Satu hal kau benar: besar nyali. Dengan besar nyali itu rasa percaya diri berbiak. Proses kreatif dibangun. Alhasil, puluhan buah karyamu kau bukukan. Kau seleksi kau edit, selanjutnya kau terbitkan dan pasarkan sendiri. Bila Chairil Anwar memilih sesanti sekali berarti sudah itu mati. Kau tidak. Kau seakan berkejaran dengan usia, berkarya demikian banyak, apa pun: puisi, esei, atau sekadar ujaran, kemudian kau lepas ke ruang publik berkitab-kitab, sejak “Takdir Terlalu Dini” hingga yang sekarang ini “Kitab Para Malaikat”.
Umumnya para penulis memulai karir dengan mengirimkan karya ke berbagai media massa. Mungkin kau pun pernah. Sesungguhnya, dengan jatuh bangun, gagal/berhasil lewat media massa itu seorang penulis berkompetisi. Tulisan-tulisannya teruji. Dan hanya penulis bernyali besar yang tahan menghadapi seleksi redaksi media massa. Tampaknya, meski nyalimu pun besar, kau tak mau repot jatuh bangun menempuh jalan publikasi media massa. Kau lebih mengandalkan cara “gerilyawan”, datang ke kantong-kantong kesenian, kampus, juga pesantren, kemari kau jajakan sendiri karya-karyamu. Kau publikasikan buku-bukumu secara langsung dari pintu ke pintu.
Tentang antologi puisi “Kitab Para Malaikat” apa yang bisa saya komentari? Kang Maman S. Mahayana sudah begitu jeli dan panjang lebar mengulasnya. Bagi saya kau tinggal mengunyah-mamah ulasan itu, memilah-memilih bagian yang paling pas, lantas menjadikannya semacam daya dorong untuk meningkatkan kualitas karya-karyamu berikutnya, bukan hanya mengejar kuantitas. Ini langkah lanjut setelah sekian puluh buah tanganmu membuku. Setelah belasan diskusi gerilyamu menegur, menginterogasi, bahkan mengritikmu.
Terasa hampir di setiap puisi dalam antologi “Kitab Para Malaikat” ini ada lompatan-lompatan imaji yang saling bentur, yang tampaknya gagal kau padukan menjadi suatu bangunan puisi utuh. Bahkan dalam sebait puisi (dengan tanda angka romawi) yang hanya dua baris pun, terkesan upaya memanjang-manjangkan kalimat yang justru mengaburkan makna larik itu, misal:
Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu
bunga Wijayakusuma merekah, bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII).
Seperti pula ketika kau gunakan kosa kata bahasa Jawa, kurang mampu menampilkan citraan yang kuat sebagaimana harapanmu. Sebagai misal periksa larik:
…berkepompong senyawa pucuk daun manunggaling bayu semesta bathin (XIV: IX). Atau larik berikut ini:
…Anggur tumpahkan nurani atas cengkeraman gelisah dirasuki wedi … (XVIII: XCV)
Puisi-puisi dalam “Kitab Para Malaikat” kau tulis dari tahun 1998 – 1999. Jika pada tahun 2007 ini baru bisa diterbitkan, berarti sudah mengendap sembilan tahun. Sudah sublim. Dalam pengembaraan panjangmu selama ini “Kitab Para Malaikat” serta, dan kau ajeg merevisinya. Ketika masih ditemukan beberapa kekurangan di sana, itu hal biasa, karena kata-kata bisa juga tak mampu sepenuhnya menampung gagasan. Atau selera penyaji bertolak belakang dengan selera penikmat.
Tapi, engkau benar, tanpa nyali yang besar seseorang sangat sulit menghasilkan karya, apalagi karya sastra. Dengan cara unik dan nekat engkau telah membuktikan hal itu. Jakarta, Yogya, Jember, Tanjungkarang, Malang dan banyak kota lain pun berhasil engkau jadikan sasaran gerilya. Khas gaya Nurel. Apa pun, benar jua ujaran ini: kekuatanmu adalah kelemahanmu, dan kelemahanmu adalah kekuatanmu. Salam!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar