Banyak-loh sebenarnya yang ingin sekali angkat bicara
tentang bagaimana nasib pendidikan ke depan ini. Perihal rule digitalisasi yang
menggiurkan, komparasi kurikulum, maupun hal yang paling dekat dan terasa saat
ini; yaitu konklusi rotasinya di tengah pandemi.
Beberapa pihak kedinasan terkait memang sudah
mengeluarkan surat resmi yang bersinggungan dengan alur protokoler yang harus
dipatuhi masing-masing tubuh lembaga sebagai mediasi efektifitas poin 'new
normal' yang akan dilaksanakan secara mayor. Namun, (sepengetahuan yang saya
baca) beberapa edaran tersebut hanya melingkup sebatas protokoler lalu lintas
yang bersifat 'kulit', alias mudah dikelupas, gampang dibuang, diinjak dan
diabaikan. Mengingat, yang namanya kulit bukan lah inti dari apa yang
seharusnya dirasakan oleh lidah. (Entah jika sudah ada edaran susulan yang
memberikan konkrit kurikulum dan penerapan dalam hal ini. Mungkin saya yang
belum tahu).
Kebingungan jelas ada. Lebih-lebih pada lembaga-lembaga
pendidikan swasta yang notabene alur berlabuhnya serba simalakama. Hendak
mengharapkan kebijakan-kebijakan bijak dari empunya rantai kebijakan juga tak
kunjung datang, hendak memberi ketok palu sendiri secara preogratif dan parsial,
dipastikan rawan klaim miring dari masyarakat. Diam pun sebenarnya bukan
pilihan terbaik. Mengingat, aktifitas kependidikan bisa dikatakan 'hidup'
selagi seluruh elemen-elemen di dalamnya aktif-efektif melangsungkan suplay
kegiatan kependidikan. Jika tidak? Ya mati, eh mati surilah.
Tantangan sebenarnya memang ada di daya kualitas dan
kreatifitas SDM pendidik. Ini yang mufakat. Kita tahu bersama bahwa abad ini
memang akan didominasi manusia-manusia kreatif-aktif. Bukan pemilik mental
budak yang tunduk di hadapan waktu, demi sesuap raskin. Dan terbukti, pandemi
ini berhasil memberikan sebuah pertunjukan akbar betapa tubuh-tubuh lembaga
pendidikan yang kita miliki sejatinya sedang keos dihantam angin sepoi-sepoi.
Tak sadar mereka tidur nyenyak dinina-bobokkan kenyamanan. Bangunan-bangunan
megahnya seperti tampak lebih sepi dan mistis, ketimbang rumah hantu yang
ditiketkan di pasar-pasar malam. Memang, tragedi mati suri yang demikian
memiliki banyak faktor lain selain hal diatas. Entah ada bias keterdampakan
perekonomian wali didik, runyamnya sistem kurikulum keluarga peserta didik, dan
masih banyak lagi lainnya.
Kredit ini penting. Dan sudah selayaknya kita pikirkan
bersama. Pelan-pelan saja... sambil
ngopi. Tapi jauh di luar apa yang terjadi hari ini, saya hanya tak ingin
menjadikan pandemi ini sebagai satu-satunya topeng tertuduh di balik carut
marutnya kepincangan pendidikan. Situasi gawat yang demikian sudah larut runtuh
bahkan jauh sebelum ramainya toko-toko bumbu yang banting setir menjual masker.
Saya menangkap dua hal penting dalam buku 'Pendidikan
Rusak-Rusakan' yang ditulis Dwiningtyas (2005) perihal faktor-faktor yang
melatarbelakangi kemerosotan esensi dan runtuhnya nilai dunia kependidikan. Hal
pertama yang menarik adalah ketika pemerintah sudah berani mengemas unsur
kompetensi agama "baru" dalam kurikulumnya secara nasional, baik itu
melalui pihak-pihak kedinasan terkait maupun kedepartemenan yang dirasa ekspert
dalam kacamatanya. Tentu, kemasan yang demikian akan terlihat cantik secara
lahiriah program. Namun sebenarnya kemasan yang diracik akan mengakibatkan
kefatalan subtantif.
Pendidikan agama adalah masdar (pokok pondasi). Jika kuli
bangunan bermain-main dengan kualitas pondasi, atau mungkin dipolitisi harga
dan kadar kualitas semennya demi kelaparan-kelaparan berkala, maka nalar sehat
kita tentu menolak untuk melanjutkan bangunan yang mewah lagi tinggi ini.
Hasilnya bisa dilihat dari bagaimana eksistensi beberapa lembaga swasta yang
kekeh memegang penuh kendali serta mengatur pola pondasinya ini secara mandiri,
tanpa mau diaduk dan dicampuri kuli-kuli borongan.
Meskipun, terkait dengan material-material lain, memang
mau tidak mau harus 'kulak'an' di toko pusat sebagai legalitas. Tidak masalah.
Dan hal itu sah dilakukan (bagi lembaga-lembaga swasta) jika memang menghendaki
relnya berjalan sesuai visi yang ditetapkan. Tapi akan berbanding terbalik jika
kita sudi menengok lembaga-lembaga formal pendidikan yang pola kompetensi
kurikulum agamanya bersanad pada formula legalitas.
Satu contoh, mereka sudah kolang-kaling kalut meramu
bagaimana sistem Full Day School berbasis penguatan karakter yang kompetitif
lagi efektif. Hal dasarnya tentu kembali bahwasanya agama adalah sebenarnya
bejana satu-satunya yang sanggup membibit bagaimana pendidikan bisa mencatak
sosial akhlak untuk tujuan membangun masyarakat berkeadaban (seperti yang
ditulis dalam buku 'Islam Tradisional yang Terus Bergerak' karya Buya Husein).
Jika pembangunan pondasi dianggap sekedar 'asal pantas', lebih-lebih tanpa
diuji-banding kepada ahli, bagaimana pemilik rumah bisa dikatakan memiliki
rumah idaman yang mampu memberikan perlindungan dari panasnya mulut basah
kuyupnya cercaan?
Angka kedua dari poin yang dijelaskan dalam buku tersebut
diatas adalah, faktor keroposnya pendidikan tak lain sebab lembaga-lembaga
tersebut banyak yang telah menjadi pasar (baik secara figuritas maupun
fungsional). Tempat dimana penjual dan pembeli melakukan aktifitas transaksi,
demi hal-hal yang 'dirasa' saling menguntungkan. Apakah salah? Secara
keseluruhan, tentu tidak. Karena memang 'pasar' adalah primeritas yang memang
harus ada dalam skala kemajuan peradaban. Tapi segala sesuatu akan rontok jika
estafet berlariya tak sesuai garis finishnya. Sementara kita tahu, lembaga
pendidikan didirikan sebagai fungsi lain dari pasar. Tidak ada penjual yang
tidak bercita-cita mendapatkan laba.
Pendidik, tenaga kependidikan, civitas pendidian,
bukanlah penjual. Peserta didik bukan barang dagangan, wali didik pun, bukan
sebagai pembeli dalam lingkup ini. Pasar memiliki kontribusi sendiri dalam
membangun sebuah tatanan. Yang naif ketika lembaga pendidikan sudah
ditasybihkan menjadi pasar adalah pola capaian. Lebih-lebih selera belanja
konsumen hari ini banyak yang telah dikontaminasi oleh tren. Ingat, tren itu
lahir dari sebuah keinginan. Bukan kebutuhan.
Dua poin yang saya jabarkan melalui buku karya
Dwiningtyas ini baru mengupas kulitnya. Hanya sebatas kulit, yang sifat dari
kulit sendiri (seperti yang saya tulis di paragraf pembuka tadi) adalah mudah
dikelupas, gampang dibuang, diinjak dan diabaikan. Mengingat, yang namanya
kulit bukan lah inti dari apa yang seharusnya dirasakan oleh lidah. Jika ingin
ngunyah isinya, baca sendiri bukunya, tentunya.
31 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar