalam membantu pernapasannya. Padahal hampir seluruh buku-buku karya saya telah lewati hitungan seksama, mulai dari segi angka jumlah halaman, nomor bagian, kata awal pula jumlah paragraf, disamping tanda-tanda alam; musim, gerhana, letusan gunung, waktu dan tempat penggarapan turut dilibatkan; inilah jawaban dari keraguan orang-orang sekelas dirinya.
Berikutnya Sofyah menilai: “Kelebihan kata ‘lewat’ dan ‘nya’ dalam buku ini barangkali sesuatu yang sepele, tapi punya dampak yang besar bagi pembaca, apalagi terkait judul bagian buku. Pembaca yang fanatik terhadap kalimat -sebagai alat untuk menjelaskan gagasan seorang penulis- akan langsung menilai: ”Membuat judul bagian bukunya saja membingungkan apalagi isi bukunya!” Bukan tidak menutup kemungkinan buku yang sedang dibacanya akan dilempar ke tempat sampah seperti surat cinta yang ditolak sebelum dibaca sampai akhir. Pada titik ini, kemampuan Nurel berbahasa dan menggunakan kalimat yang efektif mulai meragukan.”
Seberapakah bahayanya dampak kata “lewat” dan “nya” bagi pembaca di sana, dibandingkan penyelewengan-penyelewengan para senior yang dibiarkan hingga sekarang? Sofyan terus saja menutup mata, barangkali menganggap sepele perkara perubahan “kata kerja” menjelma “kata benda” dalam mengartikan “Kun Fayakun” oleh Sutardji Calzoum Bachri, misalnya. Mencari sumber rujukan saja tidak mampu sampai keliru, dikelirukan, masih tetap dielu-elukan. Bukan tak menutup kemungkinan, buku MMKI yang belum dibuka bungkus plastiknya sudah dibilang ‘ngawur’ oleh salah satu tokoh sastra Indonesia, dan yang tidak baca jenak berpendapat analisa saya keliru, jadi diri maklumi hal-hal kelewat tersebut. Di titik ini kemampuan mereka dalam mengembangkan ilmu pengetahuan secara jujur obyektif sekaligus terbuka pantas diragukan.
Sofyan berbilang ucap: “Menurut Teeuw, sastra sama dengan bahasa, merupakan sebuah sistem yang kemampuannya menjadi syarat mutlak untuk memahami dan mengarang karya sastra. Oleh karena itu, “penulis adalah duta bahasa”, bukanlah slogan kosong. Sebagai duta, seorang penulis memang wajib mampu –setidaknya- membuat kalimat yang efektif dan tidak membingungkan pembaca. Karena menguasai tata bahasa -di mana seseorang menulis- adalah modal dasar seseorang untuk menjadi penulis. Dengan kata lain, kini bukan hanya salah ketik dan kata klise yang menjadi musuh sastrawan beserta pembacanya, tapi juga kalimat tidak efektif. Banyak sastrawan yang belum selesai berurusan dengan tata bahasa, wajar jika Abdul Hadi WM pernah menyinggung jika masalah yang tetap hangat sampai sekarang dalam perkembangan kesusastraan adalah sejauh mana para sastrawan Indonesia mampu menggunakan bahasanya sebagai perantara untuk mengungkapkan nilai-nilai…”
Jika karya sastra dan atau sastrawannya sebagai duta bahasa, lantas duta bahasa seperti apakah yang membohongi publik, menggelincirkan tonggak-tongkah pengetahuan pada tempat-tempat lebih rendah sekelas sulapan? Apakah contoh efektif itu ‘kata kerja’ yang dirombak menjadikan ‘kata benda’? Dengan kata lain, bukan salah ketik dan kata klise yang menjadi musuh sastrawan beserta pembacanya, tetapi juga para pembual, kaum penakut menghadapi kenyataan teks yang dikelirukan. Dan ada sastrawan yang tidak selesai berurusan dengan cover buku MMKI, sudah menghakimi lebih dulu. Di sini, saya terpingkal-pingkal mendengar kabar berita tersebut dari salah satu mahasiswanya.
***
“Ah, hanya manusia biasa,” begitu ungkapan Beethoven dengan rasa kecewa terhadap Napoleon. Karya Ludwig van Beethoven, Simfoni III dalam tangga nada Es Mayor (Op. 55), dikenal Eroica (bahasa Italia; heroik). Simfoni ini adalah rangkaian dari kesembilan ciptaannya, ditulis langsung setelah yang kedua. Selesai di bulan Agustus 1804, dan pertama diperdengarkan di depan umum tanggal 7 April 1805 di Theater an der Wien di Wina. Awalnya didedikasikan untuk Napoleon Bonaparte, tetapi tidak jadi, setelah tahu Napoleon mengangkat dirinya sendiri menjadi kaisar. Akhirnya dipersembahkan kepada seseorang yang agung, walaupun kemudian diperuntukkan kepada patron utamanya, Pangeran Joseph Franz von Lobkowitz. Karya ini menandai “periode tengah” yang menghasilkan sejumlah karya baru berskala besar, dengan emosi dalam struktur yang ketat. Simfoni yang berekspresi matang atas musik zaman klasik akhir abad 18 sekaligus bergaya romantik, yang selanjutnya mendominasi abad 19. (wikipedia). Di buku MMKI hanya tertulis sampai simfoni V, dan berikut ini yang ke III atas larik puisi saya gubah (hal. 248-249):
SIMPHONI III
Dengan daya pelahan-lahan
dibangkitkan sisa tenaganya
menghayati makna kecewa.
Lengking kedalaman jiwa
setinggi ombak diterima
sehempasan membadai.
Hadirlah keberanian diri
betapa tiada tidak mungkin
dilayarkan segenap hati
berbinar-binar mata cerah.
Dipandangnya awan dekat
sebumi-langit bersetubuh
dicanangkan harapan jauh.
Sebintang-bintang angkasa
biar angin menyapu rambut
lebih akrab dari sebelumnya.
Sesekali kenangan berlalu
dianggapnya bayu lumrah.
Pikirannya menggunung
naluri jernih menggapai
pekabutan mengandung.
Nuraninya memotong
laluan menghadang,
ombak ditaklukkan.
Waswas dipendam
kepedihan dilempar
dihanyutkan pebekalan.
Makin intim percaya
musik bathin pribadi
pergumulan alam diri.
Dan suara-suara agung
ke derajat kemakmuran.
***
Kekecewaan Beethoven hampir sama diri alami, yang saya tempatkan di Bagian XVI, MMKI Buku Pertama, seperti tertera dalam laguan pembukaannya: “Awalnya masih menaruh pikiran positif, di kepala saya seakan tertera kata-kata, “pasti pidatonya mbeneh (benar), bukan awut-awutan (ngawur),” namun nyata tebakan itu meleset. Pun ingin husnudzon (berbaik sangka), mungkin tidak tahu sumber aslinya. Namun apakah mungkin, sastrawan terkenal yang banyak mendapatkan penghargaan, cuntel (dangkal) keilmuannya?”
***
Sambil mendengar dentaman Mehter, akan diakhiri bagian ini. Mehter atau mahter (ini diambil dari wikipedia): merupakan marching band Utsmani, marching band tertua dalam dunia militer. Mehteran (mahtaran, bahasa Persia). Band ini digunakan atas rombongan wazir atau pangeran, disebut mehterhane (pertemuan para mehters). Di Turki modern, keseluruhan dinamai takımı mehter (peleton mehter). Di Barat, yang disajikan ini berlabel Musik Janisari, karena Janisari pembentuk inti band. Istilah Mehter ada pada Prasasti Orkhon abad ke 8, tetapi lebih merujuk permainan instrumen individual. Mehter disebutkan secara definitif di abad 13, ketika Sultan Seljuk Alaeddin III memberi hadiah band tersebut kepada Osman Ghazi, sebagai ucapan atas negara yang baru dibentuknya (Osmanoglu, kelak menjadi Kekaisaran Ottoman, Utsmaniyah Imperatoroglu, atau Kesultanan Utsmani). Sejak saat itu, Mehter resmi bermain bagi penguasa Utsmani, pemainnya dari pasukan khusus Utsmani, Janisari (Janissary, YeniCeri, Inkisyariyah).
Sejak abad 16, gagasan marching band militer yang dimulai Mehter, diperkenalkan ke seluruh kesatuan militer di dunia. Musik Mehter jadi inspirasi beberapa komposer klasik Eropa, Joseph Haydn, Mozart, hingga Beethoven. Tahun 1826, Mehter meredup dikarena Janisari dibubarkan Sultan Mahmud II, dan mencapai puncaknya pertengahan hingga akhir abad 19, ketika Utsmani dianggap menjadi “Sick Man of Europe”. Tahun 1911, ketika kesultanan mulai runtuh, Direktur Museum Militer Istanbul mencoba membangkitkan tradisi Mehter, dan akhirnya tampil penuh di tahun 1953 untuk merayakan 500 tahun Jatuhnya Konstantinople ke tangan Sultan Muhammad al-Fatih dari Kesultanan Utsmani. Sekarang, Mehter ialah marching band Angkatan Bersenjata Republik Turki. Mehter banyak digunakan pada upacara negara dan kemiliteran bagi pengingat heroisme masa lalu kejayaan Turki Utsmani. Kesatuan Mehter, jadi band Angkatan Bersenjata Turki, dan ditampilkan di Museum Militer (Askeri Muze) di Istanbul.
***
Alhamdulillah, meski usia saya telah masuki angka dua digit akhir tahun kemerdekaan NKRI, kondisi tubuh masih baik; ketika merasa atau mendekati sakit, keadaan perut terus terasa lapar dan tatkala tubuh sehat, makan seperlunya ketika dirasa lapar. Begitu juga lidah bersama filter rokok masih bisa mendiagnosa, apa sedang kurang enak badan, berangsur menuju kesembuhan ataupun sudah segar bugar. Kini, marilah memasuki dentum-dentaman musik Mehter (Janisari):
MEHTER: Ada ribuan, jutaan, triliunan kemungkinan, itulah sayap-sayap malaikat membawai Rahmat-Nya ke hadirat seluruh makhluk-makhluk ciptaan-Nya, tak terkecuali para insan, kurnia-Nya menembus ke luar jangkauan wewarna logika, senada-nada kesembuhan, suara-suara bakti kebangkitan, niat-niat terpuji dikerahkan, irama-irama kekal dilesatkan, meringkus kekhilafan, menghardik kepengecutan, merebut peta-peta kosong menjelma lelangkah kepastian, kenyataan, kemurungan dilucuti, kegundahan dilempar ke pojok-pojok kesekaratan, keindahan disongsong bagai menyambut bulan purnama di tengah malam tanpa hujan pun sebersit awan. Bala tentara Ottoman berjabat erat keyakinan, berangkul peluk sedekat kematian di leher jenjang, demikian derap kuda para tentara, suara-suara teriakan takbir terus dikumandangkan, tiada lagi was-was hantu keraguan, setan-setan memasuki liang, mengubur dirinya bersama nasib malang, lantas panji-panji kebajikan diterbitkan di pucuk-pucuk nyali paling tinggi kepada Sang Ilahi Rabby.
Getaran ini genderang perang, suara-suara terompet bagai sangkakala malaikat maut pencabut suka, rasa merinding setubuh duka, wewaktu terhimpun kekhusyukan mengabdi, peribadatan tidak habis selesai, senantiasa membuka napas-napas kelonggaran, kesempatan baik juga cita-cita agung berdirinya tonggak gilang gemilang. Begitulah yang mereka lewatkan, yang sengaja dilalaian, dilupakan, terciumlah sedap maut, kejahiliyaan ditampakkan, kemerosotan terungkap, rupa-rupa keburukan mendapati wajah sebenarnya. Di sini ribuan kemungkinan, jutaan rahmat mendesak bebijian nurani dicukulkan, bergerak hasrat besar bangkitkan makna kemerdekaan, kepala-kepala dapati pencerahan, penalaran terang atas kilatan cahaya keimanan, kesungguhan peroleh daya-dinaya imbalan tiada terkirakan, kesuntukan beningkan pekerti, bahwa kebenaran ditegakkan, dari tapa brata bertemu kemakmuran, maknawi kebahagiaan, sebagaimana keringat menderas, kemenangan bermandikan cahaya, dinaungi kepastian tunggal Ilahiah, maka teruslah berdecak dalam dadamu, dihantui kesalahan-kesalahan yang tidak dituntaskan lewat pertaubatan.
Kemarilah mengikuti tarian pedang bersama kilatan ruh bersarung badan, dan apa yang tergurat tak lain limpahan syukur Alhamdulillah, melebur bagai bunga sedap malam, atau kalian tengah diruapi ketakwaan seorang hamba atas pengajaran-pengajaran terdahulu, yang menjadikan diri memantabkan hidup dalam kehidupan; darah kesucian, air bening berkah ketulusan, hujan deras menyapu kekhusyukan. Maka bersyukurlah kehadirat-Nya, dan kembalilah kepada dirimu paling tenang, setelah mengakui langkah keliru, tindak kesalahan, serupa kabar dilesatkan angin bebatu, “buah maja berfaedah, ketika kau mengetahuinya.”
***
Berikut ini teks musik Mehter (Janissary), marching band (tertua) atas militer Ottoman:
Leluhurmu, kakekmu, keturunanmu, ayahmu
bangsa Turki selalu gagah berani
tentara Anda, berkali-kali, telah terkenal di seluruh dunia
Bangsa Turki bangsa Turki
cintai bangsamu dengan penuh semangat
terkutuklah musuh negerimu
mereka akan merasakan kehinaan.
***
Lamongan, 19 Maret 2021
Link terkait:
Bagian A:
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-i-ii/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-iii/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-iv/
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-v/
Bagian B:
http://sastra-indonesia.com/2021/04/komodo-ataukah-kadal/
Bagian C:
http://sastra-indonesia.com/2021/04/kritik-sastra-lewat-telur-di-ujung-tanduk/
Esainya Sofyan RH. Zaid: http://sastra-indonesia.com/2018/07/mengintip-nurel-membongkar-mitos-kesusastraan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar