Judul Buku : Kumpulan Cerpen “Arus Deras”
Karya : Agnes Majestika, Ana Mustamin, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie
Jumlah halaman : 172 halaman
Penerbit : Kosa Kata Kita, 2017
ISBN : 978-602-6447-16-6
Amril Taufik Gobel
KETIKA buku ini tiba di tangan saya dua bulan silam, rasa gembira membuncah di dada dan tak sabar untuk membacanya segera. Betapa tidak? Jajaran penulis kumpulan cerpen “Arus Deras” ini adalah penulis-penulis fiksi idola saya di masa remaja, khususnya dari majalah “Anita Cemerlang”.
Agnes A. Majestika, Ana Mustamin, Kurnia Effendi dan Kurniawan Junaedhie bukanlah nama yang asing buat saya dan senantiasa menghiasi ruang imajinasi saya dengan kisah-kisah romantis yang dimuat di majalah remaja terkemuka pada zamannya itu.
Rasa antusias membaca karya-karya anyar mereka ini muncul tidak hanya sekedar ingin membawa saya bernostalgia kembali membaca karya para penulis idola, namun lebih dari itu, ada rasa penasaran, dengan umur yang kian bertambah, apakah gaya penulisan mereka ikut berubah dan apakah “sidik tulisan” yang menjadi ciri khas masing-masing penulis—seperti yang sudah saya akrabi di masa muda—masih tersisa?
Kumpulan cerpen “Arus Deras” yang merupakan edisi kedua dari kumpulan cerpen sebelumnya berjudul “Tukang Bunga dan Burung Gagak” berisi 16 cerita pendek. Keempat penulis masing-masing menyumbangkan 4 cerita. Dengan kombinasi 2 penulis pria dan 2 penulis wanita ini, kumcer “Arus Deras” terasa begitu “kaya” dengan menampilkan beragam sudut pandang dan gaya bercerita yang memikat.
Sisi maskulin yang kental tergambar pada cerpen Kurnia Effendi dan Kurniawan Junaedhie. Pada cerpen “Sepasang Pengarang”, Kurnia Effendi tampil dengan gaya berbeda dari selama ini saya kenal sebagai penulis yang sangat kental dengan nuansa sentimental dalam karyanya. Interaksi sepasang pengarang dalam kisah tersebut digambarkannya dengan lugas dan tanpa basa-basi. Terus terang saya sempat tersentak dan nyaris tak percaya cerpen tersebut dibuat oleh penulis buku kumcer “Kincir Api” (GPU) dan meraih 5 besar Khatulistiwa Literary Award (2006) ini. Meskipun demikian—seperti biasa—Kurnia Effendi tetap menunjukkan kepiawaiannya mengolah kata dengan membawa imajinasi pembaca berkelana dalam sensasi yang kerapkali mengejutkan, termasuk di tiga cerpennya yang lain “Opor Ayam”,”Ibu Bagi Rara” dan “Arus Deras”.
Kurniawan Junaedhie, membetot perhatian saya dengan empat cerpennya “Perempuan Beraroma Melati”, “Dipisah Dua Benua”, “Sang Pengelana” dan “Kita Tidak Berjodoh, Sayang”. Salah satu yang saya suka dari narasi yang dituturkan oleh Kurniawan dalam cerpennya terasa begitu ritmis dan membangkitkan rasa penasaran. Pada cerpen “Kita Tidak Berjodoh, Sayang”, Kurniawan dengan lincah merefleksikan aura kejenuhan pada sepasang suami isteri melalui percakapan datar namun tetap mengandung daya pikat. Mantan Redaktur Kompas Cyber Media (1999-2000) dan Pemimpin Redaksi Majalah Tiara (1989-1999) ini juga dengan memukau menampilkan unsur mistis dalam cerpennya “Perempuan Beraroma Melati”. Terus terang telah sukses membuat saya merinding saat membacanya sendirian.
Kemampuan “sihir kata” dari Ana Mustamin ternyata masih terasa hingga kini ketika saya membaca keempat cerpen anyarnya di buku ini. Direktur SDM dan Umum AJB Bumiputera 2012 ini membuat saya terpana sejenak seusai membaca cerpen”Warung Kopi Uya”.Pada cerpen yang didedikasikan khusus kepada sang adik, Uya Mustamin yang sedang mengelola kafenya itu, Ana berhasil mempresentasikan konflik batin serta perjuangan gigih yang dialami Uya dan suaminya dalam meraih mimpi membangun kafe yang cozy melalui inovasi yang “tidak biasa”. Di cerpen yang lain berjudul “Dermaga di Bandara”, penulis yang baru saja merilis karya kumpulan cerpen terbarunya bertajuk “Perempuan Perempuan”(2016) ini begitu fasih mengangkat setting suasana eksotis pembangunan kapal kayu pinisi di Bulukumba komplit dengan tradisi adat masa silam yang menyertainya dipadukan dengan romantika kisah cinta yang manis. Dua cerpen lainnya berjudul “Akuisisi” dan “Lukisan Braga” juga tak kalah mempesona dan membuktikan kolumnis dan penulis di berbagai media ini tetap konsisten “menyihir” pembaca dengan kemampuan “menaklukkan” kata-kata yang fenomenal itu.
Saya seakan hadir dalam nuansa melankolis yang terbangun apik dipadu gambaran suasana Jepang, Gekbrong dan Cina nan eksotis pada empat cerpen Agnes.A. Majestica :“Di Tepi Harukoma”, “Geisha”, “Tanah” dan “Uyghur”. Agnes yang sekarang berdomisili di Bengkulu sejak tahun 1993 dan bekerja di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Bengkulu ini, begitu detail menggambarkan tempat, Bahasa dan karakter di cerpen-cerpennya. Salah satunya pada cerpen “Uyghur” saya seakan dibawa berpetualang ke daerah Urumqi,Xinjiang, Cina hingga ke kota Turpan tempat kaum Uyghur bermukim. Agnes menyajikannya dengan menarik dan memberikan sensasi pengalaman tersendiri bagi pembaca.
Secara umum, keenambelas cerpen yang disajikan dalam buku ini cukup sesuai dengan ekspektasi saya. Tema cinta dan misterinya ditampilkan tidak dalam tema seragam namun menyokong spirit serupa bahwa cinta, pada akhirnya akan menemukan takdirnya sendiri. Cerita kehidupan yang sungguh tak mudah dipaparkan mengalir tanpa kesan cengeng yang mudah bikin baper. Karakter setiap tokoh digambarkan begitu kuat dan mengesankan.
Seiring waktu berjalan tentu saja gaya bercerita mantan penulis idola remaja pada zamannya ini tentu akan “menyesuaikan” dengan usia. Kita bisa mendapatkan varian bercerita yang unik dan menarik dari masing-masing penulis yang membawa “gaya bercerita” sendiri. Kolaborasi keempatnya dalam satu buku ini, tidak sekedar membuktikan eksistensi mereka dalam dunia penulisan fiksi, lebih jauh lagi, karya ini merefleksikan –seperti yang sudah disampaikan pada kata pengantar “Ungkapan Seteguk Kopi” –mereka memang tak bisa lama-lama berpisah dengan “pena” dan terus berkarya, secara konsisten, memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar