Selasa, Februari 05, 2019

Setengah Abad Golput

Ariel Heryanto *
Majalah Tempo 1 Feb 2018

NYARIS setengah abad usia golongan putih (golput). Apa saja yang masih sama dan telah berubah di Indonesia? Mengapa golput populer dan makin besar? Sejak dulu golput merupakan pesan politik, bertujuan mengurangi atau menolak keabsahan pemilihan umum. Ia semacam mosi tidak percaya terhadap semua kontestan pemilu atau sistem pemilihan umum secara keseluruhan.

Gejala ini mengglobal akibat krisis kepercayaan terhadap institusi negara, terhadap janji-janji dan idealisme nasionalisme, terhadap partai politik. Golput jelas terlihat di berbagai negara yang lebih awal membangun modernitas liberal dan lebih dini mengecewakan warga bangsanya.

Di Amerika Serikat, yang sering berkoar soal demokrasi, peserta pemilu berkisar 55-60 persen. Sedangkan di Australia, para pemilih diwajibkan ikut pemilu dan diancam pidana bila sengaja menghindar. Tampaknya tidak semua orang suka demokrasi dan harus dipaksa-paksa menerimanya seperti anak kecil dipaksa minum obat.

Masyarakat bekas terjajah agak beda karena belum lama berdemokrasi. Semangat ikut pemilu di Indonesia mirip mahasiswa pada minggu pertama berangkat kuliah. Ini terjadi pada Pemilu 1955, ketika Indonesia berbulan madu dengan kemerdekaan. Juga Pemilu 1999, di bulan madu Reformasi. Pada kedua masa itu, jumlah partai politik sangat banyak.

Semangat itu telah merosot bersamaan dengan berkurangnya jumlah partai politik. Menurut sumber yang saya baca, dua pemilu terakhir menunjukkan makin tingginya angka mereka yang tidak memberikan suara sama sekali atau suara sah: nyaris 25 persen (2009) dan lebih dari 30 persen (2014). Bagaimana untuk 2019 dan selanjutnya? Untuk menimbang masa depan, perlu kita tengok sejenak ke belakang.

Golput dilahirkan menjelang Pemilihan Umum 1971 oleh sejumlah cendekiawan yang dibesarkan Orde Baru, di Jakarta. Mirip pembangkangan anak kepada bapaknya. Sasaran tembak mereka adalah partai penguasa, bernama Golongan Karya (Golkar). Awalan "gol" pada golput diambil dari nama mangsanya.

Bukan cuma dalam soal nama, golput itu turunan Golkar. Logo Golkar diberi kerangka segi lima. Golput membuat logo segi lima, tapi kosong di tengahnya berwarna putih. Pada masa pra-digital, semua partai peserta pemilu memasang logo di tempat umum yang ramai. Golput juga.

Golput tidak mendorong orang pasif dan menjauh dari pemilu. Ia justru meminta masyarakat aktif datang ke tempat pemungut-an suara, lalu mencoblos bagian kertas suara yang putih, bukan gambar salah satu kontestan.

Kini istilah golput agak basi. Semangat memberontak masa kini meminjam bahasa dua generasi sebelumnya. Mirip demonstran awal abad ke-21 yang tak punya banyak pilihan lagu perjuangan, selain Halo-halo Bandung atau Maju Tak Gentar.

Kini para pembangkang pemilu tidak menghadapi Golkar sebagai musuh utama, tidak menghadapi satu partai raksasa milik diktator militer. Golput generasi kini menghadapi sesuatu yang lebih rumit, lebih samar, dan tidak lenyap dalam waktu dekat. Tidak mudah bagi saya merumuskan secara pendek apa yang saya pikirkan. Tapi, dalam sisa ruang yang tersedia di sini, saya akan mencobanya.

Seusai Pemilu 1955, sulit menemukan pemilu yang demokratis di negeri ini. Pemilu masa itu bukan sekadar persaingan kubu. Yang paling berharga adalah pertarungan visi dan misi masa depan Indonesia. Sebagian besar dirumuskan berdasarkan pandangan ideologi transnasional. Beda dari debat politik masa kini yang sok anti-asing, seakan-akan mereka berlomba membawa Indonesia masuk politik isolasi ala Korea Utara.

Sejak akhir 1950-an, politik Indonesia memasuki masa suram. Otoritarianisme malu-malu pada "masa darurat" Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno digenjot besar-besaran tanpa malu oleh otoritarianisme Orde Baru Presiden Soeharto. Orde Baru rajin mengadakan pemilu, tapi semuanya (termasuk siapa yang bakal menang) ditentukan pemerintah selama 32 tahun.

Pemerintah tidak membutuhkan mandat dari masyarakat lewat pemilihan umum untuk mempertahankan kekuasaannya. Orde Baru lebih bergantung pada restu pusat-pusat kekuasaan adidaya dunia: blok anti-komunis dalam Perang Dingin. Begitu Perang Dingin berakhir, berakhir pula kepedulian mereka terhadap Orde Baru. Ditinggalkan sponsornya, Orde Baru runtuh pada 1998. Timor Timur merdeka pada 1999.

Itulah masa gelap yang dihadapi golput hingga akhir Orde Baru. Maka pertanyaan kunci kita hari ini: apakah atau sejauh mana elite politik Indonesia pasca-Orde Baru sudah berubah? Apakah dan sejauh mana kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk ini terwakili dalam pemilu? Masyarakat bebas menentukan kepada siapa mandat kekuasaan negara dipinjamkan selama lima tahun ke depan? Apakah golput sudah tak lagi punya alasan untuk hadir?

Betapa sulit menjawab semua pertanyaan itu dengan "ya" tegas. Sejak 1966, rakyat sudah terempas keluar dari lingkaran pertarungan politik di tingkat elite. Pada 1970-1980-an, secara resmi Orde Baru menjadikan mereka sebagai "massa mengambang" yang apolitis.

Yang terjadi sejak 1998 bukan revolusi, melainkan reformasi. Sebagian besar kekuatan Orde Baru mengalami re-form-asi: ganti baju, ganti penampilan, ganti slogan, tapi dengan mempertahankan kedudukan dan hak-hak istimewa sebagai warisan Orde Baru. Walau bernafsu, sulit bagi sisa-sisa laskar Orde Baru menjadi RI-1. Namun mereka akan mati-matian mempertahankan wilayah kekuasaan negara walau tidak menjadi RI-1 atau RI-2.

Dengan sosok lama tampang baru, elite politik pasca-Orde Baru tidak pernah punya atau berminat pada suatu visi dan misi untuk Indonesia jangka panjang, seperti halnya pada pertengahan abad ke-20. Tanpa lawan, kecuali persaingan dengan sesamanya, mereka menjadi oportunis (aji mumpung).

Tidak mengherankan bila kaum politikus berpindah-pindah partai politik atau bertukar sekutu. Partai apa pun sama saja. Ketika Islam akan tampil sebagai sumber ideologi perjuangan untuk menantang status quo, dengan mudah partai-partai politik islami ditaklukkan ke tepi. Sebaliknya, simbol-simbol islami dijadikan komoditas politik besar-besaran oleh para politikus selebritas yang sejatinya kurang peduli masalah religiositas.

Maka wajar jika semangat golput terus berkobar. Masyarakat kecil sudah (terlalu) lama dilucuti secara politis sejak banjir darah 1965. Kalaupun ada satu-dua tokoh elite yang peduli dan berkiblat kerakyatan, mereka tidak mampu berbuat banyak. Waktu dan tenaga mereka terkuras dalam pergulatan habis-habisan melawan sesama elite di kubu lain.

Faktor lain-yang lebih resmi dan melembaga-yang melucuti politik warga bangsa adalah mengerucutnya elitisme politik. Ini tampak mencolok dengan merosotnya jumlah partai politik dan jumlah kontestan pemilu, seperti pemilihan presiden. Tuntutan dana raksasa untuk mendirikan partai dan tuntutan ambang batas pencalonan presiden menjadi tembok yang memisahkan rakyat dengan para elite politik di semua kubu.

Maka wajar jika pemilu dan sistem politik secara menyeluruh mengalami krisis kepercayaan publik. Tidak aneh jika jumlah golput membengkak. Sulit menyalahkan golput dalam situasi demikian. Tapi, jelas dari gambaran makro di atas, bukan satu-dua pihak yang layak disalahkan. Ini masalah bangsa-negara secara menyeluruh.

Kedua kubu pemilihan presiden 2019 sibuk baku serang dalam perkara-perkara yang tidak banyak artinya bagi masyarakat luas. Yang satu memakai aparat represif negara untuk menembak lalat dengan meriam. Yang lain secara liar mengaduk emosi masyarakat yang sudah frustrasi terhadap berbagai hasutan primordial untuk membina "amuk massa".

Adapun berbagai masalah yang mengusik masyarakat luas dihindari atau diabaikan oleh kedua kubu. Sekadar contoh: masalah lingkungan; pertanahan di hutan; penggusuran wilayah huni di kota; perlindungan bagi profesi jurnalis, korban perundungan seksual, juga aktivis-penyintas dan korban pelanggaran hak asasi; hak sipil sehari-hari kaum minoritas; penegakan hukum; kualitas pendidikan; serta razia buku sewenang-wenang.

Adakah manfaat yang bisa diharapkan dari membengkaknya golput. Mungkin, tapi tanpa jaminan. Pertama, dalam jangka pendek, jika diterima dengan kepala dingin dan pikiran terbuka, golput seharusnya menjadi cambuk bagi semua elite politik, khususnya pimpinan partai, untuk lebih tanggap pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat umum, terutama kelompok rentan, bukan sibuk bermusuhan dengan elite pesaingnya. Kedua, dalam jangka menengah, perlu ditimbang ulang beratnya persyaratan pembentukan politik partai dan pencalonan presiden. Perlunya memperluas ruang dan rentang bagi tokoh dan kelompok yang majemuk.

Apakah para pendukung golput bisa diharapkan bertumbuh menjadi sebuah kekuatan politik alternatif? Sebagian kecil dengan minat dan bakat kuat bisa tampil bila diberi peluang baru. Tapi mayoritas golput terdiri atas massa anonim, sangat majemuk, dan tak terlembaga. Ia datang bagai badai, lalu lenyap dalam waktu cepat. Mirip massa pendukung Joko Widodo.

Tulisan ini akan saya akhiri dengan catatan tentang perubahan terbesar yang terjadi di Indonesia mutakhir dan dunia gara-gara teknologi komunikasi digital. Apa dampaknya untuk politik Indonesia? Apa artinya untuk golput masa kini dan mendatang?

Jokowi dan pendukungnya adalah produk zaman YouTube, Facebook, dan Twitter. Jokowi tidak dibesarkan dari lingkungan elite Orde Baru ataupun pasca-Orde Baru. Karier politiknya dipompa proses demokratisasi politik Indonesia yang didorong teknologi digital. Masalahnya, teknologi baru ini mampu menggoyahkan status quo, tapi belum merombaknya. Proses perubahan politik baru setengah jalan.

Berkat ledakan massa pendukungnya (generasi digital, apolitis, di luar partai politik), Jokowi memenangi pemilihan presiden 2014 dan masuk istana. Tapi massa digital ini tidak mungkin menyertai dan mendukung kerjanya sehari-hari di sana. Seusai pemilu, massa pendukung itu bubar dan kembali ke rutinitas masing-masing, di darat dan di media sosial.

Di istana, Jokowi tak banyak berdaya dikepung jejaring politik pasca-Orde Baru yang sengit kepadanya tapi ikut menumpang popularitasnya. Beberapa aktivis anti-Orde Baru diajak Jokowi masuk ke timnya, tapi mereka tidak banyak berkutik dalam kepungan berbagai raksasa pasca-Orde Baru yang jauh lebih kekar.

Politik kepartaian Indonesia mirip industri pers pada 1990-an. Keduanya padat modal, terpusat, dan berstruktur elitis. Semuanya bertolak belakang dengan tata pergaulan digital: mudah, murah, cepat, menyebar, non-hierarkis. Sementara industri pers cetak sudah sekarat, tata politik dari abad lampau masih mencoba bertahan.

Generasi milenial tak mungkin betah dikurung kehidupan politik pra-digital. Golput hanya istilah lama yang mereka temukan untuk mengungkapkan sebuah gugatan sosial yang terus mekar. Pertumbuhan teknologi dan sosial pada tahap berikutnya akan menciptakan sebuah kekuatan jauh lebih subversif ketimbang golput mana pun selama setengah abad ini.

*) Direktur Monash Herb Feith Indonesia Engagement Centre, Monash University, Australia

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt