Fahrudin Nasrulloh*
http://www.radarmojokerto.co.id/
Obrolan di cafe ”Sidade” itu makin menghangat. Kopi disuguhkan. Bila mau pilih teh boleh juga. Yang wasgitel atau sariwangi. Bisa pesan jika minat teh rosella Malang yang berdaun gelap kecoklat-coklatan. Rokok Jisamsoe disesap, seperti menghirup seisi cafe dari ingatan yang pudar. Ia berjalan mondar-mandir melayani pembeli. Pangsit dan Mie ayam Jakarta, pun es campur tersedia di sini: Jl. Manukan Tama 10 A, Tandes, Surabaya. Dulu, lelaki berkumis tebal dan bertubuh gempal ini pemain bass di grup pertunjukan Gambus Misri. Ia termasuk penonton ludruk yang setia.
”Saya itu hampir tidak ingat sama sekali Gambus Misri. Apalagi tentang ludruk Jombang ataupun yang di Surabaya. Ingat sedikit-sedikit, dan kayaknya kalau dipancing tanya sana-sini, tak banyak yang bisa keluar,” ia melirik garing. Lalu omongannya mblakrak ngalor-ngidul. Teringat tiba-tiba ia akan masa kecilnya di Desa Nglele, Sumobito, Jombang, saat karibnya Jazuli bercerita, seperti kadal kalap dilempar sandal, tentang orang-orang yang dikepung ketakutan di masa Gestok. Masa silam itu seperti mengeprukkan ganden ke dengkul hingga remuk. ”Pokoke sing gak sembahyang diarani PKI,” begitu patahan kalimatnya, yang diulang 3 kali. Lalu saya teringat cerita orang-orang tua di kampung tentang hubungan ludruk dan PKI. Ada memang beberapa grup ludruk yang digandeng PKI untuk ikut memuluskan program-program pemberdayaan kaum petani, pemuda-pemuda rakyat, dan para buruh. Mereka kadang menyelingi cerita soal lakon yang dipentaskan. Misalnya ”Gusti Allah Sunat”, atau ”Gusti Allah Mantu”, atau ”Tujuh Setan Desa”. Lakon-lakon itu kini tenggelam, lamat-lamat, tapi tetap terdengar angker. Seperti darah yang merembes dari mata dan telinga. ”Wah, kalau cerita itu saya nggak menangi (tidak di masanya) Mas. Tapi, ketika ramai-ramainya ludruk di Surabaya, tahun 1980-an, yang masih teringat kuat ya lakon ’Subakir Mati Metingkrang’ itu. Ceritanya lupa bagaimana. Para pemainnya sudah lupa. Ludruknya apa juga lupa,” sela Cak Memet. Tampaknya, orang-orang agak lawas kayak Cak Memet, sebagai bagian kecil dari apresian ludruk, satu potong dua potong, masih mengingat ludruk sebagai kepingan dari kenangan hidupnya.
Cak Memet tak tahu persis kapan ia lahir. Ingatannya sudah ”butek”, kacau dan kotor. Barangkali sekitar tahun 1956. Tak terlalu tua. Ia pendek dan tegap. Sorot matanya teduh tapi menembus. Rambutnya cepak berombak. Namun ingatannya kerap dihajar bayang-bayang kematian di rimba Timor-Timur pada 1976-1979. Ia bercerita dengan bangganya saat membunuhi tentara pemberontak di sana. Dibunuh atau membunuh. Terbayanglah film Platoon garapan Oliver Stone itu. Tahun 1980-an ia keluar dari dinas ketentaraan. Karena sering bikin kisruh dan pernah sekali menghajar komandannya. Ia lantas merantau ke Surabaya. Menggelandang dan jadi preman. Kini, hampir seluruh orang pasar dan warga sekitar Manukan mengenalnya sebagai orang baik dan telah meninggalkan pekerjaan lamanya itu.
Pada seseorang lain. Di malam 23 April 2011 sehabis hujan di sore hari yang deras. Si penjual kacang godok, Mbah Munawi (65 tahun), asal Gayungsari, dengan sepeda onthelnya, rutin berjualan di sekitar Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), di Jl. Genteng Kali 85 Surabaya. Sejak awal Februari 2011, ia sudah mencatat dari brosur agenda pertunjukan kesenian yang secara periodik digelar di pendopo Jayengrono TBJT itu. Di situ sepanjang 2011 diadakan banyak pertunjukan kesenian. Ada wayang kulit, ludruk, pakeliran, festival balet, tayuban, seminar seni budaya, pertunjukan musik, festival dalang, revitalisasi budaya daerah, dan lain-lain. Yang paling digemarinya adalah pertunjukan ludruk. Ia sangat terkenang lakon ”Subakir Mati Metingkrang” yang pernah ditontonnya di daerah Krian di awal 1980-an yang dipentaskan ludruk Begidhak Massa pimpinan Saji Wibowo dari Jombang. Saya jadi teringat sejenak cerita Cak Memet dan kembali saya bertanya-tanya, pernahkah ada lakon itu atau semata halusinasi belaka? Biarlah saja dulu. Pak tua ini mungkin keliru atau lupa-lupa ingat.
Di balik kertas pembungkus kacang, Mbah Munawi, menunjukkan kepada saya agenda ludruk periodik itu: Ludruk Budhi Wijaya Jombang, lakon ”Babat Tunggorono” (di pendopo TBJT, 26 Februari 2011); ludruk Warna Jaya Sidoarjo, lakon Kabut di ”Lereng Gunung Pananjakan” (di Taman Krida Budaya Malang, 25 Maret 2011); ludruk RRI Surabaya, lakon ”Tragedi Bumi Rungkut” (di pendopo TBJT, 26 Maret 2011); ludruk Suromenggolo Ponorogo, lakon ”Asal-usul Reog Ponorogo” (di pendopo TBJT, 23 April 2011); ludruk Wahyu Budaya Lamongan, lakon ”Bandit Blandong Selo Guno” (di pendopo TBJT, 28 Mei 2011); ludruk Merdeka Jember, lakon ”Maryati Gila” (di pendopo TBJT, 25 Juni 2011); ludruk Bintang Baru Jombang, lakon ”Dendam Membara” (di Taman Krida Budaya Malang, 23 Juli 2011); ludruk Subur Budaya Malang, lakon ”Selor Pancuran Mergosono” (di pendopo TBJT, 24 September 2011); ludruk Armada Malang, lakon ”Putri Guwo Buring” (di Taman Krida Budaya Malang, 22 Oktober 2011); ludruk Timbul Jaya Probolinggo, lakon ”Brandal Gunung Anyar” (di pendopo TBJT, 26 November 2011); ludruk Karya Budaya Mojokerto, lakon ”Pasir Kali Brantas” (di Taman Krida Budaya Malang, 23 Desember 2011).
Wah, lengkap betul catatannya. Lalu saya membayar satu contong kacang seharga 2000 rupiah. ”Gimana Mbah, pertunjukan ludruknya yang kemarin, menarik?” tanya saya. ”Podo wae ambek sing saiki Mas, kurang nyes dirasakno. Lakone kok model iku-iku terus,” timpalnya. Lantas ia bercerita agak panjang dan putus-putus tentang lakon ”Subakir Mati Metingkrang”. Kisahnya, Subakir itu juragan becak yang sombong, keminter, gatal menggoda perempuan, penjudi, suka adu jago, tapi baik hati dan royal mentraktir makan siapapun terutama terhadap penggenjot becaknya. Ia juga tukang pukul semasa mudanya. Musuh-musuhnya banyak. Bla-bla-bla. Di akhir cerita, saat ia duduk di kursi pentil sambil cedat-cedut merokok, di sebuah warung kopi, bersama puluhan tukang becaknya, tiba-tiba ia meninggal dalam posisi metingkrang. Semua orang di situ kaget. Bingung. Histeris. ”Wak Bakir mati metingkrang, Wak Bakir mati metingkrang!!” teriak seorang dari mereka.
Mbah Munawi sempat terhenti sejenak. Memungkasi cerita. Saya menoleh ke panggung. Tampak 2 personil ludruk Suromenggolo sedang mendagel, setelah mengidung soal susahnya jadi petani dan mirisnya jadi seniman ludruk di jaman ini. Terasa garing. Kira-kira 25-an menit penonton membisu. Tak ada ledakan tawa. Lakonnya malam itu ”Asal-usul Reog Ponorogo”. Lalu saya bergeser lima langkah ke warung kopi sebelah. Ada Cak Imam CB, seniman teater, di situ bersama 2 temannya. Kami saling menyapa. ”Jaman wis majune koyok ngene, kenapa nggak ngangkat lakon misale ’Cuci Otak’? Ini kan lagi rame-ramenya NII. Atau tentang terorisme. Dulu orang nonton ludruk itu seperti menyerap energi jaman. Sekarang nggak tahu apa yang mereka serap,” komentarnya. ”Bisa juga seperti itu Cak. Ludruk seperti ’mati metingkrang’: ditinggalkan jaman sekaligus kehilangan spirit masa silamnya. Yang kita tonton seolah hanya panggung kosong. Cuma hawa dingin sepi yang kita bawa pulang,” sambung saya. ”Bukan, Mas. Tapi orang-orang ludruk sendiri yang tak mau atau tak mampu mengikuti perubahan jaman yang terus berderap. Jadi yang ’mati metingkrang’ itu utopianya. Sebab urusan perut yang jadi pokoknya. Tak menggerakkan jiwa dinamisnya.”
Dan, sejenis cerita apakah yang seakan-akan fiksi itu tiba-tiba menyembul dari Cak Memet, lalu secara kebetulan juga keluar dari Mbah Munawi? Sosok Subakir yang mati unik itu bisa saja sebagai cermin persoalan keseharian kaum kelas bawah. Tak begitu penting apakah itu pernah sebagai lakon ludruk ataukah semata halusinasi dari dunia klangenan publik ludruk.
---
Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
http://www.radarmojokerto.co.id/
Obrolan di cafe ”Sidade” itu makin menghangat. Kopi disuguhkan. Bila mau pilih teh boleh juga. Yang wasgitel atau sariwangi. Bisa pesan jika minat teh rosella Malang yang berdaun gelap kecoklat-coklatan. Rokok Jisamsoe disesap, seperti menghirup seisi cafe dari ingatan yang pudar. Ia berjalan mondar-mandir melayani pembeli. Pangsit dan Mie ayam Jakarta, pun es campur tersedia di sini: Jl. Manukan Tama 10 A, Tandes, Surabaya. Dulu, lelaki berkumis tebal dan bertubuh gempal ini pemain bass di grup pertunjukan Gambus Misri. Ia termasuk penonton ludruk yang setia.
”Saya itu hampir tidak ingat sama sekali Gambus Misri. Apalagi tentang ludruk Jombang ataupun yang di Surabaya. Ingat sedikit-sedikit, dan kayaknya kalau dipancing tanya sana-sini, tak banyak yang bisa keluar,” ia melirik garing. Lalu omongannya mblakrak ngalor-ngidul. Teringat tiba-tiba ia akan masa kecilnya di Desa Nglele, Sumobito, Jombang, saat karibnya Jazuli bercerita, seperti kadal kalap dilempar sandal, tentang orang-orang yang dikepung ketakutan di masa Gestok. Masa silam itu seperti mengeprukkan ganden ke dengkul hingga remuk. ”Pokoke sing gak sembahyang diarani PKI,” begitu patahan kalimatnya, yang diulang 3 kali. Lalu saya teringat cerita orang-orang tua di kampung tentang hubungan ludruk dan PKI. Ada memang beberapa grup ludruk yang digandeng PKI untuk ikut memuluskan program-program pemberdayaan kaum petani, pemuda-pemuda rakyat, dan para buruh. Mereka kadang menyelingi cerita soal lakon yang dipentaskan. Misalnya ”Gusti Allah Sunat”, atau ”Gusti Allah Mantu”, atau ”Tujuh Setan Desa”. Lakon-lakon itu kini tenggelam, lamat-lamat, tapi tetap terdengar angker. Seperti darah yang merembes dari mata dan telinga. ”Wah, kalau cerita itu saya nggak menangi (tidak di masanya) Mas. Tapi, ketika ramai-ramainya ludruk di Surabaya, tahun 1980-an, yang masih teringat kuat ya lakon ’Subakir Mati Metingkrang’ itu. Ceritanya lupa bagaimana. Para pemainnya sudah lupa. Ludruknya apa juga lupa,” sela Cak Memet. Tampaknya, orang-orang agak lawas kayak Cak Memet, sebagai bagian kecil dari apresian ludruk, satu potong dua potong, masih mengingat ludruk sebagai kepingan dari kenangan hidupnya.
Cak Memet tak tahu persis kapan ia lahir. Ingatannya sudah ”butek”, kacau dan kotor. Barangkali sekitar tahun 1956. Tak terlalu tua. Ia pendek dan tegap. Sorot matanya teduh tapi menembus. Rambutnya cepak berombak. Namun ingatannya kerap dihajar bayang-bayang kematian di rimba Timor-Timur pada 1976-1979. Ia bercerita dengan bangganya saat membunuhi tentara pemberontak di sana. Dibunuh atau membunuh. Terbayanglah film Platoon garapan Oliver Stone itu. Tahun 1980-an ia keluar dari dinas ketentaraan. Karena sering bikin kisruh dan pernah sekali menghajar komandannya. Ia lantas merantau ke Surabaya. Menggelandang dan jadi preman. Kini, hampir seluruh orang pasar dan warga sekitar Manukan mengenalnya sebagai orang baik dan telah meninggalkan pekerjaan lamanya itu.
Pada seseorang lain. Di malam 23 April 2011 sehabis hujan di sore hari yang deras. Si penjual kacang godok, Mbah Munawi (65 tahun), asal Gayungsari, dengan sepeda onthelnya, rutin berjualan di sekitar Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), di Jl. Genteng Kali 85 Surabaya. Sejak awal Februari 2011, ia sudah mencatat dari brosur agenda pertunjukan kesenian yang secara periodik digelar di pendopo Jayengrono TBJT itu. Di situ sepanjang 2011 diadakan banyak pertunjukan kesenian. Ada wayang kulit, ludruk, pakeliran, festival balet, tayuban, seminar seni budaya, pertunjukan musik, festival dalang, revitalisasi budaya daerah, dan lain-lain. Yang paling digemarinya adalah pertunjukan ludruk. Ia sangat terkenang lakon ”Subakir Mati Metingkrang” yang pernah ditontonnya di daerah Krian di awal 1980-an yang dipentaskan ludruk Begidhak Massa pimpinan Saji Wibowo dari Jombang. Saya jadi teringat sejenak cerita Cak Memet dan kembali saya bertanya-tanya, pernahkah ada lakon itu atau semata halusinasi belaka? Biarlah saja dulu. Pak tua ini mungkin keliru atau lupa-lupa ingat.
Di balik kertas pembungkus kacang, Mbah Munawi, menunjukkan kepada saya agenda ludruk periodik itu: Ludruk Budhi Wijaya Jombang, lakon ”Babat Tunggorono” (di pendopo TBJT, 26 Februari 2011); ludruk Warna Jaya Sidoarjo, lakon Kabut di ”Lereng Gunung Pananjakan” (di Taman Krida Budaya Malang, 25 Maret 2011); ludruk RRI Surabaya, lakon ”Tragedi Bumi Rungkut” (di pendopo TBJT, 26 Maret 2011); ludruk Suromenggolo Ponorogo, lakon ”Asal-usul Reog Ponorogo” (di pendopo TBJT, 23 April 2011); ludruk Wahyu Budaya Lamongan, lakon ”Bandit Blandong Selo Guno” (di pendopo TBJT, 28 Mei 2011); ludruk Merdeka Jember, lakon ”Maryati Gila” (di pendopo TBJT, 25 Juni 2011); ludruk Bintang Baru Jombang, lakon ”Dendam Membara” (di Taman Krida Budaya Malang, 23 Juli 2011); ludruk Subur Budaya Malang, lakon ”Selor Pancuran Mergosono” (di pendopo TBJT, 24 September 2011); ludruk Armada Malang, lakon ”Putri Guwo Buring” (di Taman Krida Budaya Malang, 22 Oktober 2011); ludruk Timbul Jaya Probolinggo, lakon ”Brandal Gunung Anyar” (di pendopo TBJT, 26 November 2011); ludruk Karya Budaya Mojokerto, lakon ”Pasir Kali Brantas” (di Taman Krida Budaya Malang, 23 Desember 2011).
Wah, lengkap betul catatannya. Lalu saya membayar satu contong kacang seharga 2000 rupiah. ”Gimana Mbah, pertunjukan ludruknya yang kemarin, menarik?” tanya saya. ”Podo wae ambek sing saiki Mas, kurang nyes dirasakno. Lakone kok model iku-iku terus,” timpalnya. Lantas ia bercerita agak panjang dan putus-putus tentang lakon ”Subakir Mati Metingkrang”. Kisahnya, Subakir itu juragan becak yang sombong, keminter, gatal menggoda perempuan, penjudi, suka adu jago, tapi baik hati dan royal mentraktir makan siapapun terutama terhadap penggenjot becaknya. Ia juga tukang pukul semasa mudanya. Musuh-musuhnya banyak. Bla-bla-bla. Di akhir cerita, saat ia duduk di kursi pentil sambil cedat-cedut merokok, di sebuah warung kopi, bersama puluhan tukang becaknya, tiba-tiba ia meninggal dalam posisi metingkrang. Semua orang di situ kaget. Bingung. Histeris. ”Wak Bakir mati metingkrang, Wak Bakir mati metingkrang!!” teriak seorang dari mereka.
Mbah Munawi sempat terhenti sejenak. Memungkasi cerita. Saya menoleh ke panggung. Tampak 2 personil ludruk Suromenggolo sedang mendagel, setelah mengidung soal susahnya jadi petani dan mirisnya jadi seniman ludruk di jaman ini. Terasa garing. Kira-kira 25-an menit penonton membisu. Tak ada ledakan tawa. Lakonnya malam itu ”Asal-usul Reog Ponorogo”. Lalu saya bergeser lima langkah ke warung kopi sebelah. Ada Cak Imam CB, seniman teater, di situ bersama 2 temannya. Kami saling menyapa. ”Jaman wis majune koyok ngene, kenapa nggak ngangkat lakon misale ’Cuci Otak’? Ini kan lagi rame-ramenya NII. Atau tentang terorisme. Dulu orang nonton ludruk itu seperti menyerap energi jaman. Sekarang nggak tahu apa yang mereka serap,” komentarnya. ”Bisa juga seperti itu Cak. Ludruk seperti ’mati metingkrang’: ditinggalkan jaman sekaligus kehilangan spirit masa silamnya. Yang kita tonton seolah hanya panggung kosong. Cuma hawa dingin sepi yang kita bawa pulang,” sambung saya. ”Bukan, Mas. Tapi orang-orang ludruk sendiri yang tak mau atau tak mampu mengikuti perubahan jaman yang terus berderap. Jadi yang ’mati metingkrang’ itu utopianya. Sebab urusan perut yang jadi pokoknya. Tak menggerakkan jiwa dinamisnya.”
Dan, sejenis cerita apakah yang seakan-akan fiksi itu tiba-tiba menyembul dari Cak Memet, lalu secara kebetulan juga keluar dari Mbah Munawi? Sosok Subakir yang mati unik itu bisa saja sebagai cermin persoalan keseharian kaum kelas bawah. Tak begitu penting apakah itu pernah sebagai lakon ludruk ataukah semata halusinasi dari dunia klangenan publik ludruk.
---
Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar