Ini beberapa argumen saya terkait tuduhan yang dilakukan oleh seorang pendukung “puisi-ngesai” DJA di satu status kawan yang mendukung petisi “PETISI MENOLAK PROGRAM PENULISAN BUKU PUISI ESAI NASIONAL DENNY J.A.” yang dibuat oleh koalisi Penyair Muda Indonesia. Semoga bermanfaat untuk membantah tuduhan yang dilontarkan kepada para pendukung petisi ini. Anda boleh mengambil argumen-argumen ini bila Anda pikir argumen ini tepat secara logika. Salam sastra.
1. Siapa yang melarang Anda kalau mau menulis puisi ngesai ala DJA? Silakan saja, Tapi kalau ada orang mengkritisi puisi-ngesai DJA dengan logis, jangan pula dituduh mau melarang orang menerbitkan buku. Yang kami tentang itu adalah pembodohan dan kebodohan dalam soal gerakan puisi-ngesai DJA. Apakah ada kebodohan dalam dunia sastra? Tentu ada dong. Apakah Anda pikir sastra itu dunia “goib”? Sastra itu juga sains, makanya ada fakultas sastra di seluruh dunia. Teori sastra sudah ada sejak Aristoteles, sejak ia menulis buku yang berjudul “Poetic”. Seni juga punya ukuran, punya standar estetika, makanya sejak ribuan tahun lalu ada yang namana filsafat estetika. Orang boleh saja berinovasi, tapi dia mesti tahu dulu apa namanya “inovasi” dalam sians dan seni. Kalau belum paham konvensi sastra, terus berlagak sok berinovasi dalam sastra itu, itu namanya bodoh. DJA itu tak berani diuji dalam diskusi terbuka secara langsung di depan publik atas klaimnnya soal “nginovasi puisi-ngesai” karena memang itu cuma “penipuan”. Saya (Ahmad Yulden Erwin) pernah mengujinya secara langsung dalam satu diskusi di grup FB, dan memang terbukti ia tak paham perihal konvensi sastra. Ingat, puisi juga adalah ilmu, makanya ada disiplin ilmu sastra.
2. Kreativitas memang tidak bisa dibatasi, itu sudah jargon umum di kalangan seniman. Tapi, yang jadi soal, para seniman di Indonesia ini kebanyakan tidak tahu bahwa kreativitas itu juga menuntut pertanggungjawaban estetika, bukan asal-asalan dan ngawur. kemudian secara tak tahu diri menuntut diklaim sebagai karya kreatif dan inovatif yang bebas.
3. Kalau saya (Ahmad Yulden Erwin) bilang DJA bodoh dalam konteks klaim pembaharu dalam “puisi-ngesai”, memang ada faktanya. Yang jadi soal, apakah Anda tahu fakta sebenarnya soal klaim pembaharu dalam “puisi-ngesai”? Jika, Anda belum tahu, lalu bagaimana Anda sudah berani tarik kesimpulan dan mau menilai. Apakah Anda tahu perbedaan bully dengan menyatakan fakta yang sebenarnya? Apakah Anda tahu perbedaan berargumen logis dengan logical fallacy? Nah, Anda juga tak tahu bahwa kritik sastra terapan adalah suatu penghakiman, suatu penilaian, berdasarkan logika dan teori sastra atau ars poetica tertentu. Sikap ilmiah juga begitu, buktinya ada ujian tesis atau doktor, kan? Pengujian itu dilakukan oleh mereka yang paham kan, tak mungkin dilakukan mereka yang bodoh?
4. Jelas, bahwa sastra bukan barang suci, bukan firman Tuhan, karenanya bisa diujikan oleh siapa pun yang berkompeten. Satu karya sastra bisa benar atau salah, bisa tepat atau tidak tepat dalam konteks ars poetica. Siapa pun bisa mengkritisi soal puisi ngesai DJA itu, bila kau sudah paham perihal sastra? Jika belum paham, pelajari dulu dengan benar. Mana mungkin orang yang belum paham satu persoalan bisa menilai satu persoalan.
5. Pendapat yang benar dan salah itu ada standarnya: pakai logika, bukan pakai duga-duga. Nah, logika itu terkait dengan pembuktian. Sama seperti berita di koran. Untuk mengatakan sebuah berita itu benar, kan ada standarnya: ada “check and balance”, ada konfirmasi dari narasumber, mesti ikut aturan 5 W + 1 H, dst. Tak ada redaktur yang baik yang cuma bilang kepada jurnalisnya: “Tulis-tulis saja sesuka kau, yang penting bebas, yang penting kreatif! Berita itu tak ada ikurannya!” Hahahaha. Nah, sastra juga begitu. Sastra itu punya teori sastra yang jelas, punya ukuran estetika yang jelas, dan bisa diujikan secara ilmiah.
6. Kalau cuma tukang klaim seperti DJA, ya, semua juga bisa mengklaim telah melakukan inovasi dalam sastra. Tapi, yang namanya inovasi–baik di dalam sains atau seni–sejak berabad lalu, ya, mesti “dibuktikan”, mesti ada “proof”-nya. Bukan malah mengejek atau menyinisi mereka yang mengkritisi klaim inovasinya itu dengan sesat pikir dan khotbah pseudo moral atau pseudo religius. Untuk membuktikan satu klaim inovasi–baik di dalam sains maupu seni–seseorang mesti membuktikannya secara logis dan teoritis, bukan asal njeplak (kecuali bagi mereka yang belum paham soal sains dan seni kayak narpit dan DJA, hahaha). Tapi, kalau Anda memang paham sains dan seni, kemudian mencari-cari alasan untuk “membenarkan” klaim oon soal inovasi DJA dalam sastra, berarti kau memang sama bodohnya dengan DJA.
7. Apa yang Anda maksud bahwa petisi ini telah mendiskreditkan, mengintimidasi, dan menekan orang-orang untuk menolak pembodohan dan penipuan gerakan puisi-ngesai oleh DJA? Tak ada dalam petisi ini yang menyatakan seperti yang Anda tuduhkan itu. Menyatakan bahwa seorang bodoh, karena faktanya memang orang yang terbukti bodoh itu merasa pintar (megalomaniak oon), apa itu berarti mendiskreditkan? Bodoh dan pintar itu adalah fakta yang bisa dibuktikan, dan DJA memang terbukti bodoh bahkan dalam menjelaskan klaimnya sendiri soal puisi-ngesai. Kalau orang melawan pembodohan dan kebodohan, ya, jelas ada sebabnya dong. Sebab dan akibat itu ada relevansinya. Makanya saya tanya Anda, Apakah Anda paham apa yang menjadi persoalan puisi-ngesai DJA dan kenapa ditolak oleh para penulis sastra di Indonesia? Kalau Anda bilang bahwa ini cuma soal orang mau menerbitkan buku, berarti Anda tidak paham. Petisi yang dibuat para penyair muda dari seluruh Indonesia ini, jelas menyatakan duduk persoalannya. Maka, silalakan baca petisi ini dulu dengan benar.
8. Kalau seorang dosen penguji, yang telah menguji disertasi seorang mahasiswa dengan kaidah ilmiah, tidak meluluskan disertasi yang dibuat mahasiswanya tersebut secara ngawur, apakah perbuatan dosen penguji itu bisa dikatakan arogansi dan menghambat kreatifitas mahasiswa. Jika ya, buktikan dengan argumen logis. Jika tidak, jangan lagi menuduh orang yang mengkritisi puisi-ngesai DJA sebagai arogan, karena bila begitu yang Anda lakukan itu adalah logical fallacy jenis argumentum ad hominem.
9. Siapa pula yang mau bakar buku DJA beramai-ramai, karena adanya petisi ini. Tak ada dalam pernyataan dalam petisi ini yang mau membakar buku-buku DJA beramai-ramai, itu cuma khayalan Anda saja yang tak bertolak dari fakta yang ada. Fakta yang ada justru sebaliknya. Ketika DJA mengirimkan buku yang ditulis oleh Narpit, yang isinya cuma copy paste kasus dan memuji-muji DJA sebagai pembaharu sastra karena sudah mengklaim menemukan puisi-ngesai (tanpa dasar pembuktian yang benar), kepada berbagai penulis sastra di Indonesia pada tahun lalu, maka para penulis yang mendapat kiriman tak dikehendaki itu memulangkan beramai-ramai buku itu. Etis dan sah secara hukum kan tindakan para sastrawan penolak puisi-ngesai itu?
20 Januari 2018
https://komunitaskunblog.wordpress.com/2018/01/20/bung-aye-berargumen/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar