Senin, Agustus 04, 2008

For You; Love

Nh Anfalah

Aku Naia. Gadis sebatangkara. Entah mengapa hidupku seperti tak berguna. Hanya Allah-lah satu-satunya sang Kuasa yang takdirnya harus kuterima.
“Pisang,... Goreng,… Pisang gorengnya, Bu. Masih hangat.” Lantang suaraku semakin meramaikan pagi yang cerah. Begitulah, tak ada seorang pun yang mengiraukanku.
Sering kudengar bisik-bisik yang tak menyenangkan. Ejekan, cemooh, caci dan maki sudah terbiasa bersarang di telingaku. Kadang kalau pisang gorengku tak laku, aku membawa dan menjualnya ke kampus, meski banyak yang takut dengan luka bakar di pipiku yang menjijikkan. Semua kulakukan hanya demi kuliahku. Demi ilmu. Demi hidupku. Dan demi cintaku. Cinta yang tak terbalas. Cinta yang tak tersampaikan yang berakhir dengan penantian tak berujung.

“Iih… Si dia ngelamun tuh. Ngelamunin pisang gorengnya, kaleee…. Hey, Naia. Lihat pisang goreng lu…!”
Tak kuhiraukan celoteh si Amel sebelum ku dengar suara yang ramai di kantin yang memang berdekatan dengan kelasku. Aku segera menuju ke kantin tempat penjualan pisang gorengku dan kulihat…

“Astaghfirullahal ‘adzim…” Kulihat pisang goreng dan wadahnya di tendang-tendang dan dibuat main oleh si kaya bergengsi Jeny dan teman-temannya.
“Jeny, jangan…!” cegahku.
“Hey, teman-teman. Ini dia si monster datang,” serunya. “Hey, ini pisang goreng lu ‘kan?! Ambil dong! Kamu bukannya udah terbiasa makan makanan kotor kayak gini, hah?! Gue heran, bisa-bisanya kampus favorit kayak gini nerima gembel kayak lu. Apalagi di kelas gue. Kelas tempat anak tajir semua.”

“Eh, Jen. Denger-denger dia suka sama Martin,” Marta berceloteh. Aku bingung mau berkata apa. Mulutku serasa terkunci.
“Apa?! Nggak salah denger?! Bocah kayak gini suka Martin?! Lu jangan mimpi deh. Martin itu milik gue. Milik Jeny si cantik di kampus ini. Lagian, Martin itu sampai kiamat pun juga gak bakalan mau sama lu. Udah gembel, miskin, monster,… Iih,… jijik.” Dan semua berakhir dengan jitakan keras dari tangan Jeny yang membuat kepalaku terasa sakit.

Aku menangis sesenggukan membereskan pisang gorengku yang sudah kotor dan hancur. Saat itulah, sempat mataku tertuju kepada Martin yang lewat di depanku. Dingin dan acuh tak acuh seperti biasanya. Entah kenapa hatiku terasa tenang melihat dirinya yang begitu mengagumkan.

Martin merupakan salah seorang cowok top dan beken di kampus. Banyak di antara cewek-cewek yang berlomba-lomba mendapatkan hatinya. Tak terkecuali Jeny. Sayang, dengan ketampanan, kekayaan, dan kepintarannya, dia seperti gunung es yang dingin dan angkuh. Tak ada yang bisa meluluhkan hatinya. Apalagi aku.

Ya, Allah. Sungguh, kapankah cintaku akan terwujud. Cinta yang murni. Suci dari lubuk hatiku yang paling dalam. Bukan karena dia kaya, pintar, dan tampan yang membuat semua orang tergila-gila. Bukan. Tetapi karena sesuatu. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sesuatu yang abstrak dan tak kupahami.
* * *

Aku masuk pagi seperti biasanya. Meski lebih awal, daganganku pun aku bawa ke kampus, karena ada kegiatan ekstra. Dan dosennya kali ini bener-bener killer.

Tapi, alangkah malang nasibku hari ini. Sebuah mobil silver menyerempetku. Akibatnya, bajuku yang sudah tak bagus ini terkena sisa air hujan semalam bersama kotoran jalan. Mataku berkaca-kaca. Ingin rasanya aku marah. Tapi, pada siapa. Dan alangkah terkejutnya diriku ketika di kejauhan mobil itu berhenti. Ternyata,… ya Allah, pemilik mobil itu adalah Martin.

Mataku yang berkaca-kaca seketika menunjukkan gurat-gurat senyum. Aku berharap dia menghampiriku, mengucapkan kata maaf, dan memberikan tawaran untuk naik mobil bersamanya. Atau, setidaknya dia memberikan senyumnya kepadaku. Dan entah apa yang dipikirkannya ketika dia hanya menatapku dingin seperti biasanya.
Perlahan aku bangkit. Melangkah penuh ragu. Tetapi, dia malah kembali masuk mobil. Lantas melaju bersama deru yang meninggalkanku. Aku kecewa.

Kenapa?! Padahal hanya sebuah senyum saja. Nggak lebih. Senyum yang tak pernah tampak dan kulihat seumur hidupku. Apa mungkin Martin lahir di dunia ini tanpa senyum? Dia anti senyum? Atau ada yang salah dengan syaraf-syaraf pada bibirnya? Atau mungkin, dia punya kelainan penyakit sehingga tak punya senyum atau yang lainnya? Ah, nggak mungkin. Bukankah senyum itu sebuah shodaqoh? Tapi, apa yang terjadi dengan Martin? Kenapa?!

Aku terus merenung sampai akhirnya mataku menangkap sebuah benda seperti buku, tepat di tempat Martin berhenti tadi. Kupercepat langkah.
Kuambil buku itu. Dan ternyata, buku itu memang milik Martin. Sebentar kubuka lembar demi lembar buku itu, hingga kutemukan;

Aku benci dengan perempuan. Perempuan sangatlah menyebalkan. Semua perempuan sama. Aku benci mereka. Apalagi perempuan di kampusku. Mereka lebih menyebalkan dari yang aku kira. Aku benci mereka sampai kapanpun…


Aku diam terpasak dalam pertanyaan. Kenapa seperti itu?
Aku terus menyusuri jalan yang sepi. Sesampainya di kampus, aku tersontak ketika melihat jam besar menunjukkan 07.30. Padahal aku berangkat pukul 05.30. Apa saja yang aku lakukan?! Jelas saja aku terlambat. Bagaimana ini?!

Aku segera menuju ruang ekonomi semester II. Aku lebih memilih memberikan buku ini ke Martin terlebih dulu. Masalah guru killer itu urusan nanti lah. Akan tetapi, liftnya sedang rusak. Jadi aku harus berjalan lewat tangga dengan lebih cepat. Karena ruangnya ada di lantai 5. Paling atas.

Aduh. Aku nggak bisa berpikir ulang. Malu. Aku malu. Anak ekonomi tuh dari dulu saingan berat sama anak hukum. Apalagi anak ekonomi tuh mayoritas 85% cowok dan terkenal usil. Meski cowoknya cakep-cakep. Bagaimana kalau aku dikerjain dan diusilin?! Ah, sudahlah. Tak ada waktu lagi. Aku harus segera masuk ke ruang kelas itu.
Lewat jendela, kulihat Martin berdiri di depan dosen itu. Prof. Fariqotur Rohman, dosen ter-killer di kampus ini.
Cepat…! batinku berucap. Aku segera berjalan ke ruang itu, meski ragu. Sebentar aku sudah di pintu. Bagaimana ini?!
“Assalamu’ alaikum.”

Hanya dosen ter-killer itu yang menjawab. Sementara semua mahasiswa seperti terbengong-bengong.
Seketika ia mengarahkan matanya kepadaku. Aku semakin gugup. Semua mata menatapku lekat-lekat. Hanya Martin yang tak menoleh sedikitpun, karena memang dia membelakangiku.

Aduh. Lidahku kelu.
“Hallo!” seru dosen ter-killer itu tiba-tiba di depanku.
“Hey, di sini bukan tempat untuk melamun. Kalau tidak ada perlu, cepat pergi. Kamu bukannya anak hukum? Kenapa di sini?!”
“Ehm, sss… sssa… sssaya menemukan buku Martin yang jatuh, Pak.”
Kulirik Martin menoleh padaku. Aku segera menunduk. Tak berani menatapnya. Entah bagaimana reaksinya?! Yang jelas mungkin bukan sebuah senyum. Marahkah? Bencikah dia padaku?
“Ini, Pak. Maaf mengganggu pelajaran anda.”
Aku bergegas pergi dengan malu dan takut. Meninggalkan ruang kelas Martin yang tetap tenang.

Lalu bagaimanakah ini? Bagaimana nanti kalau aku dimarahin Pak Affandi yang juga killer di kelas sekarang? Dengan sedikit keberanian, aku terus melangkah hingga di depan pintu.
“Assalamu ’alaikum,” suaraku memecah keheningan. Seketika Pak Affandi menoleh tanpa menjawab salamku. Tatapan mata yang tajam membuat aku semakin takut. Aku masih menunduk. Terdengar bisik-bisik dan tawa teman-teman.

Perlahan Pak Affandi beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku. Kalaupun pada waktu itu aku memilih pergi, aku akan berlari sekencang-kencangnya.
“Kenapa kamu terlambat?” serunya.

“Jawab pertanyaan saya! Kenapa kamu terlambat?” tambahnya membentak semakin membuatku tak berdaya. Sepertinya mulutku tidak bisa diajak kompromi.
“Ayo jelaskan! kenapa diam?!”
“Sss… sss… sssaaya…”

“Kamu tahu, sekarang jam berapa?! Sekarang sudah jam 07.45. Saya paling benci dengan mahasiswa yang tidak disiplin. Sekarang kamu berdiri di lapangan sampai waktu pulang!”

Aku tersentak. Tapi, apalah daya. Aku harus berdiri di tengah lapangan yang didukung oleh matahari yang membuatku menderita. Meskipun demikian, aku senang. Terlambatku bukan karena keteledoran atau apalah itu. Melainkan karena sebuah pengorbanan cinta?

Waktu berlalu. Jam mata kuliah pun usai. Semua mahasiswa menghambur keluar, meski masih ada yang tetap di ruangan karena masih ada jam ekstra. Ingin aku ikut pulang juga seperti yang lain. Tapi, Pak Affandi masih mengawasiku dari kejauhan. Sehingga aku tidak berani bergerak. Saat itu Martin lewat di depanku. Tanpa senyum yang sangat ingin kulihat. Padahal semua ini kulakukan hanya demi dia. Demi cintaku padanya. Tentu saja aku kecewa. Namun, apa mau dikata. Aku hanya pasrah.
* * *

Sepekan telah berlalu, di kampus diadakan acara perkemahan. Aku ingin sekali ikut acara itu. Ternyata Jeny juga ikut. Tapi, aku tak perduli.

Hari yang dinantikan tiba. Kami berangkat naik bus. Tanpa disangka aku satu bus dengan Jeny. Dan ternyata disana juga ada Martin. Dia diam membisu. Padahal aku duduk tepat disampingnya. Aku begitu gugup dan bahagia. Namun,…

“Hei,...pindah! Ini tempat dudukku. Nyadar dong, beraninya duduk di dekat Martin.” Bus yang semula ramai menjadi sepi karena tindakan Jeny. Saat itu ekspresi Martin tidak berubah.
Saat malam diadakan penjelajahan, di tengah perjalanan Martin tidak ada di tengah rombongan. Kami mencarinya, namun hasilnya nihil. Pencarian dihentikan dan diteruskan besok. Aku sangat tidak sabar dan khawatir. Akhirnya aku mencarinya sendiri. Dan setelah beberapa lama, aku mendengar suara orang minta tolong.
“Tolong,... tolong,…” Aku seperti tahu pemilik suara itu. Aku mendekatinya.
“Martin?!”
Ternyata Martin hampir jatuh ke jurang dan dia hanya bergantung pada cabang pohon. Aku segera menolongnya.

Akhirnya dia bisa terselamatkan dengan menggunakan tali. Aku sangat shock. Aku hampir jatuh dan tanganku memar-memar. Sebentar aku dan Martin hanya terdiam membisu, lalu Martin berlalu dari pandanganku. Aku tidak menyangka setelah semua itu.
“Martin, kamu tidak apa-apa?” Jeny dan rombongan menemukan kami. Martin hanya menggeleng, lalu pergi. Tidak peduli.

Setelah itu kami kembali. Aku kembali ke rumah. Aku betul-betul kecewa. Padahal aku sudah menolongnya, namun sikapnya tetap sama. Sebenarnya dia diciptakan dari apa?
Aku berangkat pagi seperti biasa. Aku langsung menuju ke kelas hukum. Aku hanya duduk terdiam, membaca tulisan di depan; “DASAR MONSTER PEMBUNUH.” Semua teman-teman memandangiku sinis. Aku begitu marah, tapi aku hanya bisa menangis.

Jeny datang ke ruanganku. Dia dengan teman-temannya mengejekku. Aku tak peduli. Aku hanya takut...
“Dasar monster! Kamu mau membunuh Martin karena tidak bisa memilikinya ‘kan? Ngaca sana! Pikir dong! Martin itu kaya, cakep dan cuma serasi sama aku.”

Semua yang ada di sana memandangku dan Jeny. Mereka seperti mengiyakan perkataan Jeny. Saat itu Martin lewat kelasku dan menuju ke loteng. Sesaat aku terdiam. Dan sepertinya, Martin marah.
“Martin, kenapa sikap kamu seperti itu? Aku tahu kau membenci perempuan. Tapi kenapa? Tidak semua perempuan itu sama. Aku memang jelek, miskin, dan menjijikkan…” Martin menatapku tajam.

“Bagus kalau kau tau itu.”
Martin langsung pergi. Meski kata-katanya menyakitkan, tetapi baru kali ini dia bicara padaku secara langsung. Aku kembali ke kelas dan bertemu dengan pak Doni. Dia satu-satunya dosen yang ramah di kampus. Aku menatapnya sesaat. Aku langsung menuju tempat dudukku. Tapi pada saat itu, pak Doni memulangkan kami karena ada rapat.

Semua sudah pergi, tinggal aku dan pak Doni. Dia menghampiriku.
”Naia, ada apa? Apa ada masalah sampai kamu seperti ini?” Senyumnya yang ramah membuatku jadi luluh dan menceritakan semuanya.
“Sebenarnya, aku bersedih karena Martin. Bapak tahukan, kalau aku mencintainya. Tetapi sikapnya betul-betul dingin.” Airmataku mulai keluar.

“Martin mempunyai masa lalu yang kelam,” kata pak Doni mulai bercerita. “Dulu saat Martin masih kecil, ibunya kecelakaan. Tim SAR mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak ditemukan. Saat itu aku adalah dokter muda yang melakukan praktek lapangan. Aku melihat sebuah mayat seorang wanita. Aku mengira wanita itu telah meninggal karena darah yang keluar dari tubuhnya sangat banyak. Tapi setelah kuperiksa, denyut nadinya masih berdetak. Lalu aku membawanya ke rumah sakit. Aku menemukannya tanpa identitas apapun atau nomor telepon yang bisa dihubungi. Selama ini orang-orang menganggapnya telah meninggal. Keadaannya parah, dan baru dua tahun terakhir ini dia mulai membaik. Dan saat ini dia sedang pemulihan. Wanita itu menceritakan semua masa lalunya.”

“Sebenarnya, apa maksud bapak menceritakan semua ini? Dan siapa wanita itu sebenarnya?” Aku agak bingung, namun pak Doni mengerti pikiranku.

“Wanita itu adalah ibu kandung Martin,” pak Doni menjelaskan. “Martin mengalami trauma yang mendalam, karena itu jika ia melihat perempuan, ia ingat akan ibunya. Padahal ia sangat ingin melupakannya. Akhirnya aku mengerti perasaan Martin. Dia kehilangan kasih sayang ibunya dan melampiaskannya kepada para wanita. Sebaknya kamu menemui Martin dan menceritakan semuanya pada Martin.”

“Tapi, dia sudah pulang.”
“Kalau begitu, tunggu sampai besok.”
Pak Doni meninggalkanku. Lalu aku mengikuti di belakangnya. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Martin saat mendengarnya.

Aku pergi ke kantin mengantarkan daganganku. Saat aku keluar, aku melihat Jeny meletakkan sesuatu di sekitar pisang. Aku tidak menaruh curiga sedikitpun. Aku langsung pergi ke loteng. Seperti dugaanku, Martin sudah berada di sana.

“Martin,” aku membuka pembicaraan. “Tolong, untuk saat ini dengarkanlah aku. Ini sangat penting untukmu.” Martin tetap tidak memperdulikanku.

“Martin, ini,... ini,… tentang ibumu.” Akhirnya Martin menoleh padaku.
“Apa yang kau ketahui tentang ibuku?”
Awalnya aku takut menceritakan semuanya. Tapi tatapan Martin memberiku kekuatan, dan aku memberitahukan Martin tentang keberadaan ibunya.

Martin lalu menyeretku menuju rumah sakit di mana ibunya sekarang sedang dirawat. Detak jantungku yang mulanya normal, sekarang menjadi tak beraturan. Setelah bertanya ke ruang resepsionis, dia langsung berlari ke kamar ibunya. Martin lalu masuk dan memeluknya ibunya. Dia merasakan kehangatan seorang ibu setelah bertahun-tahun ia kehilangan ibunya.

“Martin anakku.”
Aku tahu bagaimana perasaan Martin sekarang, karena aku tidak punya ibu.
“Martin, kau,… kau sudah besar.”
Aku begitu terharu melihatnya. Aku membayangkan jika ini terjadi padaku, aku akan sangat bahagia. Selama ini Martin sangatlah menderita. Mungkin detik ini deritanya hilang. Pak Doni masuk ke ruang kami.

“Bagaimana keadaan ibu saya, dok? Saya ingin membawanya pulang.” Martin sangat berharap pak Doni yang seorang dosen dan sekaligus dokter mengizinkannya.
“Jangan sekarang. Ibumu masih harus dirawat di sini. Dia belum sembuh total. Sebaiknya kamu menceritakan tentang ibumu kepada ayahmu. Dia pasti akan bahagia mendengarnya.”
Meski Martin kecewa karena tidak bisa mengajak ibunya pulang, tapi paling tidak dia bisa menemukan ibunya. Ayahnya bahagia mendengar bahwa istrinya masih hidup

Esok harinya Martin ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya. Keadaannya semakin membaik. Martin lalu pergi ke kampus. Aku melihatnya pergi ke loteng dengan wajah berbinar-binar. Dia sekarang pasti sedang bahagia. Aku menyusulnya ke loteng, tapi pandangannya masih tetap dingin kepadaku. Sepertinya dia tidak suka aku mengikutinya. Padahal aku ingin sekali melihat senyum mengembang di wajahnya. Saat marah saja dia begitu manis. Apalagi saat tersenyum, pasti...

“Untuk apa kamu mengikutiku?!” bentaknya membuyarkan lamunanku.
“Pergi!!! Aku tidak mau kau mendekatiku. Bukankah aku orang yang jahat. Bukankah aku terbuat dari batu?!” Baru saja aku membayangkan dia tersenyum padaku, dia malah berkata sekasar itu. Tapi, bagaimana dia tahu pikiranku. Meski begitu aku tidak bisa marah. Jiwanya mungkin masih labil. Trauma yang sudah berakar tidak bisa hilang begitu saja. Dia terus berlalu meninggalkanku.

Aku kembali ke kelas. Jeni memandangku dengan emosi. Dia pasti cemburu melihat kedatanganku dengan Martin. Padahal Martin begitu dingin padaku.
Hari ini aku bangun lebih pagi, karena jam pertama adalah milik pak Affandi. Lima detik saja aku terlambat, aku pasti dikeluarkan dari kelas. Sebelum ke kelas, aku ke loteng. Tapi Martin tidak ada di sana. Aku lalu pergi ke kantin.

Penjaga kantin mengomeliku. Dia bilang makananku ada racunya.
“Naia, selama ini aku percaya padamu. Tapi, kamu merusak semuanya. Kamu membuat semua pelangganku pergi.”

“Maksud ibu apa? Aku nggak ngerti, bu.”
“Nai, ibu sudah mengenal kamu bertahun-tahun dan membolehkan kamu berjualan disini. Tapi, apa balasan kamu?! Gara-gara membeli pisang goreng yang kamu buat, semua yang beli makanan di sini pada sakit perut. Memangnya apa yang kamu campurkan dalam makananmu?! Apa Nai?”

“Bu, Naia tidak tahu apa-apa. Naia tidak pernah bermaksud macam-macam sama para pelanggan dan mahasiswa di sini. Mereka kan ‘juga teman-teman Naia.”
“Ahh,… sudahlah, ibu mau pulang.”
“Bu, Naia...” Suaraku terputus. Ibu kantin tidak menghiraukan. Dia marah kepadaku. Aku terdiam membisu.

Aku tersadar dan terus melangkah. Sepanjang koridor kampus sudah sepi. Aku melangkah pergi ke tempat seperti biasanya. Tempat yang selalu menjadi curahan hatiku. Tempat aku mengadu segala penderitaanku. Aku menangis sepuasnya. Kenapa sih hidupku harus seburuk ini?!

“Naia!” Aku menoleh dan Martin telah berdiri di depanku
“Martin, kenapa kamu disini?”
“Aku ngerti apa yang menimpamu sekarang ini. Tapi, aku percaya. Kamu nggak mungkin melakukan hal seperti ini. Pasti ini semua ulah Jeny.”

“Jeny?! Tapi,… Itu mungkin saja, karena tadi pagi aku melihatnya menaruh sesuatu di makananku. Tapi aku tidak menaruh curiga sedikitpun.”
“Sudahlah jangan terlalu memikirkan itu. Aku pasti membantumu mengatasi masalahmu. Sekarang kamu mau ‘kan ikut aku menjenguk mama?! Apa?! Kamu serius?”

“Tentu saja. Memang aku tipe orang yang suka bercanda.”
Akhirnya aku nurut aja. Aku memang mengiginkannya, dan baru kali ini Martin bicara banyak. Aku merasa dia begitu menenteramkan jiwaku.

Martin berbicara panjang lebar dan mengenalkanku pada ibunya. Ibu Martin kelihatan sudah sehat. Senyumnya menerawang. Begitupun dengan Martin. Dia begitu manis dengan lesung pipit di pipinya. Cukup lama berselang, kami kemudian pulang berjalan kaki.
“Naia, maafkan aku. Tidak bisa mengantarmu pulang. Mobilku sedang di bengkel.”

“Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang kamu mengajakku menjenguk ibumu. Aku ikut senang atas kondisi ibumu yang sudah membaik dan dibolehkan pulang besok. Oya. Nampaknya kita harus berpisah.”
“Ya, aku… Aku harus pulang “
Aku dan Martin berpisah. Aku merasa harus mengungkapkan perasaanku padanya. Aku harus mengatakannya.
“Martin...” Dia menoleh tersenyum.

Ya Allah, sungguh aku seperti tersihir oleh senyumannya yang baru kulihat sekali ini dalam hidupku. Dan baru kuketahui bahwa dia mempunyai lesung pipi yang lebih dalam dan bagus ketika tersenyum.

“Ada apa, Naia?”
“Ehm, nggak apa-apa. Makasih, ya…” Perlahan dia mulai menghapiriku lagi.
“Naia, kenapa harus makasih? Seharusnya aku yang makasih dan minta maaf padamu. Selama ini aku emang nggak punya hati. Salahku banyak sama kamu. Kamu sudah sering banget nolong dan bantu aku. Tapi aku yang nggak tahu diri.” Perlahan aku tersenyum dan menunduk.

“Naia, sampai jumpa besok.” Aku mengangguk dan membiarkannya pergi. Aku tak mampu mengungkapkan kata hatiku. Tapi, Harus.
“Martin…” Aku memanggilnya sekali lagi. Padahal dirinya sudah berjalan agak jauh. Dia menoleh dan melambaikan tangannya.

Tiba-tiba dari kejauhan kulihat sebuah truk berjalan dengan kecepatan tinggi tanpa bisa terkendali. Bagaimana ini? Aku berlari sekencang-kencangnya seperti hendak terbang kalaupun bisa.
“Martin. Awas…!!!” Martin tersentak. Aku mendorong tubuh Martin. Dan…
“Aaauuww... “ aku menjerit kerasku. Tubuhku terpental penuh darah berceceran.
“Naia…“ Martin menghampiriku
“Martin, maa… maafin aku. Ternyata umurku hanya sampai di sini.”
“Tidak, Nai. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit.”
“Nggak. Hanya satu yang aku minta Martin. Kamu mau ‘kan…” Nafasku semakin tersengal-sengal.
“Nai, kamu jangan seperti itu. Kamu harus bertahan.”
“Martin, aku… Aku haa… hanya ingin selalu menyayangimu. Izinkan aku untuk selalu mencinyaimu.” Martin menggangguk. Airmatanya menetes di pipiku yang berlumuran darah

“Nai, asal kamu tahu. Aku juga sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Kamu jangan ninggalin aku, Nai.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata Martin.
“Sudahlah, Martin. Relakan aku…” Kutatap dirinya sebelum mataku berat terpejam.
“Asyhadu alla ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah…”

Tubuhku terasa ringan. Dan sebelum nafasku terhenti, sempat kudengar tangis Martin. Aku bahagia Martin mau menangis. Menangis untukku. Menangis karena cintaku. Cintaku padanya. For You; Love.

Lamongan, 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt