Ahmad Badrus Sholihin*
http://www.jawapos.com/
Jika Anda punya cukup waktu luang untuk nonton televisi, Anda mungkin semakin ''terhibur'' dengan tambah beragamnya jenis tayangan beberapa bulan belakangan ini. Di sela-sela sinetron atau siaran langsung sepak bola, Anda bisa menyaksikan iklan partai politik, bakal calon presiden, anggota legislatif atau kepala daerah berbaur dengan iklan HP, susu bayi, pasta gigi, minyak wangi, minuman energi, dan lain-lain. Hal yang sama bisa Anda temukan di koran, majalah, tabloid, radio atau bahkan internet. Tokoh-tokoh politik nampang silih berganti dengan artis atau model yang menjadi bintang iklan produk komersial.
Kita semua mafhum, iklan politik memang bukan hal yang baru lagi. Di era kejayaan media sekarang ini, adigium ''siapa menguasai media, dia menguasai dunia'' tampaknya sudah tak terbantahkan. Maka, media massa menjelma sebagai medan pertempuran utama kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan. Jika dulu kekuatan partai diukur dari jumlah para pendukung yang ikut pawai jalanan, rapat umum atau pentas akbar, sekarang ukurannya adalah popularitas yang diperoleh dari tanggapan dan penilaian responden atas iklan dan berita politik di media massa. Apakah ini pertanda bahwa politik kita semakin modern? Mungkinkah ini sinyal dari demokrasi kita yang semakin dewasa?
Buku Iklan Politik Tv; Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru ini adalah salah satu yang mengiyakan dua pertanyaan di atas. Lewat buku ini, Akhmad Danial berupaya untuk membuktikan bahwa berpindahnya kampanye ''dari jalan raya ke layar kaca'' adalah fenomena modernisasi politik Indonesia pasca-reformasi. Lambat laun model kampanye politik Indonesia diyakini akan mewujud sempurna layaknya gaya kampanye Amerika Serikat. Saat itu, Indonesia sudah bisa disebut sebagai negara demokrasi yang dewasa, bahkan paripurna.
Menilik berbagai kajian komparatif di bidang komunikasi politik, Danial menemukan fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Saat ini, hampir semua kampanye politik di negara-negara demokrasi bertumpu kepada kampanye lewat tv. Indikasinya hampir seragam, yaitu aktivitas kampanye dikemas sesuai dengan format tv; porsi dana kampanye semakin besar; keterlibatan para electioneer profesional (biro iklan, konsultan politik) dari luar partai; dan pemilu menjadi semacam kontes antar-kandidat bukan lagi kontes antar-partai (hlm. 17).
Beberapa pakar ilmu politik, seperti David L. Swanson dan Paolo Mancini (1996), menamakan fenomena di atas sebagai Americanization of campaigning (Amerikanisasi kampanye). Hal ini mengacu kepada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa iklan politik tv pertama kali dipakai dalam kampanye pemilu Amerika, yaitu pidato Presiden Truman pada 1948. Kemudian menjadi semakin populer sejak debat calon presiden pertama di tv antara Kennedy dan Nixon pada 1960. Dan, sampai saat ini, menurut Pippa Norris (2000), sebagian besar praktik komunikasi politik di negara-negara non-Amerika ''dipinjam'' dari praktik yang ''lebih profesional'' di Amerika.
Identifikasi modernisasi kampanye sebagai Amerikanisasi bukannya tanpa kontroversi. Bab tiga buku ini mengkhususkan pembahasannya pada persoalan apakah Amerikanisasi = globalisasi = modernisasi? Danial mencatat bahwa para ilmuwan politik tidak satu kata dalam hal ini. Dia sendiri cenderung sependapat dengan konsep multiple modernity (Margaret Scammel, 1997) yang memandang bahwa modernisasi mengarah pada profesionalisasi kampanye yang menuntut para politisi beradaptasi dengan lingkungan media dan sistem pemilu yang berubah sebagai dampak dari globalisasi (hlm. 102).
Konsep multiple modernity melahirkan konsep multiple democracy, yang meyakini kemajemukan penerapan dan kultur demokrasi di dunia sesuai dengan ciri khas lokal masing-masing negara. Dengan kata lain, sistem demokrasi tidak akan pernah menjadi sistem yang homogen. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem demokrasi yang berbeda-beda, bahkan di Eropa Barat sekalipun yang notabene paling dekat dengan Amerika. Meskipun demikian, Amerika sebagai model ideal tetap diakui menjadi salah satu faktor utama modernisasi dan globalisasi demokrasi.
Khusus untuk Indonesia, Danial menunjukkan bahwa ciri khas lokal atau faktor internal menghadirkan warna kampanye yang tak sepenuhnya ter-Amerikanisasi. Pertama, peran sentral media, terutama tv, sebagai media kampanye tidak serta merta menghilangkan kampanye jalanan dan pengerahan massa. Mindset (pola pikir) bahwa kampanye dan pemilu adalah ''pesta'' belum berubah.
Kedua, belum berkembangnya iklan-iklan politik tv yang berorientasi pada isu atau program yang unik dari parpol atau kandidat. Ketiga, tv juga hanya digunakan untuk iklan, bukan debat. Meskipun belakangan kita temukan acara debat di beberapa stasiun tv, sifatnya belum mengarah kepada contrasting layaknya debat Obama dan McCain di Amerika (hlm. 228).
Danial menggarisbawahi stabilisasi politik dan pengekangan demokrasi Orde Baru memiliki peranan yang tidak kecil bagi tersendatnya modernisasi kampanye dan pendewasaan demokrasi di Indonesia. Pada bab 4, Danial memampangkan data seputar pemilu di era Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) yang penuh dengan rekayasa, intimidasi, dan pemalsuan. Bab-bab itu bisa disebut sebagai bagian terbaik buku ini. Bab tersebut mengajak kita untuk tidak melupakan episode paling kelam demokrasi di Indonesia.
Yang patut dicatat, buku ini sangat kaya data. Perihal pemilu dan kampanye di era orde baru, buku ini seperti membongkar gudang arsip RRI dan TVRI. Danial juga sangat rinci menjelenterehkan data pemilu dan kampanye pasca-reformasi. Dia mencermati bagaimana ''peralihan kekuasaan'' dari TVRI ke tv-tv swasta. Setelah tidak ada lagi pengekangan oleh departemen penerangan dan monopoli TVRI, peranan tv swasta menjadi sangat dominan. Bahkan bisa dikatakan, tv swasta telah menjadi pioner modernisasi politik Indonesia.
Akhirnya, buku ini patut dipuji atas kesimpulannya bahwa iklan politik di tv-tv kita sampai saat ini masih minim substansi, sehingga belum bisa dianggap sebagai bentuk komunikasi politik yang ideal. Namun sayangnya, buku ini terkesan Amerika-sentris. Selain itu, kita juga tidak menemukan pembahasan seputar pengaruh iklan politik terhadap para pemilih ideologis (fanatik) dan golongan putih (golput). Bukankah bagi kalangan ideologis, tanpa iklan pun mereka akan tetap memilih partai atau kandidat yang mereka kultuskan? (*)
*) Aktif di Gerakan Rakyat Anti Penindasan (GeRAP) Jogjakarta
Judul Buku : Iklan Politik Tv, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru
Penulis : Akhmad Danial
Penerbit : LKIS, Jogjakarta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : xxxiv + 264 halaman
http://www.jawapos.com/
Jika Anda punya cukup waktu luang untuk nonton televisi, Anda mungkin semakin ''terhibur'' dengan tambah beragamnya jenis tayangan beberapa bulan belakangan ini. Di sela-sela sinetron atau siaran langsung sepak bola, Anda bisa menyaksikan iklan partai politik, bakal calon presiden, anggota legislatif atau kepala daerah berbaur dengan iklan HP, susu bayi, pasta gigi, minyak wangi, minuman energi, dan lain-lain. Hal yang sama bisa Anda temukan di koran, majalah, tabloid, radio atau bahkan internet. Tokoh-tokoh politik nampang silih berganti dengan artis atau model yang menjadi bintang iklan produk komersial.
Kita semua mafhum, iklan politik memang bukan hal yang baru lagi. Di era kejayaan media sekarang ini, adigium ''siapa menguasai media, dia menguasai dunia'' tampaknya sudah tak terbantahkan. Maka, media massa menjelma sebagai medan pertempuran utama kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan. Jika dulu kekuatan partai diukur dari jumlah para pendukung yang ikut pawai jalanan, rapat umum atau pentas akbar, sekarang ukurannya adalah popularitas yang diperoleh dari tanggapan dan penilaian responden atas iklan dan berita politik di media massa. Apakah ini pertanda bahwa politik kita semakin modern? Mungkinkah ini sinyal dari demokrasi kita yang semakin dewasa?
Buku Iklan Politik Tv; Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru ini adalah salah satu yang mengiyakan dua pertanyaan di atas. Lewat buku ini, Akhmad Danial berupaya untuk membuktikan bahwa berpindahnya kampanye ''dari jalan raya ke layar kaca'' adalah fenomena modernisasi politik Indonesia pasca-reformasi. Lambat laun model kampanye politik Indonesia diyakini akan mewujud sempurna layaknya gaya kampanye Amerika Serikat. Saat itu, Indonesia sudah bisa disebut sebagai negara demokrasi yang dewasa, bahkan paripurna.
Menilik berbagai kajian komparatif di bidang komunikasi politik, Danial menemukan fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Saat ini, hampir semua kampanye politik di negara-negara demokrasi bertumpu kepada kampanye lewat tv. Indikasinya hampir seragam, yaitu aktivitas kampanye dikemas sesuai dengan format tv; porsi dana kampanye semakin besar; keterlibatan para electioneer profesional (biro iklan, konsultan politik) dari luar partai; dan pemilu menjadi semacam kontes antar-kandidat bukan lagi kontes antar-partai (hlm. 17).
Beberapa pakar ilmu politik, seperti David L. Swanson dan Paolo Mancini (1996), menamakan fenomena di atas sebagai Americanization of campaigning (Amerikanisasi kampanye). Hal ini mengacu kepada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa iklan politik tv pertama kali dipakai dalam kampanye pemilu Amerika, yaitu pidato Presiden Truman pada 1948. Kemudian menjadi semakin populer sejak debat calon presiden pertama di tv antara Kennedy dan Nixon pada 1960. Dan, sampai saat ini, menurut Pippa Norris (2000), sebagian besar praktik komunikasi politik di negara-negara non-Amerika ''dipinjam'' dari praktik yang ''lebih profesional'' di Amerika.
Identifikasi modernisasi kampanye sebagai Amerikanisasi bukannya tanpa kontroversi. Bab tiga buku ini mengkhususkan pembahasannya pada persoalan apakah Amerikanisasi = globalisasi = modernisasi? Danial mencatat bahwa para ilmuwan politik tidak satu kata dalam hal ini. Dia sendiri cenderung sependapat dengan konsep multiple modernity (Margaret Scammel, 1997) yang memandang bahwa modernisasi mengarah pada profesionalisasi kampanye yang menuntut para politisi beradaptasi dengan lingkungan media dan sistem pemilu yang berubah sebagai dampak dari globalisasi (hlm. 102).
Konsep multiple modernity melahirkan konsep multiple democracy, yang meyakini kemajemukan penerapan dan kultur demokrasi di dunia sesuai dengan ciri khas lokal masing-masing negara. Dengan kata lain, sistem demokrasi tidak akan pernah menjadi sistem yang homogen. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem demokrasi yang berbeda-beda, bahkan di Eropa Barat sekalipun yang notabene paling dekat dengan Amerika. Meskipun demikian, Amerika sebagai model ideal tetap diakui menjadi salah satu faktor utama modernisasi dan globalisasi demokrasi.
Khusus untuk Indonesia, Danial menunjukkan bahwa ciri khas lokal atau faktor internal menghadirkan warna kampanye yang tak sepenuhnya ter-Amerikanisasi. Pertama, peran sentral media, terutama tv, sebagai media kampanye tidak serta merta menghilangkan kampanye jalanan dan pengerahan massa. Mindset (pola pikir) bahwa kampanye dan pemilu adalah ''pesta'' belum berubah.
Kedua, belum berkembangnya iklan-iklan politik tv yang berorientasi pada isu atau program yang unik dari parpol atau kandidat. Ketiga, tv juga hanya digunakan untuk iklan, bukan debat. Meskipun belakangan kita temukan acara debat di beberapa stasiun tv, sifatnya belum mengarah kepada contrasting layaknya debat Obama dan McCain di Amerika (hlm. 228).
Danial menggarisbawahi stabilisasi politik dan pengekangan demokrasi Orde Baru memiliki peranan yang tidak kecil bagi tersendatnya modernisasi kampanye dan pendewasaan demokrasi di Indonesia. Pada bab 4, Danial memampangkan data seputar pemilu di era Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) yang penuh dengan rekayasa, intimidasi, dan pemalsuan. Bab-bab itu bisa disebut sebagai bagian terbaik buku ini. Bab tersebut mengajak kita untuk tidak melupakan episode paling kelam demokrasi di Indonesia.
Yang patut dicatat, buku ini sangat kaya data. Perihal pemilu dan kampanye di era orde baru, buku ini seperti membongkar gudang arsip RRI dan TVRI. Danial juga sangat rinci menjelenterehkan data pemilu dan kampanye pasca-reformasi. Dia mencermati bagaimana ''peralihan kekuasaan'' dari TVRI ke tv-tv swasta. Setelah tidak ada lagi pengekangan oleh departemen penerangan dan monopoli TVRI, peranan tv swasta menjadi sangat dominan. Bahkan bisa dikatakan, tv swasta telah menjadi pioner modernisasi politik Indonesia.
Akhirnya, buku ini patut dipuji atas kesimpulannya bahwa iklan politik di tv-tv kita sampai saat ini masih minim substansi, sehingga belum bisa dianggap sebagai bentuk komunikasi politik yang ideal. Namun sayangnya, buku ini terkesan Amerika-sentris. Selain itu, kita juga tidak menemukan pembahasan seputar pengaruh iklan politik terhadap para pemilih ideologis (fanatik) dan golongan putih (golput). Bukankah bagi kalangan ideologis, tanpa iklan pun mereka akan tetap memilih partai atau kandidat yang mereka kultuskan? (*)
*) Aktif di Gerakan Rakyat Anti Penindasan (GeRAP) Jogjakarta
Judul Buku : Iklan Politik Tv, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru
Penulis : Akhmad Danial
Penerbit : LKIS, Jogjakarta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : xxxiv + 264 halaman
2 komentar:
media memang mencerdaskan rakya dalam berpolitik.. tp banyak jg dampak buruknya ya....
hehehhe
berkunjung nih..
salam kenal..
trimakasih atas kunjungannya, salam kenal dari seorang pengelama desa...
Posting Komentar