Sahdan, tersebutlah seorang bernama One Jingmi. Di desa pinggiran kota, ia adalah anak orang Tionghoa. Orangtuanya bukan orang kaya. Cuma penjual jamu yang tidak sukses besar. Dulu di tahun 90-an, orangtua One Jingmi menjaga toko jamu sambil menjual kupon undian berhadiah yang diselenggarakan pemerintah. One Jingmi karib dipanggil Jing. Lantaran ia anak pertama, sang papa membubuhkan kata “satu” dengan Bhs. Inggris di depan nama Tionghoanya. Orang-orang memanggilnya Jingmi.
Tubuhnya kurus dengan jakun yang menonjol. Dadanya tipis seperti tripleks. Kalau berjalan miring ke kiri, dan seolah-olah hendak diterbangkan angin. Langkahnya cepat seperti sedang terburu. Jarinya tak pernah lepas dari rokok. Kalau berbicara selalu tertawa. Jingmi sering nongkrong di warung kopi di pasar, atau mendatangi rumah teman-temannya sekadar mengobrol dan bercanda. Ia gemar bercanda dan menggoda. Ia bisa akrab dengan siapa saja, tak merasa dirinya kalangan minoritas di antara yang mayoritas. Nyaris semua orang di desa yang luas dan berpenduduk terpadat di kabupaten itu mengenalnya. Meski keturunan Tionghoa, ia sama sekali tidak membatasi pergaulannya dengan siapa pun. Ini membuktikan, sesungguhnya Tionghoa bukan orang lain. Sebagaimana Arab dan India. Sama halnya Madura dan Jawa. Mereka yang sudah menetap di sini, tak lain adalah Indonesia. Ternyata perbedaan etnis dan agama tak pernah menghalangi kemesraan kemanusiaan di negeri ini. Meski olok-olok dan kecurigaan kadang terjadi, namun tak pernah membuktikan suatu perpecahan. Yang ada hanyalah permainan politik gaya lama yang seringkali membenturkan perbedaan etnis dan agama dalam prasangka dan tuduhan.
Jingmi bukan orang hebat. Dia hanya orang biasa. Di rumahnya Jingmi memelihara seekor anjing kotor yang selalu menjulurkan lidahnya. Gigi Jingmi tampak berantakan dan kehitaman saat tertawa. Bibirnya gelap oleh nikotin. Tidak berkeluarga. Lantaran banyak perempuan takut padanya. Orang-orang menganggapnya “ora pati genep” (kurang genap) atau abnormal. Tiap pagi, Jingmi mencegat anak-anak sekolah di jalan. Ia gemar menggoda gadis-gadis sekolah. Gadis-gadis sekolah berlari dikejar-kejar Jingmi, gadis-gadis sekolah itu menghindar dari colekan tangan Jingmi yang nakal dan kurang ajar. Seringkali Jingmi ditegur bapak dan ibu guru atas perbuatannya itu, tapi Jingmi tertawa saja. Kemudian berhenti menggoda gadis-gadis sekolah untuk beberapa minggu. Tapi agak lama, kambuh lagi. Ketika ia datang ke pasar atau cangkruk dengan siapa saja, ia pasti membawa berbungkus-bungkus rokok mahal. Dengan sedikit pujian saja, Jingmi memberikan rokoknya pada siapa saja yang memujinya itu. Orang-orang di warung kopi pasti senang ketika Jingmi datang, mereka memuji Jingmi setinggi langit. Jingmi senang. Bangga. Tertawa. Ia bagikan berbungkus-bungkus rokoknya pada semua orang yang memujinya. Habis. Besok ia datang lagi dengan puluhan bungkus rokok. Tentu saja ia bukan anak orang yang susah beli rokok bagus, meski orangtuanya bukan golongan orang Tionghoa yang sukses di bidang ekonomi. Jingmi tidak akan ngasih rokok pada orang atau teman yang mengolok-oloknya. Lantaran bentuk tubuhnya yang lucu dan ganjil, membuatnya selalu mendapatkan olok-olok. Sehingga ia akan sangat bahagia kalau ada orang yang memujinya. Orang memujinya hanya agar diberi rokok oleh Jingmi. Namun Jingmi, dengan tulusnya memberikan rokok pada siapa pun yang memujinya. Bukankah orang memang bahagia jika dipuji dan bersedih atau marah ketika dihina? Dan kurasa Jingmi berbuat wajar sebagaimana orang lain pun berbuat begitu, meski orang lain tersebut tak memberi rokok ketika mendapatkan pujian seperti Jingmi.
Setiap pagi, Jingmi memberi makan anjingnya yang kotor dan selalu menjulurkan lidah yang penuh liur. Setiap pagi pula, ia disuruh mamanya ke pasar berbelanja sayuran dan kebutuhan dapur lainnya. Orang mengolok-oloknya. Jingmi tertawa. Tapi diam-diam hatinya bersedih. Ketika seseorang yang berpapasan dengannya memujinya tampan, meski ia sadar wajahnya berantakan, Jingmi memberinya sebungkus rokok. Yang memuji Jingmi, pastilah orang yang merokok. Lama-lama Jingmi terbiasa dengan olok-olok dan pujian. Ketika diolok-olok, dia sudah kebal. Saat dipuji, dia terbiasa ngasih rokok sama orang yang memuji itu.
Jingmi tidak pernah ke gereja. Dia bukan termasuk golongan orang yang religius dan rajin beribadah. Namun ketika melewati rumah ibadah, Jingmi menyempatkan berhenti sejenak, berdiri memandang pada pintu rumah ibadah. Anehnya, Jingmi tidak hanya memandang pintu gereja. Saat ia melewati masjid, ia juga berhenti sejenak, berdiri memandang pintu masjid. Kemudian melanjutkan langkahnya ke pasar. Jalan menuju pasar yang dilalui Jingmi setiap pagi itu, melewati gereja dan masjid. Pernah Jingmi melewati sebuah pura, ia berhenti sejenak di depan pura tersebut. Berdiri memandang gapura pura. Dan itu dilakukan Jingmi berpuluh tahun, sejak ia putus sekolah menengah atas.
Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Jingmi.
“Apa yang kau lakukan ketika berdiri di depan tempat ibadah?”
“Hahaha! Rahasia!”
Jingmi tertawa malu-malu. Kemudian memberi orang yang bertanya itu sebungkus rokok.
Orang tidak pernah tahu apa yang dilakukan Jingmi ketika berhenti sejenak di depan pintu masjid, gereja, dan pura. Diam-diam, Jingmi berdoa ketika ia berdiri memandang pintu sebuah rumah ibadah. Ia yakin, Tuhan ada di dalam tempat ibadah itu, duduk-duduk santai mendata orang beribadah. Seringkali Jingmi berucap pada kawannya: “cepat sana ke rumah Tuhan, Tuhan sedang mendata orang-orang.” Kawannya tertawa. Jingmi tertawa.
Tiap memandang pintu rumah ibadah, tanpa sepengetahuan siapa pun, Jingmi berkata di dalam hatinya.
“Tuhan, maaf aku tidak pernah menemui-Mu di dalam tempat ibadah. Hidupku begini. Tapi bukankah Kamu adalah aku?”
Hanya begitu. Sejenak. Kemudian ia akan berlalu. Dan Tuhan tidak pernah menjawab. Begitu setiap kali Jingmi memandang pintu gereja, pura, dan masjid dalam perjalanannya.
Pagi itu, ketika Jingmi menyeberang jalan, ia tertabrak mobil yang melaju kencang. Tubuhnya terpental. Darah keluar dari hidungnya. Orang mengira Jingmi tewas. Jalanan macet. Segera orang-orang melarikan Jingmi ke rumah sakit. Orangtua Jingmi, pasangan Tionghoa yang telah tua, beberapa sanak saudara, menunggui Jingmi di rumah sakit. Juga anjing kotor Jingmi yang selalu diberi makan tiap pagi, menunggu di depan pintu masuk rumah sakit. Ia seperti mengerti, tuannya sedang tak berdaya. Sejumlah orang yang sering memuji Jingmi agar mendapatkan rokok darinya, ikut menjenguk. Mereka bersedih, tak ada lagi orang yang dengan ringannya menebar-nebarkan rokok mahal hanya untuk sepotong pujian. Sebagian orang lain merasa tak lengkap rasanya pagi hari tanpa Jingmi yang biasa dijadikan bahan tertawaan dan olok-olok. Pada titik itu, seseorang entah siapa merasa alangkah agungnya seorang Jingmi, meski ia hanya orang biasa yang dianggap “ora genep”, namun keberadaannya sungguh melengkapi kehidupan, ibarat ganjal sebuah meja.
Di rumah sakit, Jingmi tak sadarkan diri. Selang-selang menembus lengan dan kedua hidungnya. Darah menetes dari kantong darah yang menggantung tepat di samping ranjangnya. Dokter mengatakan kepada kedua orangtua Jingmi, bahwa Jingmi mengalami gegar otak berat. Kemungkinan yang dapat dilakukan untuk dapat mencoba menyelamatkan Jingmi adalah operasi. Jika operasi ditempuh, dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama; jika operasi gagal, Jingmi akan mati. Dan jika operasi berhasil, ia akan mengalami kelumpuhan. Mama Jingmi menangis. Tapi papa Jingmi hanya terdiam saja, dari dulu papa Jingmi tidak pernah percaya pada omongan dokter. Di samping tak ada uang untuk operasi, ketidakpercayaan papa Jingmi pada penjelasan dokter, membuat orangtua Jingmi memutuskan: besok pagi Jingmi dibawa pulang. Tapi malam itu, kondisi Jingmi kritis. Kedua orangtua Jingmi, beberapa saudaranya, dan sejumlah orang pasar menungguinya dengan cemas.
Dalam kritis antara hidup dan mati, Jingmi bermimpi. Ia bermimpi menatap pintu sebuah rumah ibadah. Pintu rumah ibadah dalam mimpi Jingmi itu tak jelas. Pintu itu mirip pintu masjid, tapi terdapat salib, namun sekilas nampak seperti gapura sebuah pura. Dalam mimpinya, dari dalam pintu itu, Tuhan berfirman kepada Jingmi.
“Jingmi! Akulah Tuhanmu. Maaf Aku tidak menyelamatkan kamu ketika mobil menabrakmu kemarin. Itu pelajaran bagimu agar berhati-hati saat menyeberang jalan raya. Beginilah Aku, Jingmi. Tuhanmu yang maha esa. Jangan cemas. Jangan takut. Siapa yang dapat mencelakai Tuhan? Tak ada! Kamu tidak mungkin celaka, Jingmi. Bukankah Aku adalah kamu? Sekarang bangunlah kamu, bangkitlah dan kokohlah seperti Aku!”
Jingmi terperanjat. Ia terbangun. Ia heran melihat selang-selang memasuki tubuhnya. Ia melihat kedua orangtuanya yang telah tua dan rapuh menangis, beberapa saudara, dan sejumlah orang yang sering diberinya sebungkus rokok atas pujian terhadapnya. Orang-orang heran melihat Jingmi yang mustahil sadar, pagi itu terbangun. Ia hanya merasa sedikit pusing pada kepalanya. Dokter heran. Tapi papa Jingmi tidak heran ketika melihat dokter heran, ia menduga kuat, dokter itu berbohong atas kondisi yang telah menimpa anaknya.
“Jingmi, bagaimana mungkin kamu bisa terbangun dan sembuh mendadak, anakku?” kata mama Jingmi.
“Aku melihat Tuhan, Ma. Dia menyuruhku bangun,” ujar Jingmi tersenyum lemas.
Jingmi tak mengamalkan wirid sampai belasan, puluhan, bahkan ribuan kali. Ia hanya orang yang suka dipuji, lalu menghadiahi orang yang memujinya dengan rokok. Ia hanya orang yang selalu menjadi bahan olok-olok di pasar, lalu memendam setiap olok-olok itu jauh ke lubuk hatinya. Ia tak pernah ke tempat ibadah, tak pernah berpikir atau khawatir apakah penguasa negerinya lalim atau jahat. Juga tak pernah memikirkan apakah Tuhan ada atau tidak ada, dianggap ada atau dianggap tidak ada. Ia cuma orang biasa, setiap pagi ke pasar, memberi makan anjing kotor kesayangannya, dan hanya menatap pintu rumah ibadah tak peduli yang ditatapnya itu pintu masjid, gereja, atau pura. Ia hanya yakin, Tuhan ada di dalam sana, duduk-duduk santai sambil mendata orang-orang yang memuji-Nya untuk diberi sebungkus rokok yang mahal.
Tembokrejo, 2020
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2020/12/one-jingmi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar