Esme Fadliha
http://www.kompasiana.com/esmefadliha
Di dunia ini, ada dua penulis perempuan yang sangat-sangat saya idolakan. Yang satu import, yang satu lokal. JK Rowling, dan Dewi “Dee” Lestari. It means, dari sekian banyak penulis perempuan di Indonesia, Dewi Lestari ada di urutan nomor 1 dalam daftar saya. Bukan cuma karena karya-karya hebatnya saja, tapi juga karena Dee memberi saya pengaruh paling besar dalam hobi menulis saya.
Diantara semua karya Dee, yang paling biasa menurut saya adalah Perahu Kertas. Overall sih saya tetap suka, karena bagaimanapun, Dee memang tipe penulis yang bisa membuat pembaca bertahan membaca dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Tapi kalau saya diibaratkan sedang menonton opera, semua seri Supernova, Filosofi Kopi, Rectoverso, sampai Madre, pasti akan membuat saya memberi standing ovation. Kalau untuk Perahu Kertas, saya tetap menikmati, tapi kayaknya saya akan tepuk tangan di tempat duduk aja gitu…bagus..tapi just Ok…
Bagaimanapun, waktu mendengar Perahu Kertas akan difilmkan, saya tetap senang. Pertama, ini adalah karya ibu Suri (panggilan penggemar untuk Dee) pertama yang akan difilmkan (sempat dengar kalau ada beberapa cerpen yang sudah dibuat film pendek, tapi tetap ajaa…Perahu Kertas jadi Film yang akan dianggap sebagai Film pertama). Kedua, rasanya kangen melihat ada kisah cinta bermutu dalam film Indonesia (tau sendiri kan film Indonesia banyaknya yang kayak gimana?). Sebenarnya saya lebih berharap Supernova yang difilmkan, tapi mengingat kondisi masyarakat Indonesia, Perahu Kertas mungkin akan jauh lebih mudah dijual.
Dengan manggut-manggut setuju, saya pun menunggu akan seperti apa Perahu Kertas versi Film. Sedikit kecewa sih waktu tahu kalau yang akan jadi sutradara adalah Hanung Bramantyo, jujur saya kurang suka karya-karyanya. Tapi yoweslah…karena saya tahu bahwa ibu suri sendiri yang menjadi penulis skenario, dan juga memilih langsung para pemain, saya tetap berminat untuk menunggu. Penantian saya berubah jadi rasa penasaran setelah akhirnya rilis pada 16 Agustus lalu.
Melalui account Twitter ibu Suri, saya memantau, Perahu Kertas menerima respon yang sangat positif. Bahkan menjadi film yang paling banyak ditonton selama libur Lebaran. Saya jadi makin penasaran.
Akhirnya, malam minggu lalu saya duduk manis dan siap menuntaskan rasa penasaran saya. Tapi…lho..lho…sepanjang film, saya jadi merasa semua yang dibicarakan orang tentang film Perahu Kertas berlebihan banget yaaa??
Umumnya memang, pembaca akan membanding-bandingkan film dengan novelnya. Kebanyakan pembaca novel biasanya akan bicara “di novel kan harusnya gini…kok jadi gitu ya??” Tapi selalu, sebagai penikmat novel dan penikmat film, saya selalu menganggap sebuah novel yang diadaptasi ke film adalah dua karya yang berbeda. Ya kalau sama persis, mana bisa menarik? Versi Novel pasti selalu diagung-agungkan dan dibilang lebih bagus, namun tak jarang, saya melihat ada cerita novel yang justru jadi lebih bagus setelah difilmkan.
Sayangnya untuk film Perahu Kertas ini, bukan masalah perbedaan cerita novel-film yang membuat dahi saya mengernyit. Kenapa? Karena saya tidak bisa membuktikan berbagai hal yang dipuji oleh mereka yang merespon film ini secara positif.
Pertama, dari segi pemain. Banyak yang bilang, film ini memilih pemain dengan tepat. Selain peran Remi dan Eko…Jujur saja, akting pemain yang lain sama sekali tidak bisa menyentuh saya. Saya masih ingat apa yang saya rasakan saat saya membaca novelnya. Cinta terpendam Kugy – Keenan menurut saya Indah-indah sakit gimanaaaa gitu…
Tapi saat menonton adegan-adegan Perahu Kertas, melihat akting Maudy Ayunda dan Adipati Dolken, perasaan itu nggak terasa di hati saya ya? Mulai dari bagaimana mereka bisa saling jatuh cinta, sampai akhirnya mereka ketemu lagi di pernikahan Eko- Noni setelah sekian tahun terpisah dan menyimpan cinta terpendam mereka bertahun-tahun. Saya sama sekali nggak bisa merasa bahwa mereka saling merindukan…apalagi ya, kalau udah punya cinta terpendam bertahun-tahun, sakit dan kangennya pasti gak ketulungan…harusnya sih itu yang saya rasakan sebagai penonton. Tapi somehow, menurut saya mereka tidak berhasil mengantarkan rasa sakit dan kangen itu pada saya (egois yaaa…hahaha..tapi saya kan penonton lhoo…).
Dari beberapa film Maudy Ayunda yang pernah saya tonton (Sang Pemimpi, dan Tendangan dari Langit), menurut saya aktingnya cukup natural kok. Tapi kenapa disini nggak dapet yaaaa? Jadi, apakah ini karena sutradaranya kurang oke? Hehehe..Kalo Adipati Dolken? Hmm…kalau banyak yang bilang Keenan akan jadi the next Rangga, saya sih nggak setuju. Karena, walaupun Keenan itu ganteng, tapi Rangga tetap lebih cool dan bikin meleleh hehehehe… (that’s why saya lebih cinta Remi…baik versi novel maupun versi film).
Kedua, dari segi skenario. Hmm… dengan berat hati, saya harus mengatakan bahwa ibu Suri kehilangan gregetnya. Biasanya nih…setiap habis menikmati karyanya ibu Suri, entah itu cerpen, prosa, novel, atau lagu…selalu ada yang tertinggal di hati saya. Selalu ada perasaan tertentu yang menyentuh hati saya. Entah itu tersayat-sayat, galau melow nggak jelas, atau bahkan cengar-cengir bahagia. Selalu ada perasaan seperti itu…tapi mungkin karena ini media yang berbeda dan mungkin ini pengalaman pertama, ibu Suri nggak berhasil membawa saya menikmati cerita. Terutama lagi-lagi, saya ingin bicara soal Kugy dan Keenan (yaiyalaah..mereka tokoh utamanya). Menurut saya sih, (mengingat saya udah lama banget baca novelnya dan nggak inget tepatnya gimana mereka bisa jatuh cinta) adegan-adegan yang ada di film tidak cukup kuat menggambarkan bagaimana cinta mereka bisa bersemi (ceilaah).
Kalau yang saya lihat di film….baru ketemu, mereka udah diskusi yang berat-berat dan keliatan saling suka gitu aja…(emang siiih, saya juga langsung suka sama Keenan, secara doi guanteng begitu…tapi seinget saya, Kugy nggak langsung suka ma Keenan begitu juga sebaliknya) trus ya…ujug-ujug kok mereka berantem (karena Keenan nyerah nggak mau nglukis lagi), dan berantemnya pun nggak nyampe di hati saya.
Ada juga adegan berantem yang menurut saya nggak dapet. Yaitu adegan berantem Kugy dan Noni. Padahal yaaa…waktu baca novelnya, saya bisa banget ngerasain sedihnya Kugy karena berantem sama sahabatnya itu. Yang ini kok nggak berasa sedih sama sekali. Begitu juga adegan keenan berantem dengan papanya…biasa gitu deh..
Buat saya, yang pantas dipuji di film ini adalah EKO, yang diperankan Fauzan Smith. Kalau Reza Rahardian yang memerankan Remi memang saya sudah tau kalau dia aktor yang bagus…jadi nggak kagetlah kalau liat akting dia bagus, tapi pemeran Eko ini, menurut saya jadi penyelamat kegaringan dalam film ini. Kalau saya googling, belum banyak informasi soal namanya. Dengan kata lain, mungkin ini pertama kalinya ia main film, tapiiiii…melihat akting kocaknya, saya bisa melihat masa depan yang bagus baginya di dunia akting. Kalau ada yang bilang lebih ngefans sama Eko daripada Keenan, saya setuju banget!
Ohya…satu lagi…penyelamat film ini adalah Soundtrack….kalau urusan lagu, jelas ibu Suri Dewi Lestari udah fasih bin jago…saya nggak bisa kritik sama sekali karena memang ok…cuma dalam lagu-lagunya saya bisa merasakan perasaan yang sama saat saya membaca novel.
Hmm..apakah karena film ini udah jadi campur tangan banyak orang dan bukan murni karya Dee? Tapi ya sudahlah…saya selalu merasa ikut gembira kalau ada karya lokal yang digemari dan digandrungi oleh para remaja…Jelas, Perahu Kertas sudah berhasil mencuri perhatian dan berhasil menjauhkan remaja-remaja dari film-film Horno tak bermutu.
Dijumput dari: http://hiburan.kompasiana.com/film/2012/08/27/perahu-kertas-movie-hmmmgimana-yah-489040.html
http://www.kompasiana.com/esmefadliha
Di dunia ini, ada dua penulis perempuan yang sangat-sangat saya idolakan. Yang satu import, yang satu lokal. JK Rowling, dan Dewi “Dee” Lestari. It means, dari sekian banyak penulis perempuan di Indonesia, Dewi Lestari ada di urutan nomor 1 dalam daftar saya. Bukan cuma karena karya-karya hebatnya saja, tapi juga karena Dee memberi saya pengaruh paling besar dalam hobi menulis saya.
Diantara semua karya Dee, yang paling biasa menurut saya adalah Perahu Kertas. Overall sih saya tetap suka, karena bagaimanapun, Dee memang tipe penulis yang bisa membuat pembaca bertahan membaca dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Tapi kalau saya diibaratkan sedang menonton opera, semua seri Supernova, Filosofi Kopi, Rectoverso, sampai Madre, pasti akan membuat saya memberi standing ovation. Kalau untuk Perahu Kertas, saya tetap menikmati, tapi kayaknya saya akan tepuk tangan di tempat duduk aja gitu…bagus..tapi just Ok…
Bagaimanapun, waktu mendengar Perahu Kertas akan difilmkan, saya tetap senang. Pertama, ini adalah karya ibu Suri (panggilan penggemar untuk Dee) pertama yang akan difilmkan (sempat dengar kalau ada beberapa cerpen yang sudah dibuat film pendek, tapi tetap ajaa…Perahu Kertas jadi Film yang akan dianggap sebagai Film pertama). Kedua, rasanya kangen melihat ada kisah cinta bermutu dalam film Indonesia (tau sendiri kan film Indonesia banyaknya yang kayak gimana?). Sebenarnya saya lebih berharap Supernova yang difilmkan, tapi mengingat kondisi masyarakat Indonesia, Perahu Kertas mungkin akan jauh lebih mudah dijual.
Dengan manggut-manggut setuju, saya pun menunggu akan seperti apa Perahu Kertas versi Film. Sedikit kecewa sih waktu tahu kalau yang akan jadi sutradara adalah Hanung Bramantyo, jujur saya kurang suka karya-karyanya. Tapi yoweslah…karena saya tahu bahwa ibu suri sendiri yang menjadi penulis skenario, dan juga memilih langsung para pemain, saya tetap berminat untuk menunggu. Penantian saya berubah jadi rasa penasaran setelah akhirnya rilis pada 16 Agustus lalu.
Melalui account Twitter ibu Suri, saya memantau, Perahu Kertas menerima respon yang sangat positif. Bahkan menjadi film yang paling banyak ditonton selama libur Lebaran. Saya jadi makin penasaran.
Akhirnya, malam minggu lalu saya duduk manis dan siap menuntaskan rasa penasaran saya. Tapi…lho..lho…sepanjang film, saya jadi merasa semua yang dibicarakan orang tentang film Perahu Kertas berlebihan banget yaaa??
Umumnya memang, pembaca akan membanding-bandingkan film dengan novelnya. Kebanyakan pembaca novel biasanya akan bicara “di novel kan harusnya gini…kok jadi gitu ya??” Tapi selalu, sebagai penikmat novel dan penikmat film, saya selalu menganggap sebuah novel yang diadaptasi ke film adalah dua karya yang berbeda. Ya kalau sama persis, mana bisa menarik? Versi Novel pasti selalu diagung-agungkan dan dibilang lebih bagus, namun tak jarang, saya melihat ada cerita novel yang justru jadi lebih bagus setelah difilmkan.
Sayangnya untuk film Perahu Kertas ini, bukan masalah perbedaan cerita novel-film yang membuat dahi saya mengernyit. Kenapa? Karena saya tidak bisa membuktikan berbagai hal yang dipuji oleh mereka yang merespon film ini secara positif.
Pertama, dari segi pemain. Banyak yang bilang, film ini memilih pemain dengan tepat. Selain peran Remi dan Eko…Jujur saja, akting pemain yang lain sama sekali tidak bisa menyentuh saya. Saya masih ingat apa yang saya rasakan saat saya membaca novelnya. Cinta terpendam Kugy – Keenan menurut saya Indah-indah sakit gimanaaaa gitu…
Tapi saat menonton adegan-adegan Perahu Kertas, melihat akting Maudy Ayunda dan Adipati Dolken, perasaan itu nggak terasa di hati saya ya? Mulai dari bagaimana mereka bisa saling jatuh cinta, sampai akhirnya mereka ketemu lagi di pernikahan Eko- Noni setelah sekian tahun terpisah dan menyimpan cinta terpendam mereka bertahun-tahun. Saya sama sekali nggak bisa merasa bahwa mereka saling merindukan…apalagi ya, kalau udah punya cinta terpendam bertahun-tahun, sakit dan kangennya pasti gak ketulungan…harusnya sih itu yang saya rasakan sebagai penonton. Tapi somehow, menurut saya mereka tidak berhasil mengantarkan rasa sakit dan kangen itu pada saya (egois yaaa…hahaha..tapi saya kan penonton lhoo…).
Dari beberapa film Maudy Ayunda yang pernah saya tonton (Sang Pemimpi, dan Tendangan dari Langit), menurut saya aktingnya cukup natural kok. Tapi kenapa disini nggak dapet yaaaa? Jadi, apakah ini karena sutradaranya kurang oke? Hehehe..Kalo Adipati Dolken? Hmm…kalau banyak yang bilang Keenan akan jadi the next Rangga, saya sih nggak setuju. Karena, walaupun Keenan itu ganteng, tapi Rangga tetap lebih cool dan bikin meleleh hehehehe… (that’s why saya lebih cinta Remi…baik versi novel maupun versi film).
Kedua, dari segi skenario. Hmm… dengan berat hati, saya harus mengatakan bahwa ibu Suri kehilangan gregetnya. Biasanya nih…setiap habis menikmati karyanya ibu Suri, entah itu cerpen, prosa, novel, atau lagu…selalu ada yang tertinggal di hati saya. Selalu ada perasaan tertentu yang menyentuh hati saya. Entah itu tersayat-sayat, galau melow nggak jelas, atau bahkan cengar-cengir bahagia. Selalu ada perasaan seperti itu…tapi mungkin karena ini media yang berbeda dan mungkin ini pengalaman pertama, ibu Suri nggak berhasil membawa saya menikmati cerita. Terutama lagi-lagi, saya ingin bicara soal Kugy dan Keenan (yaiyalaah..mereka tokoh utamanya). Menurut saya sih, (mengingat saya udah lama banget baca novelnya dan nggak inget tepatnya gimana mereka bisa jatuh cinta) adegan-adegan yang ada di film tidak cukup kuat menggambarkan bagaimana cinta mereka bisa bersemi (ceilaah).
Kalau yang saya lihat di film….baru ketemu, mereka udah diskusi yang berat-berat dan keliatan saling suka gitu aja…(emang siiih, saya juga langsung suka sama Keenan, secara doi guanteng begitu…tapi seinget saya, Kugy nggak langsung suka ma Keenan begitu juga sebaliknya) trus ya…ujug-ujug kok mereka berantem (karena Keenan nyerah nggak mau nglukis lagi), dan berantemnya pun nggak nyampe di hati saya.
Ada juga adegan berantem yang menurut saya nggak dapet. Yaitu adegan berantem Kugy dan Noni. Padahal yaaa…waktu baca novelnya, saya bisa banget ngerasain sedihnya Kugy karena berantem sama sahabatnya itu. Yang ini kok nggak berasa sedih sama sekali. Begitu juga adegan keenan berantem dengan papanya…biasa gitu deh..
Buat saya, yang pantas dipuji di film ini adalah EKO, yang diperankan Fauzan Smith. Kalau Reza Rahardian yang memerankan Remi memang saya sudah tau kalau dia aktor yang bagus…jadi nggak kagetlah kalau liat akting dia bagus, tapi pemeran Eko ini, menurut saya jadi penyelamat kegaringan dalam film ini. Kalau saya googling, belum banyak informasi soal namanya. Dengan kata lain, mungkin ini pertama kalinya ia main film, tapiiiii…melihat akting kocaknya, saya bisa melihat masa depan yang bagus baginya di dunia akting. Kalau ada yang bilang lebih ngefans sama Eko daripada Keenan, saya setuju banget!
Ohya…satu lagi…penyelamat film ini adalah Soundtrack….kalau urusan lagu, jelas ibu Suri Dewi Lestari udah fasih bin jago…saya nggak bisa kritik sama sekali karena memang ok…cuma dalam lagu-lagunya saya bisa merasakan perasaan yang sama saat saya membaca novel.
Hmm..apakah karena film ini udah jadi campur tangan banyak orang dan bukan murni karya Dee? Tapi ya sudahlah…saya selalu merasa ikut gembira kalau ada karya lokal yang digemari dan digandrungi oleh para remaja…Jelas, Perahu Kertas sudah berhasil mencuri perhatian dan berhasil menjauhkan remaja-remaja dari film-film Horno tak bermutu.
Dijumput dari: http://hiburan.kompasiana.com/film/2012/08/27/perahu-kertas-movie-hmmmgimana-yah-489040.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar