Selvie Monica S
jaganyala.wordpress.com
Media Jaganyala menyelenggarakan diskusi Bedah Novel “Kambing dan Hujan” karya Mahfud Ikhwan di kampus lima Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jalan Ki Ageng Pemanahan dengan tagline “Cinta yang Diperjuangan Adalah Cinta yang Patut Dibanggakan”. Sebelum acara bedah novel di mulai, calon anggota Jaganyala membacakan puisi di parkiran untuk menarik perhatian mahasiswa yang kuliah di kampus lima UAD. Acara yang dimulai pukul 15.30 WIB dibuka dengan nyanyian lagu “Hitam Manis” dari Teater 42, dilanjutkan dengan pembacaan puisi dari Mahasiswa baru yang mengikuti pentas seni pada penutupan P2K 2015 dan dari peserta bedah novel itu sendiri.
Acara bedah novel ini mendatangkan dua pemateri yaitu Muhammad Imam Abdul Aziz alumni Sastra Inggris UAD dan sedang melanjutkan kuliah Magister Linguistik di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan penulis novel “Kambing dan Hujan” yaitu Mahfud Ikhwan yang juga merupakan penulis novel “Ulid Tak Ingin ke Malaysia”. Penulis yang akrab dipanggil Mahfud adalah pemenang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 2014.
Muhammad Imam Abdul Aziz menganalisa bahwa novel tersebut menggunakan teori Formalisme. Dari analisanya, Imam menerangkan bahwa novel “Kambing dan Hujan” berbentuk roman. Menurutnya, penulis menggunakan plot campuran dengan alur maju dan mundur dalam memaparkan ceritanya. “Pembaca diikat dengan konflik sejak awal cerita” pungkas Wak Imam sapaan akrabnya.
Acara dilanjutkan dengan penuturkan penulis kalau dia menentukan tema novelnya ini sejak tahun 2004. Jadi, novel ini sudah dikerjakan sejak 10 tahun yang lalu namun baru sampai 30 %. Dalam proses kreatifnya Mahfud bercerita tentang pengalamannya pasang surut dan putus nyambung dengan novel “Kambing dan Hujan” dalam hal penuangan ide.
Pada tahun 2014, dia bisa menyelesaikan novel ini. Mahfud mengambil tema perselisihan Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah karena isu ini dekat dengan penulis. “Mereka selalu bersaing dalam membangun masjid, mencari cara bagaimana memenuhi masjid masing-masing, bersaing dalam hal politik juga dan belum ada yang mengangkat isu ini dalam bentuk tulisan,” tutur Mahfud saat menjelaskan ke forum.
Dia menjelaskan konflik Nahdalatul Ulama dan Muhammadiyah tidak menjadi konflik besar tapi tidak benar-benar berhenti “Titik dimana ada perdamaian dan menghormati tidak pernah ditemukan. Mereka pada titik tertentu tidak pernah bertemu. Wujudnya laten, seperti api dalam sekam, tidak pernah redam walaupun diredam,” jelas Mahfud.
Salah satu peserta diskusi, Dwi Retno Palupi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) menuturkan, “Acara ini sangat menarik dan mampu menyedot perhatian peserta. Apalagi saat pembacaan puisi, puisinya mampu menggetarkan hati”.
Saat diwawancarai Jaganyala, Dwi mengatakan walaupun belum pernah membaca bukunya tapi dia sangat tertarik dengan pemaparan yang disampaikan oleh pembicara dan penulisnya “Saya penasaran bagaimana penulis bisa menyampaikan tentang perselisihan antara Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah dalam bentuk karya sastra khususnya novel sehingga bisa memenangkan penghargaan,” kata Dwi.
Di sela-sela obrolan ringan Mahfud dengan peserta bedah novel, dia memberikan saran agar membaca sebelum menulis. “Ketika kau menulis tapi tidak membaca, ya, jangan bayangkan orang lain membaca tulisanmu wong kamu tidak membaca tulisan orang lain,” papar Mahfud. Dia berharap akan selalu ada diskusi-diskusi selanjutnya agar bisa mewadahi kebutuhan dari mahasiswa yang mempunyai minat untuk menulis.
https://jaganyala.wordpress.com/2015/09/21/bedah-novel-kambing-dan-hujan-pemenang-pertama-dewan-kesenian-jakarta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar