Ahmad Zaini
Jawa Pos Radar Bojonegoro, 22 Maret 2020
Suasana di kotaku sepi. Tak ada lalu-lalang warga melintas di jalan. Pasar lengang. Para
penjaga toko tak berani keluar rumah. Tempat-tempat umum senyap. Kotaku seperti
kota mati. Hanya lirih hembus angin membelai daun-daun perdu, dan menerbangkan plastik sisa bungkus minuman anak-anak.
Setelah ada larangan keluar rumah yang disampaikan oleh Wali Kota terkait virus corona, tak ada warga yang
berani keluar dari tempat tinggalnya. Mereka takut terpapar virus yang katanya mematikan. Warga tak berani
berkumpul. Tidak berani berinteraksi. Tak berani berkomunikasi secara langsung.
Mereka takut tertular virus tersebut, oleh bersentuhan dengan
warga lainnya. Para warga kota seperti boneka, lebih memilih berdiam diri di rumah daripada mati, sebab tertular virus corona.
“Ini akibat kita terlalu jauh
dari ulama,” kataku.
“Tak ada hubungannya antara
ulama dan virus corona,” bantah Mukri.
“Ada. Ulama itu pewaris nabi
sebagai penyebar ajaran Tuhan. Jika kita tidak menggubris nasihat ulama dan
menentangnya, berarti kita telah menentang Tuhan,” sambungku.
“Kamu ini Zun. Suka mengarang
cerita. Beribadah atau tidak, itu urusan pribadi. Tuhan juga tidak memaksa manusia untuk beribadah.”
“Memang itu hak masing-masing.
Tapi kita harus sadar, bahwa kita diciptakan Tuhan untuk
beribadah kepada-Nya. Tuhan tidak butuh kita
sembah, tetapi kita yang butuh menyembah-Nya. Tersebab kita tidak mau menuruti ajaran Tuhan
sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama, maka Tuhan mengganjar kita dengan
munculnya virus ini.”
“Hmmm. Tidak masuk akal,” sergah
Mukri dengan kening berkerut. Lelaki yang sehari-hari tidak pernah salat ini pun
meninggalkanku sendirian.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku tidak bisa mengerti
sosok seperti Mukri. Jika semua orang bersikap sepertinya, sudah selayaknya
Tuhan menguji hidup kita dengan ketakutan, dan kecemasan yang berlebihan.
Beberapa orang berpakaian seperti robot melintas di
depanku. Mereka memanggul tabung berisi cairan disinfektan. Mereka
menyemrpotkan cairan tersebut pada setiap orang yang ditemuinya. Satu di
antaranya menghampiriku, lalu menyemprotkan cairannya ke tubuhku. Aku berusaha mengelak, namun cairan itu
telanjur menyasar diriku. Baju yang semula kering, kini lembab. Rambut yang
asalnya kering dan bisa bergerak-gerak karena diterpa angin, kini basah seperti
rambut orang yang baru saja janabat.
Sebenarnya tak perlu kita bersikap belebihan seperti ini.
Bisa-bisa salah satu dari kita ada yang alergi pada semprotan disinfektan. Lalu
orang yang alergi ini mati bukan karena virus corona, melainkan mati lantaran semprotan petugas itu. Kita semestinya cukup instropeksi
diri. Bagaimana keseharian kita. Banyak mana amal kebajikan dan kemaksiatan
yang kita lakukan. Lebih sering mana beribadah kepada Tuhan daripada berbuat dosa. Jika kita mau tafakkur
seperti itu dan ada tindak lanjut dari hasil instropeksi, niscaya kita akan
diselamatkan Tuhan dari ancaman virus ini.
***
“Pak Fauzun, Pak Fuzun!” seru
seseorang yang berlari mendekatiku.
“Ada apa, Pak?” tanyaku padanya.
“Mukri, Pak. Mukri,” katanya
dengan gugup.
“Tenang. Tenangkan dulu dirimu.
Ayo, sampaikan apa yang terjadi pada Mukri?”
“Dia sesak napas.
Tersengal-sengal,” jawabnya.
“Ceritanya bagaimana dia bisa
seperti itu?”
“Semula dia batuk, pilek
disertai dahak. Setelah itu suaranya serak. Entah mengapa sekarang napasnya
tersengal-sengal seperti itu.”
“Ayo, kita kerumah Mukri,”
ajakku.
Aku berjalan cepat. Penasaran pada cerita tetangga Mukri
yang berjalan lebih cepat di depanku. Dalam perjalanan mataku memandang ke
kanan-kiri. Tak ada satu pun warga
yang keluar rumah meskipun Mukri mengalami hal seperti itu. Para warga hanya
mengintip dari kaca jendela rumahnya.
Sesampai di rumah Mukri, aku melihat lelaki yang wajahnya
tak pernah terjamah air wudlu itu terkapar. Matanya mendelik. Napasnya
tersengal-sengal. Dia seperti sedang nazak. Napasnya grok-grok.
Tangannya kejang. Sewaktu aku menatap matanya yang terbelalak itu, dia semakin
tidak terkendali. Tubuhnya menggelepar-gelepar. Seperti cacing kepanasan.
Menggeliat-geliat menahan rasa sakit yang dideritanya.
“Kena virus corona, ya, Pak?” tanya lelaki yang menjemputku.
“Wallahu a’lam. Allah yang Maha Tahu. Tolong ambilkan Al-quran. Kita bacakan ayat suci di telinganya.
Mudah-mudahan dia bisa tenang setelah mendengar lantunan ayat-ayat suci.”
“Di rumahnya tidak ada Al-quran.”
“Coba pinjam Al-quranmu.”
“Untuk apa?” tanya lelaki yang
belum paham maksudku.
“Ambilkan saja kalau kamu
punya.”
“Tapi, nanti aku ‘gak’ ketularan virus korona karena
Quranku, kau digunakan mengaji di dekat pengidap corona?”
“Tidak akan tertular. Al-quran itu bisa sebagai obat dari segala macam penyakit.
Termasuk bisa menyembuhkan penyakit hati.”
“Baiklah, saya ambilkan di
rumahku,” sambung lelaki yang kurang begitu mengerti tentang fungsi Al-quran, namun rajin salat limat waktu.
Aku menatap kondisi Mukri yang sekarat. Giginya
menyeringai menahan sakit. Matanya terbuka lebar seperti melihat sesuatu yang
sangat menakutkan. Napasnya masih tersengal-sengal. Tubuhnya
terguncang-guncang. Apakah ini akibat dari orang yang membenci ulama? Mungkin
juga. Karena Tuhan akan menyiksa manusia yang membenci ulama dengan ketakutan
serta mati tidak membawa iman.
Mukri memang sosok lelaki yang sombong. Dia merasa paling
pandai dengan mengandalkan keahlian debatnya. Setiap ada ulama yang berceramah
selalu dibantah. Setiap ada kiai yang menasihatinya selalu dicaci. Dia benci
pada ulama yang menurutnya hanya suka membual. Cerita tentang pahala dan dosa.
Cerita tentang surga dan neraka. Padahal, mereka belum pernah melihat dan merasakannya.
Seperti itulah ulah Mukri yang selalu menantang ulama yang berdakwah mengajakkan pada kebaikan. Ulama yang berseru untuk kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
“Ini Pak Fauzun,” kata lelaki
itu sambil menyodorkan Al-quran yang sudah lepas sampulnya
kepadaku.
Aku membacakan ayat Al-quran di dekat telinganya. Ronta Mukri agak mereda.
Napasnya perlahan normal. Tak lama kemudian matanya mulai berkedip-kedip. Bola
matanya berputar melihat sekelilingnya.
“Apa yang terjadi padaku?”
“Kamu terkena virus corona,” jawab lelaki yang sejak tadi duduk di belakangku
dengan suara keras.
“Husstt! Pelan-pelan bicaranya.”
“Maaf, Pak Fauzun!”
“Tadi kamu hilang kendali.
Alhamdulillah, sekarang kau sudah normal lagi.”
“Penyakit lamaku kambuh lagi.
Memang kalau terlalu capek dan stres, epilepsiku sering kumat.
“O, jadi kamu kena penyakit ayan
bukan corona?” sergah lelaki itu.
“Corona gundulmu,”
bentak Mukri. Lelaki itu pun diam.
“Sudah-sudah. Jangan ribut.
Penyakit itu datangnya dari Tuhan. Yang menyembuhkan juga Tuhan. Maka dari itu,
mulai dari sekarang dan seterusnya, marilah kita selalu mendekatkan diri pada
Tuhan. Melaksanakan
perintah-perintah-Nya, tinggalkan
larangan-larangan-Nya.”
“Terima kasih Pak Fauzun. Maaf,
aku selama ini selalu membantah nasihat-nasihatmu. Sekarang ajari saya berwudlu
dan salat lima waktu.”
”Aku ikut,” sahut lelaki itu.
“Marilah kita bersama-sama
belajar membersihkan jiwa dan lingkungan kita, agar terhindar dari berbagai penyakit,” ajakku pada
mereka.
Rumah-rumah warga masih tampak sepi. Para penghuninya
tidak ada yang berani keluar rumah. Mereka takut tertulas virus korona.
Beberapa pasang mata hanya melihat kami bertiga yang berjalan menuju musholla yang sejak seminggu ini sepi tanpa penghuni.
Waktu salat Asar tiba. Terdengar suara azan yang sangat merdu dari Musholla. Para warga penasaran pada suara yang sebelumnya
tidak pernah mereka dengar. Mereka keluar rumah, berbondong-bondong ke Musholla untuk melenyapkan rasa penasaran sambil
bersiap-siap melaksanakan salat Asar berjamaah. Mereka terkejut, karena yang melantunkan azan dengan merdu itu adalah
Mukri.
Wanar, 14 Maret 2020
Ahmad Zaini, Ketua PC Lesbumi Babat. Saat ini aktif di
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L), dan Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela). Buku kumpulan cerpen terbarunya Tadarrus
Hujan. Buku kumpulan puisinya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian, akan segera terbit. Beralamat di Wanar, Pucuk, Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar