Biografi Pelaut
Buat: Surendrajati Mohammad
Dari atas gelombang
laki-laki yang dalam itu
meredam lebam digulung rindu
mari bernyanyi sebelum labuh
pada pantai tua, warung ramai, pasar ikan
dan pertanyaan yang senantiasa lengket
Baju kumal, topi hitam, celana tebal,
mantel bergambar perempuan,
lelah tapi terpana pada dansa,
aroma tembakau dan amis lautan.
Kemarin sudah jangan ditagih malam ini
sebab hidup selalu beranjak dari kenangan
lantaran dari kaki pantai dibesarkan.
Sekali waktu, sediakanlah ruang hangat
anggur hitam dan lampu panas
sampai lelahnya
menidurkan diri dalam sunyi
hilang dalam ramai
pisah dari para penggelayut
air mata dan tumpahan
Disinggahinya pula dinding kantor pelabuhan
yang berlumut bulan-bulan lepas
guna memeriksa rahang gelombang
yang tersangkut rahasia matanya
pada sekuntum badai penghabisan.
Hidup adalah sebongkah batu
mencemplung dalam samudera
yenggelam ke dasar palung
diam dalam kesunyian.
Tapi kesibukan terus bermain di permukaan pantai, air,
rumah tua, para sahabat dan orang-orang
yang terus-menerus gemigil bersilangan
menerima malam dan melayani kehidupan,
jauh nun di tepi keasingan,
penduduknya melepas cinta
pada huruf dan jutaan tanda
yang tak terbaca.
Jendela senja, kecipak ombak, jerit camar
dan pantulan cahaya berkilau
di muka air yang tak pernah istirah
dari debur yang juga tak kunjung tua.
Kau memanggul jeritan langit
melabur udara dengan darah yang hangat
susur waktu, surat-surat, foto-foto
sempat juga mengenalkan diri,
berkeluarga, punya anak cucu
lalu digores usia.
Jaring, mata kail, perahu kecil
dan ingatan tak menggenang
adalah sayap elang yang menggetar.
Tangis dan air mata
mengirama pada hari-hari yang jauh
mengelanai hujan
pada rekah Desember yang berbias
tahun-tahun akan datang
selalu saja mendekam dalam dada
dan perubahan cuaca
Jalanan berminyak ikan, tua dan lelah
namun tiap kesibukan di atasnya
adalah geliat samudera saat jelang
menghitung pertukaran cemas
yang selalu kandas.
Laut berhampar pada kaki langit,
tenang pula di musim sengit
dari tiap pergumulan duka-tawa
bahwa tiap denyut adalah derita
yang tak membatas di cakrawala.
Kau usap embun pada dinding malam hari
di mana segala peristiwa mengalir
sebagaimana nyanyi sendiri
ketika para kurcaci membuat mimpi
para pengembala-pengembala sepi.
Hidup pun perjalanan tanpa perhentian
namun karena kau cipta pula
singgah lelah lantaran fana,
labuh juga pada ibunda kerinduan
di tiap garis pelabuhan,
rumah tua,
warung singgah,
penginapan dengan dinding yang kelam.
Malam ini kau ingin bernyanyi
menggelung sepi dalam pekat.
Jangan lagi bertanya,
sejuta tanda tak perlu makna.
Dentingkan saja nadanya,
jatuhkan iramanya pada lantai tua
agar air mata
menangisi kekonyolannya sendiri.
Begitu putih tawanya
menagih derai dari derita.
Selalu saja, sebentuk cerita
tak memerlukan kata-kata
seperti malam menyetubuh gelap
tiap dekap tiap harap, pelan-pelan menari.
Pelan-pelan menjadi,
hingga jarum-jarum arloji
gugur ke atas tumpukan nyanyi.
Pun masih sendiri, sebab yang pergi
tak diminta kembali,
yang datang tak berpesta,
ia mengurat pada nadi gelombang.
Laki-laki yang dalam itu,
aromanya terus berdatangan
lalu hilang tanpa perpisahan.
Muncar, 2009
***
Puisi Sehelai Daun
Sehelai daun pun tak akan jatuh,
sebelum ia berpamit padamu
untuk menjatuhkan dirinya
pada bumi yang rebah
Muncar, 2009
***
Petualang Cahaya
Bahkan tiap butir debu
menggetarkan abad-abad yang lalu.
Isa bersabda pada domba-domba,
menggerakkan tali para pemetik kecapi,
tarian pemabuk memenuhi langit-langit,
menyegerakan senja pada petang.
Lesatan waktu, embun sampai sepotong wajah.
Dari balik jendela itu,
kau saksikan daun akasia gugur hari
kecemasan mengusap luka
seperti menghamba sendiri
hingga tiap kata
menyebut kelana.
Hidup hanya di sini
tiap kematian
cukup sendirian.
Muncar, 2009
***
Ekosistem Kemiren
Bahkan tiap butir waktu,
Menyedot perhatian langit.
Kau lelapkan mata angin di situ
Di antara rumah-rumah gebyok yang anggun,
Dan daun kelapa yang tua
Penuhilah gelasku dengan teh manis
Agar segala dahaga tumbuh sebagai belukar bunga
Di tepi kedho’an, perempuan menari
gandrung yang masih perawan
gendhing merayapi udara daun-daun padi kita,
menusuk cakrawala dan orang-orang mau pulang
sebentar petang segala, kaki Kemiren pada
langit senjakala,
senjakala yang berbusana sederhana
Aroma musim hujan
menegaskan wangi kopi
mengurai malam kalau saja angin
tak mengibaskan rambut Kemiren,
sawah-sawah membentang rindu,
sungai-sungai meliuk jauh
pada mata barong,
gendhing Lontar Yusup
dan wangi tubuh sang gandrung
Kemiren, harum tubuhmu
menuruni sangai-sungaimu
menjalar ke lautan
2009
Catatan:
1. Kemiren adalah nama sebuah desa tradisional Using di Banyuwangi
2. Mocoan/Gendhing Lontar Yusuf: adalah karya sastra kuno yang ditulis dengan huruf Arab Pegon (campuran antara aksara Arab dan aksara Jawa) yang menceritakan plesetan kisah Nabi Yusuf as. Mocoan/Gendhing adalah sebentuk kegiatan membaca Lontar Yusuf secara berkidung/bernyanyi dengan diiringi oleh ritual kepul dupa, sesajen, dan ayam jantan.
3. Gebyok: Rumah adat atau rumah tradisional suku Using di Banyuwangi.
4. Kedho’an = sawah
***
Senjakala Purba
Orang-orang berjas hitam,
di tengah hujan yang mendesak
pada tembok-tembok kota tua yang tak mengenal manusia.
Di sini, dinding gang lautan kebosanan,
mendaur mimpi dengan sunyi,
darah muncrat di jalan sempit yang renta.
Aku
terduduk
di
tepi
itu.
Bunyi-bunyi kembali mengacak diri dalam ruang,
waktu dan wajah berdebu dari jalan yang menderu melulu.
Tiap-tiap kata menyembunyikan api,
tiap-tiap detik memungkinkan banyak lagi sesuatu yang tak terduga.
Seorang perjaka mengecat jalan raya dengan peluh,
rambut panjang tak terkira.
Mengurailah matahari yang tak pernah nyanyi.
Orang-orang tak lagi berpikir yang lain,
semua demi hidup sendiri-sendiri;
keluarga dan kejayaan yang tak pasti,
dirangkai melati pada siang dan malam hari.
Mari menenggak racun, tawar waktu kepada kita.
Bangunan-bangunan tinggi menikam cakrawala,
sayap seriti gemetar pada pintu senja yang tak terbantah.
Bersemayamlaha irama semesta dalam gamang.
Orang-orang itu berlalu-lalang,
datang dan pergi lalu entah ke mana lagi.
Sementara
Aku
terduduk
di
tepi
itu.
Muncar, 2009
***
Seribu Jalan Raya
Seribu jalan raya.
Orang-orang mentasbihkan kenyataan dari segala kesibukan.
Tatapan-tatapan berdesakan dari segala ruang yang bergantian.
Lalu lintas kecemasan memadati waktu yang berburu.
Nafsu liar adalah harum parfum yang menusuk hidungmu bersama udara.
Raung mesin, dan kesunyian diam-diam mengendap dalam setiap nafas yang menumpas.
Aku diantar senja, menekuni jalan yang tak pernah basah dengan air mata,
Memantulkan ramai atau menegaskan kesia-siaan,
Meminum keringat segala desah yang menyayat.
Seribu jalan raya.
Dan kita yang terus berkata-kata.
Muncar, 2009
***
Jenak
Di dalam batas segenap kegentingan
Pendiaman diri yang terdesak dalam dada
Aroma lautan, amis ikan
Udara panas
Menyisakanmu yang meranggas
Perjamuan yang terserak
Di antara nyaring yang ramai
Kehausan yang memuaikan kecemasan
Sungguh tiada waktu berseru
Segala yang bermakna ungu
Membekas pada bibirmu
Yang dengan tabah
Menyulam waktu yang terus memburu
Muncar, 26 Maret 2009
***
Semenjak
Ada yang gelisah. Pada
Malam yang diam.
Ada yang tiba-tiba datang,
Di wajah jendela.
Di situ batas menegas,
Menyampaikan sunyi pada sejarah
Banyuwangi, 2009
***
Riwayat Bulan Desember
Kau mengingat pulang,
ibumu menyiapkan handuk
kopi kental yang pahit,
rambutmu basah terkena hujan di jalan
Pelan-pelan kau letakkan nyanyi
di sudut-sudut ruang,
mengendapkan sepi
mencium aroma kecemasan
yang dangkal
meletakkan sebuntal rindu
di laci kamar
pelan-pelan lelaplah
merengkuh kecemasan
dalam kedinginan
2009
***
Aquarium Rembulan
tibalah pada suatu cerita tua.
para pendatang itu memutar dzikir gamang pada malam.
cahaya lampu, kedai tua yang mendesah.
orang-orang masih sibuk dengan kejenakaan,
kupu-kupu itu begitu ringan
melayang dalam ketidakberhinggaan.
ikan-ikan berputar dalam sebuah aquarium
di situ cahaya lampu, kupu-kupu dan sepotong rembulan
mencemplung ke dasar kedalaman.
para kelana datang juga
melepas lelah
melonggarkan baju dan melepas sepatu.
gairah pada sekuntum mata
masih juga menggoda.
dan di sudut itu, sunyi duduk sendiri.
“tuan-tuan, silahkan dilunaskan
tarian mabuk dan denting gelas.
malam ini tak ada yang sedang gelisah
berkeluh berkesah.”
belum ada kabar
tentang orang asing yang terluka,
juga belum datang juru tafsir cuaca.
malam seperti biasa.
meja tua, gelas berserak, dahak yang parah
dan lampu di atas kupu-kupu.
para pendatang masih sibuk
dalam suatu pembicaraan tentang
orang asing yang kemarin datang
bersama seekor anjing.
mereka tidak mengerti,
kenapa juru tafsir tak pernah
memberitahukan sebelumnya.
angin mendesing di luar,
jendela-jendela kedai kedinginan.
lampu-lampu menggantung di atas kupu-kupu,
bulan berenang dalam aquarium itu,
ikan-ikan bercahaya, kilaunya
jatuh di atas lantai dansa.
orang-orang menyusun tanda tanya
kemana perginya sejumlah orang asing
yang membawa seekor anjing
padahal baru saja bayangannya melewati dinding.
waktu melesat seperti petaka,
tapi gelisah tak menyurutkan desah.
kedai tua, aquarium, kupu-kupu di bawah lampu,
rembulan jatuh di dasar,
ikan-ikan bercahaya.
para pendatang
masih belum lelah
memutar ingatan pada kenangan tua
sementara perdebatan tentang sejumlah orang asing
yang bersama seekor anjing, terus berdesing.
Muncar, 2009
***
Sore yang Mengambang
Sore duduk
sekadar singgah.
Kesibukan istirah dari lelah.
Jutaan kupu-kupu ringan menyebar
hinggap pada sekuntum senyum.
Perahu-perahu labuh,
laut bergerak tenang.
Orang-orang menghitung butiran keringat
di beranda yang tua
beraroma amis ikan.
Pasar ikan sehabis kerja.
Tepi Muncar, lepas tatap Sembulungan.
Di tepian itu, kau hidup
mengarung abad-abad yang merambat.
Sehelai rindu
terus mengayuh perahu anak cucu.
Kadang-kadang keuntungan
datang tak menyilang
pada meja makan.
Tapi di sini, hidup mati diterima
dari sejuta kerlip dunia
yang mencoba mengunyah saja.
Abad-abad merambat pada laut berkilau
dan terus kau menegap
meski tertatih di segala tepi.
Hidup adalah
ikan-ikan lemuru
yang tak habis diburu.
Muncar, 2009
***
Catatan Seorang Santri
Ada yang masih tersisa
dari suara lirih pagi hari
dalam sehelai alis matamu
mendatangi malam kota
anak-anak yang menghampiri layangan
pada penjelang segala kehilangan
diam-diam mengendap dalam-dalam
Pada sepi jalanan kota persinggahan
ada banyak bayangan
yang tak bisa dikembalikan.
Di mana tiap perapatan
tak pernah menjanjikan pulang
pada sore di pinggir angan-angan
2009
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar