Hanif Nashrullah
http://www.kabarindonesia.com/
Lomba Tulis YPHL
Tak ada landmark atau semacam papan sambutan yang berisikan ucapan selamat datang untuk mempermudah pengunjung menemukan lokasi Sendang Gong di Dusun Karan, Desa Gunungsari, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro. Maklum, kendati udaranya terasa sejuk karena dikelilingi perbukitan yang rimbun oleh tumbuh-tumbuhan hutan yang masih alami, kawasan ini tidak pernah ditujukan sebagai tempat pariwisata.
Untuk disebut sebagai ruang kebudayaan pun juga tidak dijumpai landmark yang bisa menarik ataupun mempermudah orang-orang untuk datang ke sana. Barangkali satu-satunya ‘landmark' bagi mereka yang tertarik mengunjungi tempat ini, untuk mempermudah menemukan lokasi Sendang Gong, adalah Masjid Karan, karena letaknya di pinggir Jl. Raya (By Pass) Gunungsari, Kec. Baureno, Kab. Bojonegoro, yang dilewati bis (antar kota antar provinsi/ AKAP) jurusan Surabaya - Semarang.
"Semua sopir bis dan kondektur pasti tahu Masjid Karan. Dari arah Surabaya, kalau sudah sampai di Pasar Babat, Lamongan, itu berarti sudah dekat. Tinggal bilang saja ke Pak Sopir atau Kondektur mau turun di Masjid Karan. Setelah sampai di Masjid Karan, untuk menemukan lokasi Sendang Gong akan lebih mudah," ujar Anas Abdul Ghofur, penduduk setempat, yang bekerja sebagai wartawan di koran harian lokal yang terbit di Bojonegoro, Minggu (26/10).
Dari Masjid Karan, lokasi Sendang Gong hanya ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih sejauh 100 m ke arah utara yang kira-kira cuma membutuhkan waktu tak lebih dari 10 menit. Bagi masyarakat sekitar, kawasan ini kerap digunakan sebagai sarana refreshing. Banyak pula pasangan muda-mudi yang menghabiskan waktu luang di sana hingga berjam-jam.
Sepuluh tahun lalu, kawasan ini tidak seindah sekarang. Sendang Gong tampak tak terawat ketika itu dan hutannya banyak dicolongi. Bekas pabrik terigu peninggalan kolonial di masa penjajahan Jepang yang berdiri tak jauh dari lokasi Sendang pun mesin-mesinnya sudah tampak ludes dijarah. Namun begitu Sendang Gong sejak dulu telah dikunjungi orang sebagai sarana rekreasi apa adanya. Namun tak seramai seperti sekarang.
Tak lain adalah Anas Abdul Ghofur yang mengambil inisiatif dan kemudian menggerakkan pemuda dusun setempat untuk membersihkan dan selanjutnya merawat kawasan di sekitar Sendang Gong agar tetap terjaga keasriannya. Itu dilakukan alumnus Fakultas Sastra (jurusan Bahasa Indonesia) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini selepas lulus kuliah pada awal tahun 2002. Dia lantas membentuk Komunitas Suket di sana yang sebagian besar beranggotakan para pemuda di desa itu.
Saung (bangunan non-permanen terbuat dari bambu) berukuran 4 x 8 m pun didirikan di dekat Sendang (dalam bahasa Jawa berarti Sumber Air, red) sebagai base camp mereka. Di bawah Saung itu mengalir air yang berasal dari Sendang Gong lengkap dengan ikan-ikannya. Di dinding saung tertulis "Sekolah Alam Damar" yang memang diperuntukkan sebagai sarana tempat belajar bagi anak-anak dusun setiap sore.
Pada sisi dinding saung lainnya terlihat jajaran rak dengan buku-buku yang tertata rapi. Sebagian besar dari buku-buku itu adalah koleksi pribadi milik Anas. "Saya bermaksud mendirikan perpustakaan di sini," ujarnya. Tercatat novelis, Lan Fang, pernah menyumbangkan buku-buku karya novelnya untuk perpustakaan ini. "Sayang sekali pemuda-pemuda di sini sampai sekarang masih susah sekali untuk diajak membaca," ungkapnya.
Dalam kaitannya untuk merawat alam di sekitar Sendang, Komunitas Suket berupaya membikin kegiatan di setiap akhir pekan. Untuk menunjang hal itu mereka telah membangun Gelanggang Out Bound bagi para pecinta alam ataupun aktivis di bidang lainnya yang terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya.
Dengan fasilitas Gelanggang Out Bound itu, di setiap akhir pekan atau bahkan hampir setiap hari selalu ada saja aktivis ataupun mahasiswa dan siswa (minimal setingkat SMA) dari dalam maupun luar Kabupaten Bojonegoro yang datang untuk berlatih alam di sana.
"Para pecinta alam itu tentunya tidak hanya sekadar datang untuk memanfaatkan fasilitas Gelanggan Out Bound. Mereka pasti tidak akan melewatkan hiking ke pelosok-pelosok hutan di sekitar sini. Dengan begitu maka para pencuri kayu pada akhirnya dengan sendirinya merasa sungkan untuk melakukan penebangan liar di kawasan hutan ini," terang Anas.
Biaya Swadaya
Selain memberi fasilitas bagi para pecinta alam, Komunitas Suket juga memberi ruang bagi para seniman untuk menggelar pertunjukan karyanya di panggung terbuka (Out Door) di sekitar Sendang Gong. Aktivitas yang satu ini juga ditujukan untuk memberi pembelajaran apresiasi seni bagi masyarakat desa setempat. Tidak ada fasilitas panggung pertunjukan yang dibangun permanen di sana. Dengan begitu para seniman diberi keleluasaan memilih tempat di alam terbuka untuk mendirikan panggungnya sendiri.
"Kreasi seniman pun bermacam-macam dalam hal memilih lokasi pertunjukannya. Teater Mahasiswa dari STSI Solo, misalnya, bahkan memilih membangun panggung terapung di atas Sendang. Itu tentu di luar dugaan bagi kami yang awam soal teater," ujar Anas.
Adapun para seniman yang pernah tampil di Sendang Gong adalah mulai dari kelompok teater mahasiswa dari berbagai kota hingga kelompok teater profesional sekelas Bengkel Muda Surabaya yang mementaskan lakon "Pesta Pencuri" pada bulan Februari lalu. Penyair Saut Situmorang pun pernah membacakan puisinya di alam terbuka Sendang Gong ini pada awal maret lalu.
"Biasanya, kalau seniman yang tampil cukup dikenal, maka yang hadir untuk menonton tak hanya penduduk desa, melainkan juga datang dari Kota Bojonegoro (yang berjarak sekitar 40 Km dari lokasi Sendang) serta penikmat seni dari Kabupaten di sekitarnya seperti Gresik, Lamongan dan Tuban atau bahkan Surabaya," terang Anas.
Para siswa-siswi SMA se-Kabupaten Bojonegoro yang berminat untuk belajar seni teater di bawah bimbingan Biro Teater Dewan Kesenian Bojonegoro pun juga memilih berlatih dasar teater dengan memanfaatkan kesejukan alam di sekitar Sendang Gong di setiap hari Sabtu seusai pulang sekolah dan menginap hingga hari Minggu.
Komunitas Suket sendiri punya agenda kegiatan rutin. Di antaranya, selain Sekolah Alam Damar bagi anak-anak dusun itu tadi, juga ada kajian diskusi seminggu sekali, serta pemutaran film indie ataupun dokumenter di setiap akhir pekan. Penduduk desa setempat masih menyebut pemutaran film indie yang telah menggunakan teknologi slide proyektor itu dengan istilah Layar Tancap.
Berbagai kegiatan yang berlangsung selama sebulan tersebut kemudian dirangkum dalam bentuk buletin yang diterbitkan setiap bulan. Semua kegiatan itu terselenggara atas biaya swadaya Komunitas Suket serta sumbangan dari masyarakat setempat yang merasa peduli dengan perawatan alam di sekitar Sendang Gong melalui berbagai kegiatan yang telah berlangsung itu.
Belum ada founding yang bersedia mengucurkan dana untuk kegiatan mereka. Perusahaan Exxon Mobile yang memproduksi minyak dari sumber alam di Bojonegoro pun menutup mata pada aktivitas kreatif para pemuda Dusun Karan dalam rangka merawat alam di sekitar Sendang Gong ini. "Apalagi Pemkab Bojonegoro dan Pemporv Jatim!," timpal Ipenk, pemuda setempat yang juga merupakan salah satu aktivis Komunitas Suket
Justru kabar yang beredar di Komunitas Suket saat ini adalah tentang rencana pihak Dinas Pariwisata Pemkab Bojonegoro yang sudah mulai melirik dan akan mengambil alih pengelolaan kawasan Sendang Gong yang sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan ini untuk dijadikan salah satu sumber PAD.
Menanggapi rencana tersebut, Anas mengaku tidak akan mempersoalkannya. "Toh lokasi Sendang Gong yang selama ini kami gunakan beraktivitas memang merupakan lahan Fasum milik pemerintah," ujarnya.
Bagi Anas, siapapun yang akan mengelola kawasan di Sendang Gong ini, entah bagaimana pun caranya, atau dengan kegiatan apapun nantinya, yang terpenting adalah bisa menjaga dan merawat alam di sekitarnya agar tetap alami.
http://www.kabarindonesia.com/
Lomba Tulis YPHL
Tak ada landmark atau semacam papan sambutan yang berisikan ucapan selamat datang untuk mempermudah pengunjung menemukan lokasi Sendang Gong di Dusun Karan, Desa Gunungsari, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro. Maklum, kendati udaranya terasa sejuk karena dikelilingi perbukitan yang rimbun oleh tumbuh-tumbuhan hutan yang masih alami, kawasan ini tidak pernah ditujukan sebagai tempat pariwisata.
Untuk disebut sebagai ruang kebudayaan pun juga tidak dijumpai landmark yang bisa menarik ataupun mempermudah orang-orang untuk datang ke sana. Barangkali satu-satunya ‘landmark' bagi mereka yang tertarik mengunjungi tempat ini, untuk mempermudah menemukan lokasi Sendang Gong, adalah Masjid Karan, karena letaknya di pinggir Jl. Raya (By Pass) Gunungsari, Kec. Baureno, Kab. Bojonegoro, yang dilewati bis (antar kota antar provinsi/ AKAP) jurusan Surabaya - Semarang.
"Semua sopir bis dan kondektur pasti tahu Masjid Karan. Dari arah Surabaya, kalau sudah sampai di Pasar Babat, Lamongan, itu berarti sudah dekat. Tinggal bilang saja ke Pak Sopir atau Kondektur mau turun di Masjid Karan. Setelah sampai di Masjid Karan, untuk menemukan lokasi Sendang Gong akan lebih mudah," ujar Anas Abdul Ghofur, penduduk setempat, yang bekerja sebagai wartawan di koran harian lokal yang terbit di Bojonegoro, Minggu (26/10).
Dari Masjid Karan, lokasi Sendang Gong hanya ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih sejauh 100 m ke arah utara yang kira-kira cuma membutuhkan waktu tak lebih dari 10 menit. Bagi masyarakat sekitar, kawasan ini kerap digunakan sebagai sarana refreshing. Banyak pula pasangan muda-mudi yang menghabiskan waktu luang di sana hingga berjam-jam.
Sepuluh tahun lalu, kawasan ini tidak seindah sekarang. Sendang Gong tampak tak terawat ketika itu dan hutannya banyak dicolongi. Bekas pabrik terigu peninggalan kolonial di masa penjajahan Jepang yang berdiri tak jauh dari lokasi Sendang pun mesin-mesinnya sudah tampak ludes dijarah. Namun begitu Sendang Gong sejak dulu telah dikunjungi orang sebagai sarana rekreasi apa adanya. Namun tak seramai seperti sekarang.
Tak lain adalah Anas Abdul Ghofur yang mengambil inisiatif dan kemudian menggerakkan pemuda dusun setempat untuk membersihkan dan selanjutnya merawat kawasan di sekitar Sendang Gong agar tetap terjaga keasriannya. Itu dilakukan alumnus Fakultas Sastra (jurusan Bahasa Indonesia) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini selepas lulus kuliah pada awal tahun 2002. Dia lantas membentuk Komunitas Suket di sana yang sebagian besar beranggotakan para pemuda di desa itu.
Saung (bangunan non-permanen terbuat dari bambu) berukuran 4 x 8 m pun didirikan di dekat Sendang (dalam bahasa Jawa berarti Sumber Air, red) sebagai base camp mereka. Di bawah Saung itu mengalir air yang berasal dari Sendang Gong lengkap dengan ikan-ikannya. Di dinding saung tertulis "Sekolah Alam Damar" yang memang diperuntukkan sebagai sarana tempat belajar bagi anak-anak dusun setiap sore.
Pada sisi dinding saung lainnya terlihat jajaran rak dengan buku-buku yang tertata rapi. Sebagian besar dari buku-buku itu adalah koleksi pribadi milik Anas. "Saya bermaksud mendirikan perpustakaan di sini," ujarnya. Tercatat novelis, Lan Fang, pernah menyumbangkan buku-buku karya novelnya untuk perpustakaan ini. "Sayang sekali pemuda-pemuda di sini sampai sekarang masih susah sekali untuk diajak membaca," ungkapnya.
Dalam kaitannya untuk merawat alam di sekitar Sendang, Komunitas Suket berupaya membikin kegiatan di setiap akhir pekan. Untuk menunjang hal itu mereka telah membangun Gelanggang Out Bound bagi para pecinta alam ataupun aktivis di bidang lainnya yang terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya.
Dengan fasilitas Gelanggang Out Bound itu, di setiap akhir pekan atau bahkan hampir setiap hari selalu ada saja aktivis ataupun mahasiswa dan siswa (minimal setingkat SMA) dari dalam maupun luar Kabupaten Bojonegoro yang datang untuk berlatih alam di sana.
"Para pecinta alam itu tentunya tidak hanya sekadar datang untuk memanfaatkan fasilitas Gelanggan Out Bound. Mereka pasti tidak akan melewatkan hiking ke pelosok-pelosok hutan di sekitar sini. Dengan begitu maka para pencuri kayu pada akhirnya dengan sendirinya merasa sungkan untuk melakukan penebangan liar di kawasan hutan ini," terang Anas.
Biaya Swadaya
Selain memberi fasilitas bagi para pecinta alam, Komunitas Suket juga memberi ruang bagi para seniman untuk menggelar pertunjukan karyanya di panggung terbuka (Out Door) di sekitar Sendang Gong. Aktivitas yang satu ini juga ditujukan untuk memberi pembelajaran apresiasi seni bagi masyarakat desa setempat. Tidak ada fasilitas panggung pertunjukan yang dibangun permanen di sana. Dengan begitu para seniman diberi keleluasaan memilih tempat di alam terbuka untuk mendirikan panggungnya sendiri.
"Kreasi seniman pun bermacam-macam dalam hal memilih lokasi pertunjukannya. Teater Mahasiswa dari STSI Solo, misalnya, bahkan memilih membangun panggung terapung di atas Sendang. Itu tentu di luar dugaan bagi kami yang awam soal teater," ujar Anas.
Adapun para seniman yang pernah tampil di Sendang Gong adalah mulai dari kelompok teater mahasiswa dari berbagai kota hingga kelompok teater profesional sekelas Bengkel Muda Surabaya yang mementaskan lakon "Pesta Pencuri" pada bulan Februari lalu. Penyair Saut Situmorang pun pernah membacakan puisinya di alam terbuka Sendang Gong ini pada awal maret lalu.
"Biasanya, kalau seniman yang tampil cukup dikenal, maka yang hadir untuk menonton tak hanya penduduk desa, melainkan juga datang dari Kota Bojonegoro (yang berjarak sekitar 40 Km dari lokasi Sendang) serta penikmat seni dari Kabupaten di sekitarnya seperti Gresik, Lamongan dan Tuban atau bahkan Surabaya," terang Anas.
Para siswa-siswi SMA se-Kabupaten Bojonegoro yang berminat untuk belajar seni teater di bawah bimbingan Biro Teater Dewan Kesenian Bojonegoro pun juga memilih berlatih dasar teater dengan memanfaatkan kesejukan alam di sekitar Sendang Gong di setiap hari Sabtu seusai pulang sekolah dan menginap hingga hari Minggu.
Komunitas Suket sendiri punya agenda kegiatan rutin. Di antaranya, selain Sekolah Alam Damar bagi anak-anak dusun itu tadi, juga ada kajian diskusi seminggu sekali, serta pemutaran film indie ataupun dokumenter di setiap akhir pekan. Penduduk desa setempat masih menyebut pemutaran film indie yang telah menggunakan teknologi slide proyektor itu dengan istilah Layar Tancap.
Berbagai kegiatan yang berlangsung selama sebulan tersebut kemudian dirangkum dalam bentuk buletin yang diterbitkan setiap bulan. Semua kegiatan itu terselenggara atas biaya swadaya Komunitas Suket serta sumbangan dari masyarakat setempat yang merasa peduli dengan perawatan alam di sekitar Sendang Gong melalui berbagai kegiatan yang telah berlangsung itu.
Belum ada founding yang bersedia mengucurkan dana untuk kegiatan mereka. Perusahaan Exxon Mobile yang memproduksi minyak dari sumber alam di Bojonegoro pun menutup mata pada aktivitas kreatif para pemuda Dusun Karan dalam rangka merawat alam di sekitar Sendang Gong ini. "Apalagi Pemkab Bojonegoro dan Pemporv Jatim!," timpal Ipenk, pemuda setempat yang juga merupakan salah satu aktivis Komunitas Suket
Justru kabar yang beredar di Komunitas Suket saat ini adalah tentang rencana pihak Dinas Pariwisata Pemkab Bojonegoro yang sudah mulai melirik dan akan mengambil alih pengelolaan kawasan Sendang Gong yang sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan ini untuk dijadikan salah satu sumber PAD.
Menanggapi rencana tersebut, Anas mengaku tidak akan mempersoalkannya. "Toh lokasi Sendang Gong yang selama ini kami gunakan beraktivitas memang merupakan lahan Fasum milik pemerintah," ujarnya.
Bagi Anas, siapapun yang akan mengelola kawasan di Sendang Gong ini, entah bagaimana pun caranya, atau dengan kegiatan apapun nantinya, yang terpenting adalah bisa menjaga dan merawat alam di sekitarnya agar tetap alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar