Muhidin M Dahlan*
http://www.jawapos.com/
PARA analis menyebut, demokrasi kita masih mengidap cacat ketika cara dan tujuan berselimpang akibat warisan kebudayaan dan kekuasaan otokratik yang ditanam kuat dalam rentang waktu yang panjang.
Tapi saya lebih bersepakat dengan Kishore Mahbubani, dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, yang mengatakan demokrasi Indonesia adalah keajaiban; lebih mengesankan dibandingkan Amerika Serikat. Catatan saya dalam Kronik Pemilu 1999-2009 menunjukkan memang selalu ada kejutan dan kebaruan yang diperagakan Indonesia soal demokrasi politik (baca: pemilu) pasca Orde Soeharto ambruk. Mirip dramaturgi novel-novel panjang yang menanam konflik dan kejutan di halaman-halaman tertentu ketika pembaca sudah menapaki tangga frustasi.
Pemilu 1999 adalah pembuka jalan bagi lahirnya pasar bebas partai yang langsung membelokkan ingatan kolektif kita pada pemilu 1955. Pada Pemilu 2004 masyarakat Indonesia dengan berani memilih sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Kesuksesan itu disusul masyarakat di daerah-daerah memilih pemimpinnya secara langsung di mana sebelumnya dipilih DPRD dan disahkan presiden. Ada riak dan kekacauan di sana-sini memang, tapi pada akhirnya selalu berakhir ''baik'' seperti praktik demokrasi yang luar biasa dipertontonkan warga Jawa Timur baru-baru ini.
Kini kita berada di titik ingar-bingarnya Pemilu 2009. Ada komposisi yang berubah dari pemilu sebelumnya. Di era ini, dominasi partai sedikit ''dikendorkan'' dan diganti dengan persaingan kandidat parlemen untuk meraih simpati pemilih. Inilah babak ketiga eksperimentasi demokrasi di mana warga berhak memilih sendiri wakilnya di parlemen (kabupaten/kota, provinsi, pusat) dan tak lagi dipilihkan partai.
Lalu, muka-muka berlomba pamer di pinggiran jalan. Ada yang manis, lucu, lugu, wagu. Juga tak sedikit muka-muka muak. Ribuan jumlahnya. Dari Sabang sampai Merauke. Di darat, laut, dan udara. Nyaris tak ada lagi ruang kosong tanpa serbuan muka-muka itu. Pohon-pohon yang biasa dipakai tukang sedot wc/ledeng untuk naruh pengumuman, disikat juga. Masing-masing berlomba menampilkan diri paling hebat dengan mimik yang nyaris seragam.
Di sini, tampak betapa kepercayaan itu menjadi demikian mahal. Anggota PKS (Partai Keadilan Sejahtera) di Bali harus menggaruk hutan dengan cara haram untuk membeli kepercayaan. Kader terbaik PAN (Partai Amanat Nasional) di Sulawesi Selatan mesti merampok miliaran rupiah untuk menalangi tender kepercayaan.
Sebut saja ikhtiar merebut kepercayaan itu sebagai ''political marketing'', di mana kandidatlah yang datang ke warga dengan berbagai media atau pendekatan personal dengan tokoh-tokoh berpengaruh dalam masyarakat terbawah. Sebuah peristiwa yang nyaris tak teramalkan oleh buku-buku teori politik mana pun yang diajarkan di ruang kuliah. Bahkan tidak juga buku ajar politik yang nyaris klasik seperti Dasar-Dasar Ilmu Politik-nya Miriam Budiardjo dan Hukum dan Politik di Indonesia-nya Daniel S. Lev.
Dalam ''political marketing'', apa boleh buat, uang masih menjadi jalan satu-satunya untuk membeli kepercayaan. Namun, selalu ada --meminjam istilah biolog Ilya Prigogine--''dissapative structure'': sezarah zat yang meloncat dari kebiasaan struktur utamanya. Selalu ada ''liyan'' yang meloncat dari kerumunan uang itu.
Dan, saya menemukan ''liyan'' itu di sepotong nama perempuan berusia belia dengan misi yang juga tak kalah absurd-nya. Diana A.V. Sasa namanya. Barangkali ia adalah satu-satunya aktivis dan penenun buku yang tekun di rubrik ''Di Balik Buku'' koran ini yang menyorongkan diri dalam kancah politik praktis yang dibentengi budaya uang di sembilan penjuru mata angin.
Umumnya para penulis dan aktivis buku atau seniman menjauhi dunia yang kadung dikutuk sebagai tempat bersemayamnya hipokrisi itu. Tapi mungkin Diana berpikir lain. Atau barangkali ia menafakuri nubuat dari komposer Lekra terdepan, Amir Pasaribu: ''1001 kali seni menghindar dari politik, 1001 politik akan mencampuri urusan seni.''
Dan, ia memilih masuk ke dalam barisan karnaval politik yang riuh. Di sana, ia bisikkan suara hatinya: ''Usiaku baru 29 tahun. Dan, ini peran politik praktis saya yang pertama di mana uang menjadi panglima. Saya tak punya uang. Tapi saya harus bergerak. Yang saya punya hanya tenaga, pikiran, dan buku. Dengan tiga amunisi itu saya ketuk 20 pintu rumah setiap hari untuk menyentuh hati warga dan memberi buku sebagai kenang-kenangan. Dengan buku pula saya berkenalan dengan pemuda di Ponorogo. Juga di Pacitan. Mengajak mereka gemar membaca. Kelak jika politik ini berpihak pada penggiat buku, maka setiap desa dari balik-balik batu yang memberangkatkan saya dengan takzim dan penuh harap, akan saya upayakan sebuah perpustakaan mini yang tertata dan menggugah di mana anak-anak desa menulis sendiri takdir dan sejarah mereka sendiri.''
Keikutsertaan Diana itu sekaligus bisa dibaca sebagai maklumat bahwa jangan dilupakan politisi-politisi masa silam yang namanya menjulang karena ditopang kualitas individu hasil tempaan penjara dan buku. Nyaris seluruhnya adalah pemamah buku yang rakus. Soekarno adalah pelahap pelbagai macam buku yang membikin setiap ucapannya menggetarkan dan menggerakkan. Hatta adalah penimbun buku yang ulet yang membikin setiap sikapnya yang tenang menghidupkan refleksi.
Saya selalu membayangkan adegan ketika Diana memberi buku kepada warga di ambang pintu sebagai kenang-kenangan mirip seperti Michael Sessions yang menjadi wali kota Hillsdale, Michigan, Amerika Serikat, pada usia 18 tahun. Ia mengalahkan rivalnya, Douglas Ingles, 51 tahun, bekas wali kota sebelumnya yang seusia bapaknya, dengan ''hanya'' bermodalkan uang 700 ribu rupiah. Yang sehari-hari dilakukannya adalah mengetuk setiap pintu saat senggang sekolah dan memberi kado berupa buku-buku kecil yang harganya tak seberapa. Dengan keyakinan yang hening itu, Michael berhasil melucuti hati masyarakat pemilihnya.
Diana saya kira sungguh tahu bahwa dunia buku itu hening dan politik itu karnaval yang riuh. Tapi ia ingin merujukkan dua antinomi itu menjadi kekuatan yang menggerakkan. Demokratisasi dan hak membaca untuk semua warga hanya bisa terwujud jika ada politik yang mendorongnya kuat-kuat. Untuk memuluskan program jangka panjangnya ''satu kampung satu taman bacaan bermutu'', Diana menumpangi politik sebagai generator.
*)Kerani di Indonesia Buku Jakarta
http://www.jawapos.com/
PARA analis menyebut, demokrasi kita masih mengidap cacat ketika cara dan tujuan berselimpang akibat warisan kebudayaan dan kekuasaan otokratik yang ditanam kuat dalam rentang waktu yang panjang.
Tapi saya lebih bersepakat dengan Kishore Mahbubani, dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, yang mengatakan demokrasi Indonesia adalah keajaiban; lebih mengesankan dibandingkan Amerika Serikat. Catatan saya dalam Kronik Pemilu 1999-2009 menunjukkan memang selalu ada kejutan dan kebaruan yang diperagakan Indonesia soal demokrasi politik (baca: pemilu) pasca Orde Soeharto ambruk. Mirip dramaturgi novel-novel panjang yang menanam konflik dan kejutan di halaman-halaman tertentu ketika pembaca sudah menapaki tangga frustasi.
Pemilu 1999 adalah pembuka jalan bagi lahirnya pasar bebas partai yang langsung membelokkan ingatan kolektif kita pada pemilu 1955. Pada Pemilu 2004 masyarakat Indonesia dengan berani memilih sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Kesuksesan itu disusul masyarakat di daerah-daerah memilih pemimpinnya secara langsung di mana sebelumnya dipilih DPRD dan disahkan presiden. Ada riak dan kekacauan di sana-sini memang, tapi pada akhirnya selalu berakhir ''baik'' seperti praktik demokrasi yang luar biasa dipertontonkan warga Jawa Timur baru-baru ini.
Kini kita berada di titik ingar-bingarnya Pemilu 2009. Ada komposisi yang berubah dari pemilu sebelumnya. Di era ini, dominasi partai sedikit ''dikendorkan'' dan diganti dengan persaingan kandidat parlemen untuk meraih simpati pemilih. Inilah babak ketiga eksperimentasi demokrasi di mana warga berhak memilih sendiri wakilnya di parlemen (kabupaten/kota, provinsi, pusat) dan tak lagi dipilihkan partai.
Lalu, muka-muka berlomba pamer di pinggiran jalan. Ada yang manis, lucu, lugu, wagu. Juga tak sedikit muka-muka muak. Ribuan jumlahnya. Dari Sabang sampai Merauke. Di darat, laut, dan udara. Nyaris tak ada lagi ruang kosong tanpa serbuan muka-muka itu. Pohon-pohon yang biasa dipakai tukang sedot wc/ledeng untuk naruh pengumuman, disikat juga. Masing-masing berlomba menampilkan diri paling hebat dengan mimik yang nyaris seragam.
Di sini, tampak betapa kepercayaan itu menjadi demikian mahal. Anggota PKS (Partai Keadilan Sejahtera) di Bali harus menggaruk hutan dengan cara haram untuk membeli kepercayaan. Kader terbaik PAN (Partai Amanat Nasional) di Sulawesi Selatan mesti merampok miliaran rupiah untuk menalangi tender kepercayaan.
Sebut saja ikhtiar merebut kepercayaan itu sebagai ''political marketing'', di mana kandidatlah yang datang ke warga dengan berbagai media atau pendekatan personal dengan tokoh-tokoh berpengaruh dalam masyarakat terbawah. Sebuah peristiwa yang nyaris tak teramalkan oleh buku-buku teori politik mana pun yang diajarkan di ruang kuliah. Bahkan tidak juga buku ajar politik yang nyaris klasik seperti Dasar-Dasar Ilmu Politik-nya Miriam Budiardjo dan Hukum dan Politik di Indonesia-nya Daniel S. Lev.
Dalam ''political marketing'', apa boleh buat, uang masih menjadi jalan satu-satunya untuk membeli kepercayaan. Namun, selalu ada --meminjam istilah biolog Ilya Prigogine--''dissapative structure'': sezarah zat yang meloncat dari kebiasaan struktur utamanya. Selalu ada ''liyan'' yang meloncat dari kerumunan uang itu.
Dan, saya menemukan ''liyan'' itu di sepotong nama perempuan berusia belia dengan misi yang juga tak kalah absurd-nya. Diana A.V. Sasa namanya. Barangkali ia adalah satu-satunya aktivis dan penenun buku yang tekun di rubrik ''Di Balik Buku'' koran ini yang menyorongkan diri dalam kancah politik praktis yang dibentengi budaya uang di sembilan penjuru mata angin.
Umumnya para penulis dan aktivis buku atau seniman menjauhi dunia yang kadung dikutuk sebagai tempat bersemayamnya hipokrisi itu. Tapi mungkin Diana berpikir lain. Atau barangkali ia menafakuri nubuat dari komposer Lekra terdepan, Amir Pasaribu: ''1001 kali seni menghindar dari politik, 1001 politik akan mencampuri urusan seni.''
Dan, ia memilih masuk ke dalam barisan karnaval politik yang riuh. Di sana, ia bisikkan suara hatinya: ''Usiaku baru 29 tahun. Dan, ini peran politik praktis saya yang pertama di mana uang menjadi panglima. Saya tak punya uang. Tapi saya harus bergerak. Yang saya punya hanya tenaga, pikiran, dan buku. Dengan tiga amunisi itu saya ketuk 20 pintu rumah setiap hari untuk menyentuh hati warga dan memberi buku sebagai kenang-kenangan. Dengan buku pula saya berkenalan dengan pemuda di Ponorogo. Juga di Pacitan. Mengajak mereka gemar membaca. Kelak jika politik ini berpihak pada penggiat buku, maka setiap desa dari balik-balik batu yang memberangkatkan saya dengan takzim dan penuh harap, akan saya upayakan sebuah perpustakaan mini yang tertata dan menggugah di mana anak-anak desa menulis sendiri takdir dan sejarah mereka sendiri.''
Keikutsertaan Diana itu sekaligus bisa dibaca sebagai maklumat bahwa jangan dilupakan politisi-politisi masa silam yang namanya menjulang karena ditopang kualitas individu hasil tempaan penjara dan buku. Nyaris seluruhnya adalah pemamah buku yang rakus. Soekarno adalah pelahap pelbagai macam buku yang membikin setiap ucapannya menggetarkan dan menggerakkan. Hatta adalah penimbun buku yang ulet yang membikin setiap sikapnya yang tenang menghidupkan refleksi.
Saya selalu membayangkan adegan ketika Diana memberi buku kepada warga di ambang pintu sebagai kenang-kenangan mirip seperti Michael Sessions yang menjadi wali kota Hillsdale, Michigan, Amerika Serikat, pada usia 18 tahun. Ia mengalahkan rivalnya, Douglas Ingles, 51 tahun, bekas wali kota sebelumnya yang seusia bapaknya, dengan ''hanya'' bermodalkan uang 700 ribu rupiah. Yang sehari-hari dilakukannya adalah mengetuk setiap pintu saat senggang sekolah dan memberi kado berupa buku-buku kecil yang harganya tak seberapa. Dengan keyakinan yang hening itu, Michael berhasil melucuti hati masyarakat pemilihnya.
Diana saya kira sungguh tahu bahwa dunia buku itu hening dan politik itu karnaval yang riuh. Tapi ia ingin merujukkan dua antinomi itu menjadi kekuatan yang menggerakkan. Demokratisasi dan hak membaca untuk semua warga hanya bisa terwujud jika ada politik yang mendorongnya kuat-kuat. Untuk memuluskan program jangka panjangnya ''satu kampung satu taman bacaan bermutu'', Diana menumpangi politik sebagai generator.
*)Kerani di Indonesia Buku Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar