Herry Lamongan
http://www.sastra-indonesia.com/
RPA Suryanto Sastroatmodjo dikenal sebagai pengarang sastra Jawa modern. Pernah mengasuh rubrik “Bokor Kencana” Harian Berita Nasional (Bernas), ialah rubrik tanya jawab tentang budaya Jawa. Penjaga gawang rubrik “Sampur Mataram” harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang juga membahas masalah budaya Jawa. Dan mengetuai Paguyuban Macapat Selasa Kliwon di hotel Garuda Yogyakarta.
Bupati anom sifat kapujanggan Keraton Surakarta dengan gelar KRT Suryo Puspo Hadinegoro ini, telah wafat Selasa Kliwon 17 Juli 2007 pukul 10.00. Dimakamkan hari Rabu 18 Juli 2007 di Pesareyan Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Kepergian budayawan kondhang ini cukup mengagetkan berbagai kalangan. “Pada malam Selasa Kliwon beliau masih tampak menghadiri acara macapatan di Hotel Garuda,” ungkap Nugroho, salah satu aktifis kegiatan itu. Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, Drs.Octo Lampito juga mengaku terkejut mendengar kabar wafatnya Mas Sur. Lebih lanjut Octo menuturkan bahwa ketika jadi wartawan yunior ia banyak belajar pada Mas Sur. Menurut Octo, Mas Sur figur yang ramah dan tidak kikir membagi ilmu, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa. “Karena itu, sejak dulu teman-teman sudah menyebut beliau sebagai kamus berjalan,” papar Octo yang juga Ketua PWI Cabang Yogya ketika memberi kata sambutan pemberangkatan jenazah.
Bersama Pengacara dan penggiat budaya Jawa Heniy Astiyanto SH, Mas Sur aktif dalam Perhimpunan Jawa Gandrung Yogyakarta maupun Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Dalam berbagai sarasehan sastra Jawa Mas Sur sering didaulat menjadi nara sumber. Karena memang mumpuni dalam bidang budaya Jawa, beliau pun kerap diundang ke Suriname dan Belanda untuk menjadi pembicara. “Saya kira sulit mencari budayawan seperti Mas Suryanto, ramah, rendah hati dan mudah diajak membikin bermacam kegiatan untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” ujar Heniy Astiyanto tentang Mas Sur.
RPA Suryanto Sastroatmodjo lahir di Bojonegoro, 20 Februari 1951. Beliau putra Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dan Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum, Adipati Bojonegoro (Regent Bojonegoro). Bersaudara 7 orang, tiga putra empat putri. Sejak belia Mas Sur sudah gemar menekuni masalah ngelmu kasepuhan atau kejawen. Setamat SMA beliau kuliah di jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta sampai sarjana muda. Sempat menjadi guru SMA Katolik Bojonegoro. Kemudian menjadi karyawan LIPI di Jakarta, namun tak kerasan tinggal di ibukota. Beliau memilih kembali dan menetap di Yogyakarta menekuni dunia kepenulisan sastra dan budaya Jawa hingga akhir hayatnya. Karya beliau banyak tersebar di berbagai koran dan majalah, antara lain di Panjebar Semangat, Jayabaya, Kumandhang, Mekarsari, Jaka Lodhang, Parikesit, Pustaka Candra, Dharma Nyata. Puluhan tulisan Mas Sur juga terbit dalam bentuk buku: Pagi Cerah di Awal April, Setetes Embun Pagi, Di Kaki Langit Utara, Tragedi Kartini, Sinuhun Hamardika, Seraut Wajah, Dolorosa Adolosensia, Sahibul Hikayat al Hayat, Balada Layang Pangentasan, dsb. Karya Mas Sur yang dimikrofilmkan oleh Koninklijk Institut Voor de Taaland ed Volkenkunde adalah Sang Bocah, Palgunaning Palguna, Balada Lintang, Pada Sebuah Musim, Sayap-sayap Merpati, Jayengbrata Lelana, dsb.
Menerima bintang emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta (1995), Anugerah Seni sebagai Sastrawan Jawa dari Pemda DIY (1996). Satu dari “5000 Personalities of The World” versi American Biographical Institut Stylist (1997). Dianugerahi gelar Bupati Kapujanggan KRT Suryo Puspo Hadinegoro oleh Susuhunan Paku Buwono XII (1997). Tahun 2005 kemarin beliau memperoleh penghargaan Rancage untuk antologi geguritannya Balada Layang Pangentasan.
Penulis dan “gerilyawan” sastra Lamongan, Nurel Javissyarqi pernah akrab dengan Mas Sur semasa di Yogya. Terakhir Nurel ikut mengantar jenazah Mas Sur ketika kebetulan untuk kesekian kali ia dari Lamongan dolan ke Yogya. Rabu Legi itu, mendung memayungi Pemakaman Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, seakan ikut berduka mengiring jasad Mas Sur pergi abadi ke liang lahat. Selamat Jalan Mas Sur! (hela).
SEUTAS GERIMIS
:mas sur
seorang pujangga berkemas
meniti seutas waktu, sendiri
hingga ujung
huyung sempurna dengan jisim tengadah
ada gerimis luruh pagi-pagi
ada cuaca redup beberapa hari
kalendermu tanggal dari dinding kehidupan
setelah layang pangentasan
setelah bertajuk-tajuk sastra
lahir dari garba imaji dari persendian rindu
sendirimu
sendi-sendi yogya yang selalu warna-warna
tak sesunyi rumahmu kini
seorang pujangga telah pulang
meninggalkan waktu
lewat sebuah hari
engkau berangkat abadi ke seberang
langit muram, berkabung
dengan pita hitam di lengan kata-kataku
tinggal jejak senyap
kekal dalam kenangan
Lamongan 21 juni 2007
—
Herry Lamongan, lahir 8 mei di Bondowoso. Berkarya sejak tahun 1983 dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya berupa puisi, esai, gurit, cerpen, terpublikasikan di berbagai media cetak pusat dan daerah. Antologi tunggalnya, Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008).
http://www.sastra-indonesia.com/
RPA Suryanto Sastroatmodjo dikenal sebagai pengarang sastra Jawa modern. Pernah mengasuh rubrik “Bokor Kencana” Harian Berita Nasional (Bernas), ialah rubrik tanya jawab tentang budaya Jawa. Penjaga gawang rubrik “Sampur Mataram” harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang juga membahas masalah budaya Jawa. Dan mengetuai Paguyuban Macapat Selasa Kliwon di hotel Garuda Yogyakarta.
Bupati anom sifat kapujanggan Keraton Surakarta dengan gelar KRT Suryo Puspo Hadinegoro ini, telah wafat Selasa Kliwon 17 Juli 2007 pukul 10.00. Dimakamkan hari Rabu 18 Juli 2007 di Pesareyan Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Kepergian budayawan kondhang ini cukup mengagetkan berbagai kalangan. “Pada malam Selasa Kliwon beliau masih tampak menghadiri acara macapatan di Hotel Garuda,” ungkap Nugroho, salah satu aktifis kegiatan itu. Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, Drs.Octo Lampito juga mengaku terkejut mendengar kabar wafatnya Mas Sur. Lebih lanjut Octo menuturkan bahwa ketika jadi wartawan yunior ia banyak belajar pada Mas Sur. Menurut Octo, Mas Sur figur yang ramah dan tidak kikir membagi ilmu, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa. “Karena itu, sejak dulu teman-teman sudah menyebut beliau sebagai kamus berjalan,” papar Octo yang juga Ketua PWI Cabang Yogya ketika memberi kata sambutan pemberangkatan jenazah.
Bersama Pengacara dan penggiat budaya Jawa Heniy Astiyanto SH, Mas Sur aktif dalam Perhimpunan Jawa Gandrung Yogyakarta maupun Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Dalam berbagai sarasehan sastra Jawa Mas Sur sering didaulat menjadi nara sumber. Karena memang mumpuni dalam bidang budaya Jawa, beliau pun kerap diundang ke Suriname dan Belanda untuk menjadi pembicara. “Saya kira sulit mencari budayawan seperti Mas Suryanto, ramah, rendah hati dan mudah diajak membikin bermacam kegiatan untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” ujar Heniy Astiyanto tentang Mas Sur.
RPA Suryanto Sastroatmodjo lahir di Bojonegoro, 20 Februari 1951. Beliau putra Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dan Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum, Adipati Bojonegoro (Regent Bojonegoro). Bersaudara 7 orang, tiga putra empat putri. Sejak belia Mas Sur sudah gemar menekuni masalah ngelmu kasepuhan atau kejawen. Setamat SMA beliau kuliah di jurusan Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta sampai sarjana muda. Sempat menjadi guru SMA Katolik Bojonegoro. Kemudian menjadi karyawan LIPI di Jakarta, namun tak kerasan tinggal di ibukota. Beliau memilih kembali dan menetap di Yogyakarta menekuni dunia kepenulisan sastra dan budaya Jawa hingga akhir hayatnya. Karya beliau banyak tersebar di berbagai koran dan majalah, antara lain di Panjebar Semangat, Jayabaya, Kumandhang, Mekarsari, Jaka Lodhang, Parikesit, Pustaka Candra, Dharma Nyata. Puluhan tulisan Mas Sur juga terbit dalam bentuk buku: Pagi Cerah di Awal April, Setetes Embun Pagi, Di Kaki Langit Utara, Tragedi Kartini, Sinuhun Hamardika, Seraut Wajah, Dolorosa Adolosensia, Sahibul Hikayat al Hayat, Balada Layang Pangentasan, dsb. Karya Mas Sur yang dimikrofilmkan oleh Koninklijk Institut Voor de Taaland ed Volkenkunde adalah Sang Bocah, Palgunaning Palguna, Balada Lintang, Pada Sebuah Musim, Sayap-sayap Merpati, Jayengbrata Lelana, dsb.
Menerima bintang emas Bhakti Budaya dari Pusat Kebudayaan Jawa Surakarta (1995), Anugerah Seni sebagai Sastrawan Jawa dari Pemda DIY (1996). Satu dari “5000 Personalities of The World” versi American Biographical Institut Stylist (1997). Dianugerahi gelar Bupati Kapujanggan KRT Suryo Puspo Hadinegoro oleh Susuhunan Paku Buwono XII (1997). Tahun 2005 kemarin beliau memperoleh penghargaan Rancage untuk antologi geguritannya Balada Layang Pangentasan.
Penulis dan “gerilyawan” sastra Lamongan, Nurel Javissyarqi pernah akrab dengan Mas Sur semasa di Yogya. Terakhir Nurel ikut mengantar jenazah Mas Sur ketika kebetulan untuk kesekian kali ia dari Lamongan dolan ke Yogya. Rabu Legi itu, mendung memayungi Pemakaman Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, seakan ikut berduka mengiring jasad Mas Sur pergi abadi ke liang lahat. Selamat Jalan Mas Sur! (hela).
SEUTAS GERIMIS
:mas sur
seorang pujangga berkemas
meniti seutas waktu, sendiri
hingga ujung
huyung sempurna dengan jisim tengadah
ada gerimis luruh pagi-pagi
ada cuaca redup beberapa hari
kalendermu tanggal dari dinding kehidupan
setelah layang pangentasan
setelah bertajuk-tajuk sastra
lahir dari garba imaji dari persendian rindu
sendirimu
sendi-sendi yogya yang selalu warna-warna
tak sesunyi rumahmu kini
seorang pujangga telah pulang
meninggalkan waktu
lewat sebuah hari
engkau berangkat abadi ke seberang
langit muram, berkabung
dengan pita hitam di lengan kata-kataku
tinggal jejak senyap
kekal dalam kenangan
Lamongan 21 juni 2007
—
Herry Lamongan, lahir 8 mei di Bondowoso. Berkarya sejak tahun 1983 dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya berupa puisi, esai, gurit, cerpen, terpublikasikan di berbagai media cetak pusat dan daerah. Antologi tunggalnya, Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar