Fahrudin Nasrulloh**
http://www.facebook.com/people/Jabbar-Abdullah/1020385855
Dalam sastra Jawa kepesantrenan, bahasa dan sastra Jawa dijadikan wadah untuk memperkenalkan ajaran Islam. Sedangkan dalam sastra Islam-Kejawen anasir sufisme dan ajaran pekertinya diserap oleh pujangga Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu. Memang, sastra Jawa pesantren tidak sesubur sastra Islam-Kejawen. Lantaran yang berkembang di Jawa adalah paham sufisme ortodoks Al-Ghazali, sehingga daya telisiknya terbatas hanya pada ilmu-ilmu yang telah ada. Ini jelas berbeda dengan sastra sufistik Melayu di Aceh silam yang menganut paham wujudiyah falsafi.
http://www.facebook.com/people/Jabbar-Abdullah/1020385855
Dalam sastra Jawa kepesantrenan, bahasa dan sastra Jawa dijadikan wadah untuk memperkenalkan ajaran Islam. Sedangkan dalam sastra Islam-Kejawen anasir sufisme dan ajaran pekertinya diserap oleh pujangga Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu. Memang, sastra Jawa pesantren tidak sesubur sastra Islam-Kejawen. Lantaran yang berkembang di Jawa adalah paham sufisme ortodoks Al-Ghazali, sehingga daya telisiknya terbatas hanya pada ilmu-ilmu yang telah ada. Ini jelas berbeda dengan sastra sufistik Melayu di Aceh silam yang menganut paham wujudiyah falsafi.
Ketika kronik imperium Majapahit dikhatam dengan masuknya Islam dan berdirinya kerajaan Demak. Maka pudarlah kerajaan itu, sirna ilang kertaning bumi, di abad ke-14 M. Setelah itu kasultanan Demak berdiri pada abad ke-16 M. Ada dua naskah Jawa Islam yang ditulis pada zaman Demak ini, yaitu Het Boek Van Bonang dan Een Javaans Geschrift de 16e Eew (Primbon Jawa abad ke-16 M). Menurut Simuh, naskah yang disebut pertama berisi “pitutur Syaikh Bari”, ihwal bagaimana mempertahankan ajaran sufisme ortodoks dan menentang setiap bentuk pembangkangan terhadap Syariah. Sementara, H.M. Rasyidi menyitir dengan kritis bahwa serat Gatoloco dan Dharmagandul tak lebih merupakan kronik sejarah terhadap masa peralihan dari Majapahit ke Demak. Poerbatjaraka dalam bukunya Kapustakan Jawi melukiskan kondisi peralihan ini: “Dilalah kersaning Allah, majengipun agami Islam wonten ing tanah jawi punika kasarengan jaman ura-uru ing salebeting Kerajaan Majapahit, satemah suda kekiyatanipun, wasana risak babarpisan. Samangke wong jawi saya kathah ingkang lumebet agami Islam.”
Di antara sastra Jawa yang bergaya pesantren adalah Het Boek Van Bonang, terjemahan Tuhfah Mursalah ila Ruh Al-Nabi yang menjadi serat Tuhfah bersekar macapat, terjemahan kitab Fathurrahman, terjemahan kitab Hikam menjadi kitab Makrifat, kemudian nadhoman yang memuat ajaran Ahmad Rifa’i, syi’iran tamba ati, dan lain-lain. Dalam bidang sastra zaman Islam ini, warisan sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan kemudian diubah kembali menjadi sastra Jawa baru yang diperkuat dengan unsur-unsur Islam. Munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno ini, menurut Kuntara Wiryamartana, sebagai sebuah gerakan ”renaisans sastra klasik” dalam penelitian-penelitian mutakhir.
Pada masa ini lahir beberapa karya kapujanggan semisal Serat Centini (12 jilid) yang ditulis oleh sejumlah pujangga kraton Surakarta yang dipimpin oleh KGP. Adipati Anom Amengkunegara III, putra mahkota Sunan Paku Buwana IV. Karya ini ditulis pada 1742 Jawa atau 1814 M. Serat ini disusun berdasarkan kisah perjalanan spiritual putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh menantu Sultan Agung, Pangeran Pekik dari Surabaya. Demikian pula karya R. Ngabehi Ronggowarsito (1728-1802 Jawa/1802-1873 M) seperti Suluk Saloka Jiwa, Serat Kalatida, dan Serat Wirid Hidayat Jati. Konon, ia disebut sebagai pujangga penutup lantaran sepeninggal Ranggowarsito, raja tidak lagi mengangkat seorang pujangga untuk membabarkan pikiran-pikirannya. Tafsir lain menyebutkan, gelar pujangga pungkasan ini sebagai bagian dari mitos untuk melegitimasi jalur keislaman Ronggowarsito.
Layak dicermati pula beberapa dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1892 M, Kanjeng Raden Adipati Suryakusuma (pensiunan Bupati Semarang) mengarang sebuah narasi monumental berjudul Serat Cebolek. Serat ini terdiri dari tiga puluh satu syair dalam gaya macapat. 7 kisah pertama memuat cerita tentang Haji Ahmad Rifa’i, dan 24 selebihnya tentang kisah Haji Mutamakkin. Serat ini menuturkan sekaligus mengingatkan kepada para ulama atau pemburu kebenaran agar tidak meremehkan Syariah dengan tendensi laku mistik individual yang kerap terkesan sebagai bentuk perlawanan kaum pinggiran yang mengabaikan pranata sosial. Sosok Adipati Suryakusuma, meski ia bukan dari kalangan kraton, benar-benar telah membuka tirai baru bahwa semesta narasi pesantren tidaklah berhenti pada satu masa dan tokoh tertentu.
Hal demikian itu jadi semacam ensiklopedi akbar ihwal khazanah Islam dalam belantara jagat Jawa. Sejumlah naskah semisal Jamus kalimasada (Riwayat Syekh jambu karang), Riwayat Bekti Jamal, Jentraning Tanah Jawa, Suluk Jaka Lontang, Serat Gita Utama Margalayu, Suluk Rara Jinem, Kidung Rumeksa ing Wengi (karya Sunan Kalijaga), Suluk Purnama Raya, dan Suluk Syekh Tekowardi, dan lain-lain, merupakan warisan dari budaya Islam Jawa yang tak ternilai harganya.
Gus Dur, dalam sebuah esai pendeknya yang bertajuk “Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia” (Kompas, 26 Nopember 1973) menyebut bahwa pesantren belum menjadi medan pertaruhan bagi sastrawan Indonesia. Karya-karya Djamil Suherman, Mohammad Radjab, atau Hamka, belum bisa dikatakan benar-benar menggali secara mendalam dunia pesantren (tentang surau, atau kehidupan di kampung yang islami). Karya mereka sekedar memantulkan yang nostalgis atau catatan peristiwa, bukan dari suatu pergulatan keagamaan yang keras dan kental. Barangkali cerpen Robohnya Surau Kami-nya A.A. Navislah yang sampai sekarang masih menjadi wacana yang tak pudar.
Seberapa jauhkah problem-problem yang membludak di dunia pesantren digarap oleh pengarang kita? Abidah El-Khalieqy dengan novelnya Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora misalnya, apakah cukup intens dan serius menggali sengkarut persoalan yang paling fundamental di pesantren? Kita belum merasakan itu. Paling tidak, ia berani menggulirkan “pesan” tapi bukan “wacana”, tentang persoalan psikologis dan keterpinggiran perempuan di wilayah domestik kiai. Ketika PBS difilmkan oleh Hanung Bramantyo: dunia pesantren seolah-olah kebakaran jenggot, terutama bagi kiai-kiai yang konservatif dan semata menyorotnya dalam tataran fiqh-oriented. Cecaran, bahkan tudingan sesat menghambur pada Abidah dalam beberapa road show bedah novel PBS beberapa waktu yang lalu, semisal di Pesantren Walisongo Tebuireng, Jombang, pada 10 Maret 2009. Ia didebat habis-habisan, meski cukup responsif, oleh Kiai Mustain Syafi’i dan Kiai Chamim Khohari.
Ketidaksiapan dan ketidakterbukaan dunia pesantren dalam menghadapi kehidupan modern masih menjadi problem krusial dan tabu, terutama dalam dialektika kesusasteraan pesantren masa depan. Menurut Gus Dur, ada dua kendala sebagai penyebab: pertama, karena persoalan dramatis di pesantren berlangsung pada “tarap terminologis” yang tinggi tingkatannya. Soal abstrak seperti determinisme (al-jabru) dan free destination (iradah), intensitas ketundukan kepada Tuhan dan sebagainya, sukar sekali dituangkan dalam sebuah cerita fiktif. Kedua, karena masih kakunya pandangan masyarakat kita terhadap manifestasi kehidupan beragama di negeri kita. Oleh Nurcholis Madjid, pandangan ini dinamai sakralisme agama. Dengan demikian, naluri sastera dan elastisitas bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan pelepasan. Kita masih ingat akan reaksi yang sangat keras terhadap karya Ki Pandji Kusmin dalam “Langit Makin Mendung”.
Tentu kita berharap, dunia pesantren kini dapat melahirkan pengarang-pengarang besar. Semoga!
*) Makalah disampaikan pada diskusi sastra “Melacak Jejak Sastra Pesantren” di gedung PCNU Kab. Jombang tanggal 1 Oktober 2009 pukul 20.00 Wib kemarin.
**) Pengurus Ikatan Sarjana Nahdhotul Ulama (ISNU)
Di antara sastra Jawa yang bergaya pesantren adalah Het Boek Van Bonang, terjemahan Tuhfah Mursalah ila Ruh Al-Nabi yang menjadi serat Tuhfah bersekar macapat, terjemahan kitab Fathurrahman, terjemahan kitab Hikam menjadi kitab Makrifat, kemudian nadhoman yang memuat ajaran Ahmad Rifa’i, syi’iran tamba ati, dan lain-lain. Dalam bidang sastra zaman Islam ini, warisan sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan kemudian diubah kembali menjadi sastra Jawa baru yang diperkuat dengan unsur-unsur Islam. Munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno ini, menurut Kuntara Wiryamartana, sebagai sebuah gerakan ”renaisans sastra klasik” dalam penelitian-penelitian mutakhir.
Pada masa ini lahir beberapa karya kapujanggan semisal Serat Centini (12 jilid) yang ditulis oleh sejumlah pujangga kraton Surakarta yang dipimpin oleh KGP. Adipati Anom Amengkunegara III, putra mahkota Sunan Paku Buwana IV. Karya ini ditulis pada 1742 Jawa atau 1814 M. Serat ini disusun berdasarkan kisah perjalanan spiritual putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh menantu Sultan Agung, Pangeran Pekik dari Surabaya. Demikian pula karya R. Ngabehi Ronggowarsito (1728-1802 Jawa/1802-1873 M) seperti Suluk Saloka Jiwa, Serat Kalatida, dan Serat Wirid Hidayat Jati. Konon, ia disebut sebagai pujangga penutup lantaran sepeninggal Ranggowarsito, raja tidak lagi mengangkat seorang pujangga untuk membabarkan pikiran-pikirannya. Tafsir lain menyebutkan, gelar pujangga pungkasan ini sebagai bagian dari mitos untuk melegitimasi jalur keislaman Ronggowarsito.
Layak dicermati pula beberapa dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1892 M, Kanjeng Raden Adipati Suryakusuma (pensiunan Bupati Semarang) mengarang sebuah narasi monumental berjudul Serat Cebolek. Serat ini terdiri dari tiga puluh satu syair dalam gaya macapat. 7 kisah pertama memuat cerita tentang Haji Ahmad Rifa’i, dan 24 selebihnya tentang kisah Haji Mutamakkin. Serat ini menuturkan sekaligus mengingatkan kepada para ulama atau pemburu kebenaran agar tidak meremehkan Syariah dengan tendensi laku mistik individual yang kerap terkesan sebagai bentuk perlawanan kaum pinggiran yang mengabaikan pranata sosial. Sosok Adipati Suryakusuma, meski ia bukan dari kalangan kraton, benar-benar telah membuka tirai baru bahwa semesta narasi pesantren tidaklah berhenti pada satu masa dan tokoh tertentu.
Hal demikian itu jadi semacam ensiklopedi akbar ihwal khazanah Islam dalam belantara jagat Jawa. Sejumlah naskah semisal Jamus kalimasada (Riwayat Syekh jambu karang), Riwayat Bekti Jamal, Jentraning Tanah Jawa, Suluk Jaka Lontang, Serat Gita Utama Margalayu, Suluk Rara Jinem, Kidung Rumeksa ing Wengi (karya Sunan Kalijaga), Suluk Purnama Raya, dan Suluk Syekh Tekowardi, dan lain-lain, merupakan warisan dari budaya Islam Jawa yang tak ternilai harganya.
Gus Dur, dalam sebuah esai pendeknya yang bertajuk “Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia” (Kompas, 26 Nopember 1973) menyebut bahwa pesantren belum menjadi medan pertaruhan bagi sastrawan Indonesia. Karya-karya Djamil Suherman, Mohammad Radjab, atau Hamka, belum bisa dikatakan benar-benar menggali secara mendalam dunia pesantren (tentang surau, atau kehidupan di kampung yang islami). Karya mereka sekedar memantulkan yang nostalgis atau catatan peristiwa, bukan dari suatu pergulatan keagamaan yang keras dan kental. Barangkali cerpen Robohnya Surau Kami-nya A.A. Navislah yang sampai sekarang masih menjadi wacana yang tak pudar.
Seberapa jauhkah problem-problem yang membludak di dunia pesantren digarap oleh pengarang kita? Abidah El-Khalieqy dengan novelnya Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora misalnya, apakah cukup intens dan serius menggali sengkarut persoalan yang paling fundamental di pesantren? Kita belum merasakan itu. Paling tidak, ia berani menggulirkan “pesan” tapi bukan “wacana”, tentang persoalan psikologis dan keterpinggiran perempuan di wilayah domestik kiai. Ketika PBS difilmkan oleh Hanung Bramantyo: dunia pesantren seolah-olah kebakaran jenggot, terutama bagi kiai-kiai yang konservatif dan semata menyorotnya dalam tataran fiqh-oriented. Cecaran, bahkan tudingan sesat menghambur pada Abidah dalam beberapa road show bedah novel PBS beberapa waktu yang lalu, semisal di Pesantren Walisongo Tebuireng, Jombang, pada 10 Maret 2009. Ia didebat habis-habisan, meski cukup responsif, oleh Kiai Mustain Syafi’i dan Kiai Chamim Khohari.
Ketidaksiapan dan ketidakterbukaan dunia pesantren dalam menghadapi kehidupan modern masih menjadi problem krusial dan tabu, terutama dalam dialektika kesusasteraan pesantren masa depan. Menurut Gus Dur, ada dua kendala sebagai penyebab: pertama, karena persoalan dramatis di pesantren berlangsung pada “tarap terminologis” yang tinggi tingkatannya. Soal abstrak seperti determinisme (al-jabru) dan free destination (iradah), intensitas ketundukan kepada Tuhan dan sebagainya, sukar sekali dituangkan dalam sebuah cerita fiktif. Kedua, karena masih kakunya pandangan masyarakat kita terhadap manifestasi kehidupan beragama di negeri kita. Oleh Nurcholis Madjid, pandangan ini dinamai sakralisme agama. Dengan demikian, naluri sastera dan elastisitas bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan pelepasan. Kita masih ingat akan reaksi yang sangat keras terhadap karya Ki Pandji Kusmin dalam “Langit Makin Mendung”.
Tentu kita berharap, dunia pesantren kini dapat melahirkan pengarang-pengarang besar. Semoga!
*) Makalah disampaikan pada diskusi sastra “Melacak Jejak Sastra Pesantren” di gedung PCNU Kab. Jombang tanggal 1 Oktober 2009 pukul 20.00 Wib kemarin.
**) Pengurus Ikatan Sarjana Nahdhotul Ulama (ISNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar