Ariel
Heryanto *
Majalah Tempo 1 Feb 2018
NYARIS
setengah abad usia golongan putih (golput). Apa saja yang masih sama dan telah
berubah di Indonesia? Mengapa golput populer dan makin besar? Sejak dulu golput
merupakan pesan politik, bertujuan mengurangi atau menolak keabsahan pemilihan
umum. Ia semacam mosi tidak percaya terhadap semua kontestan pemilu atau sistem
pemilihan umum secara keseluruhan.
Gejala
ini mengglobal akibat krisis kepercayaan terhadap institusi negara, terhadap
janji-janji dan idealisme nasionalisme, terhadap partai politik. Golput jelas
terlihat di berbagai negara yang lebih awal membangun modernitas liberal dan
lebih dini mengecewakan warga bangsanya.
Di
Amerika Serikat, yang sering berkoar soal demokrasi, peserta pemilu berkisar
55-60 persen. Sedangkan di Australia, para pemilih diwajibkan ikut pemilu dan
diancam pidana bila sengaja menghindar. Tampaknya tidak semua orang suka
demokrasi dan harus dipaksa-paksa menerimanya seperti anak kecil dipaksa minum
obat.
Masyarakat
bekas terjajah agak beda karena belum lama berdemokrasi. Semangat ikut pemilu
di Indonesia mirip mahasiswa pada minggu pertama berangkat kuliah. Ini terjadi
pada Pemilu 1955, ketika Indonesia berbulan madu dengan kemerdekaan. Juga
Pemilu 1999, di bulan madu Reformasi. Pada kedua masa itu, jumlah partai politik
sangat banyak.
Semangat
itu telah merosot bersamaan dengan berkurangnya jumlah partai politik. Menurut
sumber yang saya baca, dua pemilu terakhir menunjukkan makin tingginya angka
mereka yang tidak memberikan suara sama sekali atau suara sah: nyaris 25 persen
(2009) dan lebih dari 30 persen (2014). Bagaimana untuk 2019 dan selanjutnya?
Untuk menimbang masa depan, perlu kita tengok sejenak ke belakang.
Golput
dilahirkan menjelang Pemilihan Umum 1971 oleh sejumlah cendekiawan yang
dibesarkan Orde Baru, di Jakarta. Mirip pembangkangan anak kepada bapaknya.
Sasaran tembak mereka adalah partai penguasa, bernama Golongan Karya (Golkar).
Awalan "gol" pada golput diambil dari nama mangsanya.
Bukan
cuma dalam soal nama, golput itu turunan Golkar. Logo Golkar diberi kerangka
segi lima. Golput membuat logo segi lima, tapi kosong di tengahnya berwarna
putih. Pada masa pra-digital, semua partai peserta pemilu memasang logo di
tempat umum yang ramai. Golput juga.
Golput
tidak mendorong orang pasif dan menjauh dari pemilu. Ia justru meminta
masyarakat aktif datang ke tempat pemungut-an suara, lalu mencoblos bagian
kertas suara yang putih, bukan gambar salah satu kontestan.
Kini
istilah golput agak basi. Semangat memberontak masa kini meminjam bahasa dua
generasi sebelumnya. Mirip demonstran awal abad ke-21 yang tak punya banyak
pilihan lagu perjuangan, selain Halo-halo Bandung atau Maju Tak Gentar.
Kini
para pembangkang pemilu tidak menghadapi Golkar sebagai musuh utama, tidak
menghadapi satu partai raksasa milik diktator militer. Golput generasi kini
menghadapi sesuatu yang lebih rumit, lebih samar, dan tidak lenyap dalam waktu
dekat. Tidak mudah bagi saya merumuskan secara pendek apa yang saya pikirkan.
Tapi, dalam sisa ruang yang tersedia di sini, saya akan mencobanya.
Seusai
Pemilu 1955, sulit menemukan pemilu yang demokratis di negeri ini. Pemilu masa
itu bukan sekadar persaingan kubu. Yang paling berharga adalah pertarungan visi
dan misi masa depan Indonesia. Sebagian besar dirumuskan berdasarkan pandangan
ideologi transnasional. Beda dari debat politik masa kini yang sok anti-asing,
seakan-akan mereka berlomba membawa Indonesia masuk politik isolasi ala Korea
Utara.
Sejak
akhir 1950-an, politik Indonesia memasuki masa suram. Otoritarianisme malu-malu
pada "masa darurat" Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno digenjot
besar-besaran tanpa malu oleh otoritarianisme Orde Baru Presiden Soeharto. Orde
Baru rajin mengadakan pemilu, tapi semuanya (termasuk siapa yang bakal menang)
ditentukan pemerintah selama 32 tahun.
Pemerintah
tidak membutuhkan mandat dari masyarakat lewat pemilihan umum untuk
mempertahankan kekuasaannya. Orde Baru lebih bergantung pada restu pusat-pusat
kekuasaan adidaya dunia: blok anti-komunis dalam Perang Dingin. Begitu Perang
Dingin berakhir, berakhir pula kepedulian mereka terhadap Orde Baru.
Ditinggalkan sponsornya, Orde Baru runtuh pada 1998. Timor Timur merdeka pada
1999.
Itulah
masa gelap yang dihadapi golput hingga akhir Orde Baru. Maka pertanyaan kunci
kita hari ini: apakah atau sejauh mana elite politik Indonesia pasca-Orde Baru
sudah berubah? Apakah dan sejauh mana kepentingan masyarakat Indonesia yang
majemuk ini terwakili dalam pemilu? Masyarakat bebas menentukan kepada siapa
mandat kekuasaan negara dipinjamkan selama lima tahun ke depan? Apakah golput
sudah tak lagi punya alasan untuk hadir?
Betapa
sulit menjawab semua pertanyaan itu dengan "ya" tegas. Sejak 1966, rakyat
sudah terempas keluar dari lingkaran pertarungan politik di tingkat elite. Pada
1970-1980-an, secara resmi Orde Baru menjadikan mereka sebagai "massa
mengambang" yang apolitis.
Yang
terjadi sejak 1998 bukan revolusi, melainkan reformasi. Sebagian besar kekuatan
Orde Baru mengalami re-form-asi: ganti baju, ganti penampilan, ganti slogan,
tapi dengan mempertahankan kedudukan dan hak-hak istimewa sebagai warisan Orde
Baru. Walau bernafsu, sulit bagi sisa-sisa laskar Orde Baru menjadi RI-1. Namun
mereka akan mati-matian mempertahankan wilayah kekuasaan negara walau tidak
menjadi RI-1 atau RI-2.
Dengan
sosok lama tampang baru, elite politik pasca-Orde Baru tidak pernah punya atau
berminat pada suatu visi dan misi untuk Indonesia jangka panjang, seperti
halnya pada pertengahan abad ke-20. Tanpa lawan, kecuali persaingan dengan
sesamanya, mereka menjadi oportunis (aji mumpung).
Tidak
mengherankan bila kaum politikus berpindah-pindah partai politik atau bertukar
sekutu. Partai apa pun sama saja. Ketika Islam akan tampil sebagai sumber
ideologi perjuangan untuk menantang status quo, dengan mudah partai-partai
politik islami ditaklukkan ke tepi. Sebaliknya, simbol-simbol islami dijadikan
komoditas politik besar-besaran oleh para politikus selebritas yang sejatinya
kurang peduli masalah religiositas.
Maka
wajar jika semangat golput terus berkobar. Masyarakat kecil sudah (terlalu)
lama dilucuti secara politis sejak banjir darah 1965. Kalaupun ada satu-dua
tokoh elite yang peduli dan berkiblat kerakyatan, mereka tidak mampu berbuat
banyak. Waktu dan tenaga mereka terkuras dalam pergulatan habis-habisan melawan
sesama elite di kubu lain.
Faktor
lain-yang lebih resmi dan melembaga-yang melucuti politik warga bangsa adalah
mengerucutnya elitisme politik. Ini tampak mencolok dengan merosotnya jumlah
partai politik dan jumlah kontestan pemilu, seperti pemilihan presiden.
Tuntutan dana raksasa untuk mendirikan partai dan tuntutan ambang batas
pencalonan presiden menjadi tembok yang memisahkan rakyat dengan para elite
politik di semua kubu.
Maka
wajar jika pemilu dan sistem politik secara menyeluruh mengalami krisis
kepercayaan publik. Tidak aneh jika jumlah golput membengkak. Sulit menyalahkan
golput dalam situasi demikian. Tapi, jelas dari gambaran makro di atas, bukan
satu-dua pihak yang layak disalahkan. Ini masalah bangsa-negara secara
menyeluruh.
Kedua
kubu pemilihan presiden 2019 sibuk baku serang dalam perkara-perkara yang tidak
banyak artinya bagi masyarakat luas. Yang satu memakai aparat represif negara
untuk menembak lalat dengan meriam. Yang lain secara liar mengaduk emosi
masyarakat yang sudah frustrasi terhadap berbagai hasutan primordial untuk
membina "amuk massa".
Adapun
berbagai masalah yang mengusik masyarakat luas dihindari atau diabaikan oleh
kedua kubu. Sekadar contoh: masalah lingkungan; pertanahan di hutan;
penggusuran wilayah huni di kota; perlindungan bagi profesi jurnalis, korban
perundungan seksual, juga aktivis-penyintas dan korban pelanggaran hak asasi;
hak sipil sehari-hari kaum minoritas; penegakan hukum; kualitas pendidikan;
serta razia buku sewenang-wenang.
Adakah
manfaat yang bisa diharapkan dari membengkaknya golput. Mungkin, tapi tanpa
jaminan. Pertama, dalam jangka pendek, jika diterima dengan kepala dingin dan
pikiran terbuka, golput seharusnya menjadi cambuk bagi semua elite politik,
khususnya pimpinan partai, untuk lebih tanggap pada kepentingan dan kebutuhan
masyarakat umum, terutama kelompok rentan, bukan sibuk bermusuhan dengan elite
pesaingnya. Kedua, dalam jangka menengah, perlu ditimbang ulang beratnya
persyaratan pembentukan politik partai dan pencalonan presiden. Perlunya
memperluas ruang dan rentang bagi tokoh dan kelompok yang majemuk.
Apakah
para pendukung golput bisa diharapkan bertumbuh menjadi sebuah kekuatan politik
alternatif? Sebagian kecil dengan minat dan bakat kuat bisa tampil bila diberi
peluang baru. Tapi mayoritas golput terdiri atas massa anonim, sangat majemuk,
dan tak terlembaga. Ia datang bagai badai, lalu lenyap dalam waktu cepat. Mirip
massa pendukung Joko Widodo.
Tulisan
ini akan saya akhiri dengan catatan tentang perubahan terbesar yang terjadi di
Indonesia mutakhir dan dunia gara-gara teknologi komunikasi digital. Apa
dampaknya untuk politik Indonesia? Apa artinya untuk golput masa kini dan mendatang?
Jokowi
dan pendukungnya adalah produk zaman YouTube, Facebook, dan Twitter. Jokowi
tidak dibesarkan dari lingkungan elite Orde Baru ataupun pasca-Orde Baru.
Karier politiknya dipompa proses demokratisasi politik Indonesia yang didorong
teknologi digital. Masalahnya, teknologi baru ini mampu menggoyahkan status
quo, tapi belum merombaknya. Proses perubahan politik baru setengah jalan.
Berkat
ledakan massa pendukungnya (generasi digital, apolitis, di luar partai
politik), Jokowi memenangi pemilihan presiden 2014 dan masuk istana. Tapi massa
digital ini tidak mungkin menyertai dan mendukung kerjanya sehari-hari di sana.
Seusai pemilu, massa pendukung itu bubar dan kembali ke rutinitas
masing-masing, di darat dan di media sosial.
Di
istana, Jokowi tak banyak berdaya dikepung jejaring politik pasca-Orde Baru
yang sengit kepadanya tapi ikut menumpang popularitasnya. Beberapa aktivis
anti-Orde Baru diajak Jokowi masuk ke timnya, tapi mereka tidak banyak berkutik
dalam kepungan berbagai raksasa pasca-Orde Baru yang jauh lebih kekar.
Politik
kepartaian Indonesia mirip industri pers pada 1990-an. Keduanya padat modal,
terpusat, dan berstruktur elitis. Semuanya bertolak belakang dengan tata
pergaulan digital: mudah, murah, cepat, menyebar, non-hierarkis. Sementara
industri pers cetak sudah sekarat, tata politik dari abad lampau masih mencoba
bertahan.
Generasi
milenial tak mungkin betah dikurung kehidupan politik pra-digital. Golput hanya
istilah lama yang mereka temukan untuk mengungkapkan sebuah gugatan sosial yang
terus mekar. Pertumbuhan teknologi dan sosial pada tahap berikutnya akan
menciptakan sebuah kekuatan jauh lebih subversif ketimbang golput mana pun
selama setengah abad ini.
*) Direktur Monash Herb Feith Indonesia Engagement Centre, Monash University, Australia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar