Grathia Pitaloka
http://www.jurnalnasional.com/
Bergerak dari Bandung, meramaikan gairah dunia teater di Indonesia hingga ke panggung mancanegara.
Kata-kata dapat menjadi senjata, tetapi terkadang dapat pula menjadi batu besar yang menghalangi komunikasi dalam kesenian. Bukan hanya karena keterbatasan bahasa, perbedaan kode-kode yang disuatu tempat terkadang juga menimbulkan masalah tersendiri.
Berangkat dari kesadaran tersebut Rahman Sabur mencoba menyingkirkan “penghalang” itu dengan mengekplorasi gerak tubuh sebagai pengganti dialog yang berlarat-larat.
Bersama Teater Payung Hitam, Rahman mengajak penonton masuk dalam sebuah pertunjukan yang miskin kata-kata tetapi banjir makna. Ia membuka cakrawala bahwa tubuh dapat berguna sebagai bahasa universal pada sebuah pertunjukan teater.
Tengok bagaimana Rahman membagi rasa perih dalam lakon Merah Bolong Putih Doblong melalui tebaran kerikil yang berserak di panggung atau pun yang berayun. Tanpa kecerewatan lisan, penonton dapat merasakan giris yang hendak disampaikan. “Merah Bolong Putih Doblong merupakan salah satu karya terbaik yang dihasilkan oleh Teater Payung Hitam,” kata Dosen Penyutradaraan dan Pemeranan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Iman Soleh kepada Jurnal Nasional, Senin (10/11).
Iman mengatakan, sejak berdiri 26 tahun silam Teater Payung Hitam telah beberapakali berganti rupa pertunjukan. Pada periode awal hingga tahun 90-an, Teater Payung Hitam berpijak pada realisme. Lambat laun pijakan itu berubah, Rahman melompat ke pijakan lain yang lebih universal, yaitu eksplorasi tubuh.
Radhar Panca Dahana menilai, lompatan Rahman bukan merupakan langkah baru dalam percaturan teater di Indonesia mengingat pada pertengahan 1970-an, WS Rendra pernah melakukan eksperimen serupa. “Eksperimentasi yang dilakukan Teater Payung Hitam masih dalam batas lumrah perkembangan teater mutakhir masa kini,” kata Radhar.
Eksplorasi maksimal terhadap tubuh sebagai media komunikasi pernah dilakukan Putu Wijaya dan Teater Mandiri, Budi S Otong dan Teater Sae serta beberapa kelompok teater lainnya. Mereka mengoprasikan teks melalui bahasa tubuh sehingga menciptakan simbolisme baru yang menjadi penolakan terhadap simbolisme yang berlaku.
Beberapa kelompok teater lain banyak yang melirik konsep serupa, tetapi di mata Radhar hanya segelintir yang berhasil. Sementara sisanya hanya mengoperasikan elemen teaterikal dan mengikuti lini teater modern biasa. “Belum ada pemikiran yang kuat dan tajam melandasi kerja teaterikal.”
Ia menjelaskan, sebuah pertunjukan teater dapat dikategorikan sebagai pertunjukan kontemporer apabila sudah mengubah cara pandang baik terhadap dunia sebenarnya maupun dunia di atas panggung. “Belum terjadi perubahan yang mendasar, baik secara falsafah maupun teori,” ujar Radhar.
Tetapi Radhar melihat, Teater Payung Hitam memiliki pemahaman dramaturgi yang baik karena didukung oleh latar akademik yang cukup baik. Hal itu membuatnya unggul jika dibanding kelompok teater kontemporer lain yang masih bergelut pada pengertian kontemporer yang salah kaprah.
Pengertian yang menyimpang mengenai konsep kontemporer, menurut Radhar, kemudian berakibat pada karya yang dicipta. Karya yang lahir “kopong” tak lebih hanya memamerkan “keanehan” versi mereka, namun minim gizi.
Mengeksplorasi Kaspar
Dari puluhan pertunjukan yang pernah digelar oleh Teater Payung Hitam, Kaspar merupakan salah satu pementasan yang banyak diacungi jempol. Sejak tahun 1994 Rahmanr memang berulang kali mementaskan naskah yang ditulis oleh dramawan Jerman, Peter Handke.
Rahman pernah mengakui kalau Kaspar selalu menantang proses kreatifnya dari waktu ke waktu, sehingga tak lekang tergerus jaman. Ia pernah menjajal pertunjukan Kaspar di Black Swan Theatre Academy of Performing Arts, Murdoch University, Australia hingga ke Gedung Serba Guna, Ciamis.
Kaspar Hauser aslinya adalah kisah nyata tentang seorang lelaki aneh bisu yang tiba-tiba muncul di Nuremberg, Jerman, 1828. Ia tak bertingkah laku seperti manusia; seolah tak mengenal peradaban.
Kemudian tangan dingin Rahman mengadaptasi Kaspar menjadi sosok tunawicara, seorang dewasa yang berpikiran kerdil lantaran otaknya terlalu dicekoki oleh ideologi. Maka, Rahman melukis di atas kanvas panggung tujuh manusia gundul gagap bicara yang hanya bisa mengeluarkan kata-kata yang diinstruksikan suara anonim dari mikrofon. Mereka berkonfrontasi dengan luncuran robot-robot kaleng.
Eksplorasi terus menerus yang dilakukan Rahman mengundang decak kagum berbagai kalangan, termasuk rekan sejawatnya Wawan Sofwan. “Payung Hitam tidak pernah berhenti mengeksplorasi hal-hal baru,” kata pria yang pernah bergabung dengan Sabur dalam Study Teater Bandung (STB).
Senada dengan Wawan, Iman juga mengungkapkan kekagumannya terhadap konsistensi Rahman dalam berkarya. Menurut pimpinan Central Cultural Ledeng (CCL) ini sikap istiqomah merupakan hal yang berat dalam berkarya.
Pria yang karyanya berjudul Ozon mendapat apresiasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini memaparkan, permasalahan yang dihadapi oleh kelompok teater kontemporer adalah wajah geoestetik yang sulit untuk dibaca. Tetapi Teater Payung Hitam mampu membangun wajah sendiri di tengah berjubelnya wajah-wajah lain di dunia teater.
Wajah Teater Payung Hiram, menurut Iman terlihat semakin nyata sejak pementasan Kaspar, meski sebelumnya mereka juga sudah melakukan pendekatan ritual melaui ritus-ritus. “Sejak Kaspar, Rahman Sabur menemukan wajah melalui gerak dan bunyi,” ujar Iman.
Ritual yang dimaksud oleh Iman adalah menghayati teater sebagai perayaan bersama tanpa tendensi pemanggungan. Dimana peristiwa di atas pentas diletakkan bukan sebagai perayaan akhir, melainkan ”pengayaan” spiritual, terutama dalam relasi antarmanusia dengan alam.
Pemahaman yang semakin luas, membuat Rahman tidak meletakkan teks hanya sebagai alat komunikasi verbal, namun sebuah teks sosial, kritis dan mistik yang luar biasa. “Itu menjadi kekuatan mereka, apalagi dunia kreatif Teater Payung Hitam tidak hanya berkutat pada masalah sosial tetapi juga masalah alam,” kata Iman.
Kelompok Produktif
Latar belakang mengenyam pendidikan di Jurusan Komposisi Tari STSI Surakarta menjadi modal Rahman untuk mengeksplorasi gerak. Pengetahuan teater dan tari yang ia miliki membuat pertunjukan-pertunjukannya selalu memperhatikan komposisi gerak, artistik, serta unsur musikalitas.
Tengok saja ketika ia mengolah pertunjukan Kaspar yang berdurasi satu jam, menjadi sebuah pementasan yang tidak membosankan. Hal itu terjadi karena Rahman begitu memperhatikan detail di atas panggung, bukan hanya kesadaran mengolah irama tetapi juga ketepatan antara laku di panggung dengan pencahayaan. Tak jarang cahaya menjadi kunci dari pergantian adegan.
Sensitivitas Rahman Sabur mengolah bunyi dan cahaya menjadi ciri khas Teater Payung Hitam. Dalam pertunjukan, mereka tak segan melakukan sesuatu yang kadang memekakkan telinga dan memukau mata. “Ada kinetik art serta audible yang kuat,” kata Iman.
Iman mengatakan, pengetahuan bunyi, gerak serta pengaturan cahaya yang hebat itu diperoleh Teater Payung Hitam melalui proses eksplorasi tiada henti. Setiap tahunnya rata-rata mereka menghasilkan 2-3 karya.
Sentivitas Rahman juga tak bisa dilepaskan dari latar belakang keluarganya yang memang pecinta seni. Sejak kecil Rahman sudah akrab dengan dunia seni peran karena ibunya merupakan seorang pemain tonil. Ia juga bebas menonton film karena ayahnya bekerja di perusahaan elektronik milik Belanda.
Maka tak heran ketika dewasa Rahman menjelma menjadi manusia yang tak pernah kehabisan ide dalam berkarya. Sebelum membentuk Teater Payung Hitam, Rahman terlebih dahulu bergabung dengan Study Teater Bandung.
Study Teater Bandung banyak melahirkan seniman teater hebat, di antaranya, Iman Soleh, Wawan Sofwan, Arthur S Nalan, dan Rahman Sabur. “Rahman Sabur adalah sosok yang hebat, baik sebagai pemain maupun sebagai sutradara,” ujar Wawan.
Tahun 1982 Rahman dan beberapa rekannya mendirikan Teater Payung Hitam. Hingga saat ini kelompok yang bermarkas di STSI Bandung ini telah mementaskan beberapa naskah karya dramawan dunia, mulai dari Albert Camus, TS Elliot, Nicolai Gogol, Ionesco, Aristhopanes, David Goerdon, William Butler Yeats, Sophocles, Jean Anuih dan lain-lain, serta naskah-naskah yang ditulis oleh Rachman Sabur sendiri.
Menurut pandangan Iman, Teater Payung Hitam cukup sukses mengangkat naskah-naskah asing. Hanya saja, lanjut dia, sebaiknya naskah-naskah tersebut jangan seluruhnya dimamah bulat-bulat karena naskah asing memiliki jarak sosial, intelektual dan kultural yang jauh dengan Indonesia.
Harus diakui di tengah riuh timbul tenggelamnya kelompok-kelompok teater di Indonesia, Teater Payung Hitam menjadi salah satu kelompok yang berhasil menorehkan sejarah. Kiprahnya di jagat teater telah mendapatkan pengakuan baik dari dalam maupun luar negeri.
Selain itu, Teater Payung Hitam juga kelompok teater yang sangat terbuka terhadap segala kemungkinan bentuk garapan seperti mencoba sutradara dari luar. Meski demikian, cita rasa Rahman Sabur tetap kental dalam setiap pertunjukan. “Seperti tradisi kelompok teater Indonesia pada umumnya, pementasan masih menjadi bahasa panggung pimpinan kelompok,” kata Radhar.
Putu Wijaya dan Tikka Sears dari Amerika Serikat, merupakan beberapa sutradara yang pernah membuat garapan bersama Teater Payung Hitam. Kehadiran dramawan Tikka Sears, memberi perkembangan baru dalam pementasan Payung Hitam. Salah satunya, Rahman Sabur mulai memasukkan unsur-unsur multimedia di dalam setiap garapannya. Penayangan-penayangan rekaman video memberi aksentuasi yang menarik untuk mendukung keutuhan sebuah adegan.
http://www.jurnalnasional.com/
Bergerak dari Bandung, meramaikan gairah dunia teater di Indonesia hingga ke panggung mancanegara.
Kata-kata dapat menjadi senjata, tetapi terkadang dapat pula menjadi batu besar yang menghalangi komunikasi dalam kesenian. Bukan hanya karena keterbatasan bahasa, perbedaan kode-kode yang disuatu tempat terkadang juga menimbulkan masalah tersendiri.
Berangkat dari kesadaran tersebut Rahman Sabur mencoba menyingkirkan “penghalang” itu dengan mengekplorasi gerak tubuh sebagai pengganti dialog yang berlarat-larat.
Bersama Teater Payung Hitam, Rahman mengajak penonton masuk dalam sebuah pertunjukan yang miskin kata-kata tetapi banjir makna. Ia membuka cakrawala bahwa tubuh dapat berguna sebagai bahasa universal pada sebuah pertunjukan teater.
Tengok bagaimana Rahman membagi rasa perih dalam lakon Merah Bolong Putih Doblong melalui tebaran kerikil yang berserak di panggung atau pun yang berayun. Tanpa kecerewatan lisan, penonton dapat merasakan giris yang hendak disampaikan. “Merah Bolong Putih Doblong merupakan salah satu karya terbaik yang dihasilkan oleh Teater Payung Hitam,” kata Dosen Penyutradaraan dan Pemeranan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Iman Soleh kepada Jurnal Nasional, Senin (10/11).
Iman mengatakan, sejak berdiri 26 tahun silam Teater Payung Hitam telah beberapakali berganti rupa pertunjukan. Pada periode awal hingga tahun 90-an, Teater Payung Hitam berpijak pada realisme. Lambat laun pijakan itu berubah, Rahman melompat ke pijakan lain yang lebih universal, yaitu eksplorasi tubuh.
Radhar Panca Dahana menilai, lompatan Rahman bukan merupakan langkah baru dalam percaturan teater di Indonesia mengingat pada pertengahan 1970-an, WS Rendra pernah melakukan eksperimen serupa. “Eksperimentasi yang dilakukan Teater Payung Hitam masih dalam batas lumrah perkembangan teater mutakhir masa kini,” kata Radhar.
Eksplorasi maksimal terhadap tubuh sebagai media komunikasi pernah dilakukan Putu Wijaya dan Teater Mandiri, Budi S Otong dan Teater Sae serta beberapa kelompok teater lainnya. Mereka mengoprasikan teks melalui bahasa tubuh sehingga menciptakan simbolisme baru yang menjadi penolakan terhadap simbolisme yang berlaku.
Beberapa kelompok teater lain banyak yang melirik konsep serupa, tetapi di mata Radhar hanya segelintir yang berhasil. Sementara sisanya hanya mengoperasikan elemen teaterikal dan mengikuti lini teater modern biasa. “Belum ada pemikiran yang kuat dan tajam melandasi kerja teaterikal.”
Ia menjelaskan, sebuah pertunjukan teater dapat dikategorikan sebagai pertunjukan kontemporer apabila sudah mengubah cara pandang baik terhadap dunia sebenarnya maupun dunia di atas panggung. “Belum terjadi perubahan yang mendasar, baik secara falsafah maupun teori,” ujar Radhar.
Tetapi Radhar melihat, Teater Payung Hitam memiliki pemahaman dramaturgi yang baik karena didukung oleh latar akademik yang cukup baik. Hal itu membuatnya unggul jika dibanding kelompok teater kontemporer lain yang masih bergelut pada pengertian kontemporer yang salah kaprah.
Pengertian yang menyimpang mengenai konsep kontemporer, menurut Radhar, kemudian berakibat pada karya yang dicipta. Karya yang lahir “kopong” tak lebih hanya memamerkan “keanehan” versi mereka, namun minim gizi.
Mengeksplorasi Kaspar
Dari puluhan pertunjukan yang pernah digelar oleh Teater Payung Hitam, Kaspar merupakan salah satu pementasan yang banyak diacungi jempol. Sejak tahun 1994 Rahmanr memang berulang kali mementaskan naskah yang ditulis oleh dramawan Jerman, Peter Handke.
Rahman pernah mengakui kalau Kaspar selalu menantang proses kreatifnya dari waktu ke waktu, sehingga tak lekang tergerus jaman. Ia pernah menjajal pertunjukan Kaspar di Black Swan Theatre Academy of Performing Arts, Murdoch University, Australia hingga ke Gedung Serba Guna, Ciamis.
Kaspar Hauser aslinya adalah kisah nyata tentang seorang lelaki aneh bisu yang tiba-tiba muncul di Nuremberg, Jerman, 1828. Ia tak bertingkah laku seperti manusia; seolah tak mengenal peradaban.
Kemudian tangan dingin Rahman mengadaptasi Kaspar menjadi sosok tunawicara, seorang dewasa yang berpikiran kerdil lantaran otaknya terlalu dicekoki oleh ideologi. Maka, Rahman melukis di atas kanvas panggung tujuh manusia gundul gagap bicara yang hanya bisa mengeluarkan kata-kata yang diinstruksikan suara anonim dari mikrofon. Mereka berkonfrontasi dengan luncuran robot-robot kaleng.
Eksplorasi terus menerus yang dilakukan Rahman mengundang decak kagum berbagai kalangan, termasuk rekan sejawatnya Wawan Sofwan. “Payung Hitam tidak pernah berhenti mengeksplorasi hal-hal baru,” kata pria yang pernah bergabung dengan Sabur dalam Study Teater Bandung (STB).
Senada dengan Wawan, Iman juga mengungkapkan kekagumannya terhadap konsistensi Rahman dalam berkarya. Menurut pimpinan Central Cultural Ledeng (CCL) ini sikap istiqomah merupakan hal yang berat dalam berkarya.
Pria yang karyanya berjudul Ozon mendapat apresiasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini memaparkan, permasalahan yang dihadapi oleh kelompok teater kontemporer adalah wajah geoestetik yang sulit untuk dibaca. Tetapi Teater Payung Hitam mampu membangun wajah sendiri di tengah berjubelnya wajah-wajah lain di dunia teater.
Wajah Teater Payung Hiram, menurut Iman terlihat semakin nyata sejak pementasan Kaspar, meski sebelumnya mereka juga sudah melakukan pendekatan ritual melaui ritus-ritus. “Sejak Kaspar, Rahman Sabur menemukan wajah melalui gerak dan bunyi,” ujar Iman.
Ritual yang dimaksud oleh Iman adalah menghayati teater sebagai perayaan bersama tanpa tendensi pemanggungan. Dimana peristiwa di atas pentas diletakkan bukan sebagai perayaan akhir, melainkan ”pengayaan” spiritual, terutama dalam relasi antarmanusia dengan alam.
Pemahaman yang semakin luas, membuat Rahman tidak meletakkan teks hanya sebagai alat komunikasi verbal, namun sebuah teks sosial, kritis dan mistik yang luar biasa. “Itu menjadi kekuatan mereka, apalagi dunia kreatif Teater Payung Hitam tidak hanya berkutat pada masalah sosial tetapi juga masalah alam,” kata Iman.
Kelompok Produktif
Latar belakang mengenyam pendidikan di Jurusan Komposisi Tari STSI Surakarta menjadi modal Rahman untuk mengeksplorasi gerak. Pengetahuan teater dan tari yang ia miliki membuat pertunjukan-pertunjukannya selalu memperhatikan komposisi gerak, artistik, serta unsur musikalitas.
Tengok saja ketika ia mengolah pertunjukan Kaspar yang berdurasi satu jam, menjadi sebuah pementasan yang tidak membosankan. Hal itu terjadi karena Rahman begitu memperhatikan detail di atas panggung, bukan hanya kesadaran mengolah irama tetapi juga ketepatan antara laku di panggung dengan pencahayaan. Tak jarang cahaya menjadi kunci dari pergantian adegan.
Sensitivitas Rahman Sabur mengolah bunyi dan cahaya menjadi ciri khas Teater Payung Hitam. Dalam pertunjukan, mereka tak segan melakukan sesuatu yang kadang memekakkan telinga dan memukau mata. “Ada kinetik art serta audible yang kuat,” kata Iman.
Iman mengatakan, pengetahuan bunyi, gerak serta pengaturan cahaya yang hebat itu diperoleh Teater Payung Hitam melalui proses eksplorasi tiada henti. Setiap tahunnya rata-rata mereka menghasilkan 2-3 karya.
Sentivitas Rahman juga tak bisa dilepaskan dari latar belakang keluarganya yang memang pecinta seni. Sejak kecil Rahman sudah akrab dengan dunia seni peran karena ibunya merupakan seorang pemain tonil. Ia juga bebas menonton film karena ayahnya bekerja di perusahaan elektronik milik Belanda.
Maka tak heran ketika dewasa Rahman menjelma menjadi manusia yang tak pernah kehabisan ide dalam berkarya. Sebelum membentuk Teater Payung Hitam, Rahman terlebih dahulu bergabung dengan Study Teater Bandung.
Study Teater Bandung banyak melahirkan seniman teater hebat, di antaranya, Iman Soleh, Wawan Sofwan, Arthur S Nalan, dan Rahman Sabur. “Rahman Sabur adalah sosok yang hebat, baik sebagai pemain maupun sebagai sutradara,” ujar Wawan.
Tahun 1982 Rahman dan beberapa rekannya mendirikan Teater Payung Hitam. Hingga saat ini kelompok yang bermarkas di STSI Bandung ini telah mementaskan beberapa naskah karya dramawan dunia, mulai dari Albert Camus, TS Elliot, Nicolai Gogol, Ionesco, Aristhopanes, David Goerdon, William Butler Yeats, Sophocles, Jean Anuih dan lain-lain, serta naskah-naskah yang ditulis oleh Rachman Sabur sendiri.
Menurut pandangan Iman, Teater Payung Hitam cukup sukses mengangkat naskah-naskah asing. Hanya saja, lanjut dia, sebaiknya naskah-naskah tersebut jangan seluruhnya dimamah bulat-bulat karena naskah asing memiliki jarak sosial, intelektual dan kultural yang jauh dengan Indonesia.
Harus diakui di tengah riuh timbul tenggelamnya kelompok-kelompok teater di Indonesia, Teater Payung Hitam menjadi salah satu kelompok yang berhasil menorehkan sejarah. Kiprahnya di jagat teater telah mendapatkan pengakuan baik dari dalam maupun luar negeri.
Selain itu, Teater Payung Hitam juga kelompok teater yang sangat terbuka terhadap segala kemungkinan bentuk garapan seperti mencoba sutradara dari luar. Meski demikian, cita rasa Rahman Sabur tetap kental dalam setiap pertunjukan. “Seperti tradisi kelompok teater Indonesia pada umumnya, pementasan masih menjadi bahasa panggung pimpinan kelompok,” kata Radhar.
Putu Wijaya dan Tikka Sears dari Amerika Serikat, merupakan beberapa sutradara yang pernah membuat garapan bersama Teater Payung Hitam. Kehadiran dramawan Tikka Sears, memberi perkembangan baru dalam pementasan Payung Hitam. Salah satunya, Rahman Sabur mulai memasukkan unsur-unsur multimedia di dalam setiap garapannya. Penayangan-penayangan rekaman video memberi aksentuasi yang menarik untuk mendukung keutuhan sebuah adegan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar