Zehan Zareez
Oke, Saya ingin menulis sedikit terkait problematika
degradasi lembaga pendidikan. Boleh? Perlu diacungkan jempol bagi mama-mama muda, (atau papa-papa juga boleh
sih, apalagi yang sudah tidak begitu muda tentunya), atas prestasi mereka yang
terus cekatan memilih meluangkan waktu guna mendampingi anaknya dalam
tanggungjawab proses belajar ketika di rumah. Lepas wiridan maghrib - meskipun
cuma setengah jam, misalnya.
Sore hari, bahkan terhitung di waktu-waktu yang lain. Atau, lempar contoh jika memang dari pihak orang tua adalah termasuk yang kurang mengenyam pendidikan, masih banyak alternatif-alternatif yang bisa dilakukan selain menitipkan mereka di pihak yang sebenarnya tidak perlu menanggung beban tanggungjawab anaknya. Sekedar mengajak si anak jalan-jalan sambil saling berkisah seputar aktifitas yang seharian telah dilakukan, membuka-buka buku pelajaran anak sambil menyuruh si anak kembali menerangkan apa yang diperoleh dalam sehari itu, dsb.
Setiap anak diakui atau tidak memang memiliki hak atas pendidikan, selama
dia hidup tentunya. Namun bukan lantas berarti setiap anak wajib pintar dalam setiap
pelajarannya. Terlebih ia dipaksa pintar terhadap sesuatu yang menjadi
priogritas orang tuanya. Tidak. Anak-anak dapat diartikan mendapatkan hak
pendidikannya jika mereka - dalam segala gerak tingkahnya, tak lepas dari
keterdidikan. Dan simbol keterdidikan manusia yang paling utama tak lain
adalah; harmonitas.
Orang tua memegang kendali peranan sebagai 'akid' (penyerah amanah
pendidikan anak kepada guru di sekolah/lembaga pendidikan). Peranan anak
sendiri adalah 'barang yang diamanahkan kepada pihak yang telah dipercaya
sebelumnya - sekolah', sedangkan guru di sini lebih memiliki porsi sebagai
pengemban amanah (yang telah dipercaya). Satu saja seandainya, ketiga dari
prinsip di atas lemah secara bathiniyah, akan berimbas pula terhadap nasib
keterdidikan anak.
Seseorang yang telah mempercayakan sebuah urusan kepada orang lain, sungguh akan tidak lazim jika turut mengatur sedemikian rupa, bahkan di luar batasnya (sesuai ego individunya) terhadap seseorang yang telah dipercaya tadi. Pun, seseorang yang telah mendapat kepercayaan - akan jatuh kredibilitasnya sebagai 'yang dipercaya' jika melakukan yang di luar akad yang di amanahkan. Terlebih, jalinan akad itu di bawah naungan sistem yang telah dirumuskan ahli yang muaranya jelas pada taraf keterdidikan anak. Anak, biarkan saja mengalir. Ia akan berhasil 'menjadi' sesuai dengan proses kekuatan rasa saling percaya antara kedua belah pihak tadi.
Seseorang yang telah mempercayakan sebuah urusan kepada orang lain, sungguh akan tidak lazim jika turut mengatur sedemikian rupa, bahkan di luar batasnya (sesuai ego individunya) terhadap seseorang yang telah dipercaya tadi. Pun, seseorang yang telah mendapat kepercayaan - akan jatuh kredibilitasnya sebagai 'yang dipercaya' jika melakukan yang di luar akad yang di amanahkan. Terlebih, jalinan akad itu di bawah naungan sistem yang telah dirumuskan ahli yang muaranya jelas pada taraf keterdidikan anak. Anak, biarkan saja mengalir. Ia akan berhasil 'menjadi' sesuai dengan proses kekuatan rasa saling percaya antara kedua belah pihak tadi.
Seorang anak melakukan aktifitas belajarnya di sekolah
merupakan kewajiban yang memang harus dilakukannya. Kewajiban yang pondasinya
adalah kepasrahan orang tua dan tanggungjawab mendidik dari pihak guru.
Kewajiban tersebut tidak berdiri sendiri tanpa sebab. Sedangkan di luar
sekolah, orang tua tetap lah orang tua, yang (harusnya) segala geraknya
merupakan penegasan perilaku (terhadap yang telah disampaikan guru pada anak di
sekolah) hingga berbuah keteladanan. Orang tua tidak perlu bersusah payah
mendaftarkan diri menjadi seorang guru di tempat mana pun. Mereka sudah akan
menjadi guru dengan sendirinya, selama anak di rumah. Bukankah setiap orang tua
ingin anaknya fasih membaca fatihah atas bimbingannya sendiri, yang nantinya
jika anak bisa istiqomah, muara indahnya akan mengalir di hati mereka sendiri ?
Minimal demikian.
Bukan apa-apa. Hanya, semakin orang tua tidak memfungsikan diri sebagaimana yang
demikian, ditakutkan peran 'sekolah'/'lembaga pendidikan' akan perlahan
tergeser. Ketika anak katakan tak kunjung pintar seperti yang mereka harapkan,
lantas sepulang sekolah atau maghrib hari dilempar kembali ke lembaga-lembaga
pendidikan non-formal guna memperbaiki akademiknya, agar semakin mahir di
bidang ini dan itu, muncul satu kecemasan melalui pertanyaan sederhana,
"kapan anak bisa mengenal rumahnya sendiri ?". Padahal di dalam rumah
itu, senyum-senyumnya telah di ukir sejak bayi.
Para pengajar di lembaga pendidikan non-formal itu mulia, sangat mulia
(kecuali yang tidak). Mereka adalah pihak di luar dari akad yang telah saya
jelaskan di atas. Kurang patut berbicara seputar tanggungjawab di area ini.
Apalagi tuntutan. Jangan.
Yang jadi permasalahan, semakin orang tua melarikan anak-anaknya ke zona
ini, dapat disimpulkan bahwa akad percaya mereka terhadap guru-guru di sekolah
sebenarnya memudar. Terlebih kiprah para pengajar non-formal sendiri terbukti
cenderung lebih memuaskan. Ketakutan yang terjadi adalah muncul fenomena
melemahnya pola mendidik di benak guru-guru sekolah, mereka hanya mengajar
sewajarnya, toh di lembaga non-formal nanti anak-anak ini akan lebih serius
diajari. Sekolah bukan lagi sarana mediasi pencetak generasi. Manusia-manusia
yang bertanggungjawab di dalamnya akan semakin kehilangan fungsi.
Lembaga-lembaga non-formal semakin mengembangkan inovasi dan capaian, namun
dengan orientasi non-kependidikan (karena tidak legal) - alias sebatas demi
mencukupi makan sehari-hari.
Orang tua sibuk?
Tidak punya waktu?
Tidak punya waktu?
Alasan di atas hampir sama derajatnya dengan :
Muda foya-foya, tua kaya raya, tapi mati ujuk-ujuk.
30 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar