Buku begitu memesona sepanjang hidupku!
Menunggu Sang Ibu Pulang dari Salon untuk Sejumlah Buku
Buku, entah mengapa benda ini selalu sangat menarik bagiku, dari semenjak kecil, aku suka sekali dengan buku. Ada sekelumit kisahku di masa kecil mengenai kesukaanku pada buku. Aku selalu tidak mau kalau diajak ibuku untuk pergi ke salon. Dan karena itu selalu saja yang menemani ibuku adalah adikku yang perempuan karena memang perempuan harus mampu menjaga citra kecantikannya jadi kloplah ibuku dan adikku bersama-sama untuk ke salon.
Pergi ke Salon memang kebiasaan ibuku. Sebuah kegiatan yang sekitar tahun 80-an sangat jarang dilakukan oleh orang-orang di desaku. Tapi ibuku yang dikenal sebagai kembang desa dan memang cantik rupawan selalu rutin ke tempat perawatan kecantikan itu. Aku pun bangga, tapi kebanggaanku diwujudkan dengan gemar membaca buku. Sebuah kegiatan yang sekitar tahun 80-an juga jarang dilakukan masyarakat di desaku, karena jangankan beli buku untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja masih kurang.
Tapi aku yang kemudian dikenal kutu buku dan memang oleh karena itu banyak pengetahuan jadi setiap ibuku pergi ke salon selalu saja aku menuliskan pesanan sejumlah buku untuk dibelikan. Aku benar-benar menjadi orang rumahan yang jarang pergi kemana-kemana, kecuali selalu di rumah saja. Hingga pulangnya ibuku dari salon selalu aku tunggu-tunggu, bukan karena oleh-oleh makanannya yang lezat-lezat, tapi sejumlah buku-buku yang tentu bagiku amat sangat bermanfaat. Kegemaranku membaca buku itu pun sampai sekarang masih tetap aku pupuk.
Kisah Kecil Seorang Ayah Membaca Buku Inspirasi menjadi Penulis Resensi Buku
Dalam buku Tempat-tempat Imajiner: Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika terdapat sebuah cerita, dimana Michael Pearson, penulis buku tersebut, tidak sengaja mendengar obrolan anaknya dengan sekelompok teman anaknya. Mereka membicarakan pekerjaan ayah masing-masing. Ia ingat betul anaknya berkata, “Pekerjaan ayahku membaca buku.” Ia menyesal karena tidak mampu mengatakan sesuatu yang lebih menarik atau lebih mempunyai alasan kuat daripada mengatakan itu.
Namun, anaknya toh mendekati kenyataan. Membaca buku, lantas membicarakannya di kelas dengan para pendengar – yang sebagian besar memperhatikan dirinya karena mereka diwajibkan untuk itu – memang itulah yang kukerjakan untuk sisi baik hidupku. Namun, baginya buku juga selalu berarti petualangan, suatu kesempatan untuk menjejahi wilayah yang tidak kukenal, sebuah jalan untuk sesaat melepaskan diri dari dunia ini lantas menemukannya kembali.
Aku membayangkan bagaimana anakku, Fahri Puitisandi Arsyi, kalau besar nanti melakukan hal yang sama seperti anaknya Michael Pearson, membicarakan pekerjaanku pada teman-temannya, bahwa pekerjaanku membaca buku. Apakah aku akan menyesal seperti menyesalnya Pearson karena tidak mampu mengatakan sesuatu yang lebih menarik atau lebih mempunyai alasan kuat daripada mengatakan itu? Sebuah kenyataan bahwa aku membaca buku, kemudian menuliskan resensi bukunya di berbagai media massa. Ya, itulah pekerjaanku sebagai pengamat buku yang menulis resensi buku di media massa.
Sebagaimana nasib tragis profesi penulis di negeri ini, demikian juga dengan aku yang menjadi penulis resensi buku pendapatannya tak seberapa sehingga selalu mendapat protes keras dari istriku karena hanya untuk membeli susu anakku saja tidak sanggup. Anakku memang sekarang masih balita, entah, bagaimana kalau sekarang sudah besar tentu juga dipastikan akan protes karena tak bisa membeli kebutuhan hidup layaknya anak-anak sekarang yang pola hidupnya sangat hedon. Selalu ingin berganti handphone sesuai dengan perkembangan teknologi terbaru. Mesti penghasilan sedikit, aku tetap bersyukur karena masih diberi rejeki sehingga aku tetap bisa bertahan hidup di Jakarta dengan tetap bisa mengirim uang untuk menafkahi anak-istri. Rasa syukur itu berbuah manis karena berkat tulisan yang cukup banyak aku sekarang diterima bekerja sebagai wartawan di sebuah penerbitan majalah. Betapa ketabahan membawa berkah!
Tips Praktis Mendapat Buku-Buku Baru Secara Gratis
Mahalnya harga buku tidak menyurutkan aku menjadi penggemar buku karena aku punya tips yang praktis untuk mendapatkan buku-buku baru secara gratis, yaitu menjadi penulis resensi buku. Kalau tulisan resensiku dimuat maka aku dapat buku-buku baru dari penerbit. Dalam hal ini aku dengan penerbit buku menjalin hubungan mutualisme yang memang sama-sama menguntungkan. Dengan dimuatnya resensi buku berarti aku membantu promosi buku-buku baru jadi penerbit dengan senang hati selalu memberi buku-buku baru secara gratis untuk kembali aku tulis resensi buku lagi. Seisi kosku kebanyakan buku-buku baru yang begitu banyak menumpuk, seperti sebuah ruang perpustakaan.
Pengalaman pertama aku menulis resensi buku, dua belas tahun lalu, sekitar tahun 1999-an, ketika aku masih kuliah di Yogyakarta. Berawal dari sebuah diskusi yang pembicaranya dari para penerbit, panitia penyelenggara berinisiatif melakukan pengundian dengan hadiah buku-buku dari para penerbit, dan aku ternyata termasuk yang memenangkan undian dengan hadiah buku. Pulangnya langsung aku mencoba untuk menulis resensi dan dikirim ke sebuah media massa, tapi tidak dimuat. Kemudian, aku ralat tulisan resensi buku berulang kali revisi sampai akhirnya dimuat di KOMPAS, sebuah media terbesar di Indonesia, betapa bahagianya karena honornya pada waktu itu bisa untuk membayar biaya kosku selama enam bulan.
Dengan menulis resensi buku, aku mendapat keuntungan berlipat, yaitu honor dari media massa yang memuat resensiku dan sekaligus juga dapat buku baru lagi dari penerbit. Juga yang lebih penting lagi tentu saja, aku semakin bertambah pengetahuan dengan memuaskan kegemaranku selalu membaca buku. Harapannya, kalau sudah banyak buku maka aku punya rencana akan membuka perpustakaan untuk masyarakat yang kurang mampu membeli buku yang memang harganya masih tetap melambung tinggi sehingga semakin tak terjangkau bagi tangan-tangan mereka yang ingin meraih cita-cita setinggi mungkin.
Sejarah Penemuan Kertas Cikal Bakal Buku
Masih melambungnya harga buku dikarenakan terutama karena masih mahalnya harga kertas. Kertas, yang pertama kali ditemukan oleh Ts’ai Lun, seorang penemu kertas pada abad ke-2 di Cina, dan teknik pembuatan kertas baru menyebar ke seluruh dunia di abad ke-12. Sesudah itulah pemakaian kertas mulai berkembang luas dan sesudah Gutenberg menemukan mesin cetak modern, kertas menggantikan kedudukan kulit kambing sebagai sarana tulis-menulis di Barat. Kini penggunaan kertas telah menjadi begitu umum sehingga tak seorang pun sanggup membayangkan bagaimana bentuk dunia ini tanpa kertas.
Di Cina, sebelum ada penemuan kertas, umumnya buku dibuat dari bambu. Buku yang terbuat dari kayu tentu berat dan kaku. Ada juga buku dibuat dari sutra, tapi tentu harganya sangat mahal sekali. Sedangkan di Barat, sebelum ada penemuan kertas, buku ditulis di atas kulit kambing atau lembu. Material ini sebagai pengganti papirus yang digemari oleh orang-orang Yunani, Romawi, dan Mesir. Sekarang, setelah penemuan mesin cetak, bahan hingga sampai mesin cetak super canggih yang mampu produksi sangat banyak dalam waktu singkat, semestinya harga buku murah. Tapi entah mengapa harga buku sekarang malah sangat mahal bahkan sampai tidak terjangkau oleh khalayak masyarakat banyak.
Pesan Kecil untuk Pemimpin Negeri Ini
Pemimpin negeri ini pernah membanggakan diri dapat menurun harga BBM dalam pemilu sehingga kemudian ia pun terpilih lagi menjadi presiden. Kalau harga BBM bisa diturunkan, mengapa harga buku tidak? Kalau penurunan harga BBM sudah ada yang menjadikannya sebagai kampanye politik, tapi mengapa ia tidak juga mengusung penurunan harga buku?!
Kita sebagai rakyat Indonesia memberi PR untuk calon pemimpin negeri ini yang akan maju di pemilu 2014 seharusnya peduli dengan nasib buku yang tampaknya makin terpuruk sehingga secara langsung maupun tidak langsung semakin memperparah krisis negeri ini yang masih berkepanjangan sampai sekarang.
Untuk sebuah niat baik, tidak ada kata terlambat, karena itu ayo para calon pemimpin negeri ini, meski saling bersaing ketat dalam memperebutkan kursi, tapi demi kemajuan bangsa, satukan tekad untuk memperjuangkan turunnya harga buku dan juga mengkampanyekan kegemaran membaca buku. Sebuah kegiatan yang nantinya akan mampu membawa negara ini menjadi lebih bermartabat di mata dunia internasional. Sesuai tujuan nasional yang dirumuskan para pendiri negeri ini dengan tekad mencerdaskan kehidupan bangsa terdapat dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, betapa gairah semangatnya untuk kehidupan bangsa lebih baik masih tetap dapat kita rasakan sampai sekarang.
Dengan buku, kita tentu semakin optimis untuk membangun negeri menuju lebih baik!
*) Akhmad Sekhu menulis, berupa puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, telaah tentang televisi, kupasan film, kini bekerja sebagai wartawan Majalah Film MOVIEGOERS. http://sastra-indonesia.com/2011/09/ode-untuk-penggemar-buku/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar