Editor: Mardiansyah Triraharjo
Radar Jombang JP, 7 Mar 2019
(Nyai Hj Sholihah Bisri, anak ke-3 KH Bisri Syansuri, pendiri Ponpes Denanyar Jombang, atau ibu dari KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur)
Tokoh perempuan berikut ini luar biasa. Ia adalah Nyai Hj Sholihah Bisri, yang merupakan istri dari tokoh besar Islam sekaligus pahlawan nasional KH Wahid Hasyim. Ia juga ibu dari tokoh besar Islam masa kini yang salah satu putranya pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Nyai Sholihah lahir di Jombang, tepatnya di Desa Denanyar, Kecamatan/Kabupaten Jombang, 11 Oktober 1922 lalu. Ia merupakan anak ke-3 dari 6 bersaudara. Ayahnya bernama KH M Bisri Syansuri dan ibunya bernama Nyai Hj Noor Khodijah Hasbullah.
Nyai Sholihah memang memiliki nasab yang sangat baik. Jika dilihat dari silsilah keturunannya, ia merupakan keturunan dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Ia dibesarkan di lingkup pesantren.
(Makam Nyai Hj Sholihah Bisri berdampingan dengan makam KH Wahid Hasyim di kompleks makam pondok pesantren Tebuireng)
Ayahnya merupakan pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Sejak kecil, Nyai Sholihah sudah diajarkan ayahnya berbagai ilmu agama dengan metode hafalan yang kemudian diajarkan kembali kepada santri-santrinya saat itu.
Dikutip dari buku karangan Shohib berjudul Kiai Bisri Syansuri: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap, Sholihah menikah pertama kali di usia yang masih belia dengan Abdurrohim, yaitu putra Kyai Cholil dari Singosari yang merupakan perjodohan dari KH Hasyim Asy’ari, sang ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama.
Saat usia pernikahan baru menginjak tahun pertama, Sholilah kala itu yang masih berusia 14 tahun, sudah ditinggal wafat suaminya. Dalam pernikahan ini ia belum dikaruniai putra.
Dua tahun kemudian, ia menikah dengan KH Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy’ari. Dari pernikahan ini, Sholihah dikaruniai 6 orang anak. Yang pertama KH Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil alias Gus Dur, ke-2 Nyai Hj Aisyah Wahid, ket-3 KH Sholahuddin Wahid alias Gus Solah, ke-4 KH Umar Wahid, ke-5 Nyai Hj Khadijah Wahid, dan ke-6 KH Hasyim Wahid alias Gus Im.
Dalam kehidupannya, meski ia sudah dewasa dan memiliki 6 orang anak, Sholihah semasa hidupnya sangat menghormati orang tua. Sebelum pergi kemana pun, tak lupa ia berijin kepada ayahnya.
“Sama kakek (KH Bisri Syansuri) saat itu sangat takdim sekali, sopan santun dan selalu ijin kemana pun akan pergi,” ujar Hanifah Ahmad, salah satu keponakan Sholihah yang juga pengasuh asrama Ar-Risalah, di lingkup yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar.
Pada tahun 1953, suaminya KH Wahid Hasyim wafat dalam kecelakaan lalu lintas. Saat itu Sholihah masih berusia 30 tahun dan telah memiliki 5 orang anak. Anak pertama masih berusia 14 tahun, dan sedang mengandung 3 bulan.
Saat itu Sholihah tentu merasa sedih karena harus ditinggalkan suami tercinta. Tapi ia bukan wanita yang gampang putus asa. Dengan penuh perjuangan, ia mengurus ke-6 anaknya dengan gigih. Bahkan ia juga sempat berjualan beras yang dibeli di Jombang, untuk dijual ke Jakarta.
“Nyai Sholihah itu sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya, sampai ia rela jual beras untuk mencukupi kebutuhan putra-putrinya,” ungkapnya.
Ny Sholihah pun tetap gigih bertahan hidup di Ibukota, meski KH Bisri Syansuri sudah memintanya untuk kembali ke Jombang. Tapi ia memilih bertahan di Jakarta dengan semua putra putinya.
Merasa penghasilannya dengan menjual beras masih kurang untuk menghidupi anak-anaknya, Nyai Sholihah berbisnis jual beli mobil. Ia juga melayani penjualan material bangunan.
Kepada anak-anaknya, Nyai Sholihah tergolong keras dalam pendidikan. Meski begitu, kerasnya aturan yang diberlakukan, ternyata membuahkan hasil. Bahkan salah satu putranya Gus Dur menjadi Presiden Indonesia ke-4.
Lahir dari seorang ayah politikus, ke-6 putra Sholihah mayoritas menjadi politikus. Hanya putra ke-4 yang menjadi dokter spesialis paru-paru, dan putra yang lain menjadi tokoh agama yang hebat. “Gus Im ini saya kurang faham karirnya di bidang apa,” lanjut Hanifah.
Kiprahnya di Muslimat NU juga membawanya menjadi anggota DPR tahun 1971 mewakili NU. Hingga tahun 1977 dan 1981 mewakili PPP. “Kiprah di dunia politik saya kurang tahu banyak karena saat itu saya juga masih anak-anak,” pungkasnya.
Selain menjadi Ibu yang kuat, Sholihah dalam kesehariannya merupakan seseorang yang sangat baik budi pekertinya. Ia dikenal sebagai orang yang ahli bersedekah dan ahli puasa semasa hidup.
“Dia setiap hari niat puasa, kalau nutuk sampai maghrib ya Alhamdulillah, tapi kalau tidak setidaknya sudah mendapatkan ganjaran niat,” ujar Nyai Hj Nadziroh, pengasuh asrama induk Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang.
Hidup di lingkup pesantren memang membuatnya terbiasa dengan suasana-suasana agamis. Selain ahli puasa, Sholihah ahli salat, ia tidak hanya menjalani salat fardu, tapi juga salat-salat sunnah lainnya.
“Yang saya tahu, dia sangat baik budi pekertinya, sangat santun juga, tapi karena saya hanya anak mantu, jadi hanya tahu sedikit saja,” tambahnya. Sholilah juga dikenal sangat dermawan, terutama kepada saudara-saudaranya.
Menurut Hanifah, saat ia dan semua sepupunya kecil ia sering diberi uang Rp 10 ribu, saat itu Rp 10 ribu merupakan nominal yang sangat besar. “Jaman coklat masih mahal, itu saya sering dibelikan coklat sama beliau,” ungkapnya.
Tidak hanya kepada saudara, tapi juga kepada semua orang ia sangat dermawan. Seringkali ia memberikan uang kepada tetangga, teman maupun orang lain. Saat bulan Ramadan, ia juga memberikan sumbangan berupa baju-baju bekas kepada warga Denanyar.
“Baju yang diberikan masih layak pakai, dan jumlahnya banyak sekali,” kata Hanifah. Meski hidupnya di Jakarta sudah banyak disegani orang, tapi ia juga tidak sombong kepada orang lain saat pulang ke kampung halaman di Denanyar.
“Beliau kalau sama tamu sangat menghormati sekali, ya karena kedermawanannya itu, kalau saya membahasakan itu super luman pokoknya,” tegas Hanifah.
(jo/wen/mar/JPR) Foto-foto dari Wenny Rosalina, Jawa Pos Radar Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar