N. Syamsuddin CH. Haesy
http://www.jurnalnasional.com/
FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 2008, insya Allah akan digelar bulan Desember mendatang di Bandung. Bagi perfilman nasional, Kota Bandung mempunyai peran yang sangat penting. Paling tidak, di kota inilah film nasional pertama (Loetoeng Kasaroeng) diproduksi. Karenanya, relevan bila FFI 2008 mengusung tema Bangkit Menuju Citra Baru.
Tema ini menjadi sangat konotatif, sekaligus denotatif. Paling tidak, bila kita mengaitkannya kembali dengan FFI 1985, yang digelar meriah di Kota Bandung. FFI 1985 berakhir dengan janji Ketua Panitia Pelaksana Daerah FFI (ketika itu diamanatkan kepada Karna Suwanda, Sekretaris Daerah) akan membangun gedung khusus Pusat Perfilman Daerah (entah bagaimana kabarnya kini) di kawasan Soekarno Hatta. FFI 1985 juga menghadirkan citra dinamis perfilman nasional yang membanggakan.
Pesta orang film yang berlangsung antara 7–10 Agustus 1985, itu memilih Slamet Rahardjo Djarot sebagai sutradara terbaik, Putu Wijaya sebagai penulis skenario terbaik lewat film Kembang Kertas, yang meraih Piala Citra Utama. Pada FFI itu juga, Kerikil Kerikil Tajam karya terakhir Sjumandjaja, beroleh Piala Citra untuk cerita asli terbaik. Sjuman sendiri wafat, 19 Juli, tiga pekan sebelum FFI 1985 berlangsung.
Norman Benny, sineas muda kala itu, meraih citra sebagai penyunting terbaik dan Zakaria Rasyid meraih penata suara terbaik lewat Kembang Kertas. George Kamarullah, meraih Citra sebagai penata kamera terbaik; Idris Sardi sebagai penata musik terbaik, dan Satari SK, sebagai penata artistik terbaik (Doea Tanda Mata).
Selain itu, FFI juga mementaskan aktor dan aktris baru sebagai penerima piala Citra. Yakni: Alex Komang yang bernama asli Syafi’in Nuah, sebagai pemeran utama terbaik lewat Doea Tanda Mata (arahan Teguh Karya). Christine Hakim, yang biasanya meraih Citra kewat film karya Teguh, di FFI 1985 itu memperolehnya melalui Kerikil Kerikil Tajam.
Akan halnya El Manik, meraih Citra untuk permainannya yang berkarakter sebagai pemeran pembantu terbaik di film Carok. Berdampingan dengan Marissa Haque, selaku pemeran pembantu wanita terbaik, lewat Tinggal Landas buat Kekasih.
Dialog Scenario Planning
KITA katakan FFI 2008 mempunyai hubungan konotatif dan denotatif dengan FFI 1985, karena momentum penyelenggaraannya yang sama memberi ruang terhadap hadirnya citra baru perfilman nasional. Bila dulu lebih berorentasi kepada pencapaian idiom sebagai film cultural educative, kini lebih relevan dengan perkembangan industri kreatif. Bandung, tercatat menjadi sentra industri kreatif yang didorong dan dibangun oleh anak-anak muda. Persis sebagaimana halnya perfilman nasional.
Bila kita menyadari dengan saksama pentingnya membangkitkan citra baru perfilman nasional, sebagai salah satu core business pada industri kreatif, tentu kita mesti berani mengubah tata minda (mindset) kita tentang industri film itu sendiri. Berani menyempurnakan logika berpikir kita tentang industri perfilman. Sebagai part of nation development strategy.
Karena itu, FFI 2008 perlu diposisikan sebagai ajang untuk melakukan "dialog scenario planning" tentang perfilman nasional, dalam keseluruhan konteks bangsa. Di forum itulah, seluruh insan film, duduk mencurah gagasan, merumuskan focal concern, mendefiniskan ulang driving force, dan menetapkan visi pembangunan perfilman nasional. Di dalamnya, dibahas secara saksama berbagai aspek budaya, sains dan teknologi, kemampuan mengelola keuangan dan bisnis sebagai industri, dan memosisikan film nasional sebagai nation face of Indonesia.
Dialog scenario planning, yang setidaknya akan memandu seluruh stakeholder alias pemangku kepentingan perfilman nasional, sebagai subyek yang mandiri, dinamis, dan menyejahterakan. Dialog itu menjadi penting, bila kita sungguh bersikap visioner dan berpikir cerdas, untuk melihat film sebagai bagian strategis dari proses reformasi budaya bangsa. Selebihnya, saya mencatat, setidaknya diperlukan lima langkah untuk mencapai citra baru perfilman nasional untuk masa dua dasawarsa ke depan.
Pertama, menyempurnakan Undang-Undang Perfilman Nasional, yang memungkinkan diperolehnya landasan kebijakan nasional perfilman yang kreatif, visioner, modern, dan demokratis. Undang-Undang yang memungkinkan berlangsungnya kemandirian dan dinamika industri perfilman, sekaligus sinergi positif seluruh pemangku kepentingan perfilman nasional.
Kedua, menggerakkan potensi daya cipta, cara berpikir dan cara bersikap paradigmatif memajukan perfilman nasional. Dalam konteks itu, semua pihak (termasuk DPR dan pemerintah) perlu memikirkan ulang posisi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dalam keseluruhan konteks kebangsaan dan kenegaraan kita. Paling tidak, harus setara dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Ketiga, mengubur jauh-jauh pola pikir usang: monopoli peredaran perfilman nasional yang kita tentang habis-habisan di masa lalu. Dan memberikan kondisi yang ekuit dan ekual bagi bioskop sebagai outlet produksi film nasional. Sekaligus sebagai titik temu seluruh stakeholder perfilman nasional dengan khalayak penontonnya.
Keempat, menghidupkan dan mengembangkan terus institusi pendidikan perfilman nasional, dan menjadikan Perum Pusat Perfilman Negara (PFN) sebagai laboratorium kreatif perfilman nasional. Termasuk sebagai sentra produksi dan pascaproduksi industri film nasional.
Kelima, meredifinisikan kembali organisasi-organisasi perfilman nasional, yang sanggup mewadahi tumbuh kembangnya pemikiran kreatif dan profesional insan film. Termasuk dalam menyusun man power planning yang tangguh dan berdaya saing.
Saya berkeyakinan, bila kelima hal itu bisa diwujudkan melalui sinergi positif seluruh anasir perfilman nasional (termasuk pemerintah, DPR, dan pemerintah daerah), saya yakin citra baru perfilman nasional bisa segera mewujud. Akankah FFI 2008 mampu mengakomodasi pemikiran ini? Kita lihat saja, nanti.
http://www.jurnalnasional.com/
FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 2008, insya Allah akan digelar bulan Desember mendatang di Bandung. Bagi perfilman nasional, Kota Bandung mempunyai peran yang sangat penting. Paling tidak, di kota inilah film nasional pertama (Loetoeng Kasaroeng) diproduksi. Karenanya, relevan bila FFI 2008 mengusung tema Bangkit Menuju Citra Baru.
Tema ini menjadi sangat konotatif, sekaligus denotatif. Paling tidak, bila kita mengaitkannya kembali dengan FFI 1985, yang digelar meriah di Kota Bandung. FFI 1985 berakhir dengan janji Ketua Panitia Pelaksana Daerah FFI (ketika itu diamanatkan kepada Karna Suwanda, Sekretaris Daerah) akan membangun gedung khusus Pusat Perfilman Daerah (entah bagaimana kabarnya kini) di kawasan Soekarno Hatta. FFI 1985 juga menghadirkan citra dinamis perfilman nasional yang membanggakan.
Pesta orang film yang berlangsung antara 7–10 Agustus 1985, itu memilih Slamet Rahardjo Djarot sebagai sutradara terbaik, Putu Wijaya sebagai penulis skenario terbaik lewat film Kembang Kertas, yang meraih Piala Citra Utama. Pada FFI itu juga, Kerikil Kerikil Tajam karya terakhir Sjumandjaja, beroleh Piala Citra untuk cerita asli terbaik. Sjuman sendiri wafat, 19 Juli, tiga pekan sebelum FFI 1985 berlangsung.
Norman Benny, sineas muda kala itu, meraih citra sebagai penyunting terbaik dan Zakaria Rasyid meraih penata suara terbaik lewat Kembang Kertas. George Kamarullah, meraih Citra sebagai penata kamera terbaik; Idris Sardi sebagai penata musik terbaik, dan Satari SK, sebagai penata artistik terbaik (Doea Tanda Mata).
Selain itu, FFI juga mementaskan aktor dan aktris baru sebagai penerima piala Citra. Yakni: Alex Komang yang bernama asli Syafi’in Nuah, sebagai pemeran utama terbaik lewat Doea Tanda Mata (arahan Teguh Karya). Christine Hakim, yang biasanya meraih Citra kewat film karya Teguh, di FFI 1985 itu memperolehnya melalui Kerikil Kerikil Tajam.
Akan halnya El Manik, meraih Citra untuk permainannya yang berkarakter sebagai pemeran pembantu terbaik di film Carok. Berdampingan dengan Marissa Haque, selaku pemeran pembantu wanita terbaik, lewat Tinggal Landas buat Kekasih.
Dialog Scenario Planning
KITA katakan FFI 2008 mempunyai hubungan konotatif dan denotatif dengan FFI 1985, karena momentum penyelenggaraannya yang sama memberi ruang terhadap hadirnya citra baru perfilman nasional. Bila dulu lebih berorentasi kepada pencapaian idiom sebagai film cultural educative, kini lebih relevan dengan perkembangan industri kreatif. Bandung, tercatat menjadi sentra industri kreatif yang didorong dan dibangun oleh anak-anak muda. Persis sebagaimana halnya perfilman nasional.
Bila kita menyadari dengan saksama pentingnya membangkitkan citra baru perfilman nasional, sebagai salah satu core business pada industri kreatif, tentu kita mesti berani mengubah tata minda (mindset) kita tentang industri film itu sendiri. Berani menyempurnakan logika berpikir kita tentang industri perfilman. Sebagai part of nation development strategy.
Karena itu, FFI 2008 perlu diposisikan sebagai ajang untuk melakukan "dialog scenario planning" tentang perfilman nasional, dalam keseluruhan konteks bangsa. Di forum itulah, seluruh insan film, duduk mencurah gagasan, merumuskan focal concern, mendefiniskan ulang driving force, dan menetapkan visi pembangunan perfilman nasional. Di dalamnya, dibahas secara saksama berbagai aspek budaya, sains dan teknologi, kemampuan mengelola keuangan dan bisnis sebagai industri, dan memosisikan film nasional sebagai nation face of Indonesia.
Dialog scenario planning, yang setidaknya akan memandu seluruh stakeholder alias pemangku kepentingan perfilman nasional, sebagai subyek yang mandiri, dinamis, dan menyejahterakan. Dialog itu menjadi penting, bila kita sungguh bersikap visioner dan berpikir cerdas, untuk melihat film sebagai bagian strategis dari proses reformasi budaya bangsa. Selebihnya, saya mencatat, setidaknya diperlukan lima langkah untuk mencapai citra baru perfilman nasional untuk masa dua dasawarsa ke depan.
Pertama, menyempurnakan Undang-Undang Perfilman Nasional, yang memungkinkan diperolehnya landasan kebijakan nasional perfilman yang kreatif, visioner, modern, dan demokratis. Undang-Undang yang memungkinkan berlangsungnya kemandirian dan dinamika industri perfilman, sekaligus sinergi positif seluruh pemangku kepentingan perfilman nasional.
Kedua, menggerakkan potensi daya cipta, cara berpikir dan cara bersikap paradigmatif memajukan perfilman nasional. Dalam konteks itu, semua pihak (termasuk DPR dan pemerintah) perlu memikirkan ulang posisi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dalam keseluruhan konteks kebangsaan dan kenegaraan kita. Paling tidak, harus setara dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Ketiga, mengubur jauh-jauh pola pikir usang: monopoli peredaran perfilman nasional yang kita tentang habis-habisan di masa lalu. Dan memberikan kondisi yang ekuit dan ekual bagi bioskop sebagai outlet produksi film nasional. Sekaligus sebagai titik temu seluruh stakeholder perfilman nasional dengan khalayak penontonnya.
Keempat, menghidupkan dan mengembangkan terus institusi pendidikan perfilman nasional, dan menjadikan Perum Pusat Perfilman Negara (PFN) sebagai laboratorium kreatif perfilman nasional. Termasuk sebagai sentra produksi dan pascaproduksi industri film nasional.
Kelima, meredifinisikan kembali organisasi-organisasi perfilman nasional, yang sanggup mewadahi tumbuh kembangnya pemikiran kreatif dan profesional insan film. Termasuk dalam menyusun man power planning yang tangguh dan berdaya saing.
Saya berkeyakinan, bila kelima hal itu bisa diwujudkan melalui sinergi positif seluruh anasir perfilman nasional (termasuk pemerintah, DPR, dan pemerintah daerah), saya yakin citra baru perfilman nasional bisa segera mewujud. Akankah FFI 2008 mampu mengakomodasi pemikiran ini? Kita lihat saja, nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar