Ingki Rinaldi
http://www.kompas.com/
Tidak mudah mempertahankan seni tradisi di tengah derasnya arus modernisasi. Akan tetapi, Tjhin Nen Sin (66) membuktikan, untuk mempertahankan wayang gantung, semangat bajanya tak luntur selama 30 tahun. Selama itu pula ia bertempur menghadapi siaran televisi dan radio yang menjadi magnet baru industri hiburan, termasuk di pedesaan.
Tjhin Nen Sin adalah pewaris terakhir kesenian wayang gantung di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, dan bahkan di Indonesia. Akan tetapi, sayang, khazanah wayang gantung tidak tercatat dalam buku Peta Wayang di Indonesia (1993) dan juga di Direktori Seni Pertunjukan Tradisional (1998/1999).
Sekitar 30 tahun silam, sejumlah kelompok kesenian di Singkawang yang juga memainkan wayang gantung mengambil keputusan radikal. Mereka menjual wayang-wayang yang terbuat dari kayu ”chong su” tersebut ke Singapura. Sebab order pentas sepi. Kala itu, televisi dan radio muncul sebagai magnet hiburan baru bagi masyarakat dan mengambil peran wayang gantung sebagai penyampai pesan.
”Saya mempertahankan wayang gantung kepunyaan saya karena menginginkan anak keturunan saya punya kebanggaan bahwa mereka punya warisan budaya,” kata Tjhin Nen Sin dalam bahasa China dialek Kek yang diterjemahkan Tai Siuk Jan, istrinya. Mulai saat itulah Tjhin Nen Sin mengandalkan panggilan untuk berpentas bersama sekitar 20 koleksi wayang gantungnya.
Pentas di berbagai kota
Sejumlah kota di Indonesia, seperti Semarang, Surabaya, dan Jakarta, kerap disinggahi Nen Sin untuk mementaskan wayang gantung. Bersama sekitar sembilan anggota kelompoknya, termasuk istrinya, Nen Sin terus berpindah dari satu pentas ke pentas lain.
Nen Sin adalah generasi keempat keturunan pembawa wayang gantung ke Singkawang. Nen Sin hanya sempat mengecap pendidikan dasar bernama Cung Cin Hok Kau di Singkawang. Itu pun tidak tamat, hanya sampai kelas dua.
Sebagai bungsu dari sembilan bersaudara, Nen Sin kecil kemudian menghabiskan waktu membantu orangtuanya menyadap karet dan menanam padi. Pada usia 15 tahun, orangtua Nen Sin mendatangkan dua orang suhu (si fu) wayang gantung dari Kabupaten Sambas dan Pontianak, untuk mengajari Nen Sin. Mereka adalah Chai Piang Shiu dan Ho Lin Fu, yang setiap malam mulai pukul 19.00 mengajari Nen Sin memainkan wayang gantung.
”Setiap kali belajar sekitar dua jam. Jika capek, ya istirahat, tidur,” kata Nen Sin, kali ini diterjemahkan oleh anaknya yang keenam, Tjhin Khui Jan. Hanya dalam tempo setahun, Nen Sin sudah mahir dan diperbolehkan bergabung sebagai pemain pemula.
Namun, sebelum berpentas, sejumlah ritual perlu dilakukan. Di antaranya, sejumlah tokoh wayang gantung yang hendak dimainkan lebih dulu harus dibersihkan menggunakan jengger ayam.
Lantas, bagian mulut wayang gantung yang bisa digerak-gerakkan dilumuri darah ayam. ”Tetapi, sesajian darah ini tidak mutlak, tergantung tempatnya. Kalau untuk pentas di kota-kota cukup dengan mantra-mantra,” kata Nen Sin. Jika ritual itu tidak dilakukan, Nen Sin percaya pentas pasti gagal. Entah benang pada bagian-bagian tubuh wayang gantung yang kusut atau hambatan lainnya.
Setiap kali pentas, yang didukung penampilan sejumlah alat musik, lakon dan jalan cerita selalu disesuaikan dengan pengundang. Misalnya, pentas di acara ulang tahun, maka jalan ceritanya adalah nasihat soal umur dan kebajikan. Sumbernya berbagai karya sastra China klasik.
Durasi pentas biasanya sekitar tiga jam. Pergelangan tangan Nen Sin biasanya jadi satu-satunya bagian tubuh yang menyembul dari balik dekorasi latar belakang pentas untuk menggerakkan wayang gantung lewat jalinan benang-benangnya.
Honor yang diperolehnya tidak bisa dibilang cukup. Besarnya honor pentas tergantung jarak. Sebagai ilustrasi, untuk pentas di sekitar Singkawang, Nen Sin mematok harga Rp 2,6 juta, yang dibagi rata untuk seluruh anggota kelompoknya. Jumlah itu tentu saja belum bisa mencukupi hidup sehari-hari. Karena itu pula, Nen Sin tetap bertani. Terlebih lagi panggilan untuk pentas tidak bisa dipastikan ada dalam setiap bulan. Nen Sin pun terus melanglang pentas, sekalipun dalam jumlah sangat terbatas.
Rumah terbakar
Di tengah kerja kerasnya untuk melestarikan wayang gantung, dia pun harus menerima tatkala bencana datang pada awal Agustus 2008. Saat itu, Nen Sin bersama istri dan kelompok keseniannya tengah berpentas di Festival Bercerita ASEAN 2008 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta.
Suatu malam, rumah Nen Sin di Dusun Gunung Besi, Desa Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Kalbar, ludes terbakar. ”Kejadian sekitar pukul 01.00 dini hari. Waktu itu di rumah ada dua adik saya, istri saya, dan anak saya. Saya sedang mengambil sayur untuk berjualan. Ketika pulang, rumah sudah habis terbakar,” kata Tjhin Kui Jan, anak Nen Sin.
Namun, belasan koleksi wayang gantung Nen Sin yang merupakan warisan dan ada yang dibuat langsung di China tidak ikut terbakar. Kata Lay Shau Cung, tokoh warga Kampung Jam Thang, Kaliasin, Sedau, yang jadi penghubung dengan Nen Sin, wayang-wayang gantung itu ”meminta” pertolongan pada orang sekitar.
”Ada orang di sekitar rumah itu yang merasa dipanggil-panggil agar mengeluarkan wayang- wayang gantung tersebut,” kata Shau Cung. Maka, tidak kurang 20 koleksi wayang gantung yang selalu dipreteli bagian-bagian tubuhnya saat hendak bepergian itu pun luput dari amukan si jago merah. Namun, tidak bagi rumah Nen Sin.
Akibatnya, kini Nen Sin dan istrinya harus menumpang di rumah menantu mereka, Chong Kun Fat, di sebuah rumah sederhana di Dusun Sedau Pasar, Desa Sedau.
Runyamnya lagi, beberapa hari sebelum musibah itu, Pemerintah Kota Singkawang berjanji menjadikan rumah Nen Sin sebagai pusat informasi dan kegiatan wayang gantung. Dengan begitu, kemungkinan ada pihak- pihak di luar yang tertarik mempelajari wayang gantung bisa langsung difasilitasi, mengingat tidak ada satu pun dari sembilan anak Nen Sin yang mau mewarisi keahlian memainkan wayang gantung.
”Saya sedih, anak saya tidak ada yang mau meneruskan,” kata Nen Sin. Tjhin Khui Jan, sang anak, punya alasan mengapa ia dan saudara lainnya tidak mau meneruskan jejak ayahnya. ”Sekarang, kan sudah tidak ramai lagi (permintaan pentas). Saya sekarang berdagang sayur,” katanya. Alhasil, nasib wayang gantung kini bergantung pada sosok Tjhin Nen Sin.
Biodata
Nama: Tjhin Nen Sin
Lahir: Singkawang, 6 Juli 1942
Pendidikan: Cung Cin Hok Kau (setingkat SD di Singkawang, hanya sampai kelas II)
Istri: Tai Siuk Jan
Anak: 9 orang
http://www.kompas.com/
Tidak mudah mempertahankan seni tradisi di tengah derasnya arus modernisasi. Akan tetapi, Tjhin Nen Sin (66) membuktikan, untuk mempertahankan wayang gantung, semangat bajanya tak luntur selama 30 tahun. Selama itu pula ia bertempur menghadapi siaran televisi dan radio yang menjadi magnet baru industri hiburan, termasuk di pedesaan.
Tjhin Nen Sin adalah pewaris terakhir kesenian wayang gantung di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, dan bahkan di Indonesia. Akan tetapi, sayang, khazanah wayang gantung tidak tercatat dalam buku Peta Wayang di Indonesia (1993) dan juga di Direktori Seni Pertunjukan Tradisional (1998/1999).
Sekitar 30 tahun silam, sejumlah kelompok kesenian di Singkawang yang juga memainkan wayang gantung mengambil keputusan radikal. Mereka menjual wayang-wayang yang terbuat dari kayu ”chong su” tersebut ke Singapura. Sebab order pentas sepi. Kala itu, televisi dan radio muncul sebagai magnet hiburan baru bagi masyarakat dan mengambil peran wayang gantung sebagai penyampai pesan.
”Saya mempertahankan wayang gantung kepunyaan saya karena menginginkan anak keturunan saya punya kebanggaan bahwa mereka punya warisan budaya,” kata Tjhin Nen Sin dalam bahasa China dialek Kek yang diterjemahkan Tai Siuk Jan, istrinya. Mulai saat itulah Tjhin Nen Sin mengandalkan panggilan untuk berpentas bersama sekitar 20 koleksi wayang gantungnya.
Pentas di berbagai kota
Sejumlah kota di Indonesia, seperti Semarang, Surabaya, dan Jakarta, kerap disinggahi Nen Sin untuk mementaskan wayang gantung. Bersama sekitar sembilan anggota kelompoknya, termasuk istrinya, Nen Sin terus berpindah dari satu pentas ke pentas lain.
Nen Sin adalah generasi keempat keturunan pembawa wayang gantung ke Singkawang. Nen Sin hanya sempat mengecap pendidikan dasar bernama Cung Cin Hok Kau di Singkawang. Itu pun tidak tamat, hanya sampai kelas dua.
Sebagai bungsu dari sembilan bersaudara, Nen Sin kecil kemudian menghabiskan waktu membantu orangtuanya menyadap karet dan menanam padi. Pada usia 15 tahun, orangtua Nen Sin mendatangkan dua orang suhu (si fu) wayang gantung dari Kabupaten Sambas dan Pontianak, untuk mengajari Nen Sin. Mereka adalah Chai Piang Shiu dan Ho Lin Fu, yang setiap malam mulai pukul 19.00 mengajari Nen Sin memainkan wayang gantung.
”Setiap kali belajar sekitar dua jam. Jika capek, ya istirahat, tidur,” kata Nen Sin, kali ini diterjemahkan oleh anaknya yang keenam, Tjhin Khui Jan. Hanya dalam tempo setahun, Nen Sin sudah mahir dan diperbolehkan bergabung sebagai pemain pemula.
Namun, sebelum berpentas, sejumlah ritual perlu dilakukan. Di antaranya, sejumlah tokoh wayang gantung yang hendak dimainkan lebih dulu harus dibersihkan menggunakan jengger ayam.
Lantas, bagian mulut wayang gantung yang bisa digerak-gerakkan dilumuri darah ayam. ”Tetapi, sesajian darah ini tidak mutlak, tergantung tempatnya. Kalau untuk pentas di kota-kota cukup dengan mantra-mantra,” kata Nen Sin. Jika ritual itu tidak dilakukan, Nen Sin percaya pentas pasti gagal. Entah benang pada bagian-bagian tubuh wayang gantung yang kusut atau hambatan lainnya.
Setiap kali pentas, yang didukung penampilan sejumlah alat musik, lakon dan jalan cerita selalu disesuaikan dengan pengundang. Misalnya, pentas di acara ulang tahun, maka jalan ceritanya adalah nasihat soal umur dan kebajikan. Sumbernya berbagai karya sastra China klasik.
Durasi pentas biasanya sekitar tiga jam. Pergelangan tangan Nen Sin biasanya jadi satu-satunya bagian tubuh yang menyembul dari balik dekorasi latar belakang pentas untuk menggerakkan wayang gantung lewat jalinan benang-benangnya.
Honor yang diperolehnya tidak bisa dibilang cukup. Besarnya honor pentas tergantung jarak. Sebagai ilustrasi, untuk pentas di sekitar Singkawang, Nen Sin mematok harga Rp 2,6 juta, yang dibagi rata untuk seluruh anggota kelompoknya. Jumlah itu tentu saja belum bisa mencukupi hidup sehari-hari. Karena itu pula, Nen Sin tetap bertani. Terlebih lagi panggilan untuk pentas tidak bisa dipastikan ada dalam setiap bulan. Nen Sin pun terus melanglang pentas, sekalipun dalam jumlah sangat terbatas.
Rumah terbakar
Di tengah kerja kerasnya untuk melestarikan wayang gantung, dia pun harus menerima tatkala bencana datang pada awal Agustus 2008. Saat itu, Nen Sin bersama istri dan kelompok keseniannya tengah berpentas di Festival Bercerita ASEAN 2008 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta.
Suatu malam, rumah Nen Sin di Dusun Gunung Besi, Desa Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang, Kalbar, ludes terbakar. ”Kejadian sekitar pukul 01.00 dini hari. Waktu itu di rumah ada dua adik saya, istri saya, dan anak saya. Saya sedang mengambil sayur untuk berjualan. Ketika pulang, rumah sudah habis terbakar,” kata Tjhin Kui Jan, anak Nen Sin.
Namun, belasan koleksi wayang gantung Nen Sin yang merupakan warisan dan ada yang dibuat langsung di China tidak ikut terbakar. Kata Lay Shau Cung, tokoh warga Kampung Jam Thang, Kaliasin, Sedau, yang jadi penghubung dengan Nen Sin, wayang-wayang gantung itu ”meminta” pertolongan pada orang sekitar.
”Ada orang di sekitar rumah itu yang merasa dipanggil-panggil agar mengeluarkan wayang- wayang gantung tersebut,” kata Shau Cung. Maka, tidak kurang 20 koleksi wayang gantung yang selalu dipreteli bagian-bagian tubuhnya saat hendak bepergian itu pun luput dari amukan si jago merah. Namun, tidak bagi rumah Nen Sin.
Akibatnya, kini Nen Sin dan istrinya harus menumpang di rumah menantu mereka, Chong Kun Fat, di sebuah rumah sederhana di Dusun Sedau Pasar, Desa Sedau.
Runyamnya lagi, beberapa hari sebelum musibah itu, Pemerintah Kota Singkawang berjanji menjadikan rumah Nen Sin sebagai pusat informasi dan kegiatan wayang gantung. Dengan begitu, kemungkinan ada pihak- pihak di luar yang tertarik mempelajari wayang gantung bisa langsung difasilitasi, mengingat tidak ada satu pun dari sembilan anak Nen Sin yang mau mewarisi keahlian memainkan wayang gantung.
”Saya sedih, anak saya tidak ada yang mau meneruskan,” kata Nen Sin. Tjhin Khui Jan, sang anak, punya alasan mengapa ia dan saudara lainnya tidak mau meneruskan jejak ayahnya. ”Sekarang, kan sudah tidak ramai lagi (permintaan pentas). Saya sekarang berdagang sayur,” katanya. Alhasil, nasib wayang gantung kini bergantung pada sosok Tjhin Nen Sin.
Biodata
Nama: Tjhin Nen Sin
Lahir: Singkawang, 6 Juli 1942
Pendidikan: Cung Cin Hok Kau (setingkat SD di Singkawang, hanya sampai kelas II)
Istri: Tai Siuk Jan
Anak: 9 orang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar