Afnan Malay*
http://www.jawapos.com/
Dari sejumlah politisi kawakan yang masih bertahan pada panggung politik, salah satunya adalah Taufiq Kiemas (TK). TK masih mampu terlibat intens dengan peran politik yang signifikan. TK memang berada pada posisi kesejarahan yang pas. Bersama istrinya, figur sentral sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, TK membangun PDI yang kemudian berubah menjadi PDI Perjuangan. Diimbuhi perjuangan, sebab para kadernya memang berjuang mati-matian untuk sekadar mempertahankan legalitasnya setelah dilumpuhkan penguasa ketika itu.
Pada Pemilu 1999 partai nasionalis itu mampu meraih posisi pertama di parlemen. Andaikata tidak terjadi eksperimentasi konstitusi yang ditukangi Amien Rais, kans Megawati menduduki kursi presiden kala itu terbuka lebar.
Sebagai suami Megawati, TK menjadi bagian dari keluarga Bung Karno --tokoh yang ia kagumi-- adalah ketentuan sang nasib (destiny). Posisi itu dihayati betul oleh TK laksana bara yang terus menyala menjaga api gairah agar senantiasa tegar memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan. Pilihan politik TK sempat membuat ayahandanya, Tjik Agus Kiemas, yang politisi Masyumi berang. Tetapi, kini kita bisa mengerti, ternyata pilihan TK terbukti visioner.
Bahkan, belakangan kita menyaksikan seolah terjadi kontestasi situasional yang hanya melibatkan dua nilai utama. Yaitu, antara merajalelanya liberalisme dan kian merebaknya formalisme Islam. Kedua nilai itu bila dibiarkan tanpa interupsi sama sekali, dapat dipastikan nilai kebangsaan (yang tetap menyemangati garis politik TK) akan tergerus makin dalam. Liberalisme mengabdi pada kapitalisme: daulat negara mudah dinisbikan. Karena itu, isu nilai kebangsaan dalam tataran tersebut sebagai sesuatu yang naif. Islam formalis pun sama saja, dalam memosisikan ruh kebangsaan cenderung apriori.
Menariknya, dalam konteks keislaman, apreasiasi yang berkembang atas nilai kebangsaan yang diperjuangkan TK terbilang positif. Terbukti, perlunya sikap kritis terhadap kapitalisme global serta upaya membuka diri pada nilai kebangsaan disadari kalangan politisi Islam. Setidaknya, kalau pernyataan-pernyataan politik mereka yang mengemuka dapat kita jadikan sebagai indikator. Partai politik yang eksplisit menyebutkan fungsinya sebagai alat perjuangan Islam tidak sungkan mengimbuhkan embel-embel dalam beragam fora: tidak menafikkan nasionalisme. Mereka tidak hanya menghargai bahkan mengklaim nilai-nilai kebangsaan sesuatu yang terintegrasikan dalam asas partai yang diperjuangkan.
Kategori nasionalisme (paham yang oleh sejumlah kalangan dianggap tidak lagi relevan) yang kita maksud tentu bukanlah terkungkung dalam pengertian sebatas isme yang mencuat ketika bertumbuhnya negara-bangsa di dunia. Dalam kerangka itu, nasionalisme divonis pandangan picik yang menafikan dinamika relasi kesejarahan yang mempertautkan antarbangsa. Justru, bukankah pada kenyataannya, nasionalisme kembali relevan sebagai perspektif untuk mengukur relasi antarnegara yang semakin kompleks? Relasi yang terbentuk bertambah kompleks, tetapi patronnya tunggal: kapitalisme. Jangan sampai relasi yang terbentuk secara sengaja menafikan keberadaan negara-negara. Apalagi mengisapnya.
Selain ihwal daulat bangsa (posisi kita di hadapan bangsa-bangsa di dunia) yang merupakan isu utama nilai kebangsaan, TK juga menempatkan pluralisme dan tokeransi (diperlukan dalam interaksi kita sesama anak bangsa) sesuatu yang tidak mungkin diabaikan para politisi. Tanpa sikap pluralis dan toleran cita-cita menegakkan nilai kebangsaan mustahil kita rajut. Pengalaman panjang TK dalam mengarungi kesejarahan bangsa ini menempakan dirinya layaknya --seperti yang dikatakan Yudi Latif dalam kata pengantar-- jembatan kebangsaan. TK sebagai penghubung antarhorison, perajut solidaritas antarkutub serta pelancar lalu-lintas sumber daya. Fungsi tersebut yang memungkinkan arus komunikasi dan kerja sama bisa berjalan.
Interpretator Politik
Peran yang dimainkan TK adalah peran belakang layar. Akademisi politik Arbi Sanit pernah mengatakan, TK memiliki persyaratan yang memadai untuk maju sebagai kandidat presiden dalam pemilu. Tetapi, TK yang terbiasa di belakang layar dan memosisikan dirinya sebagai jembatan (kebangsaan) bukan tipe politisi yang mudah beralih peran. Kemampuannya membaca peta politik agaknya justru membimbingnya untuk setia menjadi interpretator politik bagi partainya.
Kombinasi beragam faktor yang dimilikinya (pelaku sejarah antargenerasi, anak biologis Masyumi-anak ideologis PNI, pluralis-toleran) mendorong TK menggunakan mata hati memainkan langkah-langkah politik yang dipilihnya. Kita bisa mencermati, setidaknya, dua hal yang digagas TK dengan mata hati.
Pertama, mendorong berdirinya sayap politik PDI Perjuangan, Baitul Muslimin. Pendirian Baitul Muslimin merupakan bukti sikap pluiralis TK. Baginya, sebagai partai nasionalis ia tidak ingin PDI Perjuangan dituduh tidak membuka diri, apalagi dinilai alergi terhadap salah satu bagian dari anak bangsa ini: Islam. Idealnya, Islam yang ditumbuh-kembangkan melalui sayap partai nasionalis ini memberikan aura kebangsaan. Bukannya justru bentuk repetisi lain dari Islam formalis. Langkah TK didukung tokoh intelektual pluralis, Ahmad Syafii Maarif dan Said Aqil Siradj. Para aktivis dan politisi Islam pun menanggapinya secara positif.
Kedua, isu koalisi permanen antara PDI Perjuangan dan Partai Golkar yang digagas TK satu dua tahun belakangan. Gagasan koalisi permanen merupakan pilihan politik yang rujukannya fokus pada kepentingan bangsa. Koalisi permanen menghindari pragmatisme politik yang membuat koalisi terbius godaan kalkulatif agar terlibat dalam kekuasaan. Koalisi non-permanen seperti yang terjadi pada pemerintahahn SBY-JK terbukti bukan hanya tidak efektif, melainkan juga improvisasi para peserta koalisi kadang-kadang liar. Rivalitas dalam tubuh koaliasi non-permanen mudah terombang-ambing geraknya: fluktuatif.
Membaca biografi politik TK mengajarkan kita dua hal yang harus dimiliki para politisi: sesuatu yang sifatnya operasional dan ideal sekaligus. Yang operasional seperti kata TK, politisi sejati itu nggak ada matinya. Yang ideal seperti yang dikerjakan TK menjalani politik dengan mata hati. (*)
*)Politisi tinggal di Semarang
---
Judul Buku: Jembatan Kebangsaan, Biografi Politik Taufiq Kiemas
Editor: Imran Hasibuan dan Muhammad Yamin
Penerbit: Rumah Kebangsaan dan Q Communication
Cetakan: Pertama, Desember 2008
Tebal: 302 Halaman + xix
http://www.jawapos.com/
Dari sejumlah politisi kawakan yang masih bertahan pada panggung politik, salah satunya adalah Taufiq Kiemas (TK). TK masih mampu terlibat intens dengan peran politik yang signifikan. TK memang berada pada posisi kesejarahan yang pas. Bersama istrinya, figur sentral sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, TK membangun PDI yang kemudian berubah menjadi PDI Perjuangan. Diimbuhi perjuangan, sebab para kadernya memang berjuang mati-matian untuk sekadar mempertahankan legalitasnya setelah dilumpuhkan penguasa ketika itu.
Pada Pemilu 1999 partai nasionalis itu mampu meraih posisi pertama di parlemen. Andaikata tidak terjadi eksperimentasi konstitusi yang ditukangi Amien Rais, kans Megawati menduduki kursi presiden kala itu terbuka lebar.
Sebagai suami Megawati, TK menjadi bagian dari keluarga Bung Karno --tokoh yang ia kagumi-- adalah ketentuan sang nasib (destiny). Posisi itu dihayati betul oleh TK laksana bara yang terus menyala menjaga api gairah agar senantiasa tegar memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan. Pilihan politik TK sempat membuat ayahandanya, Tjik Agus Kiemas, yang politisi Masyumi berang. Tetapi, kini kita bisa mengerti, ternyata pilihan TK terbukti visioner.
Bahkan, belakangan kita menyaksikan seolah terjadi kontestasi situasional yang hanya melibatkan dua nilai utama. Yaitu, antara merajalelanya liberalisme dan kian merebaknya formalisme Islam. Kedua nilai itu bila dibiarkan tanpa interupsi sama sekali, dapat dipastikan nilai kebangsaan (yang tetap menyemangati garis politik TK) akan tergerus makin dalam. Liberalisme mengabdi pada kapitalisme: daulat negara mudah dinisbikan. Karena itu, isu nilai kebangsaan dalam tataran tersebut sebagai sesuatu yang naif. Islam formalis pun sama saja, dalam memosisikan ruh kebangsaan cenderung apriori.
Menariknya, dalam konteks keislaman, apreasiasi yang berkembang atas nilai kebangsaan yang diperjuangkan TK terbilang positif. Terbukti, perlunya sikap kritis terhadap kapitalisme global serta upaya membuka diri pada nilai kebangsaan disadari kalangan politisi Islam. Setidaknya, kalau pernyataan-pernyataan politik mereka yang mengemuka dapat kita jadikan sebagai indikator. Partai politik yang eksplisit menyebutkan fungsinya sebagai alat perjuangan Islam tidak sungkan mengimbuhkan embel-embel dalam beragam fora: tidak menafikkan nasionalisme. Mereka tidak hanya menghargai bahkan mengklaim nilai-nilai kebangsaan sesuatu yang terintegrasikan dalam asas partai yang diperjuangkan.
Kategori nasionalisme (paham yang oleh sejumlah kalangan dianggap tidak lagi relevan) yang kita maksud tentu bukanlah terkungkung dalam pengertian sebatas isme yang mencuat ketika bertumbuhnya negara-bangsa di dunia. Dalam kerangka itu, nasionalisme divonis pandangan picik yang menafikan dinamika relasi kesejarahan yang mempertautkan antarbangsa. Justru, bukankah pada kenyataannya, nasionalisme kembali relevan sebagai perspektif untuk mengukur relasi antarnegara yang semakin kompleks? Relasi yang terbentuk bertambah kompleks, tetapi patronnya tunggal: kapitalisme. Jangan sampai relasi yang terbentuk secara sengaja menafikan keberadaan negara-negara. Apalagi mengisapnya.
Selain ihwal daulat bangsa (posisi kita di hadapan bangsa-bangsa di dunia) yang merupakan isu utama nilai kebangsaan, TK juga menempatkan pluralisme dan tokeransi (diperlukan dalam interaksi kita sesama anak bangsa) sesuatu yang tidak mungkin diabaikan para politisi. Tanpa sikap pluralis dan toleran cita-cita menegakkan nilai kebangsaan mustahil kita rajut. Pengalaman panjang TK dalam mengarungi kesejarahan bangsa ini menempakan dirinya layaknya --seperti yang dikatakan Yudi Latif dalam kata pengantar-- jembatan kebangsaan. TK sebagai penghubung antarhorison, perajut solidaritas antarkutub serta pelancar lalu-lintas sumber daya. Fungsi tersebut yang memungkinkan arus komunikasi dan kerja sama bisa berjalan.
Interpretator Politik
Peran yang dimainkan TK adalah peran belakang layar. Akademisi politik Arbi Sanit pernah mengatakan, TK memiliki persyaratan yang memadai untuk maju sebagai kandidat presiden dalam pemilu. Tetapi, TK yang terbiasa di belakang layar dan memosisikan dirinya sebagai jembatan (kebangsaan) bukan tipe politisi yang mudah beralih peran. Kemampuannya membaca peta politik agaknya justru membimbingnya untuk setia menjadi interpretator politik bagi partainya.
Kombinasi beragam faktor yang dimilikinya (pelaku sejarah antargenerasi, anak biologis Masyumi-anak ideologis PNI, pluralis-toleran) mendorong TK menggunakan mata hati memainkan langkah-langkah politik yang dipilihnya. Kita bisa mencermati, setidaknya, dua hal yang digagas TK dengan mata hati.
Pertama, mendorong berdirinya sayap politik PDI Perjuangan, Baitul Muslimin. Pendirian Baitul Muslimin merupakan bukti sikap pluiralis TK. Baginya, sebagai partai nasionalis ia tidak ingin PDI Perjuangan dituduh tidak membuka diri, apalagi dinilai alergi terhadap salah satu bagian dari anak bangsa ini: Islam. Idealnya, Islam yang ditumbuh-kembangkan melalui sayap partai nasionalis ini memberikan aura kebangsaan. Bukannya justru bentuk repetisi lain dari Islam formalis. Langkah TK didukung tokoh intelektual pluralis, Ahmad Syafii Maarif dan Said Aqil Siradj. Para aktivis dan politisi Islam pun menanggapinya secara positif.
Kedua, isu koalisi permanen antara PDI Perjuangan dan Partai Golkar yang digagas TK satu dua tahun belakangan. Gagasan koalisi permanen merupakan pilihan politik yang rujukannya fokus pada kepentingan bangsa. Koalisi permanen menghindari pragmatisme politik yang membuat koalisi terbius godaan kalkulatif agar terlibat dalam kekuasaan. Koalisi non-permanen seperti yang terjadi pada pemerintahahn SBY-JK terbukti bukan hanya tidak efektif, melainkan juga improvisasi para peserta koalisi kadang-kadang liar. Rivalitas dalam tubuh koaliasi non-permanen mudah terombang-ambing geraknya: fluktuatif.
Membaca biografi politik TK mengajarkan kita dua hal yang harus dimiliki para politisi: sesuatu yang sifatnya operasional dan ideal sekaligus. Yang operasional seperti kata TK, politisi sejati itu nggak ada matinya. Yang ideal seperti yang dikerjakan TK menjalani politik dengan mata hati. (*)
*)Politisi tinggal di Semarang
---
Judul Buku: Jembatan Kebangsaan, Biografi Politik Taufiq Kiemas
Editor: Imran Hasibuan dan Muhammad Yamin
Penerbit: Rumah Kebangsaan dan Q Communication
Cetakan: Pertama, Desember 2008
Tebal: 302 Halaman + xix
Tidak ada komentar:
Posting Komentar