Nadine Tri Duhita
http://www.suarakarya-online.com/
Pesta empat hari empat malam dari perkawinan Arti dan Pramono hampir berakhir. Tinggal beberapa tamu yang masih menghabiskan minumnya yang terakhir sambil melirik ke arah mempelai berdiri seakan mengerti bahwa kehadirannya tak lagi diharapkan.
Bunga anggrek kuning berseling putih cantik memberi senyum selamat malam pada Arti yang berhati risau. Tidak karena malam ini malam pertamanya. Tidak. Tapi ada yang harus diceritakan pada Pram yang kini bisa disebut suaminya. Apa kata Pram kalau tahu Arti seorang ...
Sambil menggandeng tangan Arti, Pram mengajak naik ke tingkat delapanbelas, di mana mereka akan menghabiskan malam pertamanya. Hotel megah itu menyenandungkan kidung selamat pisah dara remaja.
- Sebaiknya aku bicara dulu sebelum kita berangkat tidur, Pram.
- Ya, kita bicara sambil bercanda di kamar.
Kedua orangtua Arti dan juga orangtua Pram pamit pulang ke rumah masing-masing. Tinggal suasana malam yang penuh keindahan di hotel dengan senyum para pelayan yang menyembunyikan pengertian bahwa mereka akan mendapat persen banyak besok dari pengantin laki-laki.
* * *
Hawa dingin dari alat pendingin menggigilkan Arti. Arti tak ingin mengecewakan Pram, tapi dia tak ingin pula ditolak kalau Pram tahu istrinya hanyalah seperti remaja kota besar lainnya.
Kalau saja tangga mampu dia naiki, Arti ingin lewat tangga saja agar dia tak terlalu cepat sampai di kamar pengantin mereka. Tapi tingkat delapanbelas setinggi 90 meter, bukan satu perjalanan yang mengasyikkan walau dipanjat oleh mempelai berdua. Karena itu mereka naik lift.
Suara gemerisik dari lift mengajak Arti bersiap menyusun kata demi kata untuk disajikan pada Pram, agar tidak kecewa.
Nah sampai kita di tingkat delapanbelas, lalu:
- Aku mau bicara sebelum kita melepas baju pengantin ini.
- Baik, kau mulai saja, aku ambilkan minum ya.
- Tidak, kau disini saja.
Keduanya duduk di pinggiran tempat tidur.
Permadani yang bertabur melati menyemburkan wangi cinta suci. Redupnya lampu di kedua sisi tempat tidur mereka, menyembunyikan tingkah polah manusia-manusia yang tidur di kamar itu.
- Nah katakan apa rahasia pengentinku malam ini ...?
- Begini Pram.
- Ya? dalam hati Pramono berdenyit kengerian kalau pengantinnya akan mengatakan bahwa dia sesungguhnya sudah bukan gadis lagi. Dan dia memang bukan perjaka. Itu rahasia masing-masing manusia itu. Itu tak akan membuat malam ini menjadi malam yang membatalkan perkawinan mereka. Tapi perasaan ngeri itu akan menjadikan satu pusat kekecewaan. Bukan itu. Semoga yang akan dikatakan Arti ...
- Pram, kau harus mendengarnya dari mula.
- Baik, ayolah kau mulai saja.
- Aku dulu semasa remaja, masih di sekolah menengah pertama, aku tak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.
- Tentu dong, kau memang saat itu belum bertemu denganku.
- Tapi, aku tidak pernah diperhatikan orangtuaku. Ibu tak pernah ada di rumah dan aku selalu menemui rumah yang kosong. Ruang makan sepi. Dan seekor kucing yang setia saja tak mampu menghiburku. Saudaraku bermain mencari kesenangan juga di luar rumah.
- Nah mulai saat ini kau tidak akan menjadi manusia yang kesepian lagi, aku akan selalu pulang untuk makan siang bersamamu.
- Ya, tidak itu saja, aku lalu pergi, mencari tempat di mana aku ada yang memperhatikan.
- Lalu?
- Aku tidak makan di rumah yang sepi dan mencengkam itu.
Aku pergi ke rumah Desi. Rumahnya besar tapi selalu ramai karena penuh teman-teman yang bercanda, dan membual sambil menghabiskan waktu siangnya. Merokok di situ bukan soal, siapa yang paling pandai memegang rokok akan menjadi pusat perhatian. Lama kelamaan siang hari itu disambung malam dan kalau malam mereka tidak saja merokok tapi juga mengganja.
- Dan kau?
- Mula pertama aku tidak ingin menuruti kebiasaan mereka. Tapi, mereka menganggapku anak bawang, mereka menganggapku bukan termasuk sebagian dari mereka. Aku dikucilkan. Di luar lingkungan mereka aku malah tidak dianggap punya satu tujuan. Padahal aku telah mengikuti kebiasaan mereka merokok. Aku telah ikut menghamburkan uang orangtuaku yang memang aku dapat dengan mudah. Aku tidak akan meninggalkan mereka begitu saja setelah aku bersama mereka sekian lama. Mereka biasa tidur bersama. laki-laki dan perempuan.
- Satu kamar?
- Ya, satu tempat tidur.
- Dan aku masih ragu untuk mengadakan langkah selanjutnya.
Tapi mereka akan mengadakan pemilihan anggota yang lebih intim dengan mengadakan perjanjian yang akan disetujui dengan tandatangan dari darah kami masing-masing. Aku bimbang. Dan aku pulang. Aku tidak menemui seorang pun di rumah, rumah itu tetap sepi, ibu di perusahaan besar dan ayah di luar negeri mengatur perdagangan yang mengalirkan uang ke perusahaan ibu. Berdua mereka bekerja seakan lupa bahwa aku ada di antara hidup mereka. Bahka aku dan kedua saudaraku menantikan mereka, pulang. Aku ingin mengatakan bahwa aku ini anak mereka tapi tidak pernah berkesempatan, karena ibu dan ayah berpendapat bahwa uang adalah pengganti dan sarana kebahagiaan seseorang. Aku selalu mendapat uang di penghujung minggu, aku biasa menerima uang tanpa bersusah payah meminta dan menerangkan untuk apa aku pergunakan. Mereka selalu pergi pagi sebelum aku bangun, dan meninggalkan aku sendiri dengan pembantu dan kedua adikku.
- Itu dulu kini kau tidak akan sendiri.
- Tapi aku terbawa arus berkawan dengan amat pesat.
Saat itu, belum usia 17 aku telah menerima tawaran mereka menyuntikkan obat jahanam itu ke badanku. Hanya karena aku takut terpisah dari pertemuan dengan mereka. Aku takut kesepian. Beberapa bulan berjalan, aku tiba-tiba dipanggil oleh orangtuaku. Mukaku masih mengantuk dari keracunan obat yang aku masukkan ke badanku semalam. Polisi telah menelpon orangtuaku, menemukan aku berkumpul dengan teman-teman segerombolanku.
- Kau pusing? Ke mana saja kau selama ini?
- Papa dari mana? Mengapa baru sekarang aku ditanyai?
- Kau tahu kan papa cari uang. Sedemikian sibuk aku untuk membahagiakanmu, mengapa kau selalu pergi? Mengganja? Minum-minum dan apa lagi?
- Memang aku mengerjakan semua itu, karena aku ingin berteman, sedang di rumah tak ada siapa pun yang aku ajak bertimbang rasa.
- Kau tidak kekurangan, bukan? Dan ada yang mengawasimu selama ini, ada perawat, ada sopir mengantar ke mana kau pergi. Mengapa kau kerjakan itu? Tak tahukah kau bahwa itu menyusahkan orangtuamu?
Sebenarnya aku ingin membukakan matanya, ingin aku berteriak bahwa aku ini anak papa dan mama. Bukan anak perawat dan sopir atau pembantu. Mengapa harus mereka yang menemaniku di rumah ini? Aku tidak tega mengasari ayahku, hingga aku hanya bisa berkata pelan.
- Aku hanya ingin berada di antara orang-orang yang senasib denganku, tak ada yang menemani kami semua di rumah, orangtua kami semua sibuk dan kami mendapatkan uang dengan amat mudah. Salah siapa aku tidak akan mengatakan. Bawalah aku ke mana papa suka, aku tidak akan menolak. Aku ingin kembali seperti anak papa dahulu.
- Ya, kau akan aku bawa ke rumah sakit.
- Dan sejak saat itu aku diserahkan ke Pamardi Siwi.
Hari-hari yang sepi dan penuh kengerian ada di sekitarku. Terali besi menghambat semua perjalanan otakku, karena memang satu yang aku damba, obat perangsang penggoda jiwa itu. Latihan-latihan untuk kembali jadi manusia yang mandiri diajarkan dengan segala cara pada kami yang ada di sana. Dokter-dokter yang menanganiku seorang ahli jiwa yang sabar dan cantik. Dia mengajakku berwawancara mengeluarkan semua keluhanku, tiap kali aku ingin menghisap ganja. Tapi dengan kesadaran perlahan-lahan aku berusaha menghindarinya, dengan segala macam cara yang disarankan dokter cantik itu. Aku berhasil sembuh.
Aku tidak dibawa ke rumah, aku masih jarang bertemu ibu walau aku sudah dirawat di rumah penyelamat itu. Seakan ibu memang menjauhiku, atau itu memang caranya mencintaiku? Atau dia lebih mencintai uangnya? Atau mencintai tugasnya di luar rumah? Tapi satu aku tahu pasti dia menginginiku untuk sembuh. Dan aku ingin membuktikan aku bisa sembuh dan suatu saat menjadi seorang ibu yang tidak akan meninggalkan anaknya tanpa perhatian sama sekali.
- Lalu kau dibawa ke mana?
- Seorang sopir yang baru yang tidak aku kenal mengantarku ke Bandara Cengkareng. Aku akan di bawa oleh orangtuaku ke Australia. Aku menanyakan ke mana sopir yang lama? Ternyata dia telah dipecat karena dia mengetahui seluk-beluk masa laluku, dan mereka ingin aku membuang masa laluku, dengan melemparkan aku ke luar negeri. dari Australia aku belajar ke Eropa lalu ke Amerika.
- Lalu aku menemuimu di Eropa. Di Amerika, mengapa kau tak pernah menceritakannya?
- Ya, aku ingin mendapatkan cintamu dahulu, dan aku tak mau kau lari dariku bila kau tahu aku hanya seorang gadis yang pernah dirawat di Pamardi Siwi.
- Aku tidak semudah itu melepas dan menilai seseorang yang telah membuktikan keakuannya di luar keluarga. Sekian tahun kau selalu sendiri dan kau tak pernah mengidap lagi, itu satu tanda kau telah benar-benar lepas dari masa lalumu. Mengapa kau masih mengingatnya kembali? Kau tak boleh terlalu kejam pada dirimu sendiri. Kau kini manusia lain dari sepuluh tahun yang lalu.
Arti terdiam. Kamar pengantin itu seakan bersinar kemilau oleh nasehat yang keluar dari mulut laki-laki yang kini akan menuntunnya untuk menjadi anak manusia yang tegap di antara keriuhan segala goda.
Sejak malam itu seakan detik amat cepat berlalu seperti seekor kelinci melompati padang hijau. Dalam pelukan seorang menusia berhati baja, Arti membayangkan kembali hari-harinya.
Kawan-kawan yang beraneka citra, berbagai obat yang mengancam nyawa dan kemewahan yang hampir meruntuhkannya. Pantas tak seorang pun dari temannya hadir di pesta perkawinan ini.
Orangtuanya benar-benar tak hendak mengembalikan ingatan putrinya, dan tak hendak melepas pria yang tak pernah tahu masa lalunya. Itu memang menjadi rahasia mereka, tapi tidak demikian di antara kedua suami-istri pengantin yang akan mengarungi hidupnya bersama di jagad raya. ***
http://www.suarakarya-online.com/
Pesta empat hari empat malam dari perkawinan Arti dan Pramono hampir berakhir. Tinggal beberapa tamu yang masih menghabiskan minumnya yang terakhir sambil melirik ke arah mempelai berdiri seakan mengerti bahwa kehadirannya tak lagi diharapkan.
Bunga anggrek kuning berseling putih cantik memberi senyum selamat malam pada Arti yang berhati risau. Tidak karena malam ini malam pertamanya. Tidak. Tapi ada yang harus diceritakan pada Pram yang kini bisa disebut suaminya. Apa kata Pram kalau tahu Arti seorang ...
Sambil menggandeng tangan Arti, Pram mengajak naik ke tingkat delapanbelas, di mana mereka akan menghabiskan malam pertamanya. Hotel megah itu menyenandungkan kidung selamat pisah dara remaja.
- Sebaiknya aku bicara dulu sebelum kita berangkat tidur, Pram.
- Ya, kita bicara sambil bercanda di kamar.
Kedua orangtua Arti dan juga orangtua Pram pamit pulang ke rumah masing-masing. Tinggal suasana malam yang penuh keindahan di hotel dengan senyum para pelayan yang menyembunyikan pengertian bahwa mereka akan mendapat persen banyak besok dari pengantin laki-laki.
* * *
Hawa dingin dari alat pendingin menggigilkan Arti. Arti tak ingin mengecewakan Pram, tapi dia tak ingin pula ditolak kalau Pram tahu istrinya hanyalah seperti remaja kota besar lainnya.
Kalau saja tangga mampu dia naiki, Arti ingin lewat tangga saja agar dia tak terlalu cepat sampai di kamar pengantin mereka. Tapi tingkat delapanbelas setinggi 90 meter, bukan satu perjalanan yang mengasyikkan walau dipanjat oleh mempelai berdua. Karena itu mereka naik lift.
Suara gemerisik dari lift mengajak Arti bersiap menyusun kata demi kata untuk disajikan pada Pram, agar tidak kecewa.
Nah sampai kita di tingkat delapanbelas, lalu:
- Aku mau bicara sebelum kita melepas baju pengantin ini.
- Baik, kau mulai saja, aku ambilkan minum ya.
- Tidak, kau disini saja.
Keduanya duduk di pinggiran tempat tidur.
Permadani yang bertabur melati menyemburkan wangi cinta suci. Redupnya lampu di kedua sisi tempat tidur mereka, menyembunyikan tingkah polah manusia-manusia yang tidur di kamar itu.
- Nah katakan apa rahasia pengentinku malam ini ...?
- Begini Pram.
- Ya? dalam hati Pramono berdenyit kengerian kalau pengantinnya akan mengatakan bahwa dia sesungguhnya sudah bukan gadis lagi. Dan dia memang bukan perjaka. Itu rahasia masing-masing manusia itu. Itu tak akan membuat malam ini menjadi malam yang membatalkan perkawinan mereka. Tapi perasaan ngeri itu akan menjadikan satu pusat kekecewaan. Bukan itu. Semoga yang akan dikatakan Arti ...
- Pram, kau harus mendengarnya dari mula.
- Baik, ayolah kau mulai saja.
- Aku dulu semasa remaja, masih di sekolah menengah pertama, aku tak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.
- Tentu dong, kau memang saat itu belum bertemu denganku.
- Tapi, aku tidak pernah diperhatikan orangtuaku. Ibu tak pernah ada di rumah dan aku selalu menemui rumah yang kosong. Ruang makan sepi. Dan seekor kucing yang setia saja tak mampu menghiburku. Saudaraku bermain mencari kesenangan juga di luar rumah.
- Nah mulai saat ini kau tidak akan menjadi manusia yang kesepian lagi, aku akan selalu pulang untuk makan siang bersamamu.
- Ya, tidak itu saja, aku lalu pergi, mencari tempat di mana aku ada yang memperhatikan.
- Lalu?
- Aku tidak makan di rumah yang sepi dan mencengkam itu.
Aku pergi ke rumah Desi. Rumahnya besar tapi selalu ramai karena penuh teman-teman yang bercanda, dan membual sambil menghabiskan waktu siangnya. Merokok di situ bukan soal, siapa yang paling pandai memegang rokok akan menjadi pusat perhatian. Lama kelamaan siang hari itu disambung malam dan kalau malam mereka tidak saja merokok tapi juga mengganja.
- Dan kau?
- Mula pertama aku tidak ingin menuruti kebiasaan mereka. Tapi, mereka menganggapku anak bawang, mereka menganggapku bukan termasuk sebagian dari mereka. Aku dikucilkan. Di luar lingkungan mereka aku malah tidak dianggap punya satu tujuan. Padahal aku telah mengikuti kebiasaan mereka merokok. Aku telah ikut menghamburkan uang orangtuaku yang memang aku dapat dengan mudah. Aku tidak akan meninggalkan mereka begitu saja setelah aku bersama mereka sekian lama. Mereka biasa tidur bersama. laki-laki dan perempuan.
- Satu kamar?
- Ya, satu tempat tidur.
- Dan aku masih ragu untuk mengadakan langkah selanjutnya.
Tapi mereka akan mengadakan pemilihan anggota yang lebih intim dengan mengadakan perjanjian yang akan disetujui dengan tandatangan dari darah kami masing-masing. Aku bimbang. Dan aku pulang. Aku tidak menemui seorang pun di rumah, rumah itu tetap sepi, ibu di perusahaan besar dan ayah di luar negeri mengatur perdagangan yang mengalirkan uang ke perusahaan ibu. Berdua mereka bekerja seakan lupa bahwa aku ada di antara hidup mereka. Bahka aku dan kedua saudaraku menantikan mereka, pulang. Aku ingin mengatakan bahwa aku ini anak mereka tapi tidak pernah berkesempatan, karena ibu dan ayah berpendapat bahwa uang adalah pengganti dan sarana kebahagiaan seseorang. Aku selalu mendapat uang di penghujung minggu, aku biasa menerima uang tanpa bersusah payah meminta dan menerangkan untuk apa aku pergunakan. Mereka selalu pergi pagi sebelum aku bangun, dan meninggalkan aku sendiri dengan pembantu dan kedua adikku.
- Itu dulu kini kau tidak akan sendiri.
- Tapi aku terbawa arus berkawan dengan amat pesat.
Saat itu, belum usia 17 aku telah menerima tawaran mereka menyuntikkan obat jahanam itu ke badanku. Hanya karena aku takut terpisah dari pertemuan dengan mereka. Aku takut kesepian. Beberapa bulan berjalan, aku tiba-tiba dipanggil oleh orangtuaku. Mukaku masih mengantuk dari keracunan obat yang aku masukkan ke badanku semalam. Polisi telah menelpon orangtuaku, menemukan aku berkumpul dengan teman-teman segerombolanku.
- Kau pusing? Ke mana saja kau selama ini?
- Papa dari mana? Mengapa baru sekarang aku ditanyai?
- Kau tahu kan papa cari uang. Sedemikian sibuk aku untuk membahagiakanmu, mengapa kau selalu pergi? Mengganja? Minum-minum dan apa lagi?
- Memang aku mengerjakan semua itu, karena aku ingin berteman, sedang di rumah tak ada siapa pun yang aku ajak bertimbang rasa.
- Kau tidak kekurangan, bukan? Dan ada yang mengawasimu selama ini, ada perawat, ada sopir mengantar ke mana kau pergi. Mengapa kau kerjakan itu? Tak tahukah kau bahwa itu menyusahkan orangtuamu?
Sebenarnya aku ingin membukakan matanya, ingin aku berteriak bahwa aku ini anak papa dan mama. Bukan anak perawat dan sopir atau pembantu. Mengapa harus mereka yang menemaniku di rumah ini? Aku tidak tega mengasari ayahku, hingga aku hanya bisa berkata pelan.
- Aku hanya ingin berada di antara orang-orang yang senasib denganku, tak ada yang menemani kami semua di rumah, orangtua kami semua sibuk dan kami mendapatkan uang dengan amat mudah. Salah siapa aku tidak akan mengatakan. Bawalah aku ke mana papa suka, aku tidak akan menolak. Aku ingin kembali seperti anak papa dahulu.
- Ya, kau akan aku bawa ke rumah sakit.
- Dan sejak saat itu aku diserahkan ke Pamardi Siwi.
Hari-hari yang sepi dan penuh kengerian ada di sekitarku. Terali besi menghambat semua perjalanan otakku, karena memang satu yang aku damba, obat perangsang penggoda jiwa itu. Latihan-latihan untuk kembali jadi manusia yang mandiri diajarkan dengan segala cara pada kami yang ada di sana. Dokter-dokter yang menanganiku seorang ahli jiwa yang sabar dan cantik. Dia mengajakku berwawancara mengeluarkan semua keluhanku, tiap kali aku ingin menghisap ganja. Tapi dengan kesadaran perlahan-lahan aku berusaha menghindarinya, dengan segala macam cara yang disarankan dokter cantik itu. Aku berhasil sembuh.
Aku tidak dibawa ke rumah, aku masih jarang bertemu ibu walau aku sudah dirawat di rumah penyelamat itu. Seakan ibu memang menjauhiku, atau itu memang caranya mencintaiku? Atau dia lebih mencintai uangnya? Atau mencintai tugasnya di luar rumah? Tapi satu aku tahu pasti dia menginginiku untuk sembuh. Dan aku ingin membuktikan aku bisa sembuh dan suatu saat menjadi seorang ibu yang tidak akan meninggalkan anaknya tanpa perhatian sama sekali.
- Lalu kau dibawa ke mana?
- Seorang sopir yang baru yang tidak aku kenal mengantarku ke Bandara Cengkareng. Aku akan di bawa oleh orangtuaku ke Australia. Aku menanyakan ke mana sopir yang lama? Ternyata dia telah dipecat karena dia mengetahui seluk-beluk masa laluku, dan mereka ingin aku membuang masa laluku, dengan melemparkan aku ke luar negeri. dari Australia aku belajar ke Eropa lalu ke Amerika.
- Lalu aku menemuimu di Eropa. Di Amerika, mengapa kau tak pernah menceritakannya?
- Ya, aku ingin mendapatkan cintamu dahulu, dan aku tak mau kau lari dariku bila kau tahu aku hanya seorang gadis yang pernah dirawat di Pamardi Siwi.
- Aku tidak semudah itu melepas dan menilai seseorang yang telah membuktikan keakuannya di luar keluarga. Sekian tahun kau selalu sendiri dan kau tak pernah mengidap lagi, itu satu tanda kau telah benar-benar lepas dari masa lalumu. Mengapa kau masih mengingatnya kembali? Kau tak boleh terlalu kejam pada dirimu sendiri. Kau kini manusia lain dari sepuluh tahun yang lalu.
Arti terdiam. Kamar pengantin itu seakan bersinar kemilau oleh nasehat yang keluar dari mulut laki-laki yang kini akan menuntunnya untuk menjadi anak manusia yang tegap di antara keriuhan segala goda.
Sejak malam itu seakan detik amat cepat berlalu seperti seekor kelinci melompati padang hijau. Dalam pelukan seorang menusia berhati baja, Arti membayangkan kembali hari-harinya.
Kawan-kawan yang beraneka citra, berbagai obat yang mengancam nyawa dan kemewahan yang hampir meruntuhkannya. Pantas tak seorang pun dari temannya hadir di pesta perkawinan ini.
Orangtuanya benar-benar tak hendak mengembalikan ingatan putrinya, dan tak hendak melepas pria yang tak pernah tahu masa lalunya. Itu memang menjadi rahasia mereka, tapi tidak demikian di antara kedua suami-istri pengantin yang akan mengarungi hidupnya bersama di jagad raya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar