Prof. Aminuddin: Terjebak Politik Komunis
duta.co
Bedah buku berjudul “NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan,
Siapa Bertanggungjawab” karya sejarawan Nahdlatul Ulama Drs H Choirul Anam di
Graha Astranawa Surabaya, Selasa (26/2/2019) berlangsung menarik.
Pasalnya, uraian pembedah yang terdiri dari pakar sejarah
Prof Dr Aminuddin Kasdi guru besar Unesa dan Prof Dr Achmad Zahro guru besar UIN
Sunan Ampel Surabaya, juga sangat menggelitik.
Prof Aminuddin Kasdi, mengatakan, buku karya Cak Anam,
sapaan akrab Choirul Anam ini, merupakan refleksi sejarah kelam yang pernah
dialami Nahdlatul Ulama (NU) dalam pusaran kekuasan yang terulang kembali.
Bahkan bisa jadi lebih parah dari tahun 1963-1965 di mana
NU waktu itu harus ikut masuk dalam paham Nasakom (Nasionalis, Agamis dan
Komunis).
Tanda-tandanya Sudah Muncul
Diakui Prof Aminuddin, tanda-tanda yang sudah muncul ke
permukaan, memang sedikit ada kemiripan. Misalnya, kalau dulu ada land reform
(reformasi agraria) sekarang juga ada bagi-bagi sertifikat tanah.
“Dulu untuk menciptakan konflik di akar rumput (revolusi
sosial) menggunakan istilah 7 setan desa penguasa tanah. Sehingga kemudian
Barisan Tani Indonesia dipersenjatai, sehingga pecah peristiwa G 30 S/PKI
1965,” jelasnya.
Tapi sekarang menggunakan propaganda Rusia di mana
kebohongan yang diulang-ulang diharapkan bisa menjadi kebenaran. Ia juga
mengingatkan bahwa PKI dulu menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatu tapi
setelah bersatu akan diganti dengan ideologi Marxisme.
“Kebangkitan neo PKI itu nyata adanya, saya sudah
berulangkali menghambat cara-cara yang mereka lakukan untuk menyusup baik
melalui UU, Kurikulum pendidikan hingga SKKPH (Surat Keterangan Korban
Pelanggaran HAM),” beber Guru Besar sejarah UNESA ini.
Sementara itu, Prof Dr Achmad Zahro mengakui bahwa karya
tulis Cak Anam ini menarik untuk menjadi referensi Nahdliyin. Menurut Prof
Zahro, meski hanya lulusan S1 tapi buku-buku karya Cak Anam banyak dijadikan
sebagai rujukan para doktor dan professor. Kenapa bisa demikian?
“Itu karena tulisan sejarah selalu mengedepankan kejujuran.
Kalau tak setuju dengan buku ini ya harus bisa menunjukkan kesalahannya. Kita
duduk bersama. Sebaliknya jika tidak, ya wajib setuju dengan isi buku ini,”
kata Zahro mengawali presentasi.
Menurut, Prof Zahro sapaan akrabnya, warga Nahdliyin
sekarang ini bisa digolongkan menjadi tiga, yakni NU Struktural, NU Kultural
dan NU Main Cantik. “Nah, saya yang sudah bergelar profesor harus bisa main
cantik dan tidak boleh diam ketika
melihat kondisi NU saat ini,” jelasnya.
Menurutnya, sejarah kelam NU pada kisaran akhir tahun
1970-an kembali terulang saat ini, dimana yang diamati sekarang pengurus NU
justru melanggar Khittah NU 1926 yang meliputi muqoddimah, nawasila dan qonun
asasi. Yang paling mencolok adalah pelanggaran qonun asasi (anggaran dasar NU
Bab XVI Pasal 51 ayat (4).
“Siapapun yang mendapat amanat menjadi rais aam, rais
syuriah dan ketua umum NU tidak diperkenankan untuk mencalonkan atau dicalonkan
dalam pemilihan jabatan politik apapun. Bahkan kalau punya jabatan
tertentu wajib mengundurkan diri,”
ungkap teman akrab Ketum PBNU KH Said Agil Siraj saat belajar di Ummul Qura
Makkah ini.
Sekarang? “Baiat rais aam PBNU (KH Ma’ruf Amin) telah
runtuh. Bahkan dalam suatu forum saya katakan, sahabat saya ini telah
berkhianat terhadap NU. Peryataan saya itu juga mendapat dukungan dzuriyah
(keturunan) para pendiri NU yang ke-NU-annya tidak ada batasannya,” katanya.
Ironisnya, lanjut Prof Zahro, mereka bukan menyadari
kesalahan beratnya justru berusaha mengajak struktural NU untuk mendukung di
Pilpres 2019. “Iya kalau menang, lumayan. Itu pikiran mereka. Kalau kalah, NU
bisa hancur,” tegas Prof Achmad Zahro.
Bahkan tidak cukup di situ, pada banyak kesempatan
anggota struktural NU kerap berani menghina kader NU yang tak mau memilih kader
NU di Pilpres mendatang. Terus terang, Prof Zahro juga sakit hati kalau
mendengar yang tak mendukung 01, itu goblok. Padahal itu urusan pribadi dan
tentunya setiap orang akan melihat dulu potensi yang dimiliki calon yang akan
didukung.
Kalau soal kepandaian memang pintar tapi bidangnya
bagaimana, dan mengapa dipilih umur yang tua, itu juga akan menjadi
pertimbangan pemilih.
“Saya tegaskan tidak kurang ke NU-an orang yang memilih
01 atau 02. Tapi yang melanggar AD/ART itu, jelas berkurang ke NU-annya karena
telah mengkhianati khittah,” tegas guru besar UIN Sunan Ampel ini.
Rais Aam Lebih Tinggi dari Presiden
Pemaksaan memilih salah satu pasangan calon yang
berkompetisi di Pilpres 2019 itu, kata Prof Zahro justru akan memecahbelah NU.
Pasalnya, sejak awal harusnya bisa dikondisikan sebab warga NU yang tidak
terima dengan kondisi NU saat ini juga berhak menyatakan pendapat walaupun yang
punya kuasa adalah NU Struktural.
Penolakan pemaksaan ini juga mendapat dukungan dzuriyah
para pendiri NU. Bahkan pertemuan (halaqoh) menyuarakan sikap NU kultural terus
dilakukan. “Siapapun yang kita pilih jangan ada caci maki, ini bagian dari
jihad politik sehingga jangan menjelekkan mereka yang beda pilihan,” pintanya.
Kendati demikian sejarah telah mencatat bahwa pelanggaran
paling berat pertama terhadap khittah NU 1926 adalah KH Ma’ruf Amin karena
posisi rais aam bagi warga NU itu lebih tinggi dibanding jabatan presiden.
“Kami menghormati hak politik KH Ma’ruf Amin tapi hasil
halaqoh menyatakan beliau wajib ditakzir (hukum) dengan cara tidak dipilih,”
kata pemimpin halaqoh NU kultural dan dzuriyah pendiri NU.
Masih di tempat yang sama penulis buku “NU Jadi Tumbal
Politik Kekuasaan, Siapa Bertanggungjawab” Drs H Choirul Anam menegaskan bahwa
khittah NU merupakan cetak biru atau dasar berpijak NU pada kebenaran dan
keadilan. Sedangkan gerakan (operasional) NU adalah misi kerasulan yakni Amar
Makruf Nahi Munkar.
Kemudian referensi yang digunakan NU yakni Kutubus
Syar’i. Dan caranya adalah dengan mengedepankan prinsip Tawasut, I’tidal,
Tawazun dan Tasamuh.
“Saya siap melayani berdebat jika ada kesalahan di buku
saya. Tapi jika tidak bisa memberikan bukti untuk menyanggah buku ini ya
harusnya mau menerima. Buku ini bagian dari kritik saya terhadap perjalanan NU
karena saya tak rela NU dijadikan tumbal kekuasaan,” pungkas Cak Anam sapaan
akrabnya. (ud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar