Putu Setia
http://www.tempointeraktif.com/
Semakin dekat pemilu, semakin sering saya tertawa. Meskipun hanya di dalam hati, ketawa yang tak sampai bunyi itu, konon, merangsang otak untuk menyehatkan tubuh. Saya tak tahu kebenaran ini, tapi yang jelas suasana pemilu benar-benar membuat saya terhibur.
Keluar rumah selangkah saja, sudah bertebaran baliho para calon anggota legislatif. Wajah-wajah itu membuat saya ngengir berkepanjangan. Ada yang bergaya orator ulung dengan latar belakang gambar Soekarno menuding. Ada yang seperti berteriak dengan latar foto Megawati mengacungkan tangan. Ada yang kalem, mirip terdakwa kasus korupsi, latar belakangnya gambar Sultan Hamengku Buwono X, yang juga kalem. Calon legislator wanita seperti kontes Miss Universe, meskipun ada yang posenya seperti bakul jamu, tukang pijat, dan sebagainya.
Persaingan begitu ketat, calon wakil rakyat harus menjajakan wajah dan nomor urutnya lewat baliho dan (yang punya uang berlimpah) pasang iklan di koran. Pemilu sebelumnya lebih sederhana, partailah yang menentukan siapa yang duduk atau tidak, pemilih pun mencoblos partai. Sekarang setiap calon harus unjuk gigi. Di pulau sekecil Bali saja ada 5.079 calon legislator, yang bertarung memperebutkan 399 kursi. Kalau satu orang membuat sepuluh baliho, ada lebih dari 50 ribu baliho. Ini angka terendah, karena seorang calon untuk wakil rakyat di pusat dan provinsi yang wilayah pemilihnya lebih luas membutuhkan lebih dari 300-an baliho. Bayangkan berapa uang yang beredar dalam "bisnis baliho" ini, lalu bayangkan akan ada 4.680 orang yang kalah dan mungkin punya utang.
Berapa miliar atau triliun uang yang habis untuk baliho di seluruh Indonesia? Jika ini mau dihitung, saya bisa urung tersenyum. Saya lebih tertarik membaca slogan yang ada di baliho. Sebagian besar menyebutkan, akan berjuang untuk rakyat, dengan bahasa Indonesia yang rusak parah. Sebagian besar pula kurang percaya diri sehingga perlu menambahkan foto Soekarno, Megawati, Wiranto, Prabowo, atau Sultan HB X pada latar belakangnya. Bahkan ada baliho dengan latar belakang Presiden Amerika Serikat Obama. Slogannya: "Saatnya orang muda yang tampil".
Karena bukan memilih partai, melainkan memilih orang, rasanya saya akan golput. Soalnya, saya bingung. Dengan sistem pemilu sekarang, domisili pemilih menyebabkan dorongan memilih itu berbeda. Kalau saya berdomisili di Klaten, misalnya, pilihannya gampang: Puan Maharani atau Hidayat Nurwahid. Bukan maksud saya memilih PDI Perjuangan atau memilih PKS, tapi karena Puan cantik dan Hidayat Nurwahid saya kenal pemikirannya. Jadi urusannya personal.
Saat ini saya berada di daerah pemilihan yang calon-calon legislatornya tak saya kenal ulahnya, selain fotonya yang nampang di baliho. Kalau saya mengikuti imbauan "memilih dengan cerdas dan tepat seraya menggunakan hati nurani", pilihan saya adalah tetap tidak memilih alias golput. Ini menurut "hemat" saya, yang bisa berbeda dengan "hemat-hemat" orang lain.
Masalahnya, kenapa golput diharamkan oleh MUI? Kalau nurani saya berkata: itu calon koruptor, itu calon peselingkuh, itu calon wakil rakyat yang tak pernah sidang, itu calon yang hanya bisa omong, bukankah saya lebih baik menyelamatkan bangsa ini dengan cara tidak memilih mereka? Biar suara mereka tak memenuhi "bilangan pembagi pemilih". Dengan ongkos yang tinggi berebut kursi di DPR atau DPRD, sudah pasti langkah pertama mereka di Dewan adalah "bagaimana mengembalikan modal". Untuk apa orang seperti itu diberi kursi? Dan akhirnya, untuk apa memilih kalau tak ada yang layak dipilih?
http://www.tempointeraktif.com/
Semakin dekat pemilu, semakin sering saya tertawa. Meskipun hanya di dalam hati, ketawa yang tak sampai bunyi itu, konon, merangsang otak untuk menyehatkan tubuh. Saya tak tahu kebenaran ini, tapi yang jelas suasana pemilu benar-benar membuat saya terhibur.
Keluar rumah selangkah saja, sudah bertebaran baliho para calon anggota legislatif. Wajah-wajah itu membuat saya ngengir berkepanjangan. Ada yang bergaya orator ulung dengan latar belakang gambar Soekarno menuding. Ada yang seperti berteriak dengan latar foto Megawati mengacungkan tangan. Ada yang kalem, mirip terdakwa kasus korupsi, latar belakangnya gambar Sultan Hamengku Buwono X, yang juga kalem. Calon legislator wanita seperti kontes Miss Universe, meskipun ada yang posenya seperti bakul jamu, tukang pijat, dan sebagainya.
Persaingan begitu ketat, calon wakil rakyat harus menjajakan wajah dan nomor urutnya lewat baliho dan (yang punya uang berlimpah) pasang iklan di koran. Pemilu sebelumnya lebih sederhana, partailah yang menentukan siapa yang duduk atau tidak, pemilih pun mencoblos partai. Sekarang setiap calon harus unjuk gigi. Di pulau sekecil Bali saja ada 5.079 calon legislator, yang bertarung memperebutkan 399 kursi. Kalau satu orang membuat sepuluh baliho, ada lebih dari 50 ribu baliho. Ini angka terendah, karena seorang calon untuk wakil rakyat di pusat dan provinsi yang wilayah pemilihnya lebih luas membutuhkan lebih dari 300-an baliho. Bayangkan berapa uang yang beredar dalam "bisnis baliho" ini, lalu bayangkan akan ada 4.680 orang yang kalah dan mungkin punya utang.
Berapa miliar atau triliun uang yang habis untuk baliho di seluruh Indonesia? Jika ini mau dihitung, saya bisa urung tersenyum. Saya lebih tertarik membaca slogan yang ada di baliho. Sebagian besar menyebutkan, akan berjuang untuk rakyat, dengan bahasa Indonesia yang rusak parah. Sebagian besar pula kurang percaya diri sehingga perlu menambahkan foto Soekarno, Megawati, Wiranto, Prabowo, atau Sultan HB X pada latar belakangnya. Bahkan ada baliho dengan latar belakang Presiden Amerika Serikat Obama. Slogannya: "Saatnya orang muda yang tampil".
Karena bukan memilih partai, melainkan memilih orang, rasanya saya akan golput. Soalnya, saya bingung. Dengan sistem pemilu sekarang, domisili pemilih menyebabkan dorongan memilih itu berbeda. Kalau saya berdomisili di Klaten, misalnya, pilihannya gampang: Puan Maharani atau Hidayat Nurwahid. Bukan maksud saya memilih PDI Perjuangan atau memilih PKS, tapi karena Puan cantik dan Hidayat Nurwahid saya kenal pemikirannya. Jadi urusannya personal.
Saat ini saya berada di daerah pemilihan yang calon-calon legislatornya tak saya kenal ulahnya, selain fotonya yang nampang di baliho. Kalau saya mengikuti imbauan "memilih dengan cerdas dan tepat seraya menggunakan hati nurani", pilihan saya adalah tetap tidak memilih alias golput. Ini menurut "hemat" saya, yang bisa berbeda dengan "hemat-hemat" orang lain.
Masalahnya, kenapa golput diharamkan oleh MUI? Kalau nurani saya berkata: itu calon koruptor, itu calon peselingkuh, itu calon wakil rakyat yang tak pernah sidang, itu calon yang hanya bisa omong, bukankah saya lebih baik menyelamatkan bangsa ini dengan cara tidak memilih mereka? Biar suara mereka tak memenuhi "bilangan pembagi pemilih". Dengan ongkos yang tinggi berebut kursi di DPR atau DPRD, sudah pasti langkah pertama mereka di Dewan adalah "bagaimana mengembalikan modal". Untuk apa orang seperti itu diberi kursi? Dan akhirnya, untuk apa memilih kalau tak ada yang layak dipilih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar