http://www.radarmojokerto.co.id/
''Istirahatlah perempuan agung, sambut mentari esok lewat sedenyar fajar. Dan tunjukkan wajah berserimu di hadapan cahaya. Bila berjaga dekaplah kantuk dan berselimutkan mesra. Akan tetapi, lebih terpuji mengupas berbathin ketenangan.''
Itulah sepenggal puisi indah bertajuk ''Bait-Bait Indah'' karya sastrawan muda, Nurel Javissyarqi yang dibedah di kantor PCNU Jombang, Sabtu (7/11) malam.
Buku yang berjudul Kitab Para Malaikat itu merupakan kumpulan puisi panjang yang diadaptasi dari berbagai unsur religi dari berbagai jaman dan teritorial kehidupan manusia.
''Istirahatlah perempuan agung, sambut mentari esok lewat sedenyar fajar. Dan tunjukkan wajah berserimu di hadapan cahaya. Bila berjaga dekaplah kantuk dan berselimutkan mesra. Akan tetapi, lebih terpuji mengupas berbathin ketenangan.''
Itulah sepenggal puisi indah bertajuk ''Bait-Bait Indah'' karya sastrawan muda, Nurel Javissyarqi yang dibedah di kantor PCNU Jombang, Sabtu (7/11) malam.
Buku yang berjudul Kitab Para Malaikat itu merupakan kumpulan puisi panjang yang diadaptasi dari berbagai unsur religi dari berbagai jaman dan teritorial kehidupan manusia.
''Indah. Mungkin baru kali ini saya membaca tulisan yang mengkolaborasikan antara seni pada zaman yang berbeda-beda,'' tutur Robin Al-Kautsar, penyair Jombang yang menjadi salah satu pembedah.
Ia mengatakan bahwa buku setebal 130 halaman itu merupakan karya sastra beraliran sufistik. Betapa tidak, dari setiap bait puisi yang ditulis, terdapat bongkahan-bongkahan kalimat indah yang penuh dengan harapan suci.
Selain Robin, pembedah novel yang ditulis selama 9 tahun itu adalah Khamim Tohari penyair asal Mojokerto dan Hilmi As'ad novelis asal Jombang. Mereka semua sepakat jika karya sastra pria kelahiran Lamongan 33 tahun silam ini berbeda dengan tulisan karya sastra yang lain.
''Mulai dari karya Ratu Bilqis hingga Ratu Sima, ada semua di sini. Ini kan sangat istimewa,'' tuturnya.
Sementara itu, kepada Radar Mojokerto, Nurel mengatakan bahwa buku yang diluncurkan kali ini merupakan rangkaian pengalaman pribadi dan doa yang ada di dalam dadanya. ''Selama ini, saya belum mampu melaksanakan isi buku itu. Saya hanya bisa selalu berharap, bisa seperti itu,'' kata Nurel.
Dikatakannya, selama 9 tahun ia menghabiskan waktunya untuk menyempurnakan buku tersebut. Dari pesantren ke pesantren, ia rajin menyelesaikan dan merevisi tulisannya. Mulai dari pesantren-pesantren di kawasan Jawa sendiri, hingga pesantren di luar pulau. ''Mulai dari Jogja, Banten, hingga Sumatera. Semua itu, untuk merevisi dan merevisi lagi,'' imbuhnya.
Pada tahun 2003 lalu, ia menceritakan, pernah berkeinginan untuk meluncurkan karyanya itu. Namun ia urungkan lantaran belum puas dengan hasil tulisannya. Setelah ia bolak-balik lagi, tulisannya masih ada yang salah. ''Saya menyebutnya, ada penggoda. Sehingga saya selalu ragu untuk meluncurkannya,'' kata pemilik nama Nur Laili Rohmad tersebut.
Jika diamati, karya Nurel memang berbeda dengan karya penulis yang lain. Secara kasat mata, kode penomoran pun masih menggunakan angka romawi bukan angka yang kini wajar digunakan. (mg2/nk)
Ia mengatakan bahwa buku setebal 130 halaman itu merupakan karya sastra beraliran sufistik. Betapa tidak, dari setiap bait puisi yang ditulis, terdapat bongkahan-bongkahan kalimat indah yang penuh dengan harapan suci.
Selain Robin, pembedah novel yang ditulis selama 9 tahun itu adalah Khamim Tohari penyair asal Mojokerto dan Hilmi As'ad novelis asal Jombang. Mereka semua sepakat jika karya sastra pria kelahiran Lamongan 33 tahun silam ini berbeda dengan tulisan karya sastra yang lain.
''Mulai dari karya Ratu Bilqis hingga Ratu Sima, ada semua di sini. Ini kan sangat istimewa,'' tuturnya.
Sementara itu, kepada Radar Mojokerto, Nurel mengatakan bahwa buku yang diluncurkan kali ini merupakan rangkaian pengalaman pribadi dan doa yang ada di dalam dadanya. ''Selama ini, saya belum mampu melaksanakan isi buku itu. Saya hanya bisa selalu berharap, bisa seperti itu,'' kata Nurel.
Dikatakannya, selama 9 tahun ia menghabiskan waktunya untuk menyempurnakan buku tersebut. Dari pesantren ke pesantren, ia rajin menyelesaikan dan merevisi tulisannya. Mulai dari pesantren-pesantren di kawasan Jawa sendiri, hingga pesantren di luar pulau. ''Mulai dari Jogja, Banten, hingga Sumatera. Semua itu, untuk merevisi dan merevisi lagi,'' imbuhnya.
Pada tahun 2003 lalu, ia menceritakan, pernah berkeinginan untuk meluncurkan karyanya itu. Namun ia urungkan lantaran belum puas dengan hasil tulisannya. Setelah ia bolak-balik lagi, tulisannya masih ada yang salah. ''Saya menyebutnya, ada penggoda. Sehingga saya selalu ragu untuk meluncurkannya,'' kata pemilik nama Nur Laili Rohmad tersebut.
Jika diamati, karya Nurel memang berbeda dengan karya penulis yang lain. Secara kasat mata, kode penomoran pun masih menggunakan angka romawi bukan angka yang kini wajar digunakan. (mg2/nk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar