Judul: Pelacur Para Dewa
Penulis: Pranita Dewi
Tebal: i-xi, 94 halaman
Penerbit: Komunitas Bambu
Terbit: Agustus 2006
Peresensi: Gde Artawa
http://www.balipost.co.id/
PERJALANAN kreativitas sastra, khususnya di Bali, selalu diwarnai kejutan. Umbu Landu Paranggi “sang penjaga gawang” apresiasi sastra Bali Post mencatat, selalu saja ada yang menarik pada tiap babak perjalanan kreativitas sastra, khususnya puisi. Di belantara perjalanan anak sekolahan, pada kekuatan anak-anak muda, terekam jelas dalam memori Umbu sebagai tonggak historis sebuah perjalanan yang tentu sangat memerlukan kesetiaan. Kesetiaan itu akan teruji secara normatif oleh sang waktu menyangkut kemampuan bertahan atau menyerah untuk berkarya.
Penulis: Pranita Dewi
Tebal: i-xi, 94 halaman
Penerbit: Komunitas Bambu
Terbit: Agustus 2006
Peresensi: Gde Artawa
http://www.balipost.co.id/
PERJALANAN kreativitas sastra, khususnya di Bali, selalu diwarnai kejutan. Umbu Landu Paranggi “sang penjaga gawang” apresiasi sastra Bali Post mencatat, selalu saja ada yang menarik pada tiap babak perjalanan kreativitas sastra, khususnya puisi. Di belantara perjalanan anak sekolahan, pada kekuatan anak-anak muda, terekam jelas dalam memori Umbu sebagai tonggak historis sebuah perjalanan yang tentu sangat memerlukan kesetiaan. Kesetiaan itu akan teruji secara normatif oleh sang waktu menyangkut kemampuan bertahan atau menyerah untuk berkarya.
Dewan juri lomba penulisan puisi yang digelar Balai Bahasa tahun 2004 dikejutkan dengan kehadiran 603 puisi dari 240 penulis. Di samping kejutan secara kuantitatif, juri dipertemukan dengan anak muda bernama Pranita Dewi. Puisinya berjudul “Tuhan Langit Begitu Kosong” berhasil meyakinkan juri untuk terpilih jadi juara I. Intensitas, selektivitas dalam memilih medium sebagai alat ungkap, keliaran metaforis dan keberanian mengadopsi hasil renungan tematik sekaligus mengekspresikan dengan kedalaman rasa, menempatkan puisi Pranita menjadi pilihan juri.
Ada keliaran tersendiri pada Pranita yang selanjutnya mengajak pembaca untuk merasakan ada kegelisahan lain terjadi pada Pranita. Ia merasakan betul kalau pergulatannya dengan puisi berawal dari gesekan pergaulan kreatif, bagaimana personal dan komunitas di luar dirinya memberi energi untuk menjatuhkan pilihan jadi penulis puisi di antara pilihan-pilihan lain. Negeri ini seakan dipenuhi potret anak sekolahan yang agak terpinggirkan dari kesulitan dan kemendesakan hidup sebagaimana tiap detik dengan bangga disodorkan media penyiaran publik.
Sulit membayangkan ada anak muda yang berani memilih jalan kehidupan puitik seperti Pranita. Di luar dirinya agak jarang terbebani kesempatan untuk melakoni hidup secara kontemplatif di tengah desakan pola hidup instan dan ruang di luar dirinya yang berlomba-lomba menawarkan cara agar bisa memanjakan mereka. Hasil dari pilihan inilah yang barangkali mulai bisa dipetik Pranita dengan kumpulan puisi pertamanya, “Pelacur Para Dewa” (PPD), di samping sebelumnya beberapa puisinya ikut terhimpun dalam “Tuhan Langit Begitu Kosong” (2004), “Maha Duka Aceh” (2005), “Dian Sastro for Presiden! End of Trilogy” (2005), dan “Negeri Terluka, Surat Putih 3″ (2005).
PPD jadi menarik karena dari pemilihan judulnya, disadari atau tidak, tampak ambiguitas atau kemenduaan semantis yang mengesankan ada kontradiksi sifat subjek garapan, yang agak nyeleneh. Yang lazim terjadi, pemilihan judul sebuah kumpulan puisi bisa berangkat dari dua cara. Pertama, mengambil salah satu judul puisi untuk dijadikan judul kumpulan. Kedua, judul kumpulan puisi dipasang tidak dari salah satu judul puisi tetapi memberi gambaran sekilas keseluruhan tematik puisi-puisi di dalamnya.
Lakukan Terobosan
Semula, membaca judul “Pelacur Para Dewa”, pembaca dihadapkan pada jalinan komunikasi bahwa ada teks yang mewacanakan sejumlah subjek (para dewa) yang memiliki pelacur. Lebih lanjut bergulir pemaknaan untuk dilacak konsep dewa yang dimaksud dan konsep pelacur yang dimaksud.
Dari kerangka kesasatraan, dimana aspek referensi yang diacunya jelas yang segera membedakan antara teks sastra dan nonsastra segera bisa diusut ke mana kemauan Pranita dengan memilih judul kumpulan puisinya PPD melalui perjalanan pertemuan dengan 61 puisinya yang terangkum dalam PPD. Ternyata, Pranita melakukan terobosan bahwa judul kumpulan puisinya merupakan judul tersendiri yang berhimpitan dengan salah satu judul puisinya.
Pengakuan Pranita di awal kumpulan puisinya menyiratkan bahwa Pranita sendiri telah melakukan penyimpangan, menjadikan puisi sebagai pilihan hidup dan diyakini sebagai penyelamat kehidupannya. Muncul pertanyaan, sedemikian terdesakkah Pranita oleh gempuran kehidupan sehingga ia memilih puisi sebagai penyelamat? Pada tatanan religiositas, ada kesahajaan dan sikap rendah hati Pranita di mata penciptanya. Pranita dengan gigih mencapai identitas diri dan sebagai perempuan muda Bali dalam pencarian ia mempertaruhkan tubuhnya.
Selain “Aku Pelacur Para Dewa”, puisi-puisi lain menunjukkan upaya pertemuan intuitif melalui deskripsi lirik Pranita dengan yang kuasa, di antaranya “Ilusi Ilahi”, “Tuhan Tenggelam dalam Kelam”, “Tubuhmu-tubuhku Milik Waktu”, “Kau Hanya Debu Waktu”, “Boneka Tuhan”, “Kau Zaiarahi Tubuhku”, “Tuhan Pecah”, “Tuhan Langit Begitu Kosong”, “Rambutmu Dewi”, dan “Nuh Mengapa Kau Tak Datang Kali Ini?”.
Sebagian besar puisi Pranita dalam PPD menunjukkan terjadi upaya melakukan eksibisi leksikal: suatu upaya menggunakan kata, frase, kalimat untuk kepentingan deskripsi berupa pemaparan liar untuk menunjukkan sifat liris dari bahasa yang digunakan. Puisi-puisi Pranita tidak sekadar mimetik, tetapi sudah terlihat upaya merekonstruksi “dunia” baru yang mulanya personal jadi impersonal.
Ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda semantis keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tak ada artinya, misalnya dengan simitri (keseimbangan) rima, anyambemen, ekuivalensi makna dan homologues (persamaan posisi dalam bait).
Puisi-puisi Pranita lebih banyak beranjak dari konvensi puisi lirik yang ditandai oleh konvensi jarak dan deiksis (distance and deiksis). Di situ terdapat deiksis yaitu kata-kata yang penunjukkan berubah-ubah sesuai dengan siapa pembicara, saat dan tempat diucapkannya kata-kata itu. Dominasi pemakaian kata ganti “aku”, “kau”, menunjukkan dua kemungkinan: yaitu representasi dari personal Pranita sebagai mencipta, penutur, yang lain merepresentasikan siapa saja, “aku” liris. Atau “kau” liris.
Begitulah. Benar yang diucapkan Pranita, pertemuannya dengan puisi membuat hidup dan hari-harinya terasa lebih indah, segar, dan mampu memandang dunia secara berbeda. Jika kemudian PPD ikut meramaikan blantika penulisan puisi di tanah air, paling tidak, semoga saja komunitas masyarakat sastra untuk mencoba memandang dunia juga dengan cara berbeda.
Ada keliaran tersendiri pada Pranita yang selanjutnya mengajak pembaca untuk merasakan ada kegelisahan lain terjadi pada Pranita. Ia merasakan betul kalau pergulatannya dengan puisi berawal dari gesekan pergaulan kreatif, bagaimana personal dan komunitas di luar dirinya memberi energi untuk menjatuhkan pilihan jadi penulis puisi di antara pilihan-pilihan lain. Negeri ini seakan dipenuhi potret anak sekolahan yang agak terpinggirkan dari kesulitan dan kemendesakan hidup sebagaimana tiap detik dengan bangga disodorkan media penyiaran publik.
Sulit membayangkan ada anak muda yang berani memilih jalan kehidupan puitik seperti Pranita. Di luar dirinya agak jarang terbebani kesempatan untuk melakoni hidup secara kontemplatif di tengah desakan pola hidup instan dan ruang di luar dirinya yang berlomba-lomba menawarkan cara agar bisa memanjakan mereka. Hasil dari pilihan inilah yang barangkali mulai bisa dipetik Pranita dengan kumpulan puisi pertamanya, “Pelacur Para Dewa” (PPD), di samping sebelumnya beberapa puisinya ikut terhimpun dalam “Tuhan Langit Begitu Kosong” (2004), “Maha Duka Aceh” (2005), “Dian Sastro for Presiden! End of Trilogy” (2005), dan “Negeri Terluka, Surat Putih 3″ (2005).
PPD jadi menarik karena dari pemilihan judulnya, disadari atau tidak, tampak ambiguitas atau kemenduaan semantis yang mengesankan ada kontradiksi sifat subjek garapan, yang agak nyeleneh. Yang lazim terjadi, pemilihan judul sebuah kumpulan puisi bisa berangkat dari dua cara. Pertama, mengambil salah satu judul puisi untuk dijadikan judul kumpulan. Kedua, judul kumpulan puisi dipasang tidak dari salah satu judul puisi tetapi memberi gambaran sekilas keseluruhan tematik puisi-puisi di dalamnya.
Lakukan Terobosan
Semula, membaca judul “Pelacur Para Dewa”, pembaca dihadapkan pada jalinan komunikasi bahwa ada teks yang mewacanakan sejumlah subjek (para dewa) yang memiliki pelacur. Lebih lanjut bergulir pemaknaan untuk dilacak konsep dewa yang dimaksud dan konsep pelacur yang dimaksud.
Dari kerangka kesasatraan, dimana aspek referensi yang diacunya jelas yang segera membedakan antara teks sastra dan nonsastra segera bisa diusut ke mana kemauan Pranita dengan memilih judul kumpulan puisinya PPD melalui perjalanan pertemuan dengan 61 puisinya yang terangkum dalam PPD. Ternyata, Pranita melakukan terobosan bahwa judul kumpulan puisinya merupakan judul tersendiri yang berhimpitan dengan salah satu judul puisinya.
Pengakuan Pranita di awal kumpulan puisinya menyiratkan bahwa Pranita sendiri telah melakukan penyimpangan, menjadikan puisi sebagai pilihan hidup dan diyakini sebagai penyelamat kehidupannya. Muncul pertanyaan, sedemikian terdesakkah Pranita oleh gempuran kehidupan sehingga ia memilih puisi sebagai penyelamat? Pada tatanan religiositas, ada kesahajaan dan sikap rendah hati Pranita di mata penciptanya. Pranita dengan gigih mencapai identitas diri dan sebagai perempuan muda Bali dalam pencarian ia mempertaruhkan tubuhnya.
Selain “Aku Pelacur Para Dewa”, puisi-puisi lain menunjukkan upaya pertemuan intuitif melalui deskripsi lirik Pranita dengan yang kuasa, di antaranya “Ilusi Ilahi”, “Tuhan Tenggelam dalam Kelam”, “Tubuhmu-tubuhku Milik Waktu”, “Kau Hanya Debu Waktu”, “Boneka Tuhan”, “Kau Zaiarahi Tubuhku”, “Tuhan Pecah”, “Tuhan Langit Begitu Kosong”, “Rambutmu Dewi”, dan “Nuh Mengapa Kau Tak Datang Kali Ini?”.
Sebagian besar puisi Pranita dalam PPD menunjukkan terjadi upaya melakukan eksibisi leksikal: suatu upaya menggunakan kata, frase, kalimat untuk kepentingan deskripsi berupa pemaparan liar untuk menunjukkan sifat liris dari bahasa yang digunakan. Puisi-puisi Pranita tidak sekadar mimetik, tetapi sudah terlihat upaya merekonstruksi “dunia” baru yang mulanya personal jadi impersonal.
Ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda semantis keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tak ada artinya, misalnya dengan simitri (keseimbangan) rima, anyambemen, ekuivalensi makna dan homologues (persamaan posisi dalam bait).
Puisi-puisi Pranita lebih banyak beranjak dari konvensi puisi lirik yang ditandai oleh konvensi jarak dan deiksis (distance and deiksis). Di situ terdapat deiksis yaitu kata-kata yang penunjukkan berubah-ubah sesuai dengan siapa pembicara, saat dan tempat diucapkannya kata-kata itu. Dominasi pemakaian kata ganti “aku”, “kau”, menunjukkan dua kemungkinan: yaitu representasi dari personal Pranita sebagai mencipta, penutur, yang lain merepresentasikan siapa saja, “aku” liris. Atau “kau” liris.
Begitulah. Benar yang diucapkan Pranita, pertemuannya dengan puisi membuat hidup dan hari-harinya terasa lebih indah, segar, dan mampu memandang dunia secara berbeda. Jika kemudian PPD ikut meramaikan blantika penulisan puisi di tanah air, paling tidak, semoga saja komunitas masyarakat sastra untuk mencoba memandang dunia juga dengan cara berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar