Senin, Mei 04, 2009

Mendekonstruksi Sentralisasi Sastra

Yusri Fajar
http://jiwasusastra.wordpress.com

Prolog

Eka Budianta, pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga dikenal sebagai penyair, menuturkan bahwa ketika umur 15 tahun, dia telah berkenalan dengan komunitas sastra di Kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (IKIP, sekarang Universitas Negeri Malang). Sebulan sekali di Perguruan Tinggi tersebut diadakan pembacaan puisi, pentas teater dan diskusi sastra dalam acara malam purnama. Saat itu dia berkenalan dengan para sastrawan Malang yang punya nama nasional seperti alm. Hasjim Amir, Jasso Winarto, dan Henri Suprianto yang mengajaknya berlatih membaca puisi dan pentas. Menurut Eka, sejak dulu kala, kota Malang sudah punya sanggar seni lukis, seni tari dan kelompok-kelompok baca puisi.
Awal tahun 2001 di Universitas Muhammadiyah Malang, saya pernah menghadiri acara bedah puisi yang didahului dengan pembacaan puisi oleh beberapa peserta yang hadir. Pembicaraan tidak hanya terpusat pada apresiasi teks puisi baik dari aspek instrinsik maupun ekstrinsik namun juga melebar pada diskursus determinasi dan resistensi komunitas dalam kaitannya dengan proses kreatif. Saya melihat ada kegairahan dari para pegiat sastra yang datang meski saya juga sekaligus mempertanyakan sejauh mana kegairahan itu akan terus menyala. Di forum itu saya bertemu dengan penyair muda Malang, Ragil Sukriwul, dan pegiat teater jebolan ISI yogyakarta, Jumali, yang dua-tiga tahun berikutnya sering saya jumpai dalam diskusi-diskusi pasca pentas teater dan beberapa event sastra dan budaya lainnya di Malang.

Tahun 2004-an di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya, saya bersama beberapa mahasiswa membidani kelahiran komunitas kesenian bernama teater O ( kini berubah nama menjadi teater Lingkar) yang pada perjalanannya tidak hanya berkonsentrasi pada proses kreatif berteater tetapi juga bersastra. Beberapa kegiatan pembacaan puisi, bedah prosa, menghadirkan sastrawan, sampai mengadakan sayembara penulisan puisi pernah dilakukan. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang bergiat di komunitas tersebut pada perjalanannya juga mampu mempublikasikan puisi-puisinya di media masa. Geliat komunitas sastra selanjutnya saya temukan di kegiatan “arisan reboan (karena dilakukan malam rabu)” di Unibraw, yang di dalamnya berkumpul para pegiat teater dan pegiat sastra yang saling bergantian membaca puisi, bikin short performance, dan juga menggelar diskusi. Sastra saya lihat menggeliat di sana meskipun pada dasarnya geliat itu tak harus bertumpu pada ada dan tidak adanya sebuah komunitas.

Menurut saya, jika sastra ingin dimasyarakatkan dan ‘dibudidayakan’, gelombang sastra terpusat, bertumpu pada wilayah-wilayah tertentu, dan terlalu bersandar pada eksistensi para sastrawan tua atau yang sudah punya ‘nama’ sudah saatnya ‘dideskontruksi’. Karya sastra bisa lahir dari siapapun dan manapun termasuk dari wilayah yang tak dilihat dan kurang diperhitungkan. Di tengah hutan rimba yang jauh dari keramaian bisa jadi banyak bunga bagus dan menakjubkan, tetapi karena tak ada orang yang melihat maka bunga dan tanaman tadi tak terekspos keluar meskipun pada hakekatnya ia tetap sebagai ciptaan yang indah dan bagus. Karya bagus bisa lahir dari penulis tak terkenal dan dari daerah yang diremehkan. Kualitas karya juga tak bisa digaransi seratus persen oleh usia pengarang. Oleh karena itu gelombang dan geliat sastra itu harus dilihat sebagai kontruksi yang bisa hidup di berbagai habitat manusia dengan wilayah menyebar.

Namun ‘dekonstruksi’ sentralitas sastra dan penggairahan kehidupan sastra di wilayah-wilayah ‘terpinggirkan’ dari peta besar sastra sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Gerakan dan karya-karya sastra pedalaman yang sempat menarik perhatian karena semangat “revitalisasi sastra pedalaman” misalnya, sebagaimana diungkapkan Faruk, ternyata tak memiliki perbedaan signifikan dengan karya-karya dari pesisir dan tak mampu melahirkan revolusi bersastra dan cara berkesusastraan yang mandiri. Bahkan menurut pengamatan saya kini sastra pedalaman sedang mengalami hibernasi. Secara kultural bisa dikatakan belum mengakar dan belum mampu mendorong perubahan signifikan. Terlepas dari penilaian ini, minimal sastra pedalaman telah meletakkan pondasi untuk melakukan counter hegemoni dan melecut generasi mutakhir dari daerah-daerah untuk terus bereskplorasi meski ‘politik ordinasi dan subordinasi’ terus membayangi.

Post-modernisme memang mengisyaratkan sesuatu yang menyebar, tidak terpusat dan terkungkung mainstream tertentu. Dan menurut saya, di negeri yang plural seperti Indonesia, sesuatu yang terpusat dan seragam justru memang sangat kontraproduktif dengan hakekat keberagaman dan keserbamungkinan cara bersastra. Oleh karena itu warna dan gelombang sastra dari berbagai daerah dengan penulis-penulis muda perlu dibaca dengan seksama.

Memintal karya ‘tanpa sentral’?

Perjalanan panjang dunia kesusastraan diwarnai konstruksi dan dekontruksi dalam lingkaran aliran sastra pada setiap zaman berbeda. Strukturalisme dan post strukturalisme, humanisme universal dan realis sosialis-revolusioner, sastra tekstual dan kontekstual, absurditas dan realitas-empiris, mencatatkan tensi-tensi ketegangan yang meramaikan dan memperkaya dunia sastra. Posisi para penyair dalam menanggapi fenomena lokal dan global di sekitarnya begitu beragam dan sepertinya mereka masih berada pada konteks pencarian ‘diri’ sehingga tidak mengherankan jika terjadi mimikri di sana -sini dan terdapat banyak kutub sastra.

Dunia subjektif individu dan teologi sastra “sufistik” misalnya, adalah dua buah warna yang dalam periode sastra pernah menjadi sentral dan hingga kini masih banyak penulis yang menjadikannya sebagai kiblat. Kecenderungan pertama mengkoptasi puisi sebatas struktur dan permainan semiotika, mistisisme linguistik belaka. Konteks hanyalah sumber dari penanda dan petanda bahasa. Sementara sastra sufistik membangun kontemplasi atas kekuatan supreme di luar diri manusia. Domain vertikal begitu kuat sehingga terkesan menegasikan relasi horizontal kontekstual. Realisme sosialis revolusioner menjadi kehilangan tempat pada puisi-puisi teologi profetik semacam yang ditulis oleh Abdul hadi WM, Amien Wangsitalaja, dan beberapa lainnya. Di barat, T.S. Elliot, meski dengan basis dan persperktif berbeda, mengesplorasi sesuatu yang ‘metafisis’ yang secara semangat memiliki kesamaan. Lalu bagaimana membaca karya sastra sastrawan-sastrawan muda Malang?

Karya-karya beberapa sastrawan muda Malang sepertinya tengah berada pada kisaran pencarian (eksperimentasi) stereotype estetis dan isi dalam dialektika latar perkembangan sastra yang melingkupinya. Hal ini wajar mengingat sejarah panjang kesusastraan Indonesia tak bisa dihindarkan dari warna ‘kolonial’ yang melahirkan kekuasaan sentral. Mimikri menjadi bagian reflektif dari memori sadar dan alam bawah sadar pengarang atas konstruksi mapan yang datang sebelumnya. Terlebih lagi dominasi dan berbagai gaya sastra, dengan dukungan kekuasaan media yang teramat sulit dihindari oleh mereka. Karena itu, dari pembacaan berulang dan seksama, saya dihadapkan pada peta tak purna dari ‘kemutakhiran’ karya-karya mereka. Peta yang menuntut kontinyuitas penelusuran ulang. Namun demikian, karya-karya sastrawan muda Malang perlu dikritisi dan didekati dengan perspektif objektif agar realitas-realitas yang saya sebutkan di atas tidak mereduksi subtansi kekuatan karya mereka.

Puisi-puisi Abdul Mukhid penyair muda Malang yang terkumpul dalam antologi tunggal “Tulislah Namaku dengan Abu” (2006) mengantarkan saya pada pengembaraan sastra “tanpa pusat”, tanpa mainstream, melanglang buana dari satu ruang ke ruang lainnya tanpa pernah berlama-lama di salah satunya. Mukhid suatu kesempatan terkesan subjektif, berasyik mansyuk dengan eksistensinya sebagai upaya membangun dialektika sunyi; seperti terlihat dalam puisi-puisinya yang berjudul Tulislah Namaku dengan Abu, Dialog imajiner Dengan Caligula, Catatan Sepi 1, 2, 3, Tanda Tanya Agung. Tapi dalam puisi lainnya Mukhid justru menebar kontekstualitas sosio-politik-kultural dengan diksi lugas seperti dalam puisinya, 56 Tahun Indonesia (Masih) Cemas dan Berdamai dengan Kenyataan. Sementara di sudut lainnya, sentuhan teologi ketuhanan Mukhid terekam dalam Tuhan Maafkan Aku, Tak Semua dan Bukalah Bilik Hatimu. Mukhid sepertinya ingin berkelana dalam beragam genre, meski mungkin tak disadarinya. Sebuah pilihan berpuisi yang merdeka meski tanpa ciri. Cara berpuisi Mukhid hampir merambah sebagian besar penyair muda Malang yang karyanya pernah saya baca.

Ragil Sukriwul ‘mendekontruksi’ lokalitas dengan menabur beberapa diksi bahasa Inggris ke dalam puisinya yang sebenarnya mayoritas dia tulis dalam Bahasa Indonesia. Bagi saya, Ragil ‘tak menganggap’ petanda ‘global’ sebagai ancaman yang akan memarginalkan warna bahasa lokal (Indonesia) dan pemaknaannya. Ada kesadaran dan keberanian untuk mengelaborasikan petanda lokal dan global dalam puisi karena batas budaya telah remuk dalam desa global (global village). Salah satu puisinya berjudul “Lost”, dan puisinya yang berjudul “Jangan Kartu Pos I” berisi petanda global (Bahasa Inggris) yang saya maksudkan.
……………

Berceritalah tentang perutmu yang masih saja berteriak
Meski telah disumpal senampan Pizza, tentang jemari
Telunjukmu yang berungkali tersayat karena ngotot ingin
Masak
Sendiri,

(Juga biografi lelaki negeri mana saja yang pergi dan datang di kencanmu)

Ceritakan saja meski selarik puisi.
I was there…! I’m very Happy!” teriakan asingmu ini
Hanya jadi
Barisan abjad-abjad penuh cemas di sini
Jangan kirim kartu pos lagi: benci!
Kirimkan saja aku perih.

Lebih jauh, dengan gaya bangunan struktur dalam beberapa puisinya yang seperti mengajak kita untuk kembali melihat karya penyair Amerika E.E. Cumming dan penyair Sutardji Calzoum Bahri, Ragil juga sepertinya ingin meletakkan struktur bukan sebagai beban dalam berpuisi. Kata bisa digeser, ditata horisontal, vertikal, miring, dan tak lurus-rapi. Namun yang membedakan Ragil dan Sutardji adalah bahwa sebenarnya Ragil tak sepenuhnya ingin membebaskan kata dari makna sebagaimana Sutardji. Lihat saja dalam beberapa puisinya, seperti Di Antara yang Datang dan Pergi dan Menggambar Bulan, Ragil nampak masih bersetia dengan relasi makna dalam kata yang merajut puisinya.

Tegar Prajaksa, Penyair muda yang sedang kuliah di jurusan sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang, mendekontruksi struktur kata dalam puisi dengan melakukan pemecahan dan penyatuan suku kata sebagaimana dilakukan oleh penyair sekaligus pelukis dan pemahat Jerman Kurt Schwitters (1887-1948). Tegar melakukan dekonstruksi itu dalam puisinya Kontemporer Cinta. Tegar lalu dengan liar juga mendekontruksi sistem kultur ‘tabu’ dengan menghadirkan kata vagina dalam puisinya: Rengek Bocah Lima Tahun. Meski dalam banyak puisinya Tegar cenderung membawa kata dalam permainan strukur bebas, ia ternyata juga tak melepaskan diri dari godaan konteks di luar dirinya sebagai muatan yang mendahului penciptaan. Puisi Berjudul Lapindo, yang hanya berisi huruf 0, dan Hamid Mencari Iskandar bisa menjadi bukti.

Sementara dalam dunia prosa, nampak dalam cerpen Corry Atur, cerpenis perempuan yang masih muda dan sedang kuliah di Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang, ketegangan mitos dalam tradisi dan elemen modernitas justru berusaha dikolaborasikan dengan tujuan menghadirkan bentuk yang tak terpusat. Ada upaya membangun ‘ideologi’ yang tidak semata-mata berkiblat pada tradisi dan juga tidak serta-merta mengagungkan keilmiahan ‘modernitas’ dalam salah satu unsur sastra (literary devices). Corry yang telah lama tinggal di Malang memang menggunakan tradisi, dalam hal ini pernik-pernik mitologi, untuk membangun cerita dengan atmosfer modern. Folklore tentang Coban Rondo (salah satu tempat wisata di Malang) misalnya, yang dia hadirkan untuk menawarkan benang merah cerita yang dia tulis menunjukkan relasi kutub sastra sehingga tercipta medan magnit antar satu dengan yang lainnya. Hal ini sungguh menarik karena dalam wacana post-modernisme dua entitas yang begitu berbeda dimungkinkan bisa menjadi sumber inspirasi yang justru saling melengkapi, mengisi, bahkan mendekonstruksi.

Dengan begitu proses kreatif bakal mendapatkan ‘kebebasan’ dan keliarannya, seperti penggalan puisi Skizoprenia karya Miza, penyair dan mahasiswa di Program Bahasa dan Sastra Unibraw.
……………

Dalam keliaran dan kegilaan
Sesungguhnya tangis tak henti
Mendera
Lalu dengan sengaja
Mengapungkan diri di tengah laut
Biar dikoyak-koyak hiu

Epilog

Saya tidak berpretensi bahwa pembacaan saya atas beberapa sastrawan muda Malang tersebut di atas sudah representasif. Identifikasi dan pemetaan sastra di Malang membutuhkan proses yang tidak sekali jadi. Di luar itu, upaya untuk menjadikan gelombang sastra di Malang sebagai bagian revitalisasi dan perayaan sastra perlu terus mendapatkan apresiasi dan dukungan. Sastra yang terpusat dan dipusatkan, berada di atas menara gading dan menegasikan potensi sastra di daerah-daerah akan menjadikan berbagai kemungkinan kreativitas menjadi ‘terbatas’.

Sengkaling, Malang, Desember 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt