Apa kau sempat memikirkan atau paling tidak membayangkan ketika telinga dan mulutmu tidak menemukan keserasian suara dan bahasa dengan orang-orang pada umumnya? Itulah yang di alami Amananunna.
Ketika membaca kalimat pertama dari cerpen Aksara Amananunna, Rio Johan. Saya sudah yakin ini bukan cerpen yang murahan. Saat membaca kalimat pertama yang berbunyi: Berbulan-bulan setelah Tuhan mengacaukan bahasa, Amananunna belum pula menemukan bahasanya. Saya merasa kalimat pertama itu sangat menarik dan begitu kuat untuk menjadi pondasi bagi cerita yang akan terus berkembang dan beranak-pinak.
Sebelum membaca Aksara Amananunna sebenarnya saya sempat membaca wawancara tentang Rio Johan dan kepenulisannya. Bukunya terpilih sebagai buku sastra terbaik 2014 oleh majalah Tempo. Tidak hanya itu karyanya juga masuk dalam longlist Kusala Sastra Khatulistiwa. Ia mengaku bahwa setting tempat yang ia buat dalam cerpen-cerpen nya adalah pengaruh dari kebiasaannya main game. Barangkali itu seperti game yang pernah saya mainkan dulu, itu adalah Inotia. Sejenis game RPG yang bisa di download dengan mudah di Play Store. Di game petualangan itu, tokohnya berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Tempat-tempat yang asing. Di Aksara Amananunna tempat-tempat seperti itulah yang di perkenalkan Rio Johan pada para pembaca.
Karena tidak menemukan keserasian bahasa antara telinga dan mulutnya akhirnya Amananunna, berkelana mengarungi negeri-negeri jauh, tempat-tempat asig, bertemu dengan orang-orang Mar-tu, bahkan juga sempat bertemu dengan suku-suku tanpa nama. Tak jarang ia juga di anggap pembawa sial, gila dan idiot oleh orang-orang yang ia temukan selama perjalanan. Namun sebenarnya anggapan mereka salah, Amanunna hanya tidak bisa menemukan keserasian bahasa
Di situlah kemudian saya sedikit merenung, dan memikirkan bagaimana pertama kali manusia menciptakan bahasanya. Merumuskan bahasanya yang akhirnya harus di sepakati oleh orang-orang sebagai alat komunikasi universal. Jika di lihat secara sekilas cerpen ini memiliki masalah yang remeh temeh. Namun jika kita mau merenung lebih lama, ketidak serasian telinga dan mulut dapat menjadi masalah yang begitu pelik. Dan akhirnya membuat Amanunna memutuskan untuk merumuskan bahasanya sendiri.
Dari situlah saya tertarik untuk mengangkat cerpen ini dan mengadaptasinya sebagai naskah untuk di pentaskan. Rencananya naskah ini akan di pentaskan oleh Teater Medikal STIKES Muhammadiyah Lamongan pada 15 Maret 2017 seperti tertera pada poster. Naskah ini merupakan naskah pertama yang di pentaskan oleh Teater Medikal setelah setahun lalu gagal mementaskan naskah Kyai Madrikun dari cerpen Aguk Irawan MN karena di cekal, alasannya karena ada adegan di warung kopi.
Dan disini untuk pertamakalinya saya sok-sokan berperan sebagai Sutradara Pementasan. Padahal saya miskin sekali pengalaman di bidang itu. Terakhir saya harap penonton puas dengan kerja keras kami, Teater Medikal.
_______________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2020/04/teater-medikal-dan-amananunna/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar