ENAM puluh penulis di Lamongan memberikan apresiasi terhadap sepak terjang Herry Lamongan di dunia sastra. Mereka memberikan kado istimewa berupa tulisan karya yang dijadikan buku berjudul Tadarus Sang Begawan.
Jika berbicara makanan, maka Lamongan terkenal dengan sotonya. Ketika berbicara kesusastraan, maka Herry Lamongan menjadi salah satu sosoknya. Sastrawan yang memiliki style kacamata dan topi itu menjadi salah satu motor penggerak berkembangnya karya sastra di Kota Soto ini.
Atas dedikasinya itu, penulis yang tergabung dalam Forum Penulis dan Pegiat Literasi (F2PL) Lamongan menggagas karya untuk sang maestro sastra di daerahnya tersebut. Karya dari sekitar 60 penulis terkumpul mulai Februari hingga Mei lalu.
‘’Sejak tahun 1983, beliau istikhomah di Lamongan. Setia pada puisi dan sastra sambil mengajar di SD,’’ tutur Alang Khoirudin, penyunting buku berjudul Tadarus Sang Begawan kepada Jawa Pos Radar Lamongan, kemarin (3/7).
Sederet nama penulis ikut berbicara tentang kesetian Herry Lamongan terhadap dunia sastra. Di antaranya penulis novel Haji Backpacker Aguk Irawan MN, J.F.X Hoery, Bambang Kempling, Ahmad Zaini, Rodli TL, dan Pringgo HR. Selain itu, salah satu motivator asal Lamongan, Among Kurnia Ebo, juga ikut menyelipkan karyanya pada buku tersebut.
‘’Butuh waktu hampir empat bulan untuk bisa menyelesaikan buku ini. Bersyukur antusiasme dari teman-teman cukup besar,’’ tutur pria yang juga pendiri Pustaka Ilalang tersebut.
‘’Di dunia boleh jadi banyak yang tidak mengenal Herry, tapi di dunia sastra banyak yang mengenalnya,’’ imbuhnya.
Bagi Herry, menulis puisi bukan sekadar merangkai kata dan ambisi perolehan materi semata. Lebih dari itu. Menulis puisi merupakan panggilan jiwa pria kelahiran 5 Mei 1959 tersebut. Bukan hanya di Lamongan. Herry malang melintang di dunia persajakan Indonesia.
Pria kelahiran Bondowoso tersebut memiliki nama asli Djuhaeri. Kecintaannya yang begitu besar terhadap dunia sastra, sudah terlihat sejak kecil. Herry Lamongan sering membaca buku-buku karya sastra Indonesia Angkatan Balai Pustaka dari perpustakaan sekolah, koleksi buku-buku pribadi ayahnya, hingga mencuri baca di toko-toko buku.
‘’Matur nuwun atas apresiasi rekan-rekan dari berbagai daerah,’’ tutur Herry.
Meskipun sejak usia muda sudah bersinggungan dengan dunia sastra, Herry mengaku baru mengawali karir kepenulisannya sejak 1983. Dia pantang menyerah ketika karyanya ditolak media cetak. Semakin ditolak, semakin dirinya gencar menulis dan mengirimkannya kembali ke media cetak. Kegigihan itulah yang terus dikenang teman dekat Herry.
‘’Saya dengan Herry Lamongan bukan sahabat, tapi saudara. Beliau ini guru saya, orang yang mengajarkan saya menulis puisi dengan baik,’’ ujar Pringgo HR.
(bj/ind/yan/min/JPR) https://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2019/07/04/144417/cerita-proses-pembuatan-buku-tadarus-sang-begawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar