Thompson Hs
http://www.sinarharapan.co.id
Pusat Latihan Opera Batak di Pematang Siantar didirikan sebagai program pengembangan agenda menghidupkan kembali Opera Batak di tahun 2002. Ketika itu, ide pembuatan Pusat Latihan Opera Batak (biasa disebut PLOt) ditampung dan diwujudkan atas kesepakatan Lena Simanjuntak yang kini tinggal di Koeln, Jerman, Sitor Situmorang serta Barbara Brouwer yang menetap di Apeldoorn, Belanda.
Kegiatan lembaga baru mulai digiatkan di Kota Siantar sejak 12 September 2005 di Sekretariat Jalan Lingga No 1 Siantar. Ketika itu masih dirintis oleh dua personel, Thompson Hs dan Berto Hutabarat. Kami sudah terlibat dalam revitalisasi dan aktivitas grup percontohannya di Tarutung sejak 2002.
Kami kemudian menjadikan rumah kontrakan milik Keuskupan Agung Medan (KAM) yang dikelola oleh Komisi Kepemudaan atau Komkep sebagai Sekretariat PLOt. Kompleks tersebut merupakan bekas perkantoran Komsos KAM dengan studio Sanggar Suteranya yang dipindahkan ke Medan lebih sekian tahun lalu. Pengajuan kontrak tiga tahun pertama ini diterima oleh Romo Hendra Kimawan, OSC (Ketua Komkep) bersama dokumen proposal PLOt.
Masa tiga tahun beroperasi di Kota Siantar, PLOt belum mampu membuat program yang permanen karena keterbatasan dana dan sumber daya lainnya untuk mewujudkan fungsi sebagai fasilitator dan motivator bangkitnya kembali Opera Batak. Sejumlah kegiatan yang masih dapat kami lakukan adalah pelatihan, produksi, fasilitasi produksi, mengikuti undangan, dan diskusi. Pelaksanaan semua kegiatan itu sampai sekarang taktis, masih tak sesuai dengan target.
Pelaksanaan pelatihan dilakukan pada awal sebelum produksi pertama kali pada November 2005. Pelatihan tersebut juga masih terbatas pada pelatihan akting. Mengawali produksi yang dilakukan PLOt, sejumlah pemain Opera Batak terdahulu terlibat, di antaranya Sampletek Simbolon, Sabar Sitindaon, Alister Nainggolan, Erliana Silaban, P Sinaga, Boru Simatupang (istri Sampeltek), dan Boru Sijabat (istri Sabar). Satu dari antara mereka, yakni Alister Nainggolan, serta Zulkaidah Harahap yang baru terlibat pada produksi kedua telah mendapat tunjangan Maestro 2007 dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia setelah diajukan atas kerja sama Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), mitra pelaksana agenda revitalisasi 2002.
Kegiatan kami selanjutnya memfasilitasi produksi menyangkut pertunjukan produksi dan fasilitasi teks untuk kebutuhan pertunjukan. Teater Prung dari Bandung, misalnya, difasilitasi PLOt untuk pementasan di tiga tempat (Medan, Siantar, Samosir) pada 26 Mei 3 Juni 2006. Pementasan Opera Batak Guru Saman oleh Seminari Menengah Siantar pada Oktober 2007, PLOt memberikan fasilitasi teks pertunjukan serta elemen-elemen lainnya.
Sementara kegiatan diskusi menyangkut Opera Batak, sekaligus acara ulang tahunan dan diskusi kebudayaan secara umum. Ada kalanya dalam acara diskusi ditampilkan pertunjukan mini Opera Batak, seperti pada Diskusi Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di Gedung Olahraga Siantar pada 31 Januari 2007.
Opera Batak dan Modifikasi
Kegiatan yang sangat menyibukkan di sekretariat kami adalah kegiatan produksi pertunjukan Opera Batak dan modifikasinya. Lima kegiatan produksi itu seperti pertunjukan Sipiso Somalim yang sudah digelar satu kali pertunjukan, Sipurba Goring-goring digelar dua kali pertunjukan, Srikandi Boru Lopian sudah digelar hingga empat kali pertunjukan, dan Opera Danau Toba diadakan empat kali pertunjukan.
Produksi Sipiso Somalim, berlangsung di Balige pada 27 Desember 2007 atas permintaan Badan Informasi dan Komunikasi (Bainfokom) Sumatera Utara. Produksi Sipiso Somalim melibatkan dua puluh personel untuk pemain lakon, pemusik serta penari. Dalam sekali pertunjukan di Balige biaya produksi dan kebutuhan panggung dibiayai oleh Bainfokom dan Pemkab Tobasa. Sejumlah generasi muda yang terlibat dalam produksi ini adalah Berto Hutabarat, M. Suwarsono, Ojak Manalu, Ifan Ryt, anak-anak Alister Nainggolan, anak-anak Sabar Tindaon, Widya Damanik, Melin Saragih, Zuhra Silalahi, dan anggota grup Sampeltek Simbolon.
Sedangkan produksi Sipurba Goring-goring dua kali dilaksanakan. Pertama di Balige pada 11 Maret 2006 untuk ulang tahun ketujuh Kabupaten Tobasa. Dalam produksi ini dilibatkan 26 personel dengan latar belakang umur, agama, dan suku yang berbeda-beda.
Pertunjukan kedua kalinya dilakukan untuk Malam Budaya Panitia peringatan 100 Tahun Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di taman Budaya Medan pada 2 Juni 2007. Jumlah personel dalam pertunjukan kedua ini sebanyak 32 orang, termasuk penata rias dan kostum.
Pertunjukan Srikandi Boru Lopian dilakukan secara keliling dalam rangka memperingati 100 Tahun Raja Sisingamangaraja XII. Pertunjukan dilakukan di Samosir, Pakpak Bharat, dan Balige atas sponsorship kepanitiaan. Teks pertunjukan ini dibuat dan disutradarai oleh saya atas permintaan keluarga Sisingamangaraja XII Cc/Q Raja Tonggo Tua Sinambela yang terlibat dalam kepanitiaan juga. Teks ini juga sebagai pengganti dari kegagalan atas garapan Pulo Batu yang dikarang oleh Sitor Situmorang karena latar pendanaan.
Dana yang seharusnya untuk garapan Pulo Batu tetap masih dapat digunakan untuk Srikandi Boru Lopian. Pemerintahan Pakpak Bharat juga memberikan fasilitas untuk produksi ini sebagai bagian dari gerakan kepanitiaan. Meskipun pendanaan untuk memenuhi biaya produksi Srikandi Boru Lopian jauh dari terpenuhi, kompensasi pengambilan gambar pertunjukan diterima dari tim televisi Belanda sebelum tambahan kompensasi dari pameran di Belanda 20 Januari–20 Oktober 2008.
Produksi Opera Danau Toba adalah produksi yang dipersiapkan sebelumnya untuk Festival Fringe Esplanade di Singapura. Persiapan ini dipicu oleh Grace Siregar, pemilik dan pengelola Galeri Tondi setelah melihat pertunjukan mini di pembukaan pameran galeri tersebut.
Visi kami sebenarnya ingin mempertahankan angan-angan ke depan agar dapat menjadi cikal bakal berdirinya sebuah akademi pertunjukan. Melalui berbagai aktivitas, penggalian sejumlah rekomendasi dipersiapkan ke arah itu. Namun, angan-angan itu tidak mungkin terwujud kalau hanya dibebankan kepada PLOt.
Oleh karena itu, PLOt terbuka untuk bekerja sama mewujudkan visi itu. PLOt mengharapkan keterlibatan berbagai pihak dapat menyadari dan memahami visi ini, khususnya untuk konteks Sumatera Utara. Kita mengetahui bahwa Opera Batak merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan dari Sumatera Utara.
Apakah dengan Opera Batak ini kita mampu melahirkan sebuah akademi pertunjukan di daerah ini juga? Perhatian dan kebijakan pemerintah adalah suatu keniscayaan. Namun, perhitungan objektif dan rasionalnya untuk perkembangan dan dinamika kebudayaan harus dikerjakan pihak-pihak dan orang-orang yang memahami dan menyadari kebutuhan itu. Pada tahun 2008 ini PLOt secara konkret mulai diperhatikan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan mengalokasikan biaya Pelatihan Opera Batak yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Semoga dapat berlanjut.
*) Penulis adalah Direktur Artistik PLOt Siantar.
http://www.sinarharapan.co.id
Pusat Latihan Opera Batak di Pematang Siantar didirikan sebagai program pengembangan agenda menghidupkan kembali Opera Batak di tahun 2002. Ketika itu, ide pembuatan Pusat Latihan Opera Batak (biasa disebut PLOt) ditampung dan diwujudkan atas kesepakatan Lena Simanjuntak yang kini tinggal di Koeln, Jerman, Sitor Situmorang serta Barbara Brouwer yang menetap di Apeldoorn, Belanda.
Kegiatan lembaga baru mulai digiatkan di Kota Siantar sejak 12 September 2005 di Sekretariat Jalan Lingga No 1 Siantar. Ketika itu masih dirintis oleh dua personel, Thompson Hs dan Berto Hutabarat. Kami sudah terlibat dalam revitalisasi dan aktivitas grup percontohannya di Tarutung sejak 2002.
Kami kemudian menjadikan rumah kontrakan milik Keuskupan Agung Medan (KAM) yang dikelola oleh Komisi Kepemudaan atau Komkep sebagai Sekretariat PLOt. Kompleks tersebut merupakan bekas perkantoran Komsos KAM dengan studio Sanggar Suteranya yang dipindahkan ke Medan lebih sekian tahun lalu. Pengajuan kontrak tiga tahun pertama ini diterima oleh Romo Hendra Kimawan, OSC (Ketua Komkep) bersama dokumen proposal PLOt.
Masa tiga tahun beroperasi di Kota Siantar, PLOt belum mampu membuat program yang permanen karena keterbatasan dana dan sumber daya lainnya untuk mewujudkan fungsi sebagai fasilitator dan motivator bangkitnya kembali Opera Batak. Sejumlah kegiatan yang masih dapat kami lakukan adalah pelatihan, produksi, fasilitasi produksi, mengikuti undangan, dan diskusi. Pelaksanaan semua kegiatan itu sampai sekarang taktis, masih tak sesuai dengan target.
Pelaksanaan pelatihan dilakukan pada awal sebelum produksi pertama kali pada November 2005. Pelatihan tersebut juga masih terbatas pada pelatihan akting. Mengawali produksi yang dilakukan PLOt, sejumlah pemain Opera Batak terdahulu terlibat, di antaranya Sampletek Simbolon, Sabar Sitindaon, Alister Nainggolan, Erliana Silaban, P Sinaga, Boru Simatupang (istri Sampeltek), dan Boru Sijabat (istri Sabar). Satu dari antara mereka, yakni Alister Nainggolan, serta Zulkaidah Harahap yang baru terlibat pada produksi kedua telah mendapat tunjangan Maestro 2007 dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia setelah diajukan atas kerja sama Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), mitra pelaksana agenda revitalisasi 2002.
Kegiatan kami selanjutnya memfasilitasi produksi menyangkut pertunjukan produksi dan fasilitasi teks untuk kebutuhan pertunjukan. Teater Prung dari Bandung, misalnya, difasilitasi PLOt untuk pementasan di tiga tempat (Medan, Siantar, Samosir) pada 26 Mei 3 Juni 2006. Pementasan Opera Batak Guru Saman oleh Seminari Menengah Siantar pada Oktober 2007, PLOt memberikan fasilitasi teks pertunjukan serta elemen-elemen lainnya.
Sementara kegiatan diskusi menyangkut Opera Batak, sekaligus acara ulang tahunan dan diskusi kebudayaan secara umum. Ada kalanya dalam acara diskusi ditampilkan pertunjukan mini Opera Batak, seperti pada Diskusi Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di Gedung Olahraga Siantar pada 31 Januari 2007.
Opera Batak dan Modifikasi
Kegiatan yang sangat menyibukkan di sekretariat kami adalah kegiatan produksi pertunjukan Opera Batak dan modifikasinya. Lima kegiatan produksi itu seperti pertunjukan Sipiso Somalim yang sudah digelar satu kali pertunjukan, Sipurba Goring-goring digelar dua kali pertunjukan, Srikandi Boru Lopian sudah digelar hingga empat kali pertunjukan, dan Opera Danau Toba diadakan empat kali pertunjukan.
Produksi Sipiso Somalim, berlangsung di Balige pada 27 Desember 2007 atas permintaan Badan Informasi dan Komunikasi (Bainfokom) Sumatera Utara. Produksi Sipiso Somalim melibatkan dua puluh personel untuk pemain lakon, pemusik serta penari. Dalam sekali pertunjukan di Balige biaya produksi dan kebutuhan panggung dibiayai oleh Bainfokom dan Pemkab Tobasa. Sejumlah generasi muda yang terlibat dalam produksi ini adalah Berto Hutabarat, M. Suwarsono, Ojak Manalu, Ifan Ryt, anak-anak Alister Nainggolan, anak-anak Sabar Tindaon, Widya Damanik, Melin Saragih, Zuhra Silalahi, dan anggota grup Sampeltek Simbolon.
Sedangkan produksi Sipurba Goring-goring dua kali dilaksanakan. Pertama di Balige pada 11 Maret 2006 untuk ulang tahun ketujuh Kabupaten Tobasa. Dalam produksi ini dilibatkan 26 personel dengan latar belakang umur, agama, dan suku yang berbeda-beda.
Pertunjukan kedua kalinya dilakukan untuk Malam Budaya Panitia peringatan 100 Tahun Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di taman Budaya Medan pada 2 Juni 2007. Jumlah personel dalam pertunjukan kedua ini sebanyak 32 orang, termasuk penata rias dan kostum.
Pertunjukan Srikandi Boru Lopian dilakukan secara keliling dalam rangka memperingati 100 Tahun Raja Sisingamangaraja XII. Pertunjukan dilakukan di Samosir, Pakpak Bharat, dan Balige atas sponsorship kepanitiaan. Teks pertunjukan ini dibuat dan disutradarai oleh saya atas permintaan keluarga Sisingamangaraja XII Cc/Q Raja Tonggo Tua Sinambela yang terlibat dalam kepanitiaan juga. Teks ini juga sebagai pengganti dari kegagalan atas garapan Pulo Batu yang dikarang oleh Sitor Situmorang karena latar pendanaan.
Dana yang seharusnya untuk garapan Pulo Batu tetap masih dapat digunakan untuk Srikandi Boru Lopian. Pemerintahan Pakpak Bharat juga memberikan fasilitas untuk produksi ini sebagai bagian dari gerakan kepanitiaan. Meskipun pendanaan untuk memenuhi biaya produksi Srikandi Boru Lopian jauh dari terpenuhi, kompensasi pengambilan gambar pertunjukan diterima dari tim televisi Belanda sebelum tambahan kompensasi dari pameran di Belanda 20 Januari–20 Oktober 2008.
Produksi Opera Danau Toba adalah produksi yang dipersiapkan sebelumnya untuk Festival Fringe Esplanade di Singapura. Persiapan ini dipicu oleh Grace Siregar, pemilik dan pengelola Galeri Tondi setelah melihat pertunjukan mini di pembukaan pameran galeri tersebut.
Visi kami sebenarnya ingin mempertahankan angan-angan ke depan agar dapat menjadi cikal bakal berdirinya sebuah akademi pertunjukan. Melalui berbagai aktivitas, penggalian sejumlah rekomendasi dipersiapkan ke arah itu. Namun, angan-angan itu tidak mungkin terwujud kalau hanya dibebankan kepada PLOt.
Oleh karena itu, PLOt terbuka untuk bekerja sama mewujudkan visi itu. PLOt mengharapkan keterlibatan berbagai pihak dapat menyadari dan memahami visi ini, khususnya untuk konteks Sumatera Utara. Kita mengetahui bahwa Opera Batak merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan dari Sumatera Utara.
Apakah dengan Opera Batak ini kita mampu melahirkan sebuah akademi pertunjukan di daerah ini juga? Perhatian dan kebijakan pemerintah adalah suatu keniscayaan. Namun, perhitungan objektif dan rasionalnya untuk perkembangan dan dinamika kebudayaan harus dikerjakan pihak-pihak dan orang-orang yang memahami dan menyadari kebutuhan itu. Pada tahun 2008 ini PLOt secara konkret mulai diperhatikan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan mengalokasikan biaya Pelatihan Opera Batak yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Semoga dapat berlanjut.
*) Penulis adalah Direktur Artistik PLOt Siantar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar