Djoko Saryono
Salah satu faktor penting yang menentukan kemenerimaan, kegagalan, dan keberhasilan perempuan dalam menunaikan atau melaksanakan peran gender perempuan adalah relasi gender. Relasi gender, sebagaimana diketahui, berkaitan dengan hal-ihwal hubungan perempuan dan laki-laki sebagai kelompok sosial. Relasi gender ini bisa timpang dan tidak adil dan bisa pula imbang dan adil.
Perempuan-perempuan tradisional yang menerima peran-peran gender tradisional pada umumnya tidak mempersoalkan timpang tidaknya dan adil tidaknya relasi gender. Perempuan-perempuan modern yang menerima peran-peran gender modern justru sangat mempersoalkan dan memperhitungkan timpang tidaknya dan adil tidaknya relasi gender.
Perlu dipahami di sini, ketimpangan dan ketidakadilan relasi gender ditandai antara lain oleh subordinasi perempuan kepada laki-laki, pelabelan negatif atas perempuan, dan kekerasan (fisikal dan ekonomis) atas perempuan. Keseimbangan dan keadilan gender ditandai antara lain oleh kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki.
Perempuan-perempuan yang menerima peran gender tradisional seperti Pariyem, Srintil, Kedasih, dan Sumirat di atas tidak pernah sekalipun mempertanyakan dan memperhitungkan relasi gender tersebut. Di dalam teks novel Pengakuan Pariyem, Pariyem dikisahberitakan menerima dengan ikhlas relasi gender yang sudah ditetapkan oleh tradisi. Dia tidak pernah protes terhadap perlakuan Kanjeng Raden Tumenggung Cokrosentono dan Den Bagus Ario Atmojo. Ketika dihamili oleh Den Bagus – anak sang majikan – Pariyem menerimanya dengan sabar dan tawakal. Demikian juga ketika diputuskan oleh Cokrosentono – sang majikan – bahwa dia tidak perlu kawin dengan Den Bagus yang telah menghamilinya, dia tetap menerima dengan ikhlas.
Demikian juga Srintil di dalam teks novel Ronggeng Dukuh Paruk dikisahberitakan tidak pernah memprotes relasi gender yang sudah ditetapkan oleh tradisi Dukuh Paruk. Eksploatasi seksualitas dan ekonomis terhadanya sama sekali tidak diprotes. Dia menerima acara bukak klambu, per-gowok-an, dan lain-lain yang dikendalikan oleh Kartareja. Mereka tidak berpikir bahwa perlakuan yang diterimanya ini merupakan ketidakadilan relasi gender. Kesadaran dan daya hidup kritis atas perlakuan negatif yang diterimanya hanmpir-hampir tidak ada.
Sementara itu, perempuan-perempuan yang menolak peran gender tradisional (baca: menerima peran gender modern) seperti Sitti Nurbaya, Tuti, Tini, Atik, Ni (Subandini), dan Neti justru selalu mempersoalkan dan sangat memperhitungkan relasi gender. Mereka menyadari bahwa di dalam hidup dan kehidupan mereka dan kaum mereka terdapat ketimpangan dan ketidakadilan relasi gender.
Di dalam Sitti Nurbaya, dikisahberitakan Sitti Nurbaya selalu melancarkan protes terhadap berbagai ketimpangan dan ketidakadilan relasi gender. Dalam hal ini diprotesnya subordinasi perempuan atas laki-laki, pelabelan negatif atas perempuan, dan kekerasan seksual dan ekonomis atas perempuan. Meskipun demikian, berhubung kepribadiannya yang altruistis dan humanis serta bukan radikal, Sitti Nurbaya sendiri menjadi korban subordinasi perempuan atas laki-laki dan kekerasan seksual dan ekonomis sebagaimana tampak dari perkawinannya dengan Datuk Meringgih yang pada dasarnya hanya merupakan pembayaran utang ayahandanya Baginda Sulaiman kepada Datuk Meringgih.
Demikian juga di dalam Belenggu, dikisahberitakan Tini (Sumartini) memprotes pola hubungan suami istri yang tidak sejajar. Dia menginginkan hubungannya dengan suami sejajar: tidak perlu istri melepaskan sepatu suami ketika suami pulang dan tidak perlu istri harus di rumah terus-menerus menunggu suami pulang kerja. Meskipun demikian, sama seperti Nurbaya, Tini juga menjadi korban ketidakadilan relasi gender, dalam hal ini subordinasi perempuan atas laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa para perempuan belum berhasil, bahkan gagal membongkar ketimpangan dan ketidakadilan relasi jender.
Penyebab utama ketidaksadaran akan ketidakadilan relasi gender dan kebelumberhasilan atau kegagalan pembongkaran ketidakadilan relasi gender tersebut terutama adalah penetrasi kebudayaan patriarkis yang demikian kuat. Kebudayaan patriarkis yang maskulinistis ini dikendalikan secara sepenuhnya oleh laki-laki. Reproduksi dan produksi nilai-nilai kebudayaan ditentukan oleh laki-laki dan demi kepentingan laki-laki.
Demikianlah, Rapiah, Pariyem, Srintil, Kedasih, dan Sumirat terkungkung atau terikat kuat oleh kebudayaan patriarkis sehingga mereka tidak menyadari kekurangan-kekurangan kebudayaan patriarkis itu. Akibatnya, mereka pun mendukung kebudayaan patriarkis itu sehingga makin kukuh. Meskipun menyadari kekurangan-kekurangan atau kebusukan-kebusukan kebudayaan patriarkis, Tuti (Layar Terkembang), Tini (Belenggu), Fatimah (Jalan Tak Ada Ujung), dan Sri (Pada Sebuah Kapal) belum mampu membebaskan atau melepaskan diri dari penetrasi kebudayaan patriarkis.
Mereka masih menjadi korban kebudayaan patriarkis meskipun mereka sudah memiliki kesadaran akan kekurangan kebudayaan patriarkis. Siti Nurbaya menjadi korban kepentingan ekonomis dan seksual Datuk Meringgih dan juga ayahanda Baginda Sulaiman. Tuti menjadi korban pandangan masyarakat yang dikuasai kebudayaan patriarkis. Tini menjadi korban sikap dan perilaku Tono, suaminya sendiri. Demikian juga Fatimah menjadi korban kepentingan antara Hasan dan Guru Isa.
Kuatnya penetrasi kebudayaan patriarkis tersebut mengimplikasikan adanya hegemoni maskulinitas atas femininitas. Hegemoni maskulinitas di dalam kebudayaan patriarkis ini mengakibatkan perempuan-perempuan tidak menjadi pereproduksi dan pemroduksi nilai-nilai kebudayaan patriarkis. Perempuan-perempuan hanya menjadi konsumen nilai-nilai kebudayaan patriarkis. Demikianlah, Pariyem, Srintil, Kedasih, Sumirat, Rochayah, Fatimah, Tuti, dan Tini, sebagai contoh, hanya menjadi konsumen nilai kebudayaan, bukan pereproduksi dan pemroduksi nilai kebudayaan. Mereka tidak menjadi pengambil keputusan dan atau penentu sosok kebudayaan.
Walaupun demikian, dalam hal Siti Nurbaya, Tuti, dan Tini, mereka sudah mencoba melawan hegemoni maskulinitas dan mencoba menawarkan suatu bentuk reformasi kebudayaan. Dalam hubungan ini adalah reformasi kebudayaan patriarkis ke kebudayaan androginis. Bahkan dalam hal Atik, Bu Antana, Ni, dan Neti, mereka sudah berhasil berperan serta dalam reformasi kebudayaan. Mereka berhasil mereformasi kebudayaan dari kebudayaan patriarkis ke kebudayaan androginis. Hal ini tampak dari nilai-nilai kebudayaan yang mereka ikuti dan nikmati di dalam lingkungan sosialnya. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa mereka berhasil mengurangi, bahkan mengeliminasi atau meniadakan hegemoni maskulinitas.
Bersambung...
http://sastra-indonesia.com/2020/12/citra-perempuan-dalam-sastra-8/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar