Judul : Emilie Jawa 1904
Penulis : Catherien Van Moppes
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetak : Juli 2010
Halaman : 481 halaman
Peresensi : Ni Made Frischa Aswarini
http://www.balipost.co.id/
SEBUAH novel yang hendak mengungkap realitas sejarah melalui jalinan kisah yang disusun sedemikian kompleks dan imajinatif, haruslah dapat memberi ruang berimbang antara muatan fakta dan cerita yang fiksional. Hal itu dapat memberi peluang kepada pembaca untuk menentukan batas sekaligus jembatan antara kenyataan dan kisah, sehingga makna esensial dari karya tersebut akan lebih mudah untuk diraih.
Penulis : Catherien Van Moppes
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetak : Juli 2010
Halaman : 481 halaman
Peresensi : Ni Made Frischa Aswarini
http://www.balipost.co.id/
SEBUAH novel yang hendak mengungkap realitas sejarah melalui jalinan kisah yang disusun sedemikian kompleks dan imajinatif, haruslah dapat memberi ruang berimbang antara muatan fakta dan cerita yang fiksional. Hal itu dapat memberi peluang kepada pembaca untuk menentukan batas sekaligus jembatan antara kenyataan dan kisah, sehingga makna esensial dari karya tersebut akan lebih mudah untuk diraih.
Emilie Jawa 1904 adalah novel sejarah yang terbilang mampu mengimbangi dua hal tadi. Tak melulu hadir sebagai rekaan yang dipenuhi pesona imaji, tetapi di dalamnya terkandung pula berbagai peristiwa sejarah yang monumental. Memang, pada pandangan pertama, sebagaimana ditulis Jean Couteau dan Warih Wisatsana pada epilog buku karya Catherine van Moppes tersebut, Emilie hanyalah sebuah novel tentang petualangan dan kemelut batin seorang wanita muda Eropa di Hindia Belanda. Meskipun demikian, sesungguhnya yang menjadi tema adalah pergulatan historis dari “Indonesia pada awal abad yang lalu, tahun 1900-an.
Patut diakui bahwa menulis roman sejarah tidaklah mudah. Ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan seorang novelis manakala hendak menyusun tulisan yang selain berpretensi menguak sejarah juga berkeinginan untuk meraih capaian literer yang maksimal. Dibutuhkan wawasan sejarah yang luas sekaligus kemampuan menulis yang baik. Dua kecakapan ini harus dikuasai dan ditakar agar yang satu tidak menenggelamkan yang lain.
Bila penulis tak piawai, maka kelak yang ada di atas meja hanyalah sebuah novel yang sesak oleh data dan fakta. Pembaca dibuat suntuk dengan angka yang belum ‘diolah’ atau dibikin mengantuk oleh gaya penceritaan yang kaku dan tidak bernuansa. Atau bisa jadi akan tercipta suatu novel sejarah yang “sulit dipercaya”, dengan isi cerita dan teknik bertutur yang mengaburkan fakta-fakta sejarah yang justru hendak ditawarkan ke publik pembaca.
Dalam Emilie Jawa 1904 sendiri terdapat beberapa lembar halaman yang memuat cukup banyak nama tempat asing, angka tahun, dan berbagai peristiwa sejarah lain. Di lain bab, pembaca dibuai dengan kisah seorang perempuan yang memiliki petualangan cinta yang unik dan “ajaib”
Adapun novel yang beberapa waktu lalu sempat di-launching di Komunitas Salihara, Jakarta, ini berkisah tentang seorang perempuan berdarah Perancis bernama Emilie, putri dari saudagar kaya yang berhaluan politik Republikan-Radikal sekaligus istri seorang asisten keamanan pemerintah kolonial yang datang ke Jawa di tahun 1904, novel ini berisi tentang pengalaman batin sang tokoh dengan latar belakang sejarah yang kental.
Salah satu bagian yang terbilang berhasil menghadirkan perpaduan antara kenyataan sejarah dan kisah dengan cukup baik ialah uraian tentang kemelut batin Emilie ketika menyadari adanya paradoks antara ideologi ayahnya dan tugas luhur (mengadabkan bangsa-bangsa di tanah jajahan) yang diemban suaminya, Luciene Bernieres, dengan kenyataan masyarakat di tanah jajahan yang mulai mengobarkan semangat nasionalisme.
Sejarah dan Sastra
Sebagian besar isi dari novel setebal 481 halaman ini boleh dikata merupakan “rekonstruksi fiksional” atas sejumlah fakta sejarah, baik yang dikenal umum maupun yang belum sungguh terungkap di muka khalayak. Fakta-fakta sejarah tersebut, misalnya saja, pergolakan pemikiran dan politik di Perancis, gagasan di sebalik kolonialisme dan Politik Etis, pemikiran R.A. Kartini, atau kehidupan sosial di Batavia 100 tahun silam.
Istilah rekonstruksi fiksional mengacu pada upaya penyusunan atau penggambaran kembali peristiwa-peristiwa tertentu di masa lalu dengan menggunakan karya fiksi sebagai media penyampaian. Rekonstruksi fiksional penting untuk dilakukan guna memberi wawasan sejarah kepada publik yang kian hari cenderung kian tak tertarik pada teks-teks ilmiah yang berkaitan dengan sejarah.
Ya, mempelajari sejarah agaknya menjadi keengganan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat kita dewasa ini. Tak sedikit yang menganggap pelajaran sejarah terlalu serius, lampau dan tidak kontekstual. Ada atau tidaknya pengetahuan tentang sejarah, acapkali dipandang tak memiliki pengaruh pada kekinian, terlebih terhadap masa yang jauh di depan.
Hal tersebut boleh jadi diakibatkan selain karena “trauma sejarah” juga lantaran sebagian besar masyarakat kita masih sulit menerima uraian-uraian sejarah ilmiah yang terangkum dalam makalah dan buku sekolah.
Padahal idealnya, sejarah hendak menawarkan suatu upaya refleksi dan kontemplasi atas hidup, utamanya yang berkenaan dengan masa lalu manusia berikut berbagai hal yang melingkupinya. Sejarah memberi kesempatan bagi generasi muda untuk mengetahui asal-usul para pendahulu sembari menegaskan identitas dirinya.
Sejarah dapat memperluas cakrawala generasi penerus bangsa untuk lebih bisa menerima segala problematik warisan masa silam, memahami dan mengkritisi sebab-musababnya, lalu mempersiapkan segala sesuatunya untuk memperbaiki keadaan.
Mengingat tujuan luhur tersebut, maka peran sastra sebagai sumber sejarah dapat lebih dikedepankan. Karya sastra, khususnya novel, umumnya lebih mudah diterima tinimbang teks-teks ilmiah karena menggunakan bahasa yang lebih sugestif dan menyentuh. Sastra bisa menjadi pedoman pembelajaran sejarah yang bersifat edukatif, informatif, dan rekreatif.
Mencermati hal itu, novel-novel sejarah seperti Emilie Jawa 1904, layak untuk disambut dengan antusiasme sekaligus pengharapan, semoga ke depan, generasi muda Indonesia-lah yang menjadi penulis dari sejarah panjang bangsanya.
Patut diakui bahwa menulis roman sejarah tidaklah mudah. Ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan seorang novelis manakala hendak menyusun tulisan yang selain berpretensi menguak sejarah juga berkeinginan untuk meraih capaian literer yang maksimal. Dibutuhkan wawasan sejarah yang luas sekaligus kemampuan menulis yang baik. Dua kecakapan ini harus dikuasai dan ditakar agar yang satu tidak menenggelamkan yang lain.
Bila penulis tak piawai, maka kelak yang ada di atas meja hanyalah sebuah novel yang sesak oleh data dan fakta. Pembaca dibuat suntuk dengan angka yang belum ‘diolah’ atau dibikin mengantuk oleh gaya penceritaan yang kaku dan tidak bernuansa. Atau bisa jadi akan tercipta suatu novel sejarah yang “sulit dipercaya”, dengan isi cerita dan teknik bertutur yang mengaburkan fakta-fakta sejarah yang justru hendak ditawarkan ke publik pembaca.
Dalam Emilie Jawa 1904 sendiri terdapat beberapa lembar halaman yang memuat cukup banyak nama tempat asing, angka tahun, dan berbagai peristiwa sejarah lain. Di lain bab, pembaca dibuai dengan kisah seorang perempuan yang memiliki petualangan cinta yang unik dan “ajaib”
Adapun novel yang beberapa waktu lalu sempat di-launching di Komunitas Salihara, Jakarta, ini berkisah tentang seorang perempuan berdarah Perancis bernama Emilie, putri dari saudagar kaya yang berhaluan politik Republikan-Radikal sekaligus istri seorang asisten keamanan pemerintah kolonial yang datang ke Jawa di tahun 1904, novel ini berisi tentang pengalaman batin sang tokoh dengan latar belakang sejarah yang kental.
Salah satu bagian yang terbilang berhasil menghadirkan perpaduan antara kenyataan sejarah dan kisah dengan cukup baik ialah uraian tentang kemelut batin Emilie ketika menyadari adanya paradoks antara ideologi ayahnya dan tugas luhur (mengadabkan bangsa-bangsa di tanah jajahan) yang diemban suaminya, Luciene Bernieres, dengan kenyataan masyarakat di tanah jajahan yang mulai mengobarkan semangat nasionalisme.
Sejarah dan Sastra
Sebagian besar isi dari novel setebal 481 halaman ini boleh dikata merupakan “rekonstruksi fiksional” atas sejumlah fakta sejarah, baik yang dikenal umum maupun yang belum sungguh terungkap di muka khalayak. Fakta-fakta sejarah tersebut, misalnya saja, pergolakan pemikiran dan politik di Perancis, gagasan di sebalik kolonialisme dan Politik Etis, pemikiran R.A. Kartini, atau kehidupan sosial di Batavia 100 tahun silam.
Istilah rekonstruksi fiksional mengacu pada upaya penyusunan atau penggambaran kembali peristiwa-peristiwa tertentu di masa lalu dengan menggunakan karya fiksi sebagai media penyampaian. Rekonstruksi fiksional penting untuk dilakukan guna memberi wawasan sejarah kepada publik yang kian hari cenderung kian tak tertarik pada teks-teks ilmiah yang berkaitan dengan sejarah.
Ya, mempelajari sejarah agaknya menjadi keengganan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat kita dewasa ini. Tak sedikit yang menganggap pelajaran sejarah terlalu serius, lampau dan tidak kontekstual. Ada atau tidaknya pengetahuan tentang sejarah, acapkali dipandang tak memiliki pengaruh pada kekinian, terlebih terhadap masa yang jauh di depan.
Hal tersebut boleh jadi diakibatkan selain karena “trauma sejarah” juga lantaran sebagian besar masyarakat kita masih sulit menerima uraian-uraian sejarah ilmiah yang terangkum dalam makalah dan buku sekolah.
Padahal idealnya, sejarah hendak menawarkan suatu upaya refleksi dan kontemplasi atas hidup, utamanya yang berkenaan dengan masa lalu manusia berikut berbagai hal yang melingkupinya. Sejarah memberi kesempatan bagi generasi muda untuk mengetahui asal-usul para pendahulu sembari menegaskan identitas dirinya.
Sejarah dapat memperluas cakrawala generasi penerus bangsa untuk lebih bisa menerima segala problematik warisan masa silam, memahami dan mengkritisi sebab-musababnya, lalu mempersiapkan segala sesuatunya untuk memperbaiki keadaan.
Mengingat tujuan luhur tersebut, maka peran sastra sebagai sumber sejarah dapat lebih dikedepankan. Karya sastra, khususnya novel, umumnya lebih mudah diterima tinimbang teks-teks ilmiah karena menggunakan bahasa yang lebih sugestif dan menyentuh. Sastra bisa menjadi pedoman pembelajaran sejarah yang bersifat edukatif, informatif, dan rekreatif.
Mencermati hal itu, novel-novel sejarah seperti Emilie Jawa 1904, layak untuk disambut dengan antusiasme sekaligus pengharapan, semoga ke depan, generasi muda Indonesia-lah yang menjadi penulis dari sejarah panjang bangsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar